“Ini punyaku,” ucap Tari sembari menundukkan kepalanya. “Aku sudah mencarinya ke mana-mana, padahal waktu itu di meja kerjaku nggak ada kertas ini.”
“Kertas itu milikmu?” tanya Baron dengan lembut yang dibalas dengan anggukkan kepala oleh istrinya. Laki-laki itu bangun dan berdiri, lalu mengacak-acak rambut sang istri. “Simpan baik-baik!”
Ketika ia hendak melangkahkan kakinya, Tari menarik tangan laki-laki tampan itu. “Abang duduk dulu di sini!” pinta Tari kepada suaminya.
Baron pun kembali duduk di hadapan istrinya. “Ada apa? Saya tidak akan marah kalau itu dari seseorang yang mengagumimu sebelum kita menikah. Tapi, untuk sekarang dan seterusnya, kamu tidak boleh menanggapi laki-laki mana pun yang menyukaimu!”
Baron membelai lembut pipi sang istri. “Sekarang dan seterusnya kamu Ratu di hati saya.”
Ucapan sang suami membuat pipi wanita cantik itu merona. Ia tidak me
Dengan malu-malu, Tari menganggukkan kepalanya. “Maaf, kalau kata-katanya kurang berkenan di hati Abang,” ucapnya dengan pelan.Baron tertawa pelan sembari kembali membaca ulang kata-kata puitis itu. “Apa kamu seorang penyair?” tanya laki-laki itu sembari tersenyum. “Kata-kata ini begitu manis,” ucapnya sembari memandang tulisan di kertas berwarna merah muda itu.“Aku … menyontek dari situs di ponselku,” jawab Tari pelan, “Tapi, tulisan itu benar-benar mewakili isi hatiku. Bukan hanya sekedar menyalin aja. Aku beneran nggak bohong,” ucap Tari meyakinkan suaminya yang menatapnya begitu lekat.Baron menarik Tari ke dalam pelukannya. “Saya percaya sepenuhnya kepada bidadari surga yang cantik ini,” ucapnya sambil membelai lembut rambut panjang istrinya.‘Bukan meleleh lagi ini mah, tapi udah mencair,’ ucap Tari dalam hatinya sembari mengeratkan pelukan pada tubuh tegap
“Bee, coba kamu ke sini sebentar!” suruh Haidar kepada istrinya yang sedang berdiri sambil menimang-nimang bayi Bara dekat ranjang bayi. “Sepertinya anakmu mengeluarkan sesuatu yang begitu memabukkan.” Haidar tertawa sembari memencet hidungnya.Andin tertawa pelan sekali karena khawatir bayi yang ada dalam gendongannya kembali terbangun. “Giliran kayak gini aja bilangnya anakmu,” kata Andin sembari menaruh bayi mungil itu di dalam ranjangnya. Namun, baru saja menempel pada bantalnya ia sudah terbangun dan menangis.“Maaf, Boo, aku nggak bisa.” Andin kembali mengangkat Bara, dan mendekapnya sambil menimang-nimang bayi mungil itu. “Sepertinya kamu harus belajar membersihkannya sendiri.”“Aku?” Haidar menunjuk wajahnya sendiri dengan jari telunjuk.Haidar tidak bisa membayangkan kalau dirinya harus mengganti popok dan membersihkan kotoran anaknya. Ia tidak pernah tahu bagaimana car
Andin segera menghampiri suaminya. Ia berjongkok di depan laki-laki yang sedang duduk sambil selonjoran, bersandar pada tiang pintu kamar mandi. “Kamu kenapa?” Andin meraba wajah Haidar yang terlihat pucat.“Aku lemas, kepalaku pusing,” ucap Haidar dengan sangat pelan.Tubuhnya terasa gemetaran setelah mengeluarkan semua isi perutnya. Kejadian ini benar-benar menyadarkan dirinya betapa tangguhnya seorang Ibu. Sudah mengandung anaknya selama kurang lebih sembilan bulan ditambah lagi mengurus bayi yang dilahirkannya. ‘Kamu dan Mami adalah wanita terhebat dalam hidupku,’ batin Haidar.“Kamu bisa bangun?” tanya Andin pada laki-laki yang terduduk di lantai. “Ayo aku bantu berdiri.” Andin bangun, lalu membantu suaminya untuk bangun dari duduknya. Ia memapah sang suami ke tempat tidur.“Apa sakitmu kayak kemarin?” Andin mulai khawatir kalau sang suami kembali sakit setelah melakukan olahraga
“Ayah!” Merry masuk ke dalam kamar sembari berteriak memanggil Ayah barunya. “Aku kangen,” ucapnya sembari memeluk laki-laki yang memakai kaus berwarna putih itu.Merry, Nenek dan kakeknya baru pulang tadi siang saat sang ayah sudah pergi bekerja. Sementara orang tuanya sudah pulang lebih dulu, padahal liburannya masih satu minggu lagi. Namun, Baron tidak mau berlama-lama meninggalkan tuannya.Apalagi selama seminggu ia tidak mendengar suara sang tuan yang membuat ia masih khawatir dengan kesehatan atasannya, walaupun sang nyonya sudah memberitahukan keadaan sang CEO.“Bagaimana liburannya? Apa kamu senang?” tanya sang ayah kepada putrinya“Aku sangat senang Ayah,” jawab Merry dengan senyum yang lebar. “Udah lama aku baru liburan lagi, tapi sayangnya nggak ada Ibu sama Ayah.”Merry sedikit kecewa karena tidak bisa bersenang-senang bersama orang tuanya.“Nanti kita liburan bers
"Maksud Abang, Ayah dan Ibu?" tanya Tari yang belum juga mengerti, "Mereka juga pulang dari semalam, tapi pada menginap dulu di rumah Nyonya Inggit, jadi Merry, Ayah, dan Ibu baru siang tadi pulang ke rumah.""Mereka bukan tamu, tapi keluarga kita," balas Baron sembari bangun dan berdiri. "Saya mau ke luar sebentar.""Abang mau ke mana?" tanya Tari sembari meraih tangan sang suami, lalu menciumnya dengan mesra."Saya mau ke rumah Tuan Haidar," jawabnya.Laki-laki itu melangkahkan kakinya keluar dari kamar dengan raut wajah kecewa. 'Apa dia tidak mengerti juga apa yang saya maksud tadi?' Baron bertanya-tanya dalam hatinya sembari terus melangkah."Abang makan malam di rumah 'kan?" tanya Tari sedikit berteriak karena sang suami sudah berada di ambang pintu.Baron membalikkan badan menghadap sang istri. "Iya," jawab Baron, "Saya akan makan malam di rumah. Kamu masak yang enak ya!" ucapnya sembari tersenyum.Ia tidak mau terlihat ke
Baron mengayunkan langkahnya menuju kamar sang tuan. Ia mengetuk pintu terlebih dulu,tapi tidak ada sahutan dari dalam. Namun, laki-laki itu tetap masuk karena sudah mendapat izin dari sang nyonya.Ia melangkah masuk dengan hati-hati karena melihat sang tuan sedang tertidur. 'Apa Tuan masih sakit? Wajahnya terlihat pucat." Baron bertanya-tanya dalam hatinya sembari berdiri di samping tempat tidur tuannya.Ia menaruh nampan itu di atas nakas dengan sangat hati-hati supaya sang tuan tidak terbangun.Namun, Haidar tetap terbangun, ia membuka matanya perlahan, menyipitkan mata untuk memperjelas penglihatannya."Ada apa kamu ke sini?" tanya Haidar pada sang asisten.Ia yakin kalau orang kepercayaannya itu sudah tahu kalau dirinya sakit ketika Baron bulan madu."Bagaimana keadaan, Tuan?" tanya Baron yang terlihat khawatir dengan kesehatan tuannya. "Tuan istirahat saja dulu di rumah, urusan kantor serahkan pada saya.""Saya baik-baik s
"Maksud Nyonya baik. Beliau ingin Tuan lebih segar setelah minum teh manis ini," kata Baron seolah tahu apa yang dipikirkan tuannya tentang sang nyonya.Haidar langsung menoleh kepada sang asisten. "Apa kamu tahu isi hati saya?" tanya Haidar kepada orang yang sudah dua puluh tahun lebih menemaninya."Tuan adalah belahan jiwa saya. Jadi, saya pasti tahu semuanya," ucapnya sembari terkekeh."Cih!" Haidar mendelikkan matanya kepada sang asisten. "Jangan dekat-dekat! Saya masih normal." Haidar beringsut sembari menarik selimutnya. Memalingkan wajahnya dari sang asisten.Baron tertawa terbahak melihat reaksi tuannya. Sudah lama sekali mereka tidak berbicara santai seperti ini. Dulu sebelum Haidar menikah, mereka selalu berbincang santai kalau berada di rumah. Tapi, sejak tuannya menikah, Baron menjaga jarak."Saya juga normal, Tuan," jawab Baron, "Tapi, Tuan dan keluarga Mannaf tetap menjadi prioritas utama saya," ucapnya dengan serius.Haidar ke
Ucapan sang dokter terhenti saat sebuah bantal melayang mengenai kepalanya. Haidar melempar bantal itu tepat ke arah kepala sang sahabat.Dokter Riko kembali melempar bantal itu kepada Haidar. "Baru kali ini saya mendapatkan pasien songong kayak dia."Haidar menangkap bantal itu sembari tertawa. "Baru kali ini saya mendapatkan Dokter songong kayak kamu," balas Haidar.Baron tertawa mendengar ucapan sang dokter. Ia merasa senang berada di sekeliling orang-orang baik. Walaupun ia bukan berasal dari keluarga ningrat, tapi Tuan Haidar dan Dokter Riko tidak pernah menyinggung asal-usulnya."CLBK itu apa, Dok?" tanya Baron dengan serius."Kamu benar-benar nggak tahu?" tanya Dokter Riko pada asisten sahabatnya yang dijawab dengan gelengan kepala oleh laki-laki itu. "Kelamaan gaul sama dia sih! Jadi kamu tuh kurang update," kata Dokter Riko sembari menunjuk Haidar."Dokter, jangan membuat saya mati penasaran," kata Baron karena pertanyaannya belum d