Baron mengayunkan langkahnya menuju kamar sang tuan. Ia mengetuk pintu terlebih dulu,tapi tidak ada sahutan dari dalam. Namun, laki-laki itu tetap masuk karena sudah mendapat izin dari sang nyonya.
Ia melangkah masuk dengan hati-hati karena melihat sang tuan sedang tertidur. 'Apa Tuan masih sakit? Wajahnya terlihat pucat." Baron bertanya-tanya dalam hatinya sembari berdiri di samping tempat tidur tuannya.
Ia menaruh nampan itu di atas nakas dengan sangat hati-hati supaya sang tuan tidak terbangun.
Namun, Haidar tetap terbangun, ia membuka matanya perlahan, menyipitkan mata untuk memperjelas penglihatannya.
"Ada apa kamu ke sini?" tanya Haidar pada sang asisten.
Ia yakin kalau orang kepercayaannya itu sudah tahu kalau dirinya sakit ketika Baron bulan madu.
"Bagaimana keadaan, Tuan?" tanya Baron yang terlihat khawatir dengan kesehatan tuannya. "Tuan istirahat saja dulu di rumah, urusan kantor serahkan pada saya."
"Saya baik-baik s
"Maksud Nyonya baik. Beliau ingin Tuan lebih segar setelah minum teh manis ini," kata Baron seolah tahu apa yang dipikirkan tuannya tentang sang nyonya.Haidar langsung menoleh kepada sang asisten. "Apa kamu tahu isi hati saya?" tanya Haidar kepada orang yang sudah dua puluh tahun lebih menemaninya."Tuan adalah belahan jiwa saya. Jadi, saya pasti tahu semuanya," ucapnya sembari terkekeh."Cih!" Haidar mendelikkan matanya kepada sang asisten. "Jangan dekat-dekat! Saya masih normal." Haidar beringsut sembari menarik selimutnya. Memalingkan wajahnya dari sang asisten.Baron tertawa terbahak melihat reaksi tuannya. Sudah lama sekali mereka tidak berbicara santai seperti ini. Dulu sebelum Haidar menikah, mereka selalu berbincang santai kalau berada di rumah. Tapi, sejak tuannya menikah, Baron menjaga jarak."Saya juga normal, Tuan," jawab Baron, "Tapi, Tuan dan keluarga Mannaf tetap menjadi prioritas utama saya," ucapnya dengan serius.Haidar ke
Ucapan sang dokter terhenti saat sebuah bantal melayang mengenai kepalanya. Haidar melempar bantal itu tepat ke arah kepala sang sahabat.Dokter Riko kembali melempar bantal itu kepada Haidar. "Baru kali ini saya mendapatkan pasien songong kayak dia."Haidar menangkap bantal itu sembari tertawa. "Baru kali ini saya mendapatkan Dokter songong kayak kamu," balas Haidar.Baron tertawa mendengar ucapan sang dokter. Ia merasa senang berada di sekeliling orang-orang baik. Walaupun ia bukan berasal dari keluarga ningrat, tapi Tuan Haidar dan Dokter Riko tidak pernah menyinggung asal-usulnya."CLBK itu apa, Dok?" tanya Baron dengan serius."Kamu benar-benar nggak tahu?" tanya Dokter Riko pada asisten sahabatnya yang dijawab dengan gelengan kepala oleh laki-laki itu. "Kelamaan gaul sama dia sih! Jadi kamu tuh kurang update," kata Dokter Riko sembari menunjuk Haidar."Dokter, jangan membuat saya mati penasaran," kata Baron karena pertanyaannya belum d
"Kenapa ada Dokter Riko?" gumam Andin saat hendak masuk ke dalam kamarnya ada Dokter keluarga Mannaf.Andin berjalan sedikit tergesa memasuki ruangan itu. "Suami aku kenapa, Dok? Kok Dokter bisa ada di sini?" tanya Andin yang sudah sangat khawatir. Ia yakin dugaannya selama ini benar."Aku cuma mengantar vitamin aja, kebetulan lewat sini, jadi mampir," ucap sang dokter sembari tersenyum.'Kenapa harus dia yang mengantar? Padahal dia bisa aja nyuruh Baron untuk mengambilnya,' ucap Andin dalam hati. "Suamiku baik-baik aja 'kan?" tanya Andin lagi. Ia masih curiga dengan kedatangan Dokter Riko yang tiba-tiba."Dia baik-baik aja. Cuma penyakit manjanya kumat lagi," jawab Dokter Riko sembari terkekeh, "Aku pulang dulu ya," pamit sang dokter."Mari Dok saya antar!" Andin mengantar Dokter Riko ke depan, ada yang ingin dia tanyakan, tapi wanita itu tidak mau sang suami mendengarnya."Cepat beli vitaminnya, nanti istri saya curiga kalau sampai dia tah
"Kamu jangan ngomong kayak gitu! Kita akan merawat anak-anak berdua sampai tua nanti," kata Andin tanpa melepas pelukannya."Terus kenapa kamu bicara seolah-olah aku akan segera mati?" Haidar melepas pelukan istrinya. Lalu, menatap wajah sang istri yang sedang menitikkan air mata. "Kenapa kamu menangis?" Haidar menyeka air mata yang menggenang di pelupuk mata sang istri."Aku sedih kamu sakit-sakitan terus. Kamu jadi jarang hukum aku," jawab Andin sembari memonyongkan bibirnya. Ia terpaksa berbohong pada sang suami. Padahal dalam hatinya ia begitu khawatir dengan kesehatan suaminya.'Aku pikir Riko udah bilang macam-macam,' ucap Haidar dalam hatinya."Kamu sehat 'kan, Boo?" Andin menatap lekat wajah sang suami."Aku sehat," jawab Haidar, "Setelah minum teh manis, sekarang jadi lebih segar. Tapi, aku lapar sekali, Bee." Haidar merengek sembari mengusap-usap perutnya."Ya ampun aku lupa, semua isi perutmu 'kan sudah keluar semua ya," Andin ter
"Kamu makan dulu ya!" Andin mengambil nampan berisi makanan untuk Haidar di atas nakas."Biar aku makan sendiri, Bee." Haidar mengulurkan tangannya meminta nampan itu. "Kamu susui anak-anak dulu sana!""Nanti setelah menyuapi kamu, aku akan menyusui anak-anak," jawab Andin yang tetap ingin menyuapi suaminya."Aku bukan orang sakit, aku sehat!" kata Haidar dengan tegas, "Jadi, biarkan aku makan sendiri!"Haidar terpaksa berbicara sedikit kasar supaya sang istri tidak menelantarkan anak-anak demi dirinya."Baiklah." Andin menaruh nampan itu di pangkuan sang suami. "Aku lihat anak-anak dulu ya.""Iya," jawab Haidar sembari tersenyum."Habiskan makanannya! Awas kalau nggak dihabiskan, aku tinggalin kamu!" ancam Andin yang membuat Haidar langsung menyuapkan satu sendok nasi ke dalam mulutnya.Andin bangun dari duduknya, melangkah pergi meninggalkan sang suami yang sedang makan."Bagus lah kamu datang," kata Andin saat berpapa
"Apa itu enak, Tuan?" tanya Baron ketika Haidar memakan buah jeruk bali."Kamu belum pernah makan buah ini?" tanya Haidar yang langsung berhenti mengunyah.Baron menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Saya belum pernah makan buah jeruk bali," jawab Baron.Baron sama sekali belum pernah makan buah jeruk yang besar itu, tapi melihat tampilan buah itu ia juga tergoda untuk mencicipinya. 'Kalau pulang saya akan beli yang banyak buat orang di rumah,' ucapnya dalam hati."Kenapa kamu nggak tanya-tanya dulu. Ini juga pertama kalinya saya makan jeruk bali. Kalau buah ini beracun bagaimana?" tanya Haidar yang kesal dengan sang asisten."Tidak mungkin, Tuan," sahut Baron, "Waktu saya beli, ada ibu-ibu yang makan buah ini juga. Itu artinya ini aman.""Kamu juga harus makan, kalau saya mati, kamu juga mati," ujar Haidar yang kembali melanjutkan mengunyah buah jeruk itu."Baik, Tuan," jawab Baron.Laki-laki tampan yang sejak tad
"Apa kamu mau jadi kuda lumping, piring juga mau dimakan," kata Andin sembari mengambil nampan bekas suaminya makan yang membuat sang asisten tidak bisa menahan tawanya. Andin langsung menoleh pada laki-laki yang sedang tertawa itu.Baron langsung membungkam mulutnya. "Maafkan saya, Nyonya," ucapnya sambil menundukkan kepala.Haidar menahan tawanya melihat ekspresi wajah Baron saat keceplosan menertawakannya. 'Si tua itu lebih takut pada istriku dari pada sama aku,' batin Haidar."Baron, sebaiknya kamu pulang! Mbak Tari pasti udah nungguin kamu, sebentar lagi waktu makan malam!" titah Andin pada asisten sang suami. "Kamu tidak usah khawatir! Suamiku baik-baik aja. Hanya saja sekarang aku harus berhati-hati padanya, jangan sampai piring di rumah habis dimakannya."Ia berharap rumah tangga Baron dan Tari tidak seperti awal pernikahannya dengan Haidar. Walaupun mereka sama-sama dijodohkan, tapi Tari sudah cukup dewasa untuk menghargai sebuah ikatan pernikaha
"Kamu habis makan apa, Bang?" tanya Tari pada sang suami.Baron langsung melepas pelukannya. "Kenapa? Apa mulut saya bau?" tanya Baron sembari mengembuskan napasnya sendiri pada telapak tangan dan menciumi aromanya."Bukan begitu maksud aku," balas Tari sembari terkekeh, "Maksudku Abang makan apa tadi, kenapa mendadak romantis gini," lanjutnya sembari menggelengkan kepala.'Jadi, seperti ini saja sudah disebut romantis ya? Saya akan mempelajari bagaimana bersikap romantis pada pasangan. Ternyata romantis itu tidak harus bersikap berlebihan,' ucap Baron dalam hatinya."Abang yang membawa buah jeruk bali ini?" tanya Tari saat membuka plastik putih berisi lima buah jeruk besar.Namun, Baron masih asyik dengan lamunannya, ia tidak mendengar ucapan sang istri yang membuat wanita cantik itu mengulang ucapannya."Bang!" Tari memukul lengan sang suami hingga laki-laki itu terperanjat."Ada apa?" tanya Baron yang benar-benar tidak mendengar ap