Dua jam sudah mereka tertidur. Bunyi keroncongan di perut, membangunkan wanita muda dengan dua anak itu dari tidur siangnya.
Wajah tampan sang suami yang pertama dilihat ketika Andin membuka matanya. Embusan napas sang suami terasa hangat menyapu wajah cantiknya.
Wanita bertubuh sintal itu tersenyum saat mengamati wajah laki-laki tampan yang masih memejamkan matanya.
"Ternyata wajah anak kita mirip sekali dengan kamu, Boo." Andin membelai lembut pipi sang suami yang ditumbuhi rambut tipis di sekitar rahangnya.
Dilepasnya tangan sang suami yang melingkar di perutnya, lalu menaruh lengan itu di atas guling. Dengan hati-hati wanita cantik bertubuh sintal turun dari tempat tidur supaya tidak mengganggu laki-laki tampan yang masih terkulai lemas di kasur beralaskan sprei berwarna putih.
"Kenapa kepalaku pusing sekali," kata Andin sambil memijat pelipisnya. Wanita cantik itu masih terduduk di pinggiran tempat tidur dengan kaki yang menjuntai ke baw
"Sayang, Jagoannya Mommy anak pinter ya, ditinggal juga nggak nangis." Andin bercanda dengan kedua anaknya setelah menyusui mereka.Kedua bayi mungil itu hanya tertawa melihat sang mommy berbicara sembari menciumi mereka dengan gemas."Mommy tinggal ya, Nak." Andin mencium bayi-bayi mungilnya yang ia tidurkan di tempat tidur untuk kedua pengasuhnya yang berada di kamar anaknya.Kemudian Andin menaruh satu persatu anaknya di masing-masing ranjang khusus bayi."Bi, titip mereka ya! Jangan bawa mereka ke kamarku! Daddy-nya lagi sakit, takut mereka tertular." Pesan Andin kepada kedua pengasuh anaknya."Baik, Nyonya," jawab kedua pengasuh itu hampir bersamaan."Mommy mau makan dulu ya, Sayang." Andin membelai pipi gembul kedua anaknya. Lalu wanita cantik itu pergi ke dapur hendak membuat bubur sayur untuk suaminya.Bi Susi menghampiri majikannya yang sedang berkutat di dapur. "Nyonya mau ngapain? Biar saya bantu."Salah satu pelayan
"Aku sumpahin kamu biar cepat sembuh," sahut Andin, "Kamu makan dulu ya, biar cepat pulih."Andin membantu suaminya untuk duduk bersandar pada sandaran tempat tidur. Ia menaruh dua bantal di belakang punggungnya supaya suaminya merasa nyaman."Pusing nggak?" tanya Andin pada suaminya yang dijawab dengan gelengan kepala.Diambilnya bubur sayur yang ia taruh di atas nakas. Diaduknya bubur itu supaya tidak terlalu panas."Makan ya." Andin mengulurkan tangannya yang memegang sendok dengan bubur sayur di atasnya."Ntar dulu, Bee. Aku masih lemas." Haidar menolak suapan dari sang istri. Ia mencoba mengatur napasnya supaya lebih teratur."Boo, kita ke rumah sakit ya!" Andin merasa khawatir dengan kondisi sang suami yang terlihat sangat lemah.Haidar menggeleng pelan, lalu berkata dengan suaranya yang sangat lemah. "Aku hanya perlu banyak istirahat. Biasanya cuma sehari aku lemah kayak gini, besok juga pasti baikan," jawab Haidar."Bia
Di ujung bagian Indonesia, dua anak manusia sedang menikmati bulan madunya."Sayang, kenapa kamu lama sekali?" Baron mengetuk pintu kamar mandi resort mewah yang ia tempati selama bulan madu."Aku nggak bisa keluar, Bang," sahut Tari dari dalam kamar mandi."Kenapa? Apa pintunya susah untuk dibuka?" tanya Baron kepada wanita cantik yang sudah sah menjadi istrinya sembari memutar-mutar kenop pintu."Aku ...." Tari ragu-ragu mengatakannya. Ia merasa malu kalau harus bilang kepada laki-laki kaku itu, walaupun sekarang sudah menjadi suaminya. Tapi, mereka belum cukup dekat satu sama lain.Hubungan keduanya selama ini hanya sebatas atasan dan bawahan di Perusahaan Mannaf Group. Sehingga, Tari merasa tidak enak hati kalau meminta bantuan kepada laki-laki angkuh, tapi baik hati."Kamu kenapa?" tanya Baron yang mulai khawatir dengan keadaan istrinya."Aku butuh ...." Tari malu untuk mengatakannya, 'Aku harus bilang apa? Bulan madu ini m
"Selamat sore, Mbak," sapa Baron kepada pegawai minimarket, "Bisa tolong saya, carikan pembalut yang bersayap?" tanya laki-laki tampan yang memakai kaus berwarna putih, dipadukan dengan celana selutut berwarna coklat.Dengan beralaskan sandal jepit, penampilan sang asisten CEO itu terlihat santai. Namun, caranya berbicara masih kaku seperti robot. Itu yang selalu dikatakan istrinya.Wanita yang memakai kaus berwarna merah itu melihat penampilan Baron dari ujung kaki hingga ujung kepala."Maaf, Tuan. Maksudnya pembalut untuk wanita?" tanya pegawai minimarket itu dengan ragu-ragu. Ia takut salah bicara dengan pelanggannya."Iya, untuk istri saya," jawab Baron dengan santai.Laki-laki itu tidak merasa malu membeli barang keperluan istrinya. Walau sebagian laki-laki mungkin tidak akan mau untuk membeli keperluan pribadi seorang wanita seperti pembalut.'Ya Tuhan, sisakan satu laki-laki seperti dia untukku,' ucap pegawai itu dalam hatinya.
Tari melongok saat suaminya sudah kembali dari mini market. "Ya ampun, Bang. Kamu belanja apa aja, banyak banget?" tanya Tari kepada suaminya yang menenteng dua kantong belanjaan berwarna hijau. "Semua ini pembalut bersayap pesanan kamu," jawab Baron sembari mendekati istrinya. Tari tertawa melihat suaminya menenteng dua kantong belanjaan berisi pembalut. "Maaf ya udah nyusahin kamu," ucapnya dengan tulus. 'Aku lupa nggak ngasih tahu harus beli berapa,' gumam Tari dalam hatinya. "Kamu dari tadi belum keluar dari kamar mandi?" tanya Baron pada sang istri yang hanya melongok dari dalam kamar mandi. "Belum," jawabnya sembari menyeringai. Tari mengulurkan tangannya untuk mengambil pembalut dari kantong belanjaan yang dibawa suaminya. Setelah memberikan satu bungkus pembalut, Baron menaruh sisanya di dekat pintu kamar mandi. Lalu, laki-laki itu duduk di pinggiran tempat tidur untuk menunggu istrinya. Ia penasaran dengan apa yang sedan
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Baron sembari mengikuti langkah istrinya. Tari menghentikan langkah, membalikkan badan menghadap suaminya. "Bang, aku nggak apa-apa," sahut Tari, "Kamu bisa lihat sendiri, aku sehat. Ini sudah biasa aku alami setiap bulan." Tari menjelaskan tentang kondisinya supaya laki-laki itu tidak terlalu mengkhawatirkannya. 'Apa dia sama sekali nggak tahu tentang wanita?Kenapa dia terlihat begitu khawatir? Apa menurutnya datang bulan itu sesuatu yang menyakitkan?' Tari bertanya-tanya dalam hatinya. Baron memerhatikan wajah sang istri yang terlihat berseri tidak seperti bayangannya. Bahwa, wanita yang sedang datang bulan itu terlihat pucat dan lemah tak berdaya. "Tadi saya baca artikel tentang wanita yang sedang datang bulan. Di situ disebutkan kalau wanita yang sedang mengalami siklus itu tubuhnya terasa lemah, bahkan ada yang tidak bisa melakukan pekerjaan apa pun," jelas Baron kepada wanita cantik di hadapannya. "Hanya beber
Tari tertawa terbahak mendengar ucapan suaminya. "Abang tahu? Dulu aku sangat membencimu," sahut Tari, "Kamu sangat menyebalkan karena selalu mengatur hal pribadiku juga.""Itu karena saya tidak mau kamu dilirik laki-laki lain. Saya sudah mencintaimu sejak lama, tapi saya tidak menyadari hal itu."Baron menatap manik mata indah milik istrinya. Ia mengungkapkan perasaannya pada wanita yang baru beberapa hari lalu dinikahinya."Saya belum pernah mencintai sebelumnya. Jadi, tidak mengerti dengan apa yang hati ini rasakan waktu itu. Tapi, kini saya sadar ternyata saya sangat mencintai wanita yang selalu mencuri perhatian ini," ucapnya sembari mencubit hidung mancung istrinya.Tari tersenyum mendengar pernyataan cinta dari suaminya. "Tapi, dulu aku sangat membencimu, Tuan Baron. Aku tidak mau menatap wajah angkuhmu itu," ucap Tari sembari tertawa pelan."Kenapa? Apa ketampanan saya mengganggu pandangan kamu?" tanya Baron. Ia bermaksud bercanda. Namun, u
"Terima kasih," ucap Baron sembari mengusap bibir istrinya yang basah setelah ciuman panas itu berakhir.Tari tersipu malu. Ia menundukkan pandangannya tidak berani menatap wajah tampan Baron. Ciuman itu bukan yang pertama bagi Tari, tapi rasa nyaman itu ada ketika berciuman dengan laki-laki yang sudah sah menjadi suaminya."Maaf karena kamu tidak mendapatkan yang pertama dariku. Semua yang ada di tubuhku bekas sentuhan laki-laki lain," ucap Tari dengan pelan, mengingat kebodohannya di waktu muda. Menyesal pun tidak berguna lagi. 'Andai waktu bisa berputar, aku tidak akan mengikuti bisikan setan waktu itu,' batin Tari.Baron bangun dari duduknya, ia memegang dengan lembut bahu istrinya. Tari pun ikut terbangun, ia menatap wajah tampan laki-laki yang telah sah menjadi suaminya."Apa kamu tidak ingin hidup bahagia dengan suamimu ini?" tanya Baron dengan lembut."Aku sangat ingin hidup bahagia dengan laki-laki yang mencintaiku dengan tulus seperti Aba