"Kenapa mereka begitu lama membereskan para cecunguk itu?" Andin sudah gemas melihat para pengawalnya yang begitu lama menumbangkan musuh.
"Sepertinya mereka membawa pasukan yang lebih kuat, Nyonya," sahut pengawal yang masih tersisa satu orang di dalam mobil majikannya.
"Ini tidak bisa dibiarkan!" Andin hendak membuka pintu mobil, tapi sang suami melarangnya.
"Jangan keluar! Itu sangat berbahaya," cegah Haidar pada Andin. "Kamu tenang saja, para pengawal kita, orang-orang terpilih, mereka bukan orang sembarangan. Kita tunggu lima menit lagi," ucap Haidar sembari menatap tajam ke arah para pengawalnya yang sedang bertarung.
"Baiklah." Andin mengurungkan niatnya untuk membantu para pengawalnya.
'Sepertinya ada yang aku nggak tahu dari bidadari mesumku, Dia terlihat begitu santai, seolah-olah tahu kalau akan terjadi pertempuran.' Haidar berbicara dalam hatinya.
Benar saja, tidak sampai lima menit para pengawal tampan itu sudah berhasil membaba
"Aku juga minta maaf, bukan maksud untuk meremehkanmu, tapi aku nggak mau kamu kepikiran yang akan membuat penyakitmu kambuh lagi." Andin menatap manik mata berwarna coklat itu.Keadaan suaminya yang membuat ia bertindak sendiri tanpa campur tangan sang suami. Dengan para pengawal yang hebat, ia bisa mengatasi semuanya.Haidar mengerutkan dahinya, 'Maksudnya apa? Penyakitku?' Haidar bertanya-tanya dalam hatinya. "Bee, aku nggak sakit," jawab Haidar dengan tegas."Iya, aku percaya," sahut Andin sambil membelai wajah sang suami. "Orang sakit nggak mungkin 'kan mau makan piring," gumam Andin pelan sambil membenarkan posisi duduknya."Kamu ini ya, senang sekali meledekku." Haidar menggelitiki pinggang sang istri yang membuat wanita cantik itu tertawa terbahak-bahak."Ampun, Boo!" ucap Andin di sela tawanya."Nggak ada kata ampun," sahut Haidar yang terus saja menggelitik Andin. "Begini nih kalau istri jarang dihukum.""Ampun!" Saat Andin
"Jangan dihubungi lagi!" cegah Andin saat sang suami hendak menelpon kembali asistennya."Kenapa?" Kedua alis laki-laki itu bertaut, "Sekarang dia sudah mempunyai keluarga. Aku khawatir mereka mengincar kelemahan kami," ucap Haidar dengan pelan."Aku lupa," sahut Andin, "Cepat hubungi lagi!" titahnya yang mulai khawatir dengan keselamatan keluarga baru Baron.Haidar kembali menghubungi asistennya. Walau tidak ada jawaban, ia terus berusaha untuk kembali menghubunginya.Baron baru tersadar kalau ponselnya sejak tadi berdering terus. Ia menghentikan gerakannya, lalu meraih ponsel yang tergeletak di kasur empuk itu.Laki-laki yang sedang bercinta itu menerima panggilan tanpa menarik terlebih dahulu senjata keperkasaannya dari medan tempur."Halo, Tuan," sapa Baron ketika sambungan teleponnya terhubung."Ardi telah kembali. Kamu harus berhati-hati, lindungi keluargamu!" titah Haidar dengan serius."Baik, Tuan," jawab Baron.
Tari mengangguk pelan, ia malu kalau harus mengatakan ingin kembali melanjutkan pertempurannya.Baron mengelap daerah sensitif sang istri yang sudah basah dengan tisu. Kemudian ia membuka lebar-lebar kaki istrinya.Dibenamkannya wajahnya yang dipenuhi rambut halus di sekitar rahangnya yang membuat Tari tertawa geli saat brewok sang suami menggasak ladangnya yang gundul."Geli, Bang," ucap Tari sembari memegangi rambut suaminya, berusaha menjauhkan wajah brewok sang suami dari daerah sensitifnya yang gundul.Baron mendongakkan wajahnya menatap wajah sang istri yang sudah memerah. "Geli, tapi nikmat 'kan?" tanya Baron sembari tersenyum.Tari mengangguk pelan, ia tersipu malu. "Apa Abang nggak jijik?" tanya Tari dengan pelan yang dijawab dengan gelengan kepala oleh Baron."Ini sangat nikmat," jawab laki-laki yang mempunyai brewok tipis itu. Lalu, kembali ia menjilati lahan gundul itu yang membuat si empunya tidak bisa menahan mulutnya untuk tid
Baron menghentikan aksinya saat Tari sudah mencapai puncak kenikmatan. Ia menatap tubuh istrinya yang sudah banjir keringat. Pendingin ruangan di kamarnya tidak bisa mendinginkan gejolak kenikmatan di dalam tubuhnya.Laki-laki itu mengusap lahan gundul sang istri yang sudah sangat basah dengan telapak tangannya. Kemudian, Baron bangun dan segera memasukkan senjatanya yang sudah berdiri tegak, dan siap untuk bertempur.Di masukkannya perlahan ke dalam lubang kenikmatan itu yang membuat sang istri mendesah sambil menengadahkan wajahnya saat senjata tumpul itu masuk dengan sempurna.Keperkasaan sang suami yang begitu besar dan panjang terasa penuh di dalam lubang kenikmatannya.Walau ia sudah pernah melahirkan, tapi lubang kenikmatannya masih terasa kencang karena ia sering melatih otot panggulnya.Ia tidak mau mengecewakan suaminya yang tidak bisa menikmati keperawanannya akibat pergaulan bebas di waktu remaja.Baron menggerakkan pinggulnya ma
Setelah mencapai puncak kenikmatan, Baron terkapar di samping sang istri yang sedang mengatur napasnya."Sayang, terima kasih atas semua kenikmatan yang telah kamu berikan pada saya." Baron memiringkan tubuhnya menghadap sang istri. Menyingkirkan rambut yang menghalangi wajah cantiknya. "Apa kamu menikmatinya?"Pertanyaan konyol yang membuat Tari tersipu malu. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan."Aku sangat menyukainya," ucap Tari sedikit tidak jelas karena ia mengucapkannya sambil menutup rapat wajahnya yang memerah."Kamu bilang apa? Saya tidak mendengarnya." Baron tersenyum sambil menyingkirkan telapak tangan dari wajah sang istri. "Ucapkan sekali lagi!""Aku sangat menyukai permainanmu. Kamu benar-benar tangguh," ucap Tari sembari memejamkan matanya.Baron tersenyum senang mendengar ucapan sang istri. Tanpa ragu-ragu ia langsung melumat bibir ranum istrinya.Tari yang sedang memejamkan mata terkejut dengan serangan da
Tari mengangkat kepalanya. Ia duduk di atas tubuh sang suami sambil memasukkan senjata keramat yang begitu besar ke dalam lubang keramatnya."Aaa ...." Tari menengadahkan wajahnya saat senjata itu sudah menusuknya dengan sempurna. Terasa penuh di dalam sana.Ia menggerakkan pinggulnya naik turun dengan pelan karena masih terasa perih akibat permainan yang baru saja ia lakukan."Lebih cepat, Sayang!" titah suaminya yang bangun dan menyandarkan tubuhnya pada sandaran tempat tidur tanpa melepas sang istri dari penyatuannya.Tari mengikuti arahan sang suami, ia menggerakkan pinggulnya dengan cepat dengan gaya yang berbeda. Keduanya memejamkan mata mengeluarkan desahan-desahan manja.Baron memainkan puncak bukit sang istri yang sudah mengeras. Tari semakin kencang melakukannya saat Baron memilinnya dan sesekali menghisapnya sambil meremas benda kenyal itu."Baron ...." Tari semakin menggila menggerakkan pinggulnya.Baron meremas bemp
"Kenapa, Sayang?" Baron bangun dan terduduk, lalu menyingkirkan tangan istrinya yang menutupi lahan gundul itu."Abang mau ngapain? Malu tahu." Tari berusaha menutupnya kembali, tapi tenaga sang suami lebih besar, ia tidak bisa melawannya."Kenapa malu? Tadi 'kan udah saya obok-obok pakai lidah saya," ucap Baron sambil tertawa pelan.Laki-laki perkasa itu mendapat pukulan dari sang istri di bahunya. "Nggak usah diingetin, aku nggak hilang ingatan," ucapnya sembari memonyongkan bibir yang membuat laki-laki itu tidak bisa menahan tawanya karena gemas dengan sang istri.Baron melihat lahan gundul sang istri yang memerah dan terlihat sangat besar di bagian bibir yang memanjang ke bawah itu.'Kenapa bisa seperti ini? Apa saat melakukannya dia juga kesakitan? Tapi saya lihat dia begitu menikmatinya,' Baron bertanya-tanya dalam hatinya sambil memandang lahan garapannya yang membengkak.'Dia mau ngapain? Apa dia mau melakukannya lagi? Ini aja
Baron mendekat, lalu membopong sang istri dan membawanya ke kamar mandi."Bang, turunkan aku di situ, aku pengin pipis dulu," pinta Tari sambil menunjuk kloset duduk.Baron pun menurunkan sang istri di sana dan tidak meninggalkan wanita cantik itu, ia terus menggengam jemari lentik istrinya."Abang ke sana aja! Aku malu," usir Tari dengan pelan."Jangan malu! Ayo silakan kalau mau buang air kecil!"Baron tetap bersikeras tidak mau pergi dan terus menggenggam jemari sang istri karena takut istrinya terjatuh.'Ya elah nih laki, perhatian sih perhatian, masa mau pipis aja ditungguin, mana bisa keluar,' gerutu Tari dalam hatinya.Ia pun terpaksa mengizinkan sang suami untuk tetap menemaninya buang air kecil. "Abang ... perih ...," ucap Tari sambil meringis.Tari meremas dengan erat jemari sang suami saat membuang air kecilnya."Sayang." Baron berjongkok di depan sang istri yang sedang meringis, "Kamu kenapa?"Laki-lak
Terima kasih untuk kakak-kakak cantik dan kakak-kakak ganteng yang sudah mendukung novel saya ini. Tak terasa ternyata Haidar sudah menemani kalian selama setahun. Ceritanya memang belum selesai, masih ada kelanjutannya. Bagaimana kehidupan rumah tangga Gara dan Jennie setelah mamanya tahu, dan apakah mereka bisa mempertahankan pernikahannya di saat orang-orang yang membencinya berusaha untuk memisahkan mereka. Kisah si CEO bucin akan dilanjut di buku baru ya, khusus Gara dan Jennie. Novel ini sudah terlalu panjang, takut kalian mual lihat bab yang udah ratusan, hehehe .... Pemenang GA akan diumumkan di sosmed saya, i*, efbe, w*, kalau barangnya sudah datang, wkwwkk. Silakan follow i* @nyi.ratu_gesrek, atau bisa gabung di grup w*. Penilaian akan berlangsung sampai barang datang. Terima kasih banyak kakak-kakak sekalian. Mohon maaf jika cerita saya kurang memuaskan dan membuat kakak-kakak sekalian jengkel. Saya akan terus berusaha m
“Dia istri saya, kamu telah menghin orang yang saya cintai.”Jennie menatap suaminya sambil tersenyum. Ia senang mendengar Gara mengakui perasaannya di depan orang lain.“Maafkan saya, Tuan. Saya tidak tahu kalau Jennie … maksudnya saya tidak tahu kalau Nona Jennie istri anda.”Sekretaris cantik terus memohon minta ampun sambil berlinang air mata, namun Gara sudah terlanjur sakit hati.“Kalau dia bukan istri saya, apa kamu berhak menghina sesama kaummu seperti itu?”“Maafkan saya, Tuan, tolong jangan pecat saya!”“Saya tidak mau mempekerjakan orang-orang berhati busuk sepertimu.”“Sayang, berilah dia kesempatan sekali lagi, mungkin kalau aku ada di posisi dia, aku akan lebih parah dari itu.”Jennie merasa bersalah kepada sekretaris suaminya karena dirinyalah, wanita itu dipecat.“Saya tahu. Tapi, saya tidak suka melihat orang yang telah
“Hati-hati, Bos!”“Saya sudah jatuh, Biggie!" kesal Gara.“Ya udah ayo bangun!” Jennie membantu Gara yang tersungkur karena terkejut melihatnya masih bekerja sebagai office girl di kantornya sendiri.“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Gara setelah bangun dan berdiri.“Aku kan masih kerja di sini, Bos,” jawab Jennie sambil tersenyum.“Tidak perlu kerja lagi, kamu tunggu saya pulang kerja saja di rumah!”“Aku bosan di rumah terus.”“Kamu bisa jalan-jalan atau belanja bersama Anisa atau Mommy. Kamu cari kegiatan lain, tapi jangan bekerja di sini!”“Kenapa? Kamu malu kalau sampai orang lain tahu kalau istri dari CEO Mannaf Group ternyata hanya seorang office girl?”“Bukan itu maksudnya. Saya hanya tidak ingin kamu kerja lagi. Kamu istirahat saja ya, biar saya yang mencari uang untuk kamu.”“Kontr
"Bukan apa-apa," jawab Jennie sambil berjalan keluar dari kamar."Biggie, saya yakin ada yang kamu sembunyikan.""Nggak ada. Besok kamu udah mulai kerja lagi, pasti pulangnya malam dan capek 'kan? Mana mungkin kita bisa bercanda seperti tadi lagi.""Saya akan meluangkan banyak waktu untukmu. Kamu tenang saja, kali ini saya tidak akan pulang malam."Jennie menghentikan langkah kakinya, lalu berbalik menghadap Gara."Jangan kayak gitu. Lakukanlah kegiatanmu seperti sebelumnya. Aku nggak mau menjadi pengganggumu, lagian kita 'kan bisa menghabiskan waktu seharian di akhir pekan."Gara tersenyum menanggapi ucapan istrinya. "Saya bersyukur mempunyai istri sepertimu."Pria yang memakai kaus berwarna putih dengan dipadukan celana panjang berwarna krem menggenggam tangan istrinya, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang makan.Mereka makan sambil suap-suapan yang membuat seisi rumah itu berbahagia melihat Tuan dan nona mudanya be
Jennie juga melakukan hal yang sama seperti suaminya. “Aku juga mencintaimu.”Kedua pasangan pengantin baru itu sedang berbahagia. Mereka menghabiskan waktu di dalam kamar dengan bermain kertas gunting batu. Yang kalah akan menuruti perintah yang menang.“Kamu kalah suamiku,” kata Jennie sambil tertawa.“Apa yang harus saya lakukan?”“Buatkan aku jus jeruk!” titah Jennie.“Baiklah, saya akan melakuknanya.”“Tapi haus kamu yang membutanya, jangan menyuruh Bibi.”“Iya ….” Gara turun dari tempat tidur, lalu pergi ke dapur untuk membuatkan minuman sang istri.“Kapan lagi memerintah CEO,” kata Jennie sambil tertawa setelah suaminya keluar dari kamar. “Belum tentu aku bisa bersamanya terus,” lanjutnya dengan pelan. “Aku takut Mama tahu pernikahan ini?”Beberapa menit kemudian sang suami masuk den
Gara bangun dan berdiri. "Saya mau pakai baju dulu."Laki-laki tampan itu buru-buru masuk ke dalam kamar mandi.Jennie bangun dan terduduk sambil memerhatikan suaminya. "Katanya mau pakai baju, tapi kenapa malah masuk lagi ke dalam kamar mandi?" gumamnya."Kenapa adik saya bangun hanya karena saya menindihnya?" gumam Gara saat berada di bawah pancuran air. Berharap sang adik tenang dan kembali tertidur. "Kalau Biggie tahu, ini sangat memalukan."Setelah beberapa menit Gara keluar dari kamar mandi dan langsung pergi ke ruang ganti. Laki-laki itu menghampiri istrinya setelah berpakaian."Lehermu tidak apa-apa 'kan?" Gara duduk di samping istrinya . "Maafkan saya ya!"Jennie memiringkan duduknya menghadap sang suami. "Gara, apa kamu sadar saat tadi kamu bilang kalau kamu mencintai saya?"Bukannya menjawab laki-laki tampan itu malah menyentil kening istrinya dengan keras."Sakit, Garangan!" Jennie mengusap-usap keningnya samb
"Apa kamu mencoba menukar keperawananku dengan motor ini?"“Kamu itu istri saya, kenapa kamu berbicara seperti itu kepada suamimu?”Gara tersinggung dengan ucapan istrinya karena dia menyiapkan motor itu setelah resmi menjadi suami Jennie.Ia hanya ingin memfasilitasi istrinya supaya wanita yang telah sah menjadi pendamping hidupnya itu bisa aman berkendara dengan motor barunya karena motor lamanya sudah tidak layak pakai."Bukannya kamu bilang nggak mau melakukannya kalau aku belum siap? Kalau ngomong tuh jangan asal keluar terus dilupain, kayak kentut aja.”Gara menatap istrinya dengan tatapan tajam, lalu pergi meninggalkan wanita itu. Ia kembali ke kamar dan langsung berendam air hangat untuk melemaskan otot-ototnya.“Kenapa saya selalu lupa dengan apa yang saya ucapkan padanya. Saya pasti terlihat seperti laki-laki bodoh yang plin plan,” ucapnya sambil menengadahkan kepalanya dengan tangan bersandar pa
"Bukannya kamu rindu dengan keluargamu," sahut Gara sambil berjalan menghampiri istrinya."Mereka ada di mana?" tanya Jennie tanpa mengalihkan pandangannya pada layar ponsel. Ia tersenyum bahagia saat melihat adik satu-satunya."Di rumah keluarga barunya. Ibu kamu sudah menikah lagi dan mereka hidup bahagia bersama adikmu.""Kenapa Mama nggak bilang sama aku kalau mau menikah? Kenapa Mama melupakanku?"Gara mencengkram dagu istrinya dengan lembut. "Hey, Cantik! Apa kamu memberitahu ibumu kalau kamu sudah menikah dengan saya?""Benar juga," sahutnya. "Tapi, aku punya alasan sendiri kenapa nggak bilang sama Mama." Jennie menepis tangan suaminya."Ibu kamu juga punya alasan sendiri.""Kamu tahu dari mana?""Jangan lupakan siapa suamimu ini?""Maaf, aku lupa soal itu," jawabnya sambil melirik dengan sinis suaminya."Jangan bersedih!" Gara membelai lembut rambut sang istri yang tergerai indah."Kenapa dia
“Ya saya ingin merekam suara kamu,” jawab Gara pelan sambil tersenyum.“Sejak tadi kamu udah denger ‘kan, apa yang aku katakan?” tukas Jennie yang dijawab dengan anggukkan kepala oleh suaminya. “Kamu memang menyebalkan Gara.”Jennie menggelengkan kepala sambil menggeser duduknya membelakangi sang suami. “Kena kutukan apa aku ini? Bisa-bisanya jatuh cinta kepada laki-laki seperti dia. Laki-laki narsis, dingin, angkuh, dan sangat menyebalkan."“Salah saya apa? Saya hanya ingin merekam suara kamu, itu aja. Saya ingin menyimpannya sebagai pengingat kalau saya sedang merindukanmu.”Jennie menoleh pada suaminya, lalu berkata, “Salah kamu apa? Astaga, ini CEO punya otak apa nggak sih? Tensi darahku bisa naik ini." Jennie menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. "Aku harus tetap menjaga kewarasanku," ucapnya sambil mengipasi wajah menggunakan telapak tangan."Biggie, saya ha