“Kafe lagi ada sedikit masalah, gue lagi banyak tugas kuliah, jadi nggak bisa fokus,” jelas Gilang sambil terkekeh.
“Lang, jangan bermain wanita terus! Bentar lagi gue harus mengurus perusahaan Ayah. Andin yang urus restoran. Biar Kak Aisyah yang urus kafe. Perusahaan Papi, siapa lagi yang nerusin kalau bukan lo. Kasihan orang tua kita, mereka udah tua udah saatnya menikmati hari tua.”
Aldin tahu sebenarnya Gilang bukan banyak tugas kuliah, tapi waktunya banyak dihabiskan dengan para wanitanya. Gilang memang playboy, tapi ia masih dalam batasan yang wajar.
“Tenang aja! Yang penting ‘kan gue nggak ngehamilin anak orang,” sahut Gilang sambil terkekeh.
“Gue gorok lo, kalau sampai berani melakukan kayak gitu sebelum nikah!” Aldin sangat jengkel dengan saudara sepupunya itu yang susah untuk dinasehati.
Bukannya takut, tapi Gilang m
“Ya sudah, aku pulang dulu.” Haidar bangun dari duduknya. “Al, antar Sisil pulang ya, badanku lagi kurang fit.”“Iya, Bang.” Aldin juga bangun dari duduknya.Setelah berpamitan pada Aldin dan Sisil, Haidar keluar dari kafe lebih dulu.“Kamu bawa mobil saya!” Haidar melempar kunci mobil pada bodyguard yang berdiri di samping mobilnya. Untung saja para bodyguard-nya selalu mengikutinya walau tanpa perintah.Pria gagah berjas hitam itu dengan sigap menangkapnya. Kemudian membukakan pintu mobil bagian belakang. Setelah tuannya masuk ke dalam mobil, ia pun masuk dan segera melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.“Lebih cepat lagi!” titahnya pada sang bodyguard.“Siap, Tuan.” Pria itu menambah kecepatan laju kendaraannya. Mobil mewah berwarna hitam mengki
Haidar meraba meja nakas untuk mencari ponsel. Setelah itu ia langsung menelpon sahabatnya yang seorang dokter. Dokter pribadi keluarganya.“Rik, cepat datang ke rumah!” Ia pun segera menutup panggilannya tanpa menunggu jawaban dari sang sahabat.Saat ia hendak menutupi tubuhnya dengan selimut, pintu kamar diketuk dari luar.Tok tok tok“Ar, kamu di dalam ‘kan?” teriak Bunda Anin sambil mengetuk pintu kamar anaknya.Haidar turun dari tempat tidur untuk membuka pintu kamar. Dengan langkah yang gontai ia berjalan menuju pintu. Dibukanya pintu kamar dengan perlahan, ternyata sang mertua telah berdiri di depan pintu.“Bunda.” Haidar terkejuut dengan kehadiran Bunda Anin dan Ayah Rey.“Kamu sakit, Ar?” tanya Bunda Anin pada menantunya yang terlihat sangat pucat.“
“Maaf … saya sudah mengecewakan Ayah dan Bunda, terutama Andin.” Haidar berbicara dengan sangat pelan karena keplanya terasa sangat pusing. Badannya lemah tanpa tenaga.“Sudahlah nggak usah bahas Andin dulu! Fokus ke kesehatanmu aja,” kata Ayah Rey yang berdiri di samping tempat tidur. “Bun, kita bawa Haidar ke rumah sakit aja.”“Iya, Yah. Bunda telepon Bu Inggit dulu.” Bunda Anin merogoh ponsel di dalam tas untuk menghubungi besannya.“Nggak usah, Yah. Aku cuma kecapean aja.” Haidar menolak untuk dibawa ke rumah sakit.Saat Bunda Anin hendak merogoh ponselnya, Dokter Riko masuk ke kamar diantar Bi Susi yang membawa air hangat untuk mengompres tuannya. Sehingga ia memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.“Kamu kenapa, Ar?” tanya Dokter Riko pada sahabatnya. “Aku nggak salah lihat nih, seorang H
“Istriku kabur,” jawab Haidar dengan lirih, hampir tidak terdengar.“Jadi, kamu sakit gara-gara mikirin istrimu terus,” tebak Riko sambil terkekeh.Haidar tidak menanggapinya lagi. Ia memejamkan mata karena kepalanya terasa sangat sakit. Ia tidak peduli lagi dengan ocehan Dokter Riko yang membuatnya tambah pusing.Beberapa menit kemudian, perawat yang bekerja di klinik milik Dokter Riko datang membawa obat-obatan dan peralatan yang dibutuhkan Dokter Riko.Dokter Riko segera memasang infus di tangan sahabatnya. Haidar tidak bisa menolaknya karena ia sudah terlalu lemas. “Cepet sehat, kalau nggak mau istrimu dilirik oang di luar sana,” kata Dokter Riko sambil terkekeh. “Singa jantan sedang jatuh cinta ternyata,” gumamnya sambil beranjak berdiri.Setelah selesai memasang infus di tangan Haidar, Dokter Riko berpamitan pada mertua sahaba
Ayah Rey dan Bunda Anin langsung salah tingkah. “Ayah sih main sosor aja,” gumam Bunda Anin dengan pelan.“Nggak apa-apa Bu Inggit,” jawab Ayah Rey sambil tersenyum.Papi Mannaf tertawa menanggapi ucapan besannya. “Yang penting ‘kan nyosor istri sendiri, iya nggak, Pak Rey?”“Betul itu, Pak,” sahut Ayah Rey sambil tertawa.Mami Inggit tersenyum melihat kelakuan dari Ayah menantunya yang mencium Bunda Anin di depannya. “Aku kira suamiku aja yang masih mesum walau udah tua, tapi ternyata besanku juga sama. Jadi pengin ketawa,” gumam Mami Inggit dalam hati.“Kita ngobrol di sana aja, Pak Rey, Bu Anin!” ajak Pak Mannaf sambil menunjuk ruang tamu.Mereka pun pergi ke ruang tamu yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri.“Bu Ani
Papi Mannaf terkejut mendengar ucapan besannya. “Haidar selingkuh?”“Tenang dulu, Pak Mannaf! Saya juga ke sini mau menanyakan masalah yang sebenarnya. Menurut kakaknya Andin. Haidar bilang dia di sana tidak sendiri, mereka berlima termasuk suami dari wanita yang ada di foto itu.” Ayah Rey menjelaskan sesuai apa yang dia dengar dari anaknya.“Bu Anin saya mau melihat Haidar dulu, silakan lanjutin ngobrolnya!” Mami Inggit bangun dari duduknya.“Saya ikut, Bu!” Bunda Anin juga bangun dari duduknya.Mereka berjalan beriringan sambil mengobrol santai menuju kamar Andin. Namun, ketika mereka baru sampai di ujung tangga, Bi Susi keluar dari kamar Andin dengan raut wajah yang cemas.Bunda Anin dan Mami Inggit bergegas mendekati Bi Susi.“Ada apa, Bi?” tanya Mami Inggit. Ia juga terlihat gugup karena takut t
Haidar langsung duduk kembali mendengar ancaman sang ayah mertua. Ia merebahkan tubuhnya dibantu oleh sang mami. Suster pun kembali memasang jarum infus di tangannya.Setelah mengancam sang menantu, Ayah Rey bersama Papi Mannaf keluar dari kamar, mereka kembali ke ruang tamu untuk berbincang.“Dia lebih takut sama ayah mertuanya dari pada sama papi kandungnya sendiri,” ucap Papi Mannaf sambil terkekeh.“Lebih tepatnya, dia takut kehilangan istrinya,” timpal Ayah Rey sambil tertawa.Kedua laki-laki yang sudah tidak muda itu tertawa bahagia di atas penderitaan anaknya. Mereka teringat masa lalu, ketika mereka jatuh cinta pada pasangan.“Sehebat apa pun laki-laki selalu kalah dengan wanitanya,” ucap Papi Mannaf sambil tertawa. “Dan itu pernah saya alami,” lanjutnya.“Ternyata kita sama,” timpal Ay
Seminggu sudah sejak kepergian Andin, kini Haidar sudah benar-benar pulih. Ia bergegas untuk mencari istrinya bersama sang kakak ipar. Andai saja tidak mendapat ancaman dari mertuannya mungkin dia sudah mencari sang istri dari kemarin.“Kamu yakin Andin ada di rumah itu?” tanya Haidar pada kakak iparnya. Pagi-pagi sekali Haidar bersama Aldin dan Sisil hendak pergi ke Bandung.“Aku yakin dia di sana. Dari dulu Mang Ace begitu menyayangi Andin, ia selalu menuruti keinginannya,” ujar Aldin.Mereka pun segera masuk ke dalam mobil dan melajukan mobilnya menuju kota Bandung. Kota kelahiran orang tua Andin.“Sil, apa dalam seminggu ini, Andin nggak menghubungimu?” tanya Aldin pada sahabat Andin yang duduk di sampingnya. Sementara Haidar duduk di kursi samping bodyguard yang mengemudikan mobilnya.“Ini hari libur, pasti macet,” uja