Sang surya telah muncul dan memberikan kehangatan, cahaya terangnya masuk menembus Goa tempat Emma dan Erland berada. Perlahan Erland membuka matanya karena merasakan kehangatan cahaya yang bersinar ke arahnya.
Dia menoleh menatap wajah damai Emma yang sedang tidur dalam dekapannya. Semalaman dia tidur sembari memeluk Emma yang kedinginan. Dia merasa ada perasaan aneh yang terus berputar di hatinya, perasaan yang hanya muncul ketika dia berada di dekat Emma.
'Erland, to-tolong aku, a-aku tidak ingin mati.'
Erland tertegun sejenak setelah mendengar Emma mengigau dan memanggilnya. Sesaat kemudian, dia menunduk sembari mengehela nafas. 'Emma aku tidak ingin tapi, jika tahun ini tidak ada persembahan maka aku ... aku akan menggila kehilangan kendali.'
Emma perlahan membuka matanya, hal pertama yang dia lihat pagi ini adalah wajah tampan Erland. Dia tersenyum tipis sembari berusaha menggerakan tangannya sayangnya, tubuhnya yang sangat lemas membuatnya tidak bisa bergerak bak orang yang lumpuh.
"Er-land, tubuhku tidak bisa bergerak." Ucap Emma sembari menatap Erland yang sedang memeluknya.
Mendengar pernyataan Emma membuatnya mengerutkan kening, dia tidak pernah terpikir kalau tubuh Emma serapuh itu. Kemdudian, dia meraih tangan Emma terlihat luka bekas cakaran Srigala semalam membengkak. 'Tidak mungkin, meski tubuhnya sangat lemah lukanya tidak mungkin membengkak separah ini.'
Luka di tangan Emma membengkak dan membiru, bekas cakarannya juga terbuka dan terus mengeluarkan asap biru. Erland menduga bahwa Emma sedang keracunan, Erland lantas bertanya, "Apa kamu memakan buahnya?"
"Buah?" Emma tidak mengerti buah apa yang Erland maksud.
"Buah Peri! Buah di hutan ini."
Emma mengangguk sebagai jawaban sesaat kemudian, dia merasakan tubuhnya semakin dingin. Semua tulang, pembuluh darah dan kulitnya terasa kebas dan mati rasa, dia mencoba menggerakkan bagian tubuhnya namun, dia tidak merasakan apapun, satu-satunya yang bisa dia lakukan hanyalah berbicara.
Erland melolot kala melihat anggukkan Emma, dia tidak pernah berpikir kalau Joana akan melakukan ini untuk menyingkirkan Emma dari hidupnya. Sesaat kemudian, terlihat tubuh Emma hampir membiru sepenuhnya.
"Bertahanlah aku akan segera membawa mu keluar dari sini."
Erland segera bangkit dan berlari dengan cepat sembari menggendong tubuh lemas Emma. Untuk pertama kalinya dia memikirkan keselamatan Emma diluar pemikiran kalau mereka terikat kutukan Penyatuan Jiwa. Sesampainya di Kastil dia segera mengirim pesan telepati kepada Nathan.
Dia berlari menyusuri lorong, dengan panik dia memerintahkan para pengawal yang berjaga untuk menjaga dengan ketat pintu masuk Kasti dan pintu menuju hutan Buah Peri. Setelah dia sampai di kamar Emma, dia lantas meletakkan Emma di tempat tidur dengan hati-hati.
"Nathan tutup pintunya! Jangan biarkan siapapun menganggu."
"Baik!"
Setelah itu mengepal tinjunya dan memukul dada kirinya dengan keras untuk melukai jantunya. Darah segar terlihat keluar dari mulut Erland, dia mendekatkan wajahnya ke wajah Emma. Dia berniat membuat Emma meminum darah jantungnya.
"Apa kamu yakin akan melakukannya seperti itu?" Tanya Nathan yang berjaga di pintu.
"Ini bukan pertama kalinya."
Setelah itu Erland menempelkan bibirnya ke bibir Emma, dengan cara itu dia memberikan Emma darah jantungnya. Dia memejamkan matanya sembari menikmati bibir manis Emma yang membuatnya lupa diri. Untungnya ada Nathan yang menghentikan aksinya.
"HEM!"
Setelah mendengar suara Nathan berdehem lantas membuatnya sadar kalau dirinya sudah melampaui batas. Dia duduk di tepi tempat tidur sembari terus menatap wajah Emma, tubuhnya meringkuk sembari menahan rasa sakit yang sama dengan yang Emma rasakan.
"Agh ... emph."
Tubuhnya merosot ke lantai, satu tangannya memegang dadanya dan satunya lagi menopang tubuhnya yang kesakitan. 'Inikah rasa sakit dari racun Buah Peri?' Dia tersenyum miris sembari kembali mengingat saat dia baru sampai di hutan Buah Peri.
"Er ... Tuan! Kamu tidak apa-apa kan? Pakai .... "
Erland mengangkat tangannya memberi isyarat untuk berhenti, lalu dia berkata, "Tidak, aku ingin merasakan rasa sakit dari racun Buah yang aku pelihara selama ini."
Setelah Erland mengatakan seperti itu membuatnya tidak bisa membujuk keras kepala kakaknya itu. Dia hanya berdiri menatap punggung kakaknya, baru pertama kali dia melihat kakaknya ingin merasakan apa yang orang lain rasakan.
'Kak, apa keegoisan dan kekejamanmu akan dihancurkan olehnya?' Batin Nathan bertanya-tanya setelah melihat kakaknya peduli dengan orang lain. 'Aku berharap dia bisa merubah mu menjadi lebih baik.' Gumam Nathan sembari tersenyum tipis penuh harap.
Beberapa jam telah berlalu, tubuh Erland sudah merasa ringan dan tidak lagi merasakan sakit lagi. Dia mengatur nafasnya kemudian bangkit menghampiri Nathan. Dia berbisik, "Jaga dia, aku harus mengobati lukaku."
Setelah kepergian Erland, tiba-tiba terdengar suara wanita yang sedang ribut di depan pintu kamar Emma. Hal itu takutnya akan mengganggu istirahat Emma sehingga, membuat Nathan terpaksa keluar menemui wanita itu.
"Nona Joana, apa yang kamu lakukan disini?"
"Aku ingin bertemu dengan Emma." Ucap Joana dengan tegas seolah sedang memberi perintah.
"Maaf, tidak ada yang diijinkan masuk selain tuan Erland."
"Dia atau aku itu sama saja. Berani sekali Kamu menaha .... "
Ucapan Joana terhenti kala dia merasakan ada tangan yang mengenggam lengannya dengan kuat. Dia menoleh ke arah kirinya, terlihat seorang pria mengenakan jubah hitam lengkap dengan tudung hitam yang menutupi seluruh wajahnya.
"Erland?" Ucapnya lirih seolah tidak percaya pria itu akan kembali dengan cepat.
Tanpa menunggu persetujuan wanita itu Erland langsung menarik lengan Joana dengan kasar. Dia membawanya kembali ke kamar Joana, langkah besarnya membuat Joana kesulitan untuk menyeimbangkan dirinya.
"Ikut aku!"
"Erland, lepaskan!" "Erland sakit!" Joana berteriak di sepanjang lorong menuju kamarnya, dia berkali-kali meronta berusaha melepaskan genggaman Erland. Sayangnya, meski dia mengerahkan seluruh tenaganya tangan Erland tak bergerak sama sekali dari tempatnya. Tulangnya terasa sedikit ngilu merasakan genggaman Erland yang sangat erat dan penuh emosi. Sesampainya di kamar dia dilempar ke tempat tidur hingga tersungkur, dia bangkit dan berdiri tepat di depan Erland sembari memasang wajah seolah tidak bersalah. Dia berkata dengan intonasi tinggi, "Apa yang kamu lakukan?" "Untuk apa kamu mencelakainya hingga seperti itu?" Tanya Erland sembari berusaha menahan amarahnya. "Apa yang aku lakukan? Aku tidak melakukan apa-apa padanya." "Jangan berbohong Joana!" Bentak Erland dengan keras. "Jelas-jelas dari gejalanya dia keracunan Buah Peri!"Tambah Erland sembari menunjuk ke luar. "Aku tidak tahu!" "Joana!" "Diamlah! Apa kamu selama ini tidak pernah merasakan cintaku padamu?!"
"Bukankah dia bersamamu?"Nathan menatap Erland dengan wajah kesal, dia ingin sekali memarahi kakanya yang dia anggap orang bod*h itu. 'Ceroboh sekali, bagaimana bisa dia meninggalkan Emma sendiri tanpa pengawasan.' Batin Nathan sembari menunduk dengan tangan yang mencubit pangkal hidungnya.Tiba-tiba Erland berlari menyusuri lorong sepi yang berakhir di depan kamar Joana. Dengan keras dia membanting pintu kamar Joana yang tertutup rapat. "Joana!" Teriaknya sembari melangkah masuk."Ada apa?" Tanya Joana yang keluar dari kamar mandi dengan rambut basah yang tergerai.Erland melangkah dengan mantap mendekati Joana, dia mengenggam erta pergelangan tangan Joana dan menyeretnya. Dia melemparnya ke tempat tidur dan menindihnya lalu berkata, "Kamu sembunyikan dimana Emma!""Apa maksudmu? Aku tidak mengerti.""Joana! Jangan berbohong.""Erland! Minggir," Teriaknya sembari mendorong tubuh Erland menjauh. Dia bangkit lalu berkata, "Apa kamu lupa? Kamu mengurungku disini lalu bagaimana aku bisa
"Apa salahku kali ini?"Joana berlutut di lantai kamar Emma, tinjunya mengepal erat gaun yang dia kenakan menahan rasa kesal dan cemburu sekaligus. Dia menunduk menghindari berkontak mata dengan Erland yag sedang duduk di tepi tempat tidur Emma. "Berdiri!" Ucap Erland dingin.Joana lantas menuruti apa yang Erland katakan, dia berdiri namun, tetap dengan posisi kepala menunduk. "Tatap wajahku," Ucapan Erland membuatnya sedikit terkejut, dia memegang erat gaunnya dan mengangkat kepalanya menatap Erland."Wajah ... itu, ada apa dengan wajahmu?" Ucap Joana dengan panik."Lalu lihat wajahnya."Joana melotot kala melihat luka yang berada di wajah Emma sama persis dengan milik Erland. Dia menutup mulutnya tidak percaya dengan apa yang terjadi, "A-apa yang terjadi?" Ucapnya sembari mengalihkan pandangannya menatap Erland.Erland bangkit dan mendekati Joana lalu berkata, "Hidupku terhubung dengan hidupnya, semua yang dia terima aku juga menerimanya. Kami terhubung oleh Kutukan Penyatuan Jiwa.
'Haruskah aku memakaikannya dengan tanganku?'Erland duduk di tepi tempat tidur Emma sembari melamun menatap sebuah Cincin yang dia pegang. Dia bergelut dengan pemikirannya sendiri, dia merasa bimbang harus menyuruh seseorang atau dirinya sendiri yang melingkarkan Cicin tersebut pada jari Emma.'Jika Joana melihat ini mungkin dia akan melakukan sesuatu yang nekat.' Batinnya sembari terus menatap Cincin kecil yang berada di tangannya. "Kak, pilihlah antara dia atau Joana. Kamu tidak bisa menjaga dua hati sekaligus." Ucapan Nathan membuatnya semakin bimbang, dia mengerutkan keningnya berpikir semakin keras dan berusaha membuat pilihan. Baru kali ini dia diliputi rasa bimbang yang teramat sangat membingungkan hidupnya. "Aku akan memutuskan nanti saja." Jawab Erland tanpa menyangkal perkataan Nathan kalau dia memang memikirkan dua wanita dalam hidupnya. Dia tiba-tiba teringat dengan Joana, wanita yang sejak berpuluh-puluh tahun menemaninya dalam suka maupun duka dan rela melawan perint
'Si*al kenapa masih mengerjar.' Seorang gadis dengan rambut dikepang bagian atas dan terurai bagian bawah sedang berlari menyusuri lorong sembari mengangkat gaun panjang warna putihnya. Sesekali dia menoleh kebelakang memastikan bahwa keadaannya sudah aman."Cepat cari!" Gadia bernama lengkap Karina Alexa itu kembali panik ketika mendengar suara orang yang sedari tadi mnegejarnya. Dia kembali berlari sembari memegang sepatu yang sebelumnya dia kenakan, dia berkali-kali berusaha membuka pintu-pintu yang tertutup. 'Kenapa tidak ada pintu yang tidak terkunci.' Ucapnya dengan panik sembari berkali-kali menoleh kekiri.CEKLEK'Akhirnya ... aku sembunyi disini saja,' Batinnya sembari tersenyum lega kala menemukan pintu yang dapat terbuka. Tubuhnya bersandar pada pintu sembari berusaha menstabilkan nafasnya yang menderu. Tiba-tiba matanya tidak sengaja menangkap seseorang yang sedang tidur di kasur.'Ada orang?' Batinnya sembari perlahan melangkah menghampiri orang yang terbaring itu."Pe
"Kak apa kamu yakin akan mengungkapkan perasaanmu dengan penampilan ini?"Erland yang sedang duduk di tepi tempat tidur Emma, hatinya dibuat goyah oleh Nathan yang berdiri agak jauh darinya. Dia menunduk sembari mencubit pangkal hidungnya, dia tidak mengerti dengan jalan pemikiran adiknya itu."Bukankah kamu yang memberiku nasihat?" Ucap Erland dengan nada sedikit kesal."Benar tapi, dia akan menyukai penampilan Erland yang ini bukan Erland yang sebenarnya. Apa kamu tidak memikirkan bagaimana reaksinya jika dia tahu kalau dia sedang ditipu?""Hah ... baiklah akan ku pikirkan lagi." Erland mulai menyadari bahwa dirinya sekedar memiliki otak saja tapi tidak bisa memanfaatkannya. 'Erland kamu bodoh sekali! Dalam percintaanmu kamu sangat dinasehati oleh seseorang yang bahkan tidak pernah jatuh cinta.' Batinnya mengatai diri sendiri.Sementara itu Emma yang kondisinya mulai pulih, telinganya mendengar sayup-sayup suara orang mengobrol. Meski terasa berat dia perlahan berusaha membuka mata
"Emma kamu harus tahu. Para gadis yang jadi persembahan semuanya tewas ditenggelamkan."Emma sontak menutup mulutnya, di matanya terpancar sebuah ketakutan yang mendalam. Dia merasa takut memikirkan kalau nantinya dia akan tewas dengan cara yang sama, "Kamu ta-tahu dari mana?""Aku tidak sengaja menemukan ruangan rahasia Dewa Pelindung, dia tidak meminta istri tapi ... dia meminta tumbal." Ucap Karina bergidik ngeri mengingat dirinya juga sudah sampai disana dan sebentar lagi nasib malang yang serupa akan terjadi."Karina, kita harus secepatnya kabur dari sini." Ucap Emma sembari memegang tangan Karina yang sedang duduk di tempat tidurnya."Tapi kita tidak mungkin bisa keluar dengan mudah.""Aku tahu siapa yang bisa membantu kita."* * * * *"Erland aku ... ingin mengenalkan seseorang padamu.""Siapa?" Tanya Erland sembari mengerutkan keningnya, dia penasaran siapa yang ingi Emma kenalkan padanya. "Karina keluarlah!"Setelah melihat Karina keluar dari persembunyiannya, Emma lantas me
"Nona Joana!" Nathan memanggil Joana dengan nafas terengah-engah, terlihat raut wajah panik terukir dengan jelas. Dia berlari menghampiri Joana dan membisikan sesuatu yang sukses membuat Joana sangat terkejut. "Nona cepatlah!" Dengan wajah paniknya Joana berlari dengan cepat meninggalkan kamar Emma. 'Bagaimana bisa seperti ini? Dia sudah berjanji padaku.' Batin Joana sembari terus berlari dengan terburu-buru. Dalam hatinya dia merasa sangat sakit karena dikhianati. Nathan yang melihat punggung Joana menjauh pun tersenyum dengan mencurigakan. Setelah itu, dia segera masuk untuk menemui Emma. "Emma, jangan pernah izinkan Joana masuk ke kamarmu atau melihat tanganmu." "Ha? Tapi kenapa?" "Sudahlah ikuti saja perkataanku jika kalian ingin selamat." Setelah mengatakan itu Nathan melenggang pergi tanpa memberi penjelasan apapun. 'Kalian?' Gumam Emma sembari mengerutkan keningnya. Dia tidak mengerti apa maksud Nathan mengatakan itu semua. Sesaat kemudian, dia tersadar akan sesuatu. Mat