“Lepaskan aku! Aku tidak mau jadi pengantin persembahan!”
“Ayah! Aku mohon jangan.”Gadis bernama Emma Graciella diseret paksa karena terus meronta dan menolak dibawa ke tepi sungai. Para calon pengantin persembahan harus dihanyutkan di sungai agar sampai ketempat Dewa Pelindung.
"Cepat jalan!"
Para warga memaksa Emma karena desa mereka yang bernama Gynejas, sekarang sedang dihantam oleh bencana besar. Angin topan dan hujan deras meratakan hampir seluruh desa. Membuat para penduduk desa kocar-kacir, kebingungan harus menyelamatkan diri kemana.
Bencana besar itu terjadi karena mereka lupa mempersembahkan seorang pengantin persembahan. Selain itu, alasan lainnya Emma dipaksa menjadi pengantin persembahan tahun ini adalah, karena dia satu-satunya gadis yang memiliki usia yang cocok dan pas bagi pengatin persembahan, yaitu 19 tahun.
“Lepas!” Dia mengibaskan tangannya dan melepaskan tangan-tangan warga desa yang memegangnya. Dia berlari menghampiri ayahnya yang berdiri ikut menyaksikan dirinya. Emma berlutut masih berusaha membujuk ayahnya yang berdiri disamping bersama warga lainnya."Ayah bisakah untuk kali ini saja?"Dia menatap ayahnya dengan mata buram karena air mata yang menggenang. Sayangnya, yang dia inginkan tidak terwujud, ayahnya hanya memalingkan wajah. Setelah itu dengan kasar dia ditendang oleh ayahnya, "Ayah," Ucapnya dengan suara lirih sembari menatap ayahnya tidak percaya.
"Ayah tidak bisa menyelamatkan mu dan mengorbankan banyak nyawa yang hidup di desa ini." Ucap ayahnya dengan datar dan tetap pada piosisinya.
"Ayah aku janji akan melindungi desa ini, aku .... "
"Emma!" Bentak ayahnya sembari menatapnya dengan sorot mata tajam.
"Apa menurutmu dengan aku menyelamatkan mu kita bisa tetap hidup? Kekuatan Dewa Pelindung tidak bisa kita bayangkan, bagaimana kamu dengan gampangnya berkata akan melindungi desa ini?! Apa kamu tidak memikirkan masa depan adikmu? Dia masih memiliki masa depan yang panjang!"
"Ayah, lalu bagaimana dengan masa depanku?"
Setelah mengatakan itu dia menatap mata ayahnya, terlihat mata ayangnya memerah dan berkaca-kaca. Karena hujan yang deras dia tidak tahu ayahnya sedang menangisi kepergiannya atau tidak. Meski sorot mata ayahnya tajam memandang namun, dia tahu ayahnya juga terpaksa melakukan ini.
Kemudian, ayahnya melenggang pergi meninggalkannya begitu saja tanpa menjawab pertanyaannya. Dia merasa putus asa, 'Kenapa dunia ini tidak adil!' Batinnya menangis mengingat perkataan ayahnya yang seperti mementingkan adiknya dan mengorbankannya demi adiknya.
"Ayah! Aku mohon jangan tinggalkan aku, Ayah!"
"Aku tidak akan merepotkan mu lagi. Aku mohon," Air mata terus mengalir deras membasahi pipi putihnya, suara seraknya bahkan perlahan menghilang karena dia terus meneriaki ayahnya meminta diselamatkan. Harapannya hancur seketika melihat ayahnya melenggang pergi meninggalkannya dalam kesusahan.
Dia bangkit dan berusaha mengejar ayahnya, namun para warga menghentikannya. Sehingga dia tidak bisa melakukan apapun lagi. 'Ayah, aku tidak akan membencimu.' Batinnya sembari menatap punggung ayahnya yang semakin menjauh.
Dengan gaun basah dan kotor karena tanah yang menepel dia lantas menghampiri adiknya yang masih terisak di hadapannya dan berkata, "Rey jaga ayah baik-baik ya, jangan merepotkannya. Jadilah anak baik." Ucapnya sembari membelai lembut surai hitam adik laki-lakinya itu.
"Cepat bawa dia!"
Sesekali dia berusaha melepaskan diri dan berniat kabur, dia juga berusaha mengulur waktu agar waktu yang ditentukan yaitu antara matahari tepat diatas kepala hingga tenggelam terlewatkan. Jika semua itu bisa dilewatkan maka upacara persembahan akan gagal sepenuhnya.
'Kali ini aku harus mengandalkan diriku.' Batinnya sembari mencari cara melarikan diri. Sesaat kemudian, dia menginjak kaki warga yang memeganginya, setelah itu dia menendang bagian vital mereka dan berlari sembari mengangkat gaun panjangnya.
"Kejar dia!"
Emma berlari dengan kencang sejauh mungkin agar tidak ditemukan. Dia menoleh dan melihat banyak warga yang mengejarnya dengan cepat. "Berhenti!" Teriak salah satu warga yang berlari lebih cepat dari yang lain. Dengan kecepatannya dia tidak mungkin bisa lolos dari pria yang sudah dekat dengannya.
Sesaat kemudian, dia terkejut measakan ada tangan yang sudah memegang lengannya dan menariknya kembali. Dia ingin melawan namun tenaganya sudah habis saat berlari selain itu, gaun yang dia kenakan cukup beratnya membuatnya cepat lelah.
“Buat dia tenang waktunya sudah hampir lewat!” Kepala desa tidak sedikitpun bersimpati dengan kesedihan Emma, para warga termasuk ayahnya hanya mementingkan diri mereka sendiri. Tiba-tiba tengkuknya dipukul oleh seseorang, pandangannya perlahan mulai kabur dan gelap.
‘Apakah takdir ini yang harus aku jalani?’
Emma perlahan membuka mata, sinar matahari masuk dari sebuah lubang dan langsung menyinarinya. Dia menegakkan tubuhnya, dia melihat sekeliling hanya ada gua batu dan aliran sungai. Saat dia terbangun dia sudah terdampar di tepi sungai dengan gaun bawahnya yang sudah basah oleh air.“Ini…”“Cepat! Persembahan sudah dikirimkan.” Sebuah suara pria muncul entah dari mana, membuat Emma yang belum sempat mencerna keadaan terpaksa bangkit dan bersembunyi. Dari persembunyiannya dia melihat empat orang pria sedang memeriksa sampan tempatnya dihanyutkan.‘Mereka sedang mencariku?’ Batin Emma. Dalam hitungan detik Emma menutup mulutnya rapat-rapat kala ada seekor kalajengking disebelahnya. Meski dia takut dengan hewan tersebut, demi keselamatannya dia akan tetap diam.“Persembahan hilang! Gawat bagaimana ini?”“Tuan pasti marah besar.”“Cepat berpencar! Kita harus mencarinya sampai dapat.”Emma mendengarkan dengan seksama percakapan para pria tersebut, dia sedikit mengintip dan memastikan situas
‘Kenapa ini?’ Erland mengerutkan keningnya kala melihat kedua sikunya lebam-lebam, tidak hanya itu kakinya juga terasa perih seperti sedang terluka. Dia memeriksa seluruh tubuhnya, matanya melotot melihat dada kirinya terdapat luka cambuk.“Nathan!”“Iya tuan, ada apa?” Nathan dengan terburu-buru berlari ke dalam kamar Eland. “Apa kamu sudah memindahkan gadis itu ke Istana?” “….” Erland menoleh ke arah Nathan karena tidak kunjung mendapat jawaban atas pertanyaannya. Nathan terlihat menunduk sambil menutup mulutnya rapat-rapat. Erland mengerutkan dahinya, dia merasa sudah tidak tahan dengan diamnya Nathan.“Katakan!”“Maaf Tuan, kemarin nona Joana melihat wanita itu berkeliaran jadi … dia membawanya kembali ke dalam sel.”“Bawa dia kembali!” Erland merasa sedikit geram, dia mengepal tinjunya menahan emosi yang meluap-luap. Dia berjalan lurus dan mengobati luka yang berada di dada kirinya.“Katakan juga pada Joana, jangan ikut campur dengan urusanku.”“Baik tuan.”Setelah Nathan per
Suara beberapa orang pelayan mulai mengusik pendengaran Emma. Dia perlahan membuka matanya, cahaya diruangan itu menusuk matanya. Dia diam sembari berkedip menatap atap ruangan, berusaha mengumpulkan kesadarannya yang belum penuh.“Kamu sudah sadar?” Suara seorang pria berhasil membuat nyawanya terkumpul seutuhnya. Dia sontak bangkit dari tidurnya dan mengarahkan pandangannya ke arah pemilik suara. “Kamu! Mau apa kamu?” Ucapnya dengan suara panik.“Aku disini mengantar dia,” Mendengar ucapan Nathan sontak membuat Emma menoleh ke arah seorang pria berbadan tegak nan gagah yang berdiri di samping ranjangnya. Emma menyipit kan matanya, dia menatap pria itu dengan rasa familiar.“Kamu … kamu yang beberapa hari lalu!?” Setelah mengatakan itu Emma memalingkan wajahnya. Dia mengatupkan kedua tangannya ke pipi. Dia berusaha menyembunyikan pipinya yang memanas, dia tersipu malu mengingat adegan ciumannya di kolam pemandian.“Hem … ” Pria di sampingnya berdehem karena suasana diruangan menjadi
Dua minggu kemudian …. ‘Hah … bosan sekali,’ Gerutu Emma yang duduk di tepi tempat tidurnya sembari mengerucutkan bibirnya. Tak berapa lama dia merebahkan dirinya ke kasur, dia merengek seperti anak kecil yang ingin mainan. “Ah … aku bisa mati kebosanan.”“Lebih memilih menghilangkan rasa bosan atau nyawamu,” Ucap Erland dengan nada datar tanpa ekspresi. Emma yang mendengar perkataan mengerikan keluar dari mulut Erland langsung mengeluarkan lirikan mautnya. Kemudian dia menjawab nada ketus, “Aku tidak mau memilih.”“Hah … ” Erland menghela nafas berusaha menahan kekesalannya menghadapi Emma. ‘Tahan Erland, bersabarlah setelah kutukan lepas kamu bisa menyingkirkannya,’ Batin Erland yang sedang berusaha menguatkan dirinya menghadapi gadis gila yang menentukan hidupnya.“Ikut aku,” Ucap Erland sembari melangkah keluar kamar meninggalkan Emma yang masih berbaring di atas kasur.“Kamu mau mengajak ku kemana?” Emma mengekori Erland yang berjalan didepannya. Dia mengangkat gaun bagian depan
Setelah mimpi panjang akhirnya, Emma membuka matannya. Dia memegang kepalanya yang terasa sedikit pusing sembari berusaha bangun dari tidurnya. Kemudian dia merasakan sebuah kain melilit keningnya, ‘Em … apa ini?’ Gumamnya sembari melirik kain putih tersebut.“Kamu sudah bangun?” Ucap seorang pria yang sedang berjaga di samping ranjangnya. “Nathan?” Ucapnya dengan sembari menatap wajah Nathan yang sedang tersenyum ramah. Kemudian dia menelusuri seluruh ruangan seolah sedang mencari sesuatu. “Dimana Erland? Apa dia baik-baik saja?” Tanya Emma dengan wajah khawatir.“E-Erland?” Nathan mengulangi nama yang Emma sebut dan dijawab dengan anggukan oleh gadis itu. ‘Dia tidak mengganti namanya saat menyamar,’ Batin Nathan sambil tersenyum canggung dengan kepala menunduk. Kemudian dia mengangkat kepalanya dan membatin, ‘Kak kamu tidak mengerti atau memang bodoh?’ “Dia baik-baik saja, dia sedang berada di ruangan Tuannya.” Ucap Nathan sembari tersenyum kepada Emma.‘Em … dia sedang menemui S
Setelah kejadian itu, Erland membawa Emma kembali ke kamar. Dia membantunya mengompres bekas tamparan yang masih memerah. Dia menatap Emma yang tertunduk sehabis menangis, kerutan di dahinya tak kunjung hilang, rasa kesalnya juga semakin besar kala melihat Nathan yang berjalan dengan santai melewati kamar Emma.‘Nathan! Menjaga satu gadis lemah saja tidak bisa.’ Batinnya sembari terus menekan kain berisi es yang menempel di pipi Emma.“Em … sakit." Gumamnya kala tangan Erland menekan pipinya terlalu keras.Emma mendongak, dia menetap Erland yang melamun menatap pintu keluar. Kemudian pandangannya beralih pada wajah Erland, matanya melotot kala melihat pipi kiri pria di hadapannya juga merah seperti miliknya. Tangannya terulur membelai lembut pipi merah Erland. “Apa yang kamu lakukan?”Emma tersentak dan segera menarik kembali tangannya setelah melihat Erland yang menoleh padanya. Dia tertunduk sejenak menyembunyikan pipinya yang memerah karena malu. Kemudian dia memberanikan diri unt
Erland berlarian menyusuri lorong Kastil, dengan panik dia memeriksa seluruh ruangan. Sayangnya, gadis yang dicari tidak ada dimanapun. Dia terpaksa menghubungi Nathan lewat telepati untuk membantunya menemukan keberadaan Emma.Cukup lama dia mencari diseluruh Kastil hingga dia bertemu dengan Nathan, "Bagaimana?" Tanya Erland dengan nafas terengah-engah. Dia semakin khawatir saat Nathan menggelengkan kepalanya, dia juga sudah mengerahkan seluruh bawahannya tapi, tidak ada satupun yang melihatnya.'Joana.'Erland teringat bahwa dia satu-satunya orang yang tidak menerima kehadiran Emma. Erland lantas berlari ke kamar Joana, sesampainya disana, tanpa permisi dia membuka kamar Joana dengan keras. "Joana dimana dia?""Dia? Dia siapa? Siapa yang kamu cari?""Joana jangan berpura-pura!" Bentak Erland sembari menarik tangan Joana dengan kasar. Dia menatap Joana dengan sorot mata tajam seolah siap menyergap mangsanya."Aku tidak tahu siapa yang kamu maksud!" Ucap Joana menaikkan intonasinya. "
Sang surya telah muncul dan memberikan kehangatan, cahaya terangnya masuk menembus Goa tempat Emma dan Erland berada. Perlahan Erland membuka matanya karena merasakan kehangatan cahaya yang bersinar ke arahnya. Dia menoleh menatap wajah damai Emma yang sedang tidur dalam dekapannya. Semalaman dia tidur sembari memeluk Emma yang kedinginan. Dia merasa ada perasaan aneh yang terus berputar di hatinya, perasaan yang hanya muncul ketika dia berada di dekat Emma.'Erland, to-tolong aku, a-aku tidak ingin mati.'Erland tertegun sejenak setelah mendengar Emma mengigau dan memanggilnya. Sesaat kemudian, dia menunduk sembari mengehela nafas. 'Emma aku tidak ingin tapi, jika tahun ini tidak ada persembahan maka aku ... aku akan menggila kehilangan kendali.'Emma perlahan membuka matanya, hal pertama yang dia lihat pagi ini adalah wajah tampan Erland. Dia tersenyum tipis sembari berusaha menggerakan tangannya sayangnya, tubuhnya yang sangat lemas membuatnya tidak bisa bergerak bak orang yang lu
"Jika kamu sudah tahu maka capet serahkan wanita itu padaku."Dengan lirikan mautnya, Erland membuat Charlie yang berdiri jauh dibelakangnya bergidik ngeri. "Apa kamu hanya akan menatapku saja?" Tanya Erland dengan suara dingin sembari terus melirik Charlie."I-ikuti saya."Erland melangkah mengikuti Charlie masuk ke sebuah Kastil yang baru pertama kali dia datangi. Kedatangan mendadak Erland membuat Penguasa Kastil, ayah Charlie tidak bisa menyiapkan apapun untuk menyambut dirinya."Maafkan kami Tuan Tamsos Karalius, kami tidak menyambut kedatangan anda.""Sudahlah, aku juga tidak butuh penyambutan apapun." Mendengar jawaban Erland membuat Sang Penguasa Kastil Bulan merasa tersinggung, karena ucapan Erland seolah telah merusak harga dirinya. Dalam hatinya, dia ingin sekali menghajar Erland namun, dia sadar bahwa orang yang datang ke Kastilnya bukanlah lawannya."Baiklah, silahkan anda duduk dan .... ""Aku kesini bukan untuk menikmati pelayananmu."Ucapan Erland yang tiba-tiba memot
"Apa yang dia katakan?"Erland berdiri di samping tubuh dingin Emma yang terbaring di ruangan dingin. Dia bertanya sambil memunggungi Nathan sekaligus menatap Emma yang tertidur secara bersamaan. Suaranya terdengar sedikit serak karena terus menangisi kepergian Emma beberapa hari ini."Dia tidak mau mengatakan apapun."Mendengar jawaban dari Nathan membuatnya naik darah, dia mengepal kedua tinjunya sembari menegangkan rahangnya. Kesabarannya sudah dikalahkan oleh amarah kekesalan yang dia tahan beberapa hari selama proses introgasi."Aku akan membuatnya membuka mulut." Ucapnya penuh penekanan.Setelah itu, Erland beranjak dari tempatnya dan melangkahkan kakinya di sepanjang lorong menuju tempat Felix dikurung. Langkahnya yang besar serta mantap terlihat mengerikan, amarah dihatinya sudah tak tertahankan. DUAKKKErland menendang pintu dengan tidak sabar, dia maju lima langkah lalu, tangannya dengan cepat meraih leher Felix. Ibu jarinya menekan titik vital yang dapat membunuh Felix, "K
"Tidak Emma, jangan tersenyum seperti itu."Kini Erland sudah sepenuhya berwujud manusia, tangannya bergetar hebat kala menyentuh pipi Emma yang sudah terdapat noda merah. Hatinya hancur berkeping-keping melihat senyuman terakhir yang Emma berikan untuknya. "EMMA!!!" Teriakan Erland terdengar sangat menyayat hati orang-orang yang menyaksikan kematian Emma. Erland terus mengguncang tubuh yang sudah tidak lagi bernyawa itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama tangisnya pecah karena kehilangan seseorang.Erland terus berteriak memanggil-manggil nama gadis yang berada dalam dekapannya itu. "Emma kenapa kamu meninggalkanku, bukankah kamu berjanji tidak akan pergi lagi." Ucap Erland mengingatkan Emma atas janji yang pernah gadis itu ucapkan sebelumnya."Erland relakan dia." Ucap Angela sembari berusaha menenangkan Erland."Angela biarkan saja dia." Ucap Nathan lirih sembari menggeleng pelan.Bak orang gila, Erland terus berbicara ini itu dengan tubuh yang tidak bernyawa itu. Dia jug
"Jangan sentuh dia!" Dengan cepat Erland meluncurkan serangan menggunakan sihirnya kala mendengar teriakan Emma menggema di telinganya. Seketika para bawahan Felix meledak bersamaan dengan sihir yang Erland luncurkan. Karena menyelamatkan Emma, membuatnya sedikit lengah. "Kerja bagus Emma, berteriaklah sebanyak mungkin." Seringai Felix sembari pandangannya tak lepas dari Erland. Kelengahan Erland dimanfaatkan oleh Felix dengan sangat baik, dia dengan cepat mengayunkan pedangnya dan berhasil melukai lengan kanan Erland. Erland menoleh kala merasakan lengan kanannya bergesekan dengan benda tajam. Dia menatap datar darah yang mengalir keluar dari lukanya seolah tidak merasakan sakit sama sekali. Kemudian dia mengalihkan padangannya, menatap tajam Felix yang sedang tersenyum sombong padanya. "Hanya luka ini bukan berarti kamu bisa lolos dariku." Ucapan Erland terdengar dingin dan menakutkan, nada bicaranya mampu membuat siapapun yang mendengarnya bergidik ngeri. Sesaat kemudian mata
"Wow! Selamat atas pernikahanmu Erland." Erland mengepal tinjunya sembari menatap Felix dengan sorot mata yang tajam menusuk. Dia sangat kesal karena hari bahagianya diganggu oleh beberapa penganggu yang datang tanpa undangan. "Untuk apa kamu kemari?" Tanya Erland sembari menahan kekesalannya. "Tentu saja aku kemari untuk merayakan pernikahan kalian ... dengan darah," Ucap Felix penuh penekanan sembari menoleh kepada Erland menampilkan seringaiannya yang terlihat menyebalkan. Setelah itu, dia langsung melesat mengayunkan pedangnya ke arah Erland. Dengan sigap Erland langsung menggunakan sihirnya untuk melindungi dirinya, mengingat tangan kanannya sudah tidak mampu lagi memegang pedang. "Kali ini aku tidak akan membiarkanmu kembali hidp-hidup!" Ucap Erland penuh penekanan sembari menampilkan sorot matanya yang mulai berubah memerah. "Kamu salah, akulah yang akan membuatmu tak bisa bangkit dan mengambil pengantin cantik yang berdiri disana." Ucap Felix sembari menyeringai menatap Emm
'Apakah aku sedang bermimpi?' Mata Emma membulat sempurna kala melihat sebuah Cicin dengan Berlian merah darah yang berkilau. Dia menutup mulutnya yang ternganga dengan kedua tangannya, jantungnya berdetak keras, darahnya berdesir terasa panas. Matanya berkaca-kaca melihat senyum Erland yang menunggu jawaban darinya. Tatapan Erland yang begitu teduh dan dalam membuatnya tak bisa berkata apapun. Tangan Emma menggenggam satu sama lain di depan dada lalu, dia mengangguk antusias sembari menampilkan senyum bahagiannya. Tangannya dengan lembut diraih oleh Erland, sesaat kemudian dia merasakan dingginnya Cincin tersebut menyentuh jari manisnya. Air mata kebahagiannya kini tak bisa lagi dia bendung. Dia mengangkat tangannya menatap indah jarinya yang dihiasi Cincin Berlian merah. "Dia sangat cocok denganmu." Dia mengalihkan pandangannya menatap Erland yang sedang tersenyum kepadanya. Dengan penuh kebahagiaan dia menghamburkan dirinya ke dekapan hangat Erland. Dia akhirnya merasakan hal y
"Apa yang terjadi dengan bibirmu? Siapa yang melakukannya?" Sorot mata Erland begitu khawatir melihat bibir Emma yang sedikit terluka. Ibu jarinya dengan lembut mengusap luka tersebut. Tanpa dia sadari wajahnya semakin dekat dengan wajah Emma, sesaat kemudian tatapannya bertemu dengan tatapan Emma.Tatatpan yang begitu intens serta sentuhan lembut pada bibirnya membuat jantung Emma berdegup kencang. Dia merasakan darahnya berdesir, rasa panas tiba-tiba menjalar di dalam tubuhnya, dia menelan ludahnya kala tatapan mereka saling bertemu."Kamu yang melakukannya."Suara Nathan yang tiba-tiba menyahut membuat mereka berdua tersentak dan segera menghentikan apa yang mereka lakukan. Emma sontak bergeser agak jauh dari tempat duduknya semula lalu, menunduk menyembunyikan wajah merahnya dari Nathan."Apa kamu sudah melupakan apa yang aku ajarkan?" Ucap Erland seolah sedang memarahi anak kecil."Tidak, tadi aku sudah mengetuk pintunya tapi, tidak ada satupun yang menggubrisnya." Balas Nathan
90 tahun yang lalu ...."Erland aku tidak percaya itu perbuatanmu, katakan saja yang sejujurnya." Felix menghunus pedang tajamnya ke arah Erland yang berdiri di hadapannya, dia menatap Erland dengan mata merah menunggu jawaban keluar dari mulut temannya itu. "Katakan atau aku tidak akan segan untuk melukaimu." Ancam Felix.Saat itu usia mereka masih 21 tahun sehingga, mereka cenderung mudah tersulut emosi dan termakan oleh rumor yang menyebar. Rumor yang mengatakan Erland yang melukai kedua orang tua Felix menyebar dalam semalam, membuat Felix frustasi."Itu aku." Singkat Erland mengakui bahwa rumor yang beredar memang benar."Jika itu hanya ibuku aku masih bisa percaya tapi, kedua orang tuaku terluka dan penyebabnya seorang yangbelum berpengalaman dan baru saja lulus dari Academy Sihir? Erland tidak perlu mengarang da ungkapkan siapa pelakunya!" "Kamu bisa tanya pada Kepala Academy, dialah yang melihatku berada di lokasi." Balas Erland tanpa ekspresi."Bohong! Tidak mungkin seorang
"Erland lihatlah! Langitnya sangat indah." Mata Emma nampak berbinar menatap langit malam bertabur bintang, senyum damainya terukir jelas saat menunjuk ke arah langit. 'Aku berharap waktu bisa berhenti.' Batin Emma sembari menyandarkan dirinya ke tubuh Erland. Kepalanya mendongak menatap Erland yang sedang menikmati langit indah bersamanya. 'Aku ingin selalu seperti ini.' Batinnya sembari merasakan jantungnya perlahan namun pasti berdegup dengan kencang. Untuk sesaat pandangannya seolah terkunci oleh ketampanan pria itu lalu, tanpa paksaan dia memeluk Erland sembari menenggelamkan wajahnya menghirup aroma wangi tubuh Erland. "Ada apa?" Tanya Erland lembut sembari menunduk menatap Emma yang tiba-tiba memeluknya. Tetap dalam posisinya dia menggeleng lalu berkata, "Hanya sedikit dingin." Emma sedikit berbohong menutupi rasa bahagianya serta menyembunyikan wajah merahnya setelah, sebelumnya menyadari Erland begitu tampan dari sisi manapun. "Emma bisa bantu panggilkan Nathan untukku?"