Gilang terkejut mendengar suara yang ia kenali. Laki-laki itu langsung menoleh ke belakang. “Om Gilang, sejak kapan ada di sini?”
Naya menahan senyum melihat wajah keponakannya yang tertangkap basah sedang mencibir suaminya. Ia belum sempat memberitahukan kalau Gilang sedang berada di toilet.
“Aku ada sejak kamu belum lahir,” jawab Gilang setelah duduk di samping istrinya.
“Nah ‘kan, berarti memang Om sudah tua,” sahut Bara sembari tertawa pelan.
Gilang menatap Bara dengan tajam, hingga Bara mengira kalau laki-laki itu sedang marah besar padanya.
“A-ada apa, Om?” tanya Bara dengan gugup sembari menelan ludahnya dengan susah payah.
“Bagaimana kabar Anisa? Apa kamu sudah menemukan keberadaannya?”
Bara mengembuskan napasnya perlahan. Ia merasa lega, ternyata omnya tidak marah. “Belum, Om,” jawabnya. “Sepertinya Anisa ada di kampung halamannya,
Bara dan Gilang pergi ke rumah Anisa. Laki-laki itu ingin menunjukkan foto keluarga kekasihnya kepada Gilang, berharap omnya bisa membantu dengan petunjuk itu.Dua mobil mewah itu berhenti di pekarangan rumah Anisa yang sudah lama ditinggal penghuninya.Dua laki-laki tampan yang mempunyai sejuta pesona itu keluar dari mobil yang berbeda secara bersamaan. Om dan keponakan yang mempunyai julukan pecinta wanita terlihat sangat memesona."Mari, Om!"Bara berjalan lebih dulu masuk ke dalam rumah itu. Gilang mengikutinya dari belakang sambil melihat ke sekeliling rumah itu."Rumahnya sederhana, tapi terlihat sangat nyaman.""Rumah ini dibeli Abang untuk Anisa karena dia adalah wanita yang dicintai Bang Gara.""Om sudah tahu tentang itu. Jangan diungkit lagi! Gara memang seorang kakak yang baik, kamu beruntung mempunyai saudara seperti dia.""Iya, Om. Bang Gara sangat baik, aku sangat menyesal telah mengkhianati saudara kembarku
Bara berjalan cepat menghampiri saudara kembarnya yang sedang bersama orang tuanya di ruang tamu.Laki-laki itu langsung memeluk Gara setelah menaruh kotak kayu di meja. "Maafkan aku, Bang. Aku sudah merebut Anisa darimu.""Sudahlah, aku sudah melupakannya." Gara menepuk-nepuk punggung adiknya.Bara melepas pelukannya, menatap Gara dengan berderai air mata. "Kamu yang terbaik, Bang.""Kenapa kamu jadi cengeng seperti ini? Untung saja aku sudah tidak bersama Anisa lagi. Kalau aku yang bersamanya mungkin aku menjadi laki-laki cengeng juga." Gara terkekeh sembari menyentil kening adiknya."Kebiasaanmu ini nggak pernah ilang," ucap Bara sembari mengusap keningnya. "Sakit tahu, Bang.""Ish ... kamu benar-benar cengeng," cibir Gara."Bang, kenapa Abang baru pulang. Katanya cuma dua minggu, tapi kenyataannya hampir dua bulan.""Kerjaanku tidak habis-habis," jawab Gara. "Harusnya kamu juga bantu aku di perusahaan.""Maaf, Bang.
Bara menunggu teman sang daddy dengan gelisah. 'Semoga saja Tuan Indra Gunawan bisa membantuku,' batinnya."Bara tenanglah! Aku yakin Anisa akan cepat ditemukan." Gara mengerti kegelisahan adiknya karena satu-satunya petunjuk hanyalah foto itu.Haidar berdiri saat tamunya datang diantar oleh pelayannya. Melihat sang daddy berdiri sambil tersenyum, Bara dan Gara menoleh ke belakang. Mereka berdiri, lalu tersenyum ramah kepada sang tamu."Selamat siang Tuan Indra." Haidar mengulurkan tangannya saat tamunya menghampiri."Selamat siang, Tuan dan Nyonya Haidar."Indra Gunawan juga menjabat tangan Bara dan Gara."Silakan duduk, Tuan!" ucap Andin dengan ramah. "Silakan berbincang-bincang! Saya permisi dulu."Andin pergi meninggalkan anak-anak dan suaminya supaya mereka bisa berbicara dengan leluasa."Tuan Haidar, apa benar yang anda katakan pada saat menelpon tadi?"Mendengar kabar tentang anak dan istrinya yang hilang, I
Bara melirik Gara dan juga sang daddy. Lalu, kembali menatap Tuan Indra Gunawan. “Ini sangat rumit Tuan. Nanti bisa Tuan tanyakan sendiri kepada Anisa.”“Tidak apa-apa, Nak, itu urusan pribadi kalian, saya tidak berhak mencampurinya,” jawab Tuan Indra sembari tersenyum. “Di mana saya bisa menemukan Anisa?”“Itulah yang saya ingin tanyakan kepada Tuan Indra. Apa Tuan tahu di mana kampung halaman orang tuanya. Saya yakin Anisa ada di sana.”“Saya tahu,” jawabnya. “Tapi, rumah itu sudah tidak berpenghuni, neneknya Anisa juga sudah lama meninggal. Informasi dari tetangganya, sudah bertahun-tahun istri saya tidak pernah pulang. Apa kamu yakin anak saya ada di sana? Mungkin dia berada di rumah temannya.”“Sebelumnya saya minta maaf, Tuan. Selama ini Anisa tidak mempunyai teman dekat karena ia malu dengan kondisinya. Hanya tempat itu satu-satunya yang bisa ia kunjungi," sahut Bara. "Se
Dengan sangat terpaksa, Haidar menceritakan semuanya kepada Indra Gunawan.Mendengar cerita dari Haidar, laki-laki tua itu sedikit meragukan kebenarannya. Ia melihat saudara kembar itu masih akur seperti tidak ada masalah di antara mereka."Maafkan saya, Tuan," ucap Bara dengan tulus. "Sungguh, saya nggak ada niat untuk menyakiti Anisa.""Tidak ada yang tahu kapan cinta itu datang. Saya tidak akan ikut campur urusan percintaan kalian. Saya serahkan semuanya kepada kalian dan Anisa."Ia tidak mau mengatur urusan percintaan anaknya. Bukan karena ia tidak peduli. Yang ada dalam pikirannya hanya bagaimana meyakinkan anaknya bahwa dialah ayah kandungnya.Laki-laki tua itu merasa tidak ada hak untuk ikut masuk ke dalam permasalahan anaknya. Ia hanya berdoa supaya masalahnya cepat selesai. Dan anaknya tidak merasakan sakit hati lagi."Maaf, Tuan. Rasa sayang saya terhadap Anisa berbeda dengan rasa sayang yang dirasakan Bara kepadanya. Hanya adik sa
Setelah menempuh perjalanan beberapa jam, akhirnya mereka sampai di sebuah desa.Ketiga laki-laki itu turun dari mobilnya masing-masing.Gara memejamkan matanya sambil menghirup udara segar di sore hari. "Udara di sini sangat sejuk," ucapnya.Bara berjalan mendekati saudara kembarnya. "Abang udah pernah ke sini?"Laki-laki yang memakai kemeja putih dan celana bahan berwarna abu muda itu menggelengkan kepalanya."Nisa benar-benar tertutup, dia tidak mau siapa pun tahu tempat ini. Dulu dia hanya bilang, ingin tinggal di kampung halaman orang tuanya, tapi tidak bilang di daerah mananya.""Desa ini tidak banyak berubah," gumam laki-laki tua yang berjalan menuju sebuah rumah sederhana, tapi terlihat sangat nyaman. Gara dan Bara pun mengikuti Tuan Indra Gunawan.“Selamat sore, Bu,” sapa laki-laki yang memakai setelan jas berwarna hitam kepada ibu-ibu yang sedang menyapu halaman rumah.Melihat tiga
Mendengar Bara kesakitan Anisa buru-buru membuka pintunya. Ia khawatir tangan laki-laki itu patah.“Makanya jangan paksa masuk!” ketus Anisa sambil membuka pintu dengan lebar.Bara malah tersenyum bahagia mendengar omelan dari kekasihnya. Ternyata wanita itu masih peduli kepadanya.Ia yakin dalam hati Anisa masih ada cinta untuknya. Hanya saja wanita cantik itu belum bisa menerima kenyataan kalau laki-laki yang selama ini ia puja bukanlah pahlawan di hatinya.Bara pun tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia langsung masuk ke dalam rumah kekasihnya, begitu pun dengan Gara dan Tuan Indra."Saya permisi, Tuan," pamit Bu Eni.Wanita yang mengantar mereka, kembali ke rumahnya. Ia memilih pergi, tidak mau ikut campur urusan keluarga Anisa. Melihat sikap Anisa yang kurang bersahabat, ia yakin kalau mereka hendak membicarakan hal yang serius."Bara kamu tidak apa-apa 'kan?" tanya Gara sembari mengambil semut di leher belakang ad
Anisa bangun dari duduknya, lalu menghampiri Bara. "Mas Gara kenapa?" Ia sangat panik melihat laki-laki yang ia cintai berteriak. "Mmm ... maksudku Mas Bara," ucapnya pelan."Maafkan kami yang sudah membuatmu berada di situasi sulit ini," ucap Gara sembari mengatupkan kedua tangannya."Kenapa Abang yang minta maaf? Yang salah itu aku, telah masuk ke dalam hubungan kalian.""Cinta tidak akan pernah salah hanya waktunya saja yang tidak tepat.""Maafkan aku, Bang.""Akulah awal dari permasalahan ini. Andai saja dulu aku lebih memerhatikan Nisa, meluangkan sedikit waktu untuknya, mungkin kamu tidak akan ada niat untuk menghilangkan rasa sepinya. Terima kasih kamu telah membahagiakannya selama ini." Gara menepuk bahu adiknya pelan."Sudahlah jangan diungkit lagi! Lupakan aku! Kita jalani hidup masing-masing, itu lebih baik untuk kita semua.""Sayang, apa kamu memaafkanku?" Mata Bara berbinar mendengar ucapan Anisa yang seolah-olah te