Pak Sam terkejut saat membuka pintu, ternyata orang yang mengetuk pintu rumah kontrakannya empat pria gagah dengan setelan jas berwarna hitam dan kaca mata hitam yang bertengker di hidung lancipnya.
“Mungkin orang ini yang dimaksud si Neng tadi,” gumam Pak Samin dalam hati. “Bapak-bapak ini mau cari siapa ya?” tanya Pak Samin sesantai mungkin.
“Apa benar, di sini kediaman dari Pak Samin, supir taksi online mobil ini?” salah satu bodyguard Haidar menunjukkan ponselnya yang memperlihatkan mobil dengan nomor plat yang terlihat dengan jelas.
“Iya, Pak. Saya supir taksi online itu. Ada perlu apa ya?” Tak terlihat gugup sama sekali, Pak Samin menanggapi semua pertanyaan pria gagah itu dengan lancar.
“Apa Bapak ingat dengan Nona muda kami, penumpang taksi online Bapak tadi siang?” Bodyguard itu memperlihatkan rekaman cctv
Haidar mengerahkan anak buahnya untuk mencari keberadaan sang istri. Ia belum memberitahukan perihal kaburnya Andin dari rumah kepada mertuanya. Khawatir sang Nenek yang sudah tidak muda lagi mendengar berita hilangnya Andin yang akan mengganggu kesehatan sang nenek.Setelah sampai di rumahnya, Haidar segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan menenangkan pikirannya dengan berendam.“Bee, aku mencintaimu. Aku nggak mungkin mengkhianati kamu.” Haidar berendam air hangat, wajahnya menengadah sambil memejamkan mata.Tiba-tiba ia teringat dengan Sisil. “Mungkin Sisil tahu tempat yang sering dikunjungi Andin.”Haidar segera bangun dan membersihkan diri. Ia buru-buru keluar dari kamar mandi dan segera berpakaian. Diambilnya ponsel yang ada di atas nakas. Kemudian ia menghubungi Sisil.“Sil, kamu di mana?” tanya
“Tunggu, Ar! Aku juga butuh bantuanmu.” Haidar meraih tangan Aldin. “Duduklah dulu, aku perlu bantuan kalian.” Haidar pun duduk setelah Aldin duduk kembali.“Ada apa, Bang?” Aldin merasa kebingungan dengan ucapan adik ipar rasa kakak ipar karena umurnya jauh lebbih tua darinya.“Andin pergi dari rumah. Aku nggak tahu dia pergi ke mana.” Haidar menyandarkan tubuhnya pada sandaran pintu. Sebenarnya ia begitu sangat lelah, badannya terasa pegal semua, tapi ia tidak memedulikan semua itu. Ia akan tambah sakit jika sang istri belum juga ditemukan.“Pergi dari rumah karena apa?” Aldin merasa kebingungan. Sang adik tidak akan kabur dari rumah kalau tidak ada masalah yang serius.Haidar menyodorkan satu foto dirinya dan partner kerjanya saat di luar kota. “Dia pergi karena ada yang mengirim foto-foto itu padanya. Entah siapa yang mengirim aku
“Iya, Den, nggak apa-apa. Ada yang bisa mamang bantu?” tanya Mang Ace pada Aldin. Ia sudah bisa menebak tujuan majikannya menelpon.“Tadi sore Mamang ke rumah nggak?” tanya Aldin dengan ramah.“Iya, Den. Tadi sore Mamang ke rumah. Beberes rumah lalu nyalain lampu. Emangnya ada apa? Aden mau ke rumah?” Mang Ace berbohong pada Aldin. Padahal ia sedang ada di rumah itu bersama istrinya untuk menemani Andin.“Nggak, Mang. Andin pergi dari rumah, aku kira dia ke sana.” Aldin mempercayai ucapan orang yang sudah setia melayani keluarganya bertahun-tahun.“Mungkin ke rumah Pak Herman, di sana ‘kan ada Gilang. Kalau di rumah Kakek ‘kan kosong, nggak mungkin Neng Andin mau tinggal sendiri di rumah kosong.” Mang Ace semakin meyakinkan Aldin kalau adiknya tidak ada di rumah peninggalan sang kakek.“Bener juga,&rdqu
“Kafe lagi ada sedikit masalah, gue lagi banyak tugas kuliah, jadi nggak bisa fokus,” jelas Gilang sambil terkekeh.“Lang, jangan bermain wanita terus! Bentar lagi gue harus mengurus perusahaan Ayah. Andin yang urus restoran. Biar Kak Aisyah yang urus kafe. Perusahaan Papi, siapa lagi yang nerusin kalau bukan lo. Kasihan orang tua kita, mereka udah tua udah saatnya menikmati hari tua.”Aldin tahu sebenarnya Gilang bukan banyak tugas kuliah, tapi waktunya banyak dihabiskan dengan para wanitanya. Gilang memang playboy, tapi ia masih dalam batasan yang wajar.“Tenang aja! Yang penting ‘kan gue nggak ngehamilin anak orang,” sahut Gilang sambil terkekeh.“Gue gorok lo, kalau sampai berani melakukan kayak gitu sebelum nikah!” Aldin sangat jengkel dengan saudara sepupunya itu yang susah untuk dinasehati.Bukannya takut, tapi Gilang m
“Ya sudah, aku pulang dulu.” Haidar bangun dari duduknya. “Al, antar Sisil pulang ya, badanku lagi kurang fit.”“Iya, Bang.” Aldin juga bangun dari duduknya.Setelah berpamitan pada Aldin dan Sisil, Haidar keluar dari kafe lebih dulu.“Kamu bawa mobil saya!” Haidar melempar kunci mobil pada bodyguard yang berdiri di samping mobilnya. Untung saja para bodyguard-nya selalu mengikutinya walau tanpa perintah.Pria gagah berjas hitam itu dengan sigap menangkapnya. Kemudian membukakan pintu mobil bagian belakang. Setelah tuannya masuk ke dalam mobil, ia pun masuk dan segera melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.“Lebih cepat lagi!” titahnya pada sang bodyguard.“Siap, Tuan.” Pria itu menambah kecepatan laju kendaraannya. Mobil mewah berwarna hitam mengki
Haidar meraba meja nakas untuk mencari ponsel. Setelah itu ia langsung menelpon sahabatnya yang seorang dokter. Dokter pribadi keluarganya.“Rik, cepat datang ke rumah!” Ia pun segera menutup panggilannya tanpa menunggu jawaban dari sang sahabat.Saat ia hendak menutupi tubuhnya dengan selimut, pintu kamar diketuk dari luar.Tok tok tok“Ar, kamu di dalam ‘kan?” teriak Bunda Anin sambil mengetuk pintu kamar anaknya.Haidar turun dari tempat tidur untuk membuka pintu kamar. Dengan langkah yang gontai ia berjalan menuju pintu. Dibukanya pintu kamar dengan perlahan, ternyata sang mertua telah berdiri di depan pintu.“Bunda.” Haidar terkejuut dengan kehadiran Bunda Anin dan Ayah Rey.“Kamu sakit, Ar?” tanya Bunda Anin pada menantunya yang terlihat sangat pucat.“
“Maaf … saya sudah mengecewakan Ayah dan Bunda, terutama Andin.” Haidar berbicara dengan sangat pelan karena keplanya terasa sangat pusing. Badannya lemah tanpa tenaga.“Sudahlah nggak usah bahas Andin dulu! Fokus ke kesehatanmu aja,” kata Ayah Rey yang berdiri di samping tempat tidur. “Bun, kita bawa Haidar ke rumah sakit aja.”“Iya, Yah. Bunda telepon Bu Inggit dulu.” Bunda Anin merogoh ponsel di dalam tas untuk menghubungi besannya.“Nggak usah, Yah. Aku cuma kecapean aja.” Haidar menolak untuk dibawa ke rumah sakit.Saat Bunda Anin hendak merogoh ponselnya, Dokter Riko masuk ke kamar diantar Bi Susi yang membawa air hangat untuk mengompres tuannya. Sehingga ia memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.“Kamu kenapa, Ar?” tanya Dokter Riko pada sahabatnya. “Aku nggak salah lihat nih, seorang H
“Istriku kabur,” jawab Haidar dengan lirih, hampir tidak terdengar.“Jadi, kamu sakit gara-gara mikirin istrimu terus,” tebak Riko sambil terkekeh.Haidar tidak menanggapinya lagi. Ia memejamkan mata karena kepalanya terasa sangat sakit. Ia tidak peduli lagi dengan ocehan Dokter Riko yang membuatnya tambah pusing.Beberapa menit kemudian, perawat yang bekerja di klinik milik Dokter Riko datang membawa obat-obatan dan peralatan yang dibutuhkan Dokter Riko.Dokter Riko segera memasang infus di tangan sahabatnya. Haidar tidak bisa menolaknya karena ia sudah terlalu lemas. “Cepet sehat, kalau nggak mau istrimu dilirik oang di luar sana,” kata Dokter Riko sambil terkekeh. “Singa jantan sedang jatuh cinta ternyata,” gumamnya sambil beranjak berdiri.Setelah selesai memasang infus di tangan Haidar, Dokter Riko berpamitan pada mertua sahaba