Suara beberapa orang pelayan mulai mengusik pendengaran Emma. Dia perlahan membuka matanya, cahaya diruangan itu menusuk matanya. Dia diam sembari berkedip menatap atap ruangan, berusaha mengumpulkan kesadarannya yang belum penuh.
“Kamu sudah sadar?” Suara seorang pria berhasil membuat nyawanya terkumpul seutuhnya. Dia sontak bangkit dari tidurnya dan mengarahkan pandangannya ke arah pemilik suara. “Kamu! Mau apa kamu?” Ucapnya dengan suara panik.
“Aku disini mengantar dia,” Mendengar ucapan Nathan sontak membuat Emma menoleh ke arah seorang pria berbadan tegak nan gagah yang berdiri di samping ranjangnya. Emma menyipit kan matanya, dia menatap pria itu dengan rasa familiar.
“Kamu … kamu yang beberapa hari lalu!?” Setelah mengatakan itu Emma memalingkan wajahnya. Dia mengatupkan kedua tangannya ke pipi. Dia berusaha menyembunyikan pipinya yang memanas, dia tersipu malu mengingat adegan ciumannya di kolam pemandian.
“Hem … ” Pria di sampingnya berdehem karena suasana diruangan menjadi canggung karena pertemuan mereka. "Huff … Emma membuang nafas berusaha menormalkan detak jantungnya yang sedari tadi berdegup kencang.
“Aku pergi dulu, ada urusan.”
“Hei!” Emma yang mengetahui Nathan telah pergi melirik pria di sampingnya. Kemudian Emma bangkit dari ranjangnya dia berlari sembari berkata, “Aku mau mandi dulu.”
Didalam Emma berendam dengan air hangat yang sudah disiapkan sebelumnya. Dia bergumam, ‘Kenapa dia disini? Atau … dia ingin aku bertanggung jawab?’
‘Tidak-tidak, ini adalah ciuman pertamaku seharusnya aku yang meminta pertanggung jawaban.’
‘Ah … sudahlah,’ Emma bergelut dengan pikirannya sendiri, dia merasa bingung bagaimana harus bersikap kepada pria tadi. Dia sendiri tidak bisa menahan pipinya yang memerah jika mengingat adegan ciuman di kolam itu.
'Aa … '
Erland yang merasakan sakit pada pergelangan kakinya segera masuk ke kamar mandi. Disana terlihat Emma yang terduduk dilantai tanpa sehelai kain pun. Pemandangan di depannya sontak membuat jantungnya berdebar kencang, “Berbalik, jangan lihat!” sontak dia berbalik sambil bergumam, ‘Untung saja terhalang pembatas.’
Dia menunggu Emma yang masih berusaha mengenakan bajunya, “Sudah selesai?” Erland bertanya karena dia ikut merasakan rasa sakit dikakinya saat Emma berjalan. Beberapa saat kemudian Emma membuka suara, “Aku sudah selesai.” Dengan suara malu-malu.
Erland bergegas menghampiri Emma. Dia meletakkan tangannya dipinggang Emma, tanpa menunggu persetujuan dia langsung mengangkat Emma dan membawanya keluar. Dia mendudukan Emma di tepi tempat tidur.
“Terima kasih,” Dia tidak menggubris ucapan Emma dan langsung mengambil obat dan membalut kaki Emma yang terkilir. Dia mengerutkan dahinya menahan sakit yang sama.
“Siapa namamu?” Emma berinisiatif membuka pembicaraan. Pria itu pun menjawab, "Panggil saja Erland" Emma tersenyum tipis sembari mengangguk. Dia berkali-kali meringis merasakan rasa sakit akibat kakinya terkilir.
“Sudah,” Ucap Erland dingin sembari mengembalikan kotak obat tersebut. Kemudian dia kembali berdiri di samping ranjang Emma untuk berjaga.
“Apa kamu bekerja disini?”
“Iya,” Jawab Erland singkat dengan terpaksa, dia merasa malas jika harus menjawab banyak pertanyaan namun dia sudah memilih jalan ini tidak ada pilihan lain. “Lalu kenapa Nathan membawamu kesini?”
“Aku ditugaskan menjagamu,” Ucapnya dingin, dalam hatinya berkata, ‘Jika hidupku tidak bergantung padamu maka, aku sudah membunuhmu sejak awal.’ Sambil mengepalkan tangannya menahan kesal.
“Namaku Emma,” Ucapnya sambil tersenyum. Erland yang melihat senyum indah mekar di wajah cantik Emma membuat wajahnya memanas. Dia memalingkan wajahnya, dia memegang dadanya, ‘Berhentilah berdegup kencang,’ Gumamnya lirih.
“Apa kamu juga dipaksa masuk kesini?” Mendengar pertanyaan Emma, dia hanya mengangguk sebagai jawaban. Dia tidak berbohong karena memang dia terpaksa. Kemudian Emma melanjutkan perkataannya, “Kita sama, aku juga dipaksa masuk kesini. Ayahku mengorbankan ku pada si bajing*an Tamsos Karalius itu.”
Mendengar ucapan Emma, Erland sontak mengepalkan tinjunya sembari melirik tajam ke arah Emma. Dia berusaha menahan kesal karena dia di sebut bajing*an oleh seorang gadis muda.
“Jika saja Iblis itu tidak mengaku sebagai Dewa, aku dan para gadis lainnya tidak akan terpenjara ataupun mati sia-sia disini. Memang Si Iblis tua jahat!” Ucap Emma mengutuk Erland.
“Andai saja para warga tahu dia hanyalah Dewa gadungan.” Tambah Emma.
‘Kamu!’ Batin Erland sangat kesal, dia menatap tajam Emma sembari memegang erat pedang yang tergantung dipinggangnya. Sorot matanya seolah ingin sekali memakan gadis didepannya itu. Namun dia sebisa mungkin menahan diri.
‘Jika kutukan ini lepas aku akan langsung memakan mu!’
Dua minggu kemudian …. ‘Hah … bosan sekali,’ Gerutu Emma yang duduk di tepi tempat tidurnya sembari mengerucutkan bibirnya. Tak berapa lama dia merebahkan dirinya ke kasur, dia merengek seperti anak kecil yang ingin mainan. “Ah … aku bisa mati kebosanan.”“Lebih memilih menghilangkan rasa bosan atau nyawamu,” Ucap Erland dengan nada datar tanpa ekspresi. Emma yang mendengar perkataan mengerikan keluar dari mulut Erland langsung mengeluarkan lirikan mautnya. Kemudian dia menjawab nada ketus, “Aku tidak mau memilih.”“Hah … ” Erland menghela nafas berusaha menahan kekesalannya menghadapi Emma. ‘Tahan Erland, bersabarlah setelah kutukan lepas kamu bisa menyingkirkannya,’ Batin Erland yang sedang berusaha menguatkan dirinya menghadapi gadis gila yang menentukan hidupnya.“Ikut aku,” Ucap Erland sembari melangkah keluar kamar meninggalkan Emma yang masih berbaring di atas kasur.“Kamu mau mengajak ku kemana?” Emma mengekori Erland yang berjalan didepannya. Dia mengangkat gaun bagian depan
Setelah mimpi panjang akhirnya, Emma membuka matannya. Dia memegang kepalanya yang terasa sedikit pusing sembari berusaha bangun dari tidurnya. Kemudian dia merasakan sebuah kain melilit keningnya, ‘Em … apa ini?’ Gumamnya sembari melirik kain putih tersebut.“Kamu sudah bangun?” Ucap seorang pria yang sedang berjaga di samping ranjangnya. “Nathan?” Ucapnya dengan sembari menatap wajah Nathan yang sedang tersenyum ramah. Kemudian dia menelusuri seluruh ruangan seolah sedang mencari sesuatu. “Dimana Erland? Apa dia baik-baik saja?” Tanya Emma dengan wajah khawatir.“E-Erland?” Nathan mengulangi nama yang Emma sebut dan dijawab dengan anggukan oleh gadis itu. ‘Dia tidak mengganti namanya saat menyamar,’ Batin Nathan sambil tersenyum canggung dengan kepala menunduk. Kemudian dia mengangkat kepalanya dan membatin, ‘Kak kamu tidak mengerti atau memang bodoh?’ “Dia baik-baik saja, dia sedang berada di ruangan Tuannya.” Ucap Nathan sembari tersenyum kepada Emma.‘Em … dia sedang menemui S
Setelah kejadian itu, Erland membawa Emma kembali ke kamar. Dia membantunya mengompres bekas tamparan yang masih memerah. Dia menatap Emma yang tertunduk sehabis menangis, kerutan di dahinya tak kunjung hilang, rasa kesalnya juga semakin besar kala melihat Nathan yang berjalan dengan santai melewati kamar Emma.‘Nathan! Menjaga satu gadis lemah saja tidak bisa.’ Batinnya sembari terus menekan kain berisi es yang menempel di pipi Emma.“Em … sakit." Gumamnya kala tangan Erland menekan pipinya terlalu keras.Emma mendongak, dia menetap Erland yang melamun menatap pintu keluar. Kemudian pandangannya beralih pada wajah Erland, matanya melotot kala melihat pipi kiri pria di hadapannya juga merah seperti miliknya. Tangannya terulur membelai lembut pipi merah Erland. “Apa yang kamu lakukan?”Emma tersentak dan segera menarik kembali tangannya setelah melihat Erland yang menoleh padanya. Dia tertunduk sejenak menyembunyikan pipinya yang memerah karena malu. Kemudian dia memberanikan diri unt
Erland berlarian menyusuri lorong Kastil, dengan panik dia memeriksa seluruh ruangan. Sayangnya, gadis yang dicari tidak ada dimanapun. Dia terpaksa menghubungi Nathan lewat telepati untuk membantunya menemukan keberadaan Emma.Cukup lama dia mencari diseluruh Kastil hingga dia bertemu dengan Nathan, "Bagaimana?" Tanya Erland dengan nafas terengah-engah. Dia semakin khawatir saat Nathan menggelengkan kepalanya, dia juga sudah mengerahkan seluruh bawahannya tapi, tidak ada satupun yang melihatnya.'Joana.'Erland teringat bahwa dia satu-satunya orang yang tidak menerima kehadiran Emma. Erland lantas berlari ke kamar Joana, sesampainya disana, tanpa permisi dia membuka kamar Joana dengan keras. "Joana dimana dia?""Dia? Dia siapa? Siapa yang kamu cari?""Joana jangan berpura-pura!" Bentak Erland sembari menarik tangan Joana dengan kasar. Dia menatap Joana dengan sorot mata tajam seolah siap menyergap mangsanya."Aku tidak tahu siapa yang kamu maksud!" Ucap Joana menaikkan intonasinya. "
Sang surya telah muncul dan memberikan kehangatan, cahaya terangnya masuk menembus Goa tempat Emma dan Erland berada. Perlahan Erland membuka matanya karena merasakan kehangatan cahaya yang bersinar ke arahnya. Dia menoleh menatap wajah damai Emma yang sedang tidur dalam dekapannya. Semalaman dia tidur sembari memeluk Emma yang kedinginan. Dia merasa ada perasaan aneh yang terus berputar di hatinya, perasaan yang hanya muncul ketika dia berada di dekat Emma.'Erland, to-tolong aku, a-aku tidak ingin mati.'Erland tertegun sejenak setelah mendengar Emma mengigau dan memanggilnya. Sesaat kemudian, dia menunduk sembari mengehela nafas. 'Emma aku tidak ingin tapi, jika tahun ini tidak ada persembahan maka aku ... aku akan menggila kehilangan kendali.'Emma perlahan membuka matanya, hal pertama yang dia lihat pagi ini adalah wajah tampan Erland. Dia tersenyum tipis sembari berusaha menggerakan tangannya sayangnya, tubuhnya yang sangat lemas membuatnya tidak bisa bergerak bak orang yang lu
"Erland, lepaskan!" "Erland sakit!" Joana berteriak di sepanjang lorong menuju kamarnya, dia berkali-kali meronta berusaha melepaskan genggaman Erland. Sayangnya, meski dia mengerahkan seluruh tenaganya tangan Erland tak bergerak sama sekali dari tempatnya. Tulangnya terasa sedikit ngilu merasakan genggaman Erland yang sangat erat dan penuh emosi. Sesampainya di kamar dia dilempar ke tempat tidur hingga tersungkur, dia bangkit dan berdiri tepat di depan Erland sembari memasang wajah seolah tidak bersalah. Dia berkata dengan intonasi tinggi, "Apa yang kamu lakukan?" "Untuk apa kamu mencelakainya hingga seperti itu?" Tanya Erland sembari berusaha menahan amarahnya. "Apa yang aku lakukan? Aku tidak melakukan apa-apa padanya." "Jangan berbohong Joana!" Bentak Erland dengan keras. "Jelas-jelas dari gejalanya dia keracunan Buah Peri!"Tambah Erland sembari menunjuk ke luar. "Aku tidak tahu!" "Joana!" "Diamlah! Apa kamu selama ini tidak pernah merasakan cintaku padamu?!"
"Bukankah dia bersamamu?"Nathan menatap Erland dengan wajah kesal, dia ingin sekali memarahi kakanya yang dia anggap orang bod*h itu. 'Ceroboh sekali, bagaimana bisa dia meninggalkan Emma sendiri tanpa pengawasan.' Batin Nathan sembari menunduk dengan tangan yang mencubit pangkal hidungnya.Tiba-tiba Erland berlari menyusuri lorong sepi yang berakhir di depan kamar Joana. Dengan keras dia membanting pintu kamar Joana yang tertutup rapat. "Joana!" Teriaknya sembari melangkah masuk."Ada apa?" Tanya Joana yang keluar dari kamar mandi dengan rambut basah yang tergerai.Erland melangkah dengan mantap mendekati Joana, dia mengenggam erta pergelangan tangan Joana dan menyeretnya. Dia melemparnya ke tempat tidur dan menindihnya lalu berkata, "Kamu sembunyikan dimana Emma!""Apa maksudmu? Aku tidak mengerti.""Joana! Jangan berbohong.""Erland! Minggir," Teriaknya sembari mendorong tubuh Erland menjauh. Dia bangkit lalu berkata, "Apa kamu lupa? Kamu mengurungku disini lalu bagaimana aku bisa
"Apa salahku kali ini?"Joana berlutut di lantai kamar Emma, tinjunya mengepal erat gaun yang dia kenakan menahan rasa kesal dan cemburu sekaligus. Dia menunduk menghindari berkontak mata dengan Erland yag sedang duduk di tepi tempat tidur Emma. "Berdiri!" Ucap Erland dingin.Joana lantas menuruti apa yang Erland katakan, dia berdiri namun, tetap dengan posisi kepala menunduk. "Tatap wajahku," Ucapan Erland membuatnya sedikit terkejut, dia memegang erat gaunnya dan mengangkat kepalanya menatap Erland."Wajah ... itu, ada apa dengan wajahmu?" Ucap Joana dengan panik."Lalu lihat wajahnya."Joana melotot kala melihat luka yang berada di wajah Emma sama persis dengan milik Erland. Dia menutup mulutnya tidak percaya dengan apa yang terjadi, "A-apa yang terjadi?" Ucapnya sembari mengalihkan pandangannya menatap Erland.Erland bangkit dan mendekati Joana lalu berkata, "Hidupku terhubung dengan hidupnya, semua yang dia terima aku juga menerimanya. Kami terhubung oleh Kutukan Penyatuan Jiwa.
"Jika kamu sudah tahu maka capet serahkan wanita itu padaku."Dengan lirikan mautnya, Erland membuat Charlie yang berdiri jauh dibelakangnya bergidik ngeri. "Apa kamu hanya akan menatapku saja?" Tanya Erland dengan suara dingin sembari terus melirik Charlie."I-ikuti saya."Erland melangkah mengikuti Charlie masuk ke sebuah Kastil yang baru pertama kali dia datangi. Kedatangan mendadak Erland membuat Penguasa Kastil, ayah Charlie tidak bisa menyiapkan apapun untuk menyambut dirinya."Maafkan kami Tuan Tamsos Karalius, kami tidak menyambut kedatangan anda.""Sudahlah, aku juga tidak butuh penyambutan apapun." Mendengar jawaban Erland membuat Sang Penguasa Kastil Bulan merasa tersinggung, karena ucapan Erland seolah telah merusak harga dirinya. Dalam hatinya, dia ingin sekali menghajar Erland namun, dia sadar bahwa orang yang datang ke Kastilnya bukanlah lawannya."Baiklah, silahkan anda duduk dan .... ""Aku kesini bukan untuk menikmati pelayananmu."Ucapan Erland yang tiba-tiba memot
"Apa yang dia katakan?"Erland berdiri di samping tubuh dingin Emma yang terbaring di ruangan dingin. Dia bertanya sambil memunggungi Nathan sekaligus menatap Emma yang tertidur secara bersamaan. Suaranya terdengar sedikit serak karena terus menangisi kepergian Emma beberapa hari ini."Dia tidak mau mengatakan apapun."Mendengar jawaban dari Nathan membuatnya naik darah, dia mengepal kedua tinjunya sembari menegangkan rahangnya. Kesabarannya sudah dikalahkan oleh amarah kekesalan yang dia tahan beberapa hari selama proses introgasi."Aku akan membuatnya membuka mulut." Ucapnya penuh penekanan.Setelah itu, Erland beranjak dari tempatnya dan melangkahkan kakinya di sepanjang lorong menuju tempat Felix dikurung. Langkahnya yang besar serta mantap terlihat mengerikan, amarah dihatinya sudah tak tertahankan. DUAKKKErland menendang pintu dengan tidak sabar, dia maju lima langkah lalu, tangannya dengan cepat meraih leher Felix. Ibu jarinya menekan titik vital yang dapat membunuh Felix, "K
"Tidak Emma, jangan tersenyum seperti itu."Kini Erland sudah sepenuhya berwujud manusia, tangannya bergetar hebat kala menyentuh pipi Emma yang sudah terdapat noda merah. Hatinya hancur berkeping-keping melihat senyuman terakhir yang Emma berikan untuknya. "EMMA!!!" Teriakan Erland terdengar sangat menyayat hati orang-orang yang menyaksikan kematian Emma. Erland terus mengguncang tubuh yang sudah tidak lagi bernyawa itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama tangisnya pecah karena kehilangan seseorang.Erland terus berteriak memanggil-manggil nama gadis yang berada dalam dekapannya itu. "Emma kenapa kamu meninggalkanku, bukankah kamu berjanji tidak akan pergi lagi." Ucap Erland mengingatkan Emma atas janji yang pernah gadis itu ucapkan sebelumnya."Erland relakan dia." Ucap Angela sembari berusaha menenangkan Erland."Angela biarkan saja dia." Ucap Nathan lirih sembari menggeleng pelan.Bak orang gila, Erland terus berbicara ini itu dengan tubuh yang tidak bernyawa itu. Dia jug
"Jangan sentuh dia!" Dengan cepat Erland meluncurkan serangan menggunakan sihirnya kala mendengar teriakan Emma menggema di telinganya. Seketika para bawahan Felix meledak bersamaan dengan sihir yang Erland luncurkan. Karena menyelamatkan Emma, membuatnya sedikit lengah. "Kerja bagus Emma, berteriaklah sebanyak mungkin." Seringai Felix sembari pandangannya tak lepas dari Erland. Kelengahan Erland dimanfaatkan oleh Felix dengan sangat baik, dia dengan cepat mengayunkan pedangnya dan berhasil melukai lengan kanan Erland. Erland menoleh kala merasakan lengan kanannya bergesekan dengan benda tajam. Dia menatap datar darah yang mengalir keluar dari lukanya seolah tidak merasakan sakit sama sekali. Kemudian dia mengalihkan padangannya, menatap tajam Felix yang sedang tersenyum sombong padanya. "Hanya luka ini bukan berarti kamu bisa lolos dariku." Ucapan Erland terdengar dingin dan menakutkan, nada bicaranya mampu membuat siapapun yang mendengarnya bergidik ngeri. Sesaat kemudian mata
"Wow! Selamat atas pernikahanmu Erland." Erland mengepal tinjunya sembari menatap Felix dengan sorot mata yang tajam menusuk. Dia sangat kesal karena hari bahagianya diganggu oleh beberapa penganggu yang datang tanpa undangan. "Untuk apa kamu kemari?" Tanya Erland sembari menahan kekesalannya. "Tentu saja aku kemari untuk merayakan pernikahan kalian ... dengan darah," Ucap Felix penuh penekanan sembari menoleh kepada Erland menampilkan seringaiannya yang terlihat menyebalkan. Setelah itu, dia langsung melesat mengayunkan pedangnya ke arah Erland. Dengan sigap Erland langsung menggunakan sihirnya untuk melindungi dirinya, mengingat tangan kanannya sudah tidak mampu lagi memegang pedang. "Kali ini aku tidak akan membiarkanmu kembali hidp-hidup!" Ucap Erland penuh penekanan sembari menampilkan sorot matanya yang mulai berubah memerah. "Kamu salah, akulah yang akan membuatmu tak bisa bangkit dan mengambil pengantin cantik yang berdiri disana." Ucap Felix sembari menyeringai menatap Emm
'Apakah aku sedang bermimpi?' Mata Emma membulat sempurna kala melihat sebuah Cicin dengan Berlian merah darah yang berkilau. Dia menutup mulutnya yang ternganga dengan kedua tangannya, jantungnya berdetak keras, darahnya berdesir terasa panas. Matanya berkaca-kaca melihat senyum Erland yang menunggu jawaban darinya. Tatapan Erland yang begitu teduh dan dalam membuatnya tak bisa berkata apapun. Tangan Emma menggenggam satu sama lain di depan dada lalu, dia mengangguk antusias sembari menampilkan senyum bahagiannya. Tangannya dengan lembut diraih oleh Erland, sesaat kemudian dia merasakan dingginnya Cincin tersebut menyentuh jari manisnya. Air mata kebahagiannya kini tak bisa lagi dia bendung. Dia mengangkat tangannya menatap indah jarinya yang dihiasi Cincin Berlian merah. "Dia sangat cocok denganmu." Dia mengalihkan pandangannya menatap Erland yang sedang tersenyum kepadanya. Dengan penuh kebahagiaan dia menghamburkan dirinya ke dekapan hangat Erland. Dia akhirnya merasakan hal y
"Apa yang terjadi dengan bibirmu? Siapa yang melakukannya?" Sorot mata Erland begitu khawatir melihat bibir Emma yang sedikit terluka. Ibu jarinya dengan lembut mengusap luka tersebut. Tanpa dia sadari wajahnya semakin dekat dengan wajah Emma, sesaat kemudian tatapannya bertemu dengan tatapan Emma.Tatatpan yang begitu intens serta sentuhan lembut pada bibirnya membuat jantung Emma berdegup kencang. Dia merasakan darahnya berdesir, rasa panas tiba-tiba menjalar di dalam tubuhnya, dia menelan ludahnya kala tatapan mereka saling bertemu."Kamu yang melakukannya."Suara Nathan yang tiba-tiba menyahut membuat mereka berdua tersentak dan segera menghentikan apa yang mereka lakukan. Emma sontak bergeser agak jauh dari tempat duduknya semula lalu, menunduk menyembunyikan wajah merahnya dari Nathan."Apa kamu sudah melupakan apa yang aku ajarkan?" Ucap Erland seolah sedang memarahi anak kecil."Tidak, tadi aku sudah mengetuk pintunya tapi, tidak ada satupun yang menggubrisnya." Balas Nathan
90 tahun yang lalu ...."Erland aku tidak percaya itu perbuatanmu, katakan saja yang sejujurnya." Felix menghunus pedang tajamnya ke arah Erland yang berdiri di hadapannya, dia menatap Erland dengan mata merah menunggu jawaban keluar dari mulut temannya itu. "Katakan atau aku tidak akan segan untuk melukaimu." Ancam Felix.Saat itu usia mereka masih 21 tahun sehingga, mereka cenderung mudah tersulut emosi dan termakan oleh rumor yang menyebar. Rumor yang mengatakan Erland yang melukai kedua orang tua Felix menyebar dalam semalam, membuat Felix frustasi."Itu aku." Singkat Erland mengakui bahwa rumor yang beredar memang benar."Jika itu hanya ibuku aku masih bisa percaya tapi, kedua orang tuaku terluka dan penyebabnya seorang yangbelum berpengalaman dan baru saja lulus dari Academy Sihir? Erland tidak perlu mengarang da ungkapkan siapa pelakunya!" "Kamu bisa tanya pada Kepala Academy, dialah yang melihatku berada di lokasi." Balas Erland tanpa ekspresi."Bohong! Tidak mungkin seorang
"Erland lihatlah! Langitnya sangat indah." Mata Emma nampak berbinar menatap langit malam bertabur bintang, senyum damainya terukir jelas saat menunjuk ke arah langit. 'Aku berharap waktu bisa berhenti.' Batin Emma sembari menyandarkan dirinya ke tubuh Erland. Kepalanya mendongak menatap Erland yang sedang menikmati langit indah bersamanya. 'Aku ingin selalu seperti ini.' Batinnya sembari merasakan jantungnya perlahan namun pasti berdegup dengan kencang. Untuk sesaat pandangannya seolah terkunci oleh ketampanan pria itu lalu, tanpa paksaan dia memeluk Erland sembari menenggelamkan wajahnya menghirup aroma wangi tubuh Erland. "Ada apa?" Tanya Erland lembut sembari menunduk menatap Emma yang tiba-tiba memeluknya. Tetap dalam posisinya dia menggeleng lalu berkata, "Hanya sedikit dingin." Emma sedikit berbohong menutupi rasa bahagianya serta menyembunyikan wajah merahnya setelah, sebelumnya menyadari Erland begitu tampan dari sisi manapun. "Emma bisa bantu panggilkan Nathan untukku?"