Gara memegangi lehernya yang tidak sengaja tercekik oleh Bara, ketika sang adik melompat dan mengalungkan lengannya di leher sang kakak.
"Apa kamu ingin membunuh abangmu ini, hah?" Bentak Gara kepada adiknya.
Bara yang mempunyai salah pada saudara kembarnya itu selalu merasa tersinggung, walau Gara hanya bercanda.
"Maafkan aku, Bang," ucap Bara sambil menundukkan kepalanya. "Aku nggak bermaksud menyakitimu."
Gara berjalan mendekati Bara, lalu mengulurkan tangan kepada adiknya. Ia tertawa terbahak melihat wajah adiknya yang pucat akibat bentakkannya.
"Kenapa kamu seperti seorang perempuan." Gara masih mengulurkan tangannya di hadapan sang adik. "Kamu seperti orang hamil, sensitif sekali," ucapnya sembari terkekeh geli.
'Aku kira dia beneran, marah,' batin Bara sambil menatap abangnya yang terus tertawa.
Bara menerima uluran tangan Gara yang ia sebut manusia es. "Wajahmu nggak bisa diajak bercanda," kata Bara sambil mencebikkan bibir.
"Aku akan berangkat sekarang," jawab Gara sambil merapikan bajunya. "Kenapa mendadak?" Bara duduk di tepian tempat tidur sambil memandang saudara kembarnya yang sudah sangat rapi. Seperti biasa, penampilan Gara sangat rapi dengan rambut yang klimis. "Ini tidak mendadak. Asistenku sudah menyiapkan semuanya sejak semalam." "Kenapa Abang nggak bilang?" "Tadinya aku akan tetap pergi besok sesuai rencana awal, tapi pekerjaan di sana benar-benar menungguku." Gara berbalik menghadap adiknya yang sedang duduk di tepian tempat tidur. "Doakan aku, semoga kerjaanku lancar, dan cepat kembali ke rumah!" "Aku pasti mendoakanmu," sahut Bara, "Abang hati-hati di sana! Sukses terus, Bang." Bara bangun dan berdiri, lalu memeluk saudara kembarnya. Kemudian melepasnya. "Aku akan sangat merindukanmu." "Tapi, aku tidak," sahut Gara dengan serius. "Jangan bercanda!" Bara menonjok pelan lengan saudara kembarnya. Lag
"Bee, kalo dia anak setan, kita biangnya setan dong," sahut Haidar."Ini semua gara-gara kamu, bikin adonannya nggak bener, dapat anak kembar, tapi yang satu bantet.""Kok, aku yang disalahkan?Kamu juga 'kan ikut andil!" protes Haidar kepada istrinya."Kamu tuh ngaduknya kurang lama."Andin tidak mau kalah berdebat dengan suaminya yang selalu membela anaknya."Selamat berdebat, biangnya setan," kata Bara sambil terkekeh geli melihat kedua orang tuanya perang mulut.Sebelum sang bunda kembali memukulnya, Bara segera berlari menapaki tangga menuju kamarnya yang ada di lantai dua.Andin segera menyusul anaknya dengan langkah yang cepat. Ia sangat kesal dengan kelakuan anaknya."Bee, hati-hati!"Haidar pun menyusul istrinya, ia khawatir wanita yang sangat dicintainya itu terjatuh karena berjalan sangat cepat saat menapaki tangga.Dalam hitungan detik, Andin sudah berada di depan kamar sang anak.
"Bercanda, Mom." Bara menangkap irisan timun yang dilempar oleh sang mommy, lalu memakannya. "Nanti kalau dia libur kerja, aku ajak ke sini.""Bara, apa pun yang terjadi nanti jika kamu jujur tentang dirimu, kamu harus siap. Tapi, bukan berarti kamu lepas tanggung jawab kepada dia," kata Haidar, "Ingat pesan abangmu. Kamu tidak boleh menyakiti gadis itu!""Ok, Dad. Aku tidak akan menyakiti dia. Andaikan dia marah, aku akan terus berusaha meyakinkan Anisa kalau cintaku ori nggak kayak orangnya yang kw," ucapnya dengan serius."Ya pasti marah lah markonah," kesal Andin.Entah kenapa ia selalu gemas dengan kelakuan anaknya. Ada aja ucapannya yang membuat ia marah."Bara, Bun, Bara ... bukan Markonah! Aku laki-laki tulen buatan Tuhan bukan buatan manusia," jawab Bara sambil memasukkan irisan timun ke mulutnya, lalu mengunyahnya dengan kesal."Terus ... gimana caranya kamu ungkap semua ini?"Ia ingin tahu bagaimana caranya sang anak mengat
Uhuk uhuk uhukDengan sigap Bara meraih botol air minum, lalu memberikannya pada sang daddy setelah membuka tutupnya terlebih dulu.Haidar segera mengambil botol air mineral itu, lalu segera meneguknya sampai tersisa setengah.Wajah laki-laki yang sudah mempunyai dua anak terlihat memerah."Astaga, Bee, kamu mau bunuh aku?" tanya Haidar pada istrinya setelah ia sudah merasa lebih baik.Andin tidak menjawab pertanyaan suaminya, tapi ia malah balik bertanya. "Siapa yang lagi ngidam? Istri siapa yang hamil? Istrimu yang mana? Yang ke berapa?" cerocos Andin sambil memukuli suaminya."Pukul terus, Mom! Sampai Daddy ngaku." Bara malah memanas-manasi mommynya.Laki-laki yang berusia dua puluh lima tahun itu terkekeh melihat orang tuanya bertengkar."Bara! Bantuin Daddy! Kenapa kamu malah tertawa ngelihat kami berantem?" Haidar melempar irisan buah mangga ke wajah anaknya. "Pegangin Mommy kamu!" titahnya."Berani ikut campur, Mo
Pagi-pagi sekali, Bara sudah ada di depan rumah Anisa, tapi gadis itu tidak ada di rumah. Ia sedang pergi ke pasar, membeli bahan makanan untuk dimasak. Seperti biasanya sang kekasih akan datang, dan makan siang bersama.Namun, kali ini laki-laki playboy itu sudah berada di depan rumah kekasihnya, tepatnya kekasih abangnya yang sudah ia miliki, bahkan sudah ia tiduri sebelum menikah. Setelah menunggu lama, akhirnya gadis yang ditunggunya pulang.“Mas Bara, sudah menunggu lama?” tanya Anisa yang baru datang sambil membawa kantung belanjaan. “Tumben masih pagi udah ada di sini?” Anisa duduk di kursi yang ada di teras depan rumahnya berhadapan dengan sang kekasih. Ia menaruh belanjaan itu di bawah meja. “Ada apa, Mas?”“Aku mau ngajak kamu ke rumahku,”sahut Bara sembari tersenyum. Laki-laki tampan itu memegang tangan kekasihnya. “Apa kamu mau memaafkanku kalau aku berbuat kesalahan fatal?”“Ma
"Ayo kita mandi, abis itu kita ke rumahku." Bara membopong Anisa masuk ke dalam kamar mandi yang dekat dapur."Aku masih lemas, Mas," jawab wanita yang ada dalam gendongan Bara."Nanti aku mandikan." Bara mengecup bibir Anisa yang terbuka karena sedang mengatur napas yang masih tersengal-sengal."Nggak usah, Mas." Anisa turun dari gendongan kekasihnya.Wanita itu berjalan mendekati bak mandi, lalu segera menyiram tubuhnya yang lengket dengan peluh kenikmatan. Walau ia masih terasa sangat lelah setelah membuat adonan, tapi dengan cepat ia membersihkan seluruh badannya yang dijilati sang kekasih."Hahaha ... kamu takut bergairah lagi ya, akibat sentuhanku," tukas Bara sembari tertawa geli melihat sang kekasih yang mandi terburu-buru.Anisa tidak menyahuti ucapan kekasihnya karena apa yang diucapkannya memang benar. Ia segera meraih handuknya, lalu melilitkan pada tubuhnya. "Mas, aku duluan ya."Anisa segera keluar dari kamar
"Yuk!" Bara menarik tangan Anisa, hendak menuntunnya ke tempat tidur.Namun, Anisa menepis tangan kekasihnya. Lalu mengambil handuk yang tergeletak di lantai. Kemudian, melilitkan kembali pada tubuh polosnya."Kalau mau minta nambah, boleh aja, tapi ... setelah kita menikah," kata Anisa sembari terkekeh geli."Sekali lagi aja," bujuk Bara sembari melingkarkan tangannya pada tubuh sang kekasih."Boleh. Tapi, setelah itu aku nggak mau ke rumahmu, dan nggak mau menikah denganmu!" ancam Anisa."Ya udah iya, ayo cepat pakai bajumu! Kita ke rumahku sekarang supaya kita cepat menikah." Bara mengalah, lalu duduk di tepian tempat tidur, menatap sang kekasih yang sedang memakai pakaian sembari menelan air liurnya.Ia menurut saja pada gadis sederhana itu. Padahal Anisa tidak sungguh-sungguh mengatakannya. Mana mungkin ada seorang wanita yang sudah ditiduri kekasihnya tidak mau dinikahi, kecuali seorang wanita bayaran."Ayo, Mas!" Anisa me
“Kenapa?” “Namaku bukan Gara,” jawab laki-laki itu dengan serius tanpa menoleh pada gadis yang dicintainya. “Memangnya nama asli kamu siapa, Mas?” tanya Anisa sembari tersenyum. Ia pikir laki-laki itu sedang bercanda. Bara tidak menjawab pertanyaan kekasihnya. Ia pasrahkan semuanya kepada sang mommy. “Kita sudah sampai,” ucapnya. Anisa, dan Bara segera keluar mobil setelah kedua pengawal sang daddy membukakan pintu mobil untuk mereka. “Ini rumah Mas Gara?” Anisa mengedarkan pandangannya melihat rumah mewah kediaman keluarga Haidar. “Ini bukan rumahku, tapi rumah orang tuaku,” jawab Bara sembari menghampiri Anisa, lalu mengulurkan tangannya pada gadis manis itu. “Ayo!” ajaknya karena kekasihnya itu hanya berdiri saja tanpa mau menggerakkan kakinya. ‘Apa mereka mau menerimaku?’ batin Anisa. ‘Itu sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Siapa aku? Aku harus sadar diri. Ternyata aku salah memilih laki-laki pendamping.’ “Sayang,