Dengan sangat terpaksa, Haidar menceritakan semuanya kepada Indra Gunawan.
Mendengar cerita dari Haidar, laki-laki tua itu sedikit meragukan kebenarannya. Ia melihat saudara kembar itu masih akur seperti tidak ada masalah di antara mereka.
"Maafkan saya, Tuan," ucap Bara dengan tulus. "Sungguh, saya nggak ada niat untuk menyakiti Anisa."
"Tidak ada yang tahu kapan cinta itu datang. Saya tidak akan ikut campur urusan percintaan kalian. Saya serahkan semuanya kepada kalian dan Anisa."
Ia tidak mau mengatur urusan percintaan anaknya. Bukan karena ia tidak peduli. Yang ada dalam pikirannya hanya bagaimana meyakinkan anaknya bahwa dialah ayah kandungnya.
Laki-laki tua itu merasa tidak ada hak untuk ikut masuk ke dalam permasalahan anaknya. Ia hanya berdoa supaya masalahnya cepat selesai. Dan anaknya tidak merasakan sakit hati lagi.
"Maaf, Tuan. Rasa sayang saya terhadap Anisa berbeda dengan rasa sayang yang dirasakan Bara kepadanya. Hanya adik sa
Setelah menempuh perjalanan beberapa jam, akhirnya mereka sampai di sebuah desa.Ketiga laki-laki itu turun dari mobilnya masing-masing.Gara memejamkan matanya sambil menghirup udara segar di sore hari. "Udara di sini sangat sejuk," ucapnya.Bara berjalan mendekati saudara kembarnya. "Abang udah pernah ke sini?"Laki-laki yang memakai kemeja putih dan celana bahan berwarna abu muda itu menggelengkan kepalanya."Nisa benar-benar tertutup, dia tidak mau siapa pun tahu tempat ini. Dulu dia hanya bilang, ingin tinggal di kampung halaman orang tuanya, tapi tidak bilang di daerah mananya.""Desa ini tidak banyak berubah," gumam laki-laki tua yang berjalan menuju sebuah rumah sederhana, tapi terlihat sangat nyaman. Gara dan Bara pun mengikuti Tuan Indra Gunawan.“Selamat sore, Bu,” sapa laki-laki yang memakai setelan jas berwarna hitam kepada ibu-ibu yang sedang menyapu halaman rumah.Melihat tiga
Mendengar Bara kesakitan Anisa buru-buru membuka pintunya. Ia khawatir tangan laki-laki itu patah.“Makanya jangan paksa masuk!” ketus Anisa sambil membuka pintu dengan lebar.Bara malah tersenyum bahagia mendengar omelan dari kekasihnya. Ternyata wanita itu masih peduli kepadanya.Ia yakin dalam hati Anisa masih ada cinta untuknya. Hanya saja wanita cantik itu belum bisa menerima kenyataan kalau laki-laki yang selama ini ia puja bukanlah pahlawan di hatinya.Bara pun tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia langsung masuk ke dalam rumah kekasihnya, begitu pun dengan Gara dan Tuan Indra."Saya permisi, Tuan," pamit Bu Eni.Wanita yang mengantar mereka, kembali ke rumahnya. Ia memilih pergi, tidak mau ikut campur urusan keluarga Anisa. Melihat sikap Anisa yang kurang bersahabat, ia yakin kalau mereka hendak membicarakan hal yang serius."Bara kamu tidak apa-apa 'kan?" tanya Gara sembari mengambil semut di leher belakang ad
Anisa bangun dari duduknya, lalu menghampiri Bara. "Mas Gara kenapa?" Ia sangat panik melihat laki-laki yang ia cintai berteriak. "Mmm ... maksudku Mas Bara," ucapnya pelan."Maafkan kami yang sudah membuatmu berada di situasi sulit ini," ucap Gara sembari mengatupkan kedua tangannya."Kenapa Abang yang minta maaf? Yang salah itu aku, telah masuk ke dalam hubungan kalian.""Cinta tidak akan pernah salah hanya waktunya saja yang tidak tepat.""Maafkan aku, Bang.""Akulah awal dari permasalahan ini. Andai saja dulu aku lebih memerhatikan Nisa, meluangkan sedikit waktu untuknya, mungkin kamu tidak akan ada niat untuk menghilangkan rasa sepinya. Terima kasih kamu telah membahagiakannya selama ini." Gara menepuk bahu adiknya pelan."Sudahlah jangan diungkit lagi! Lupakan aku! Kita jalani hidup masing-masing, itu lebih baik untuk kita semua.""Sayang, apa kamu memaafkanku?" Mata Bara berbinar mendengar ucapan Anisa yang seolah-olah te
Wanita cantik itu terus memerhatikan kekasihnya. Ia menjadi sangat khawatir dengan keadaan Bara.Tak terasa air mata pun menetes ketika melihat laki-laki itu terlihat sangat lemas. Walau ia membenci Bara, tapi tidak dipungkiri kalau dirinya juga sangat mencintai laki-laki itu.Wanita cantik itu buru-buru mengusap air matanya saat Bu Eni berjalan menuju rumahnya.Bu Eni mengetuk rumah Anisa. "Anisa, cepat keluar, Nak!"Dengan tangan gemetar, Anisa membuka pintu. "Ada apa, Bu?" Ia berpura-pura tidak tahu."Ibu mau mengantar orang kota itu ke puskesmas, kasihan dia, tubuhnya sangat lemah. Nanti tolong nyalakan lampu jika Ibu pulang lama.""Iya, Bu," jawab Anisa pelan.Pandangannya tertuju pada Bara yang sedang di bawa masuk ke dalam mobil. Laki-laki yang dicintai itu terlihat tidak berdaya saat Gara dan sopirnya membantunya masuk ke dalam mobil."Kamu kenal mereka kan, Nak? Nanti susul ke puskesmas ya! Kasihan mereka tidak t
Tanpa merespons ucapan Gara, Anisa bergegas masuk ke dalam untuk menemui Bara."Bu, saya ucapkan banyak terima kasih karena sudah membantu kami." Gara menunduk hormat kepada wanita yang telah menolongnya setelah Anisa masuk."Tidak apa-apa, Tuan, sudah sepantasnya kita saling membantu.""Saya mohon jangan panggil Tuan, panggil saja Gara!""Baik, Nak Gara," balas Bu Eni dengan ramah."Ibu mau pulang? Mari saya antar!""Biar sopir saya saja yang mengantar Ibu ... maaf namanya siapa, Bu?" tanya Tuan Indra yang baru bergabung dengan mereka."Nama saya Eni, Tuan.""Bara membutuhkan kamu, Nak. Kamu di sini saja, biar sopir saya yang mengantar Bu Eni pulang."Bu Eni merasa tidak enak telah merepotkan mereka. "Saya jalan kaki aja, Tuan.""Jangan, Bu! Biar sopir saya yang mengantar. Sekalian dia mau mencari makan, kebetulan kami belum makan sejak tadi siang," sahut Tuan Indra."Ya Tuhan." Bu Eni menutup
Anisa melepaskan genggaman tangannya."Nggak, Mas. Jika kita bersatu ada orang yang tersakiti. Kita sudah melakukan kesalahan besar telah menyakiti Mas Gara. Apa kamu tega menyakiti saudaramu sendiri?""Kamu yakin tidak melakukan kesalahan, menjauhkan anakmu dengan ayahnya? Apa kamu tega melakukan semua itu?"Anisa terdiam sesaat. Anaknya akan menjadi korban keegoisannya sendiri. Tapi, apakah ia bisa hidup tenang jika berada di antara dua laki-laki yang mencintainya bersamaan.Tiba-tiba Gara masuk ke dalam ruang perawatan adiknya. Sebenarnya pria itu sejak tadi tidak sengaja menguping pembicaraan mereka."Jika saya yang menjadi jurang pemisah di antara kalian. Saya akan pergi jauh dari kehidupan kalian.""Jangan, Bang!" seru Bara.Anisa memberanikan diri menatap Gara. "Maafkan aku, Mas.""Saya akan memaafkanmu, jika kamu dan Bara menikah.""Maaf, aku belum bisa memaafkan Mas Bara," ucap Anisa yang membuat Bara mera
Tuan Indra terdiam dalam beberapa detik, air matanya luluh begitu saja saat Anisa menyebutnya Ayah."Apa saya tidak salah dengar? Kamu memanggil saya Ayah?"Anisa mengangguk pelan. "Saya sudah tahu kalau anda Ayah saya, hanya saja hati ini belum bisa menerimanya, tapi saya akan belajar memanggilmu Ayah.""Saya tidak akan memaksa kamu untuk menerima Ayah sepenuhnya. Saya akan menuruti semua keinginanmu untuk menebus dosa-dosa Ayah padamu.""Saya hanya ingin anda merahasiakan keberadaan saya. Jangan mengumumkan status saya ke publik. Selain anda, keluarga anda tidak boleh tahu kalau saya ini anakmu."Saat orang tua Tuan Indra, datang mengancam dia dan ibunya, Anisa sudah besar dan sudah mengerti tentang permasalahan Ibu dan neneknya. Dari situlah ia sadar kalau keluarga sang ayah tidak menginginkannya.Walau masih bingung dengan permintaan sang anak, tapi laki-laki tua itu mengangguk setuju. Baginya diakui saja sudah sangat bersyukur.
"Ini sepenuhnya kesalahanku." "Kejahatan kalian tidak bisa dimaafkan, Mas. Andai saja nggak ada anak ini, aku nggak akan mau memaafkanmu, walau aku cinta sama kamu," ucap Anisa sembari mendelikkan matanya pada Bara. "Sayang, kamu boleh menyalahkanku, tapi jangan membenci Mas Gara. Dia Kakak terbaik yang aku punya. Ini semua kesalahanku, Mas Gara sama sekali nggak tahu." Bara meraih tangan Anisa, lalu menciumnya dengan mesra. "Kamu tambah cantik kalau lagi marah." "Gombal!" Anisa memalingkan wajahnya dari laki-laki yang sedang bersandar pada tempat tidurnya. "Aku nggak gombal, kamu memang sangat cantik. Aku sangat mencintaimu, kamulah satu-satunya wanita yang membuatku hampir gila karena tidak bisa jauh darimu. Kamulah bidadari surga yang Tuhan berikan untukku. Maafkan aku karena aku terlalu mencintaimu." Anisa menoleh pada laki-laki yang sedang tersenyum menggodanya. "Apa waktu kecil kamu kebanyakan makan gula? Kenapa ucapanmu begitu manis?"