"Nona Joana!" Nathan memanggil Joana dengan nafas terengah-engah, terlihat raut wajah panik terukir dengan jelas. Dia berlari menghampiri Joana dan membisikan sesuatu yang sukses membuat Joana sangat terkejut. "Nona cepatlah!" Dengan wajah paniknya Joana berlari dengan cepat meninggalkan kamar Emma. 'Bagaimana bisa seperti ini? Dia sudah berjanji padaku.' Batin Joana sembari terus berlari dengan terburu-buru. Dalam hatinya dia merasa sangat sakit karena dikhianati. Nathan yang melihat punggung Joana menjauh pun tersenyum dengan mencurigakan. Setelah itu, dia segera masuk untuk menemui Emma. "Emma, jangan pernah izinkan Joana masuk ke kamarmu atau melihat tanganmu." "Ha? Tapi kenapa?" "Sudahlah ikuti saja perkataanku jika kalian ingin selamat." Setelah mengatakan itu Nathan melenggang pergi tanpa memberi penjelasan apapun. 'Kalian?' Gumam Emma sembari mengerutkan keningnya. Dia tidak mengerti apa maksud Nathan mengatakan itu semua. Sesaat kemudian, dia tersadar akan sesuatu. Mat
"Aku sudah membuat rencana pelarian kita." Emma dengan semangat menyerahkan sebuah kertas berisi catatan mengenai cara mereka kabur dari Kastil ini. Dengan senyum percaya dirinya, Emma menatap Karina dan Erland yang sedang membaca rencana rancangan Emma."Keluar melewati jalur penjara batu?" Karina mengerutkan keningnya sembari membaca rencana pertama setelah itu, dia menatap Emma sembari menaikkan satu alisnya. "Dulu saat aku kesini aku dikurung disana. Bagaimana?""Em ... aku tidak tahu tentang penjara ini jadi aku akan ikut saja." Ucap Karina memberikan keputusannya.Pandangan Emma beralih kepada Erland yang membaca rencana tersebut dengan serius. "Bagaimana menurutmu?" Tanya Emma sembari tersenyum menatap Erland yang berada di hadapannya."Aku tidak yakin tapi, aku bisa memastikan Nathan tidak akan berpatroli disana untuk hari ini." Ucap Erland yang seolah dengan serius akan ikut mereka melarikan diri."Kalau begitu aku akan memimpin jalan ikuti aku secara diam-diam. Emma jangan
"Erland kamu kenapa?!"Teriak Emma kala melihat kondisi Erlanda yang sudah berlumuran darah. Terlihat jelas raut wajah Emma yang sedang kahwatir bercampur panik. Dia berlari menghampiri Erland yang berdiri sembari memegang dada kirinya."Apa yang terjadi?" Tanya Emma sembari memapah Erland ke tempat tidur. Emma terbelalak melihat Erland yang tiba-tiba melepas bajunya yang penuh darah. Wajah Emma memerah, dia menelan ludahnya kala melihat badan kekar Erland. Dia memalingkan wajahnya menutupi dirinya yang sedang tersipu, pipinya terasa memanas seolah sedang terbakar. "K-kenapa kamu melepas baju?" Tanyanya tergagap sembari terus memalingkan wajahnya. Sesekali dia melirik tubuh Erland yang telanjang dada itu, dalam hatinya berkata, 'Aku tidak mau menyia-nyiakan pemandangan ini tapi, wajahku terus memerah.'"Ha? Kenapa kamu memalingkan wajahmu?" Tanya Erland dengan polosnya."Ouh ... maafkan aku, ini pertama kalinya untukmu ya?" Erland yang melihat Emma mengangguk berpikir kalau Emma tida
"Bagaimana dengan Joana?"Erland bertanya dengan datar sembari terus memandangi sebuah kertas yang bertulisan rencana-rencana pelarian yang Emma rancang. Pandangannya tidak sedikitpun beralih dari sana, senyumnya tipis mengembang di wajahnya yang terhalang kertas rencana tersebut."Dia masih tidak bisa menerimanya dan kemungkinan dia kembali semula membutuhkan waktu yang sedikit lama." Jelas Nathan yang ditugaskan mengurus dan melaporkan semua tentang Joana."Kak, kamu terlalu kejam padanya." Ujar Nathan sembari menatap kakaknya yang terus memandangi kertas yang dia pegang."Bukankah aku selalu seperti ini?""Hah .... " Nathan menghela nafas sembari menggeleng pelan mendengar jawaban dari kakaknya itu."Jika kamu menyukai Joana ambil saja untukmu." Ucap Erland dingin seolah tidak peduli Joana akan berada digenggaman siapapun."Kalau begitu akan aku bereskan gadis itu dulu." Ucap Nathan mengalihkan topik pembicaraan dan menghindari pertanyaan kakaknya itu sembari berbalik meinggalkan E
"Emma itu kamu!"Langkah senang Emma seketika berhenti begitu saja, tubuhnya terasa menegang setelah mendengar sebuah suara yang familiar memanggil namanya. Dengan ragu-ragu dia menoleh kebelakang memastikan siapa pemilik suara itu.'Joana!' Gumam Emma sembari segera memalingkan wajahnya."Ada apa?" Tanya Karina yang kebingungan, dia sempat mengikuti arah pandang Emma namun, dia tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan.Perlahan namun pasti, Emma meraih tangan Karina yang berdiri di samping kanannya. Tanpa aba-aba dia lantas menarik temannya itu untuk segera kabur. "Karina lari!""Tunggu!"Joana yang melihat kedua gadis muda itu kabur setelah melihatnya sontak mengerti, 'Jadi mereka berniat kabur,' Batin Joana dengan sangat tenang. Dia tahu persis bahwa kota yang dia pijak sekarang dibawah kekuasaan Erland sehingga, tidak sembarang orang bisa keluar masuk dengan mudah.Sesaat kemudian, Joana mengangkat jari telunjuknya dan menggerakkannya. Setelah itu, beberapa pengawal datang mengha
"Bagaimana keadaannya?" Dengan perasaan khawatir dia terus menunggu Karina yang sedang diobari oleh Nathan dan beberapa orang yang membantunya. Terlihat mata bengkak Emma yang terus menatap temannya yang terbaring tak sadarkan diri. "Dia sedang istirahat mungkin dia akan bangun besok." Ucap Nathan yang mengatakan sesuai dengan keadaan Karina sekarang. "Em, terima kasih," Ucap Emma terburu-buru. Setelah itu dia lantas berlari menghampiri Karina, dengan tangannya yang sedikit bergetar dia membelai kepala Karina. "Maafkan aku," Ucap Emma lirih sembari menatap temannya pilu. Nathan yang menatap keduanya tersenyum tipis sembari mengingat kenangan masa kecilnya bersama Erland. Dia bisa melihat kasih sayang Emma sama seperti Erland yang dulu sangat menyayanginya meski dirinya bukan saudara kandung Erland. 'Emma aku percayakan kakakku padamu, ubah dia menjadi lebih baik.' Batin Nathan sembari tersenyum menatap Emma. Setelah itu dia melangkah keluar meninggalkan keduanya. Keesokan
"Emma!" Tanpa permisi Joana langsung membuka pintu dan masuk ke kamar Emma, pandangannya menelusuri setiap sudut ruangan. 'Tidak ada?' Gumamnya sembari melangkah memeriksa kamar mandi. 'Tidak biasanya dia keluar kamar, apa Erland mengajaknya jalan-jalan?" 'Aku tanya Nathan saja,' Gumam Joana sembari melangkah keluar. Kakinya dengan santai melangkah menyusuri lorong yang sedikit pencahayaan. Kakinya terhenti kala mendengar suara orang yang dia cari sedang tertawa di dalam sebuah ruangan. Dia meraih gagang pintu dan menekannya, pintu tersebut terbuka dengan lebar membuat suara tertawa di dalamnya sontak berhenti. Mata Joana membulat kala melihat Erland juga berada di kamar itu bersama Emma dan Karina. "Kalian semua berkumpul disini?" Tanya Joana sembari melangkah masuk dan menutup pintu rapat-rapat. 'Kebetulan sekali.' Batinnya. "Apa yang ingin kamu lakukan?" Tanya Erland sembari bangkit dari duduknya. Joana tersenyum dan hanya melirik Erland sebentar setelah itu, dia melangkah d
"Tantangannya adalah cium orang di samping kananmu di depan kami." Mata Emma sontak terbelalak lebar mendengar tantangan yang Joana berikan pada Erland, dia lantas menatap Erland seolah berkata jangan lakukan. Setelah itu dia menunduk menyembunyikan kekhawatirannya. 'Erland jangan terima.' Batinnya, meski mereka saling mencintai namun, dia mendapat firasat buruk. Dia menoleh menatap Karina yang tanpa dia sadari sedang memasang wajah serius dengan sorot mata tajam. Emma yang melihat itu lantas mengerti dan berkata, "Tidak janga ... emmphh" Kalimatnya terpotong kala Erland tanpa aba-aba langsung menariknya dan menempelkan bibir mereka. Mata Emma berkaca-kaca melihat Erland yang menutup mata seolah sedang menikmati momen tersebut. 'Emma jangan berlarut dalam kenikmatan ini.' Batinnya memperingatkan dirinya sendiri namun, bibir manis Erland juga tangan hangatnya yang medekap kedua pipinya membuat pikirannya kosong dan lantas membuatnya menutup mata menikmati ciuman hangat pria itu.. Se
"Jika kamu sudah tahu maka capet serahkan wanita itu padaku."Dengan lirikan mautnya, Erland membuat Charlie yang berdiri jauh dibelakangnya bergidik ngeri. "Apa kamu hanya akan menatapku saja?" Tanya Erland dengan suara dingin sembari terus melirik Charlie."I-ikuti saya."Erland melangkah mengikuti Charlie masuk ke sebuah Kastil yang baru pertama kali dia datangi. Kedatangan mendadak Erland membuat Penguasa Kastil, ayah Charlie tidak bisa menyiapkan apapun untuk menyambut dirinya."Maafkan kami Tuan Tamsos Karalius, kami tidak menyambut kedatangan anda.""Sudahlah, aku juga tidak butuh penyambutan apapun." Mendengar jawaban Erland membuat Sang Penguasa Kastil Bulan merasa tersinggung, karena ucapan Erland seolah telah merusak harga dirinya. Dalam hatinya, dia ingin sekali menghajar Erland namun, dia sadar bahwa orang yang datang ke Kastilnya bukanlah lawannya."Baiklah, silahkan anda duduk dan .... ""Aku kesini bukan untuk menikmati pelayananmu."Ucapan Erland yang tiba-tiba memot
"Apa yang dia katakan?"Erland berdiri di samping tubuh dingin Emma yang terbaring di ruangan dingin. Dia bertanya sambil memunggungi Nathan sekaligus menatap Emma yang tertidur secara bersamaan. Suaranya terdengar sedikit serak karena terus menangisi kepergian Emma beberapa hari ini."Dia tidak mau mengatakan apapun."Mendengar jawaban dari Nathan membuatnya naik darah, dia mengepal kedua tinjunya sembari menegangkan rahangnya. Kesabarannya sudah dikalahkan oleh amarah kekesalan yang dia tahan beberapa hari selama proses introgasi."Aku akan membuatnya membuka mulut." Ucapnya penuh penekanan.Setelah itu, Erland beranjak dari tempatnya dan melangkahkan kakinya di sepanjang lorong menuju tempat Felix dikurung. Langkahnya yang besar serta mantap terlihat mengerikan, amarah dihatinya sudah tak tertahankan. DUAKKKErland menendang pintu dengan tidak sabar, dia maju lima langkah lalu, tangannya dengan cepat meraih leher Felix. Ibu jarinya menekan titik vital yang dapat membunuh Felix, "K
"Tidak Emma, jangan tersenyum seperti itu."Kini Erland sudah sepenuhya berwujud manusia, tangannya bergetar hebat kala menyentuh pipi Emma yang sudah terdapat noda merah. Hatinya hancur berkeping-keping melihat senyuman terakhir yang Emma berikan untuknya. "EMMA!!!" Teriakan Erland terdengar sangat menyayat hati orang-orang yang menyaksikan kematian Emma. Erland terus mengguncang tubuh yang sudah tidak lagi bernyawa itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama tangisnya pecah karena kehilangan seseorang.Erland terus berteriak memanggil-manggil nama gadis yang berada dalam dekapannya itu. "Emma kenapa kamu meninggalkanku, bukankah kamu berjanji tidak akan pergi lagi." Ucap Erland mengingatkan Emma atas janji yang pernah gadis itu ucapkan sebelumnya."Erland relakan dia." Ucap Angela sembari berusaha menenangkan Erland."Angela biarkan saja dia." Ucap Nathan lirih sembari menggeleng pelan.Bak orang gila, Erland terus berbicara ini itu dengan tubuh yang tidak bernyawa itu. Dia jug
"Jangan sentuh dia!" Dengan cepat Erland meluncurkan serangan menggunakan sihirnya kala mendengar teriakan Emma menggema di telinganya. Seketika para bawahan Felix meledak bersamaan dengan sihir yang Erland luncurkan. Karena menyelamatkan Emma, membuatnya sedikit lengah. "Kerja bagus Emma, berteriaklah sebanyak mungkin." Seringai Felix sembari pandangannya tak lepas dari Erland. Kelengahan Erland dimanfaatkan oleh Felix dengan sangat baik, dia dengan cepat mengayunkan pedangnya dan berhasil melukai lengan kanan Erland. Erland menoleh kala merasakan lengan kanannya bergesekan dengan benda tajam. Dia menatap datar darah yang mengalir keluar dari lukanya seolah tidak merasakan sakit sama sekali. Kemudian dia mengalihkan padangannya, menatap tajam Felix yang sedang tersenyum sombong padanya. "Hanya luka ini bukan berarti kamu bisa lolos dariku." Ucapan Erland terdengar dingin dan menakutkan, nada bicaranya mampu membuat siapapun yang mendengarnya bergidik ngeri. Sesaat kemudian mata
"Wow! Selamat atas pernikahanmu Erland." Erland mengepal tinjunya sembari menatap Felix dengan sorot mata yang tajam menusuk. Dia sangat kesal karena hari bahagianya diganggu oleh beberapa penganggu yang datang tanpa undangan. "Untuk apa kamu kemari?" Tanya Erland sembari menahan kekesalannya. "Tentu saja aku kemari untuk merayakan pernikahan kalian ... dengan darah," Ucap Felix penuh penekanan sembari menoleh kepada Erland menampilkan seringaiannya yang terlihat menyebalkan. Setelah itu, dia langsung melesat mengayunkan pedangnya ke arah Erland. Dengan sigap Erland langsung menggunakan sihirnya untuk melindungi dirinya, mengingat tangan kanannya sudah tidak mampu lagi memegang pedang. "Kali ini aku tidak akan membiarkanmu kembali hidp-hidup!" Ucap Erland penuh penekanan sembari menampilkan sorot matanya yang mulai berubah memerah. "Kamu salah, akulah yang akan membuatmu tak bisa bangkit dan mengambil pengantin cantik yang berdiri disana." Ucap Felix sembari menyeringai menatap Emm
'Apakah aku sedang bermimpi?' Mata Emma membulat sempurna kala melihat sebuah Cicin dengan Berlian merah darah yang berkilau. Dia menutup mulutnya yang ternganga dengan kedua tangannya, jantungnya berdetak keras, darahnya berdesir terasa panas. Matanya berkaca-kaca melihat senyum Erland yang menunggu jawaban darinya. Tatapan Erland yang begitu teduh dan dalam membuatnya tak bisa berkata apapun. Tangan Emma menggenggam satu sama lain di depan dada lalu, dia mengangguk antusias sembari menampilkan senyum bahagiannya. Tangannya dengan lembut diraih oleh Erland, sesaat kemudian dia merasakan dingginnya Cincin tersebut menyentuh jari manisnya. Air mata kebahagiannya kini tak bisa lagi dia bendung. Dia mengangkat tangannya menatap indah jarinya yang dihiasi Cincin Berlian merah. "Dia sangat cocok denganmu." Dia mengalihkan pandangannya menatap Erland yang sedang tersenyum kepadanya. Dengan penuh kebahagiaan dia menghamburkan dirinya ke dekapan hangat Erland. Dia akhirnya merasakan hal y
"Apa yang terjadi dengan bibirmu? Siapa yang melakukannya?" Sorot mata Erland begitu khawatir melihat bibir Emma yang sedikit terluka. Ibu jarinya dengan lembut mengusap luka tersebut. Tanpa dia sadari wajahnya semakin dekat dengan wajah Emma, sesaat kemudian tatapannya bertemu dengan tatapan Emma.Tatatpan yang begitu intens serta sentuhan lembut pada bibirnya membuat jantung Emma berdegup kencang. Dia merasakan darahnya berdesir, rasa panas tiba-tiba menjalar di dalam tubuhnya, dia menelan ludahnya kala tatapan mereka saling bertemu."Kamu yang melakukannya."Suara Nathan yang tiba-tiba menyahut membuat mereka berdua tersentak dan segera menghentikan apa yang mereka lakukan. Emma sontak bergeser agak jauh dari tempat duduknya semula lalu, menunduk menyembunyikan wajah merahnya dari Nathan."Apa kamu sudah melupakan apa yang aku ajarkan?" Ucap Erland seolah sedang memarahi anak kecil."Tidak, tadi aku sudah mengetuk pintunya tapi, tidak ada satupun yang menggubrisnya." Balas Nathan
90 tahun yang lalu ...."Erland aku tidak percaya itu perbuatanmu, katakan saja yang sejujurnya." Felix menghunus pedang tajamnya ke arah Erland yang berdiri di hadapannya, dia menatap Erland dengan mata merah menunggu jawaban keluar dari mulut temannya itu. "Katakan atau aku tidak akan segan untuk melukaimu." Ancam Felix.Saat itu usia mereka masih 21 tahun sehingga, mereka cenderung mudah tersulut emosi dan termakan oleh rumor yang menyebar. Rumor yang mengatakan Erland yang melukai kedua orang tua Felix menyebar dalam semalam, membuat Felix frustasi."Itu aku." Singkat Erland mengakui bahwa rumor yang beredar memang benar."Jika itu hanya ibuku aku masih bisa percaya tapi, kedua orang tuaku terluka dan penyebabnya seorang yangbelum berpengalaman dan baru saja lulus dari Academy Sihir? Erland tidak perlu mengarang da ungkapkan siapa pelakunya!" "Kamu bisa tanya pada Kepala Academy, dialah yang melihatku berada di lokasi." Balas Erland tanpa ekspresi."Bohong! Tidak mungkin seorang
"Erland lihatlah! Langitnya sangat indah." Mata Emma nampak berbinar menatap langit malam bertabur bintang, senyum damainya terukir jelas saat menunjuk ke arah langit. 'Aku berharap waktu bisa berhenti.' Batin Emma sembari menyandarkan dirinya ke tubuh Erland. Kepalanya mendongak menatap Erland yang sedang menikmati langit indah bersamanya. 'Aku ingin selalu seperti ini.' Batinnya sembari merasakan jantungnya perlahan namun pasti berdegup dengan kencang. Untuk sesaat pandangannya seolah terkunci oleh ketampanan pria itu lalu, tanpa paksaan dia memeluk Erland sembari menenggelamkan wajahnya menghirup aroma wangi tubuh Erland. "Ada apa?" Tanya Erland lembut sembari menunduk menatap Emma yang tiba-tiba memeluknya. Tetap dalam posisinya dia menggeleng lalu berkata, "Hanya sedikit dingin." Emma sedikit berbohong menutupi rasa bahagianya serta menyembunyikan wajah merahnya setelah, sebelumnya menyadari Erland begitu tampan dari sisi manapun. "Emma bisa bantu panggilkan Nathan untukku?"