Keesokan harinya. Senja Cafe mulai beroperasi. Seperti namanya, Senja Cafe mulai buka pada sore hari menjelang magrib. Ketika para karyawan sudah bersih-bersih dan siap untuk berbuka, Citra memotret kafe mereka dari kejauhan dan menge-post-nya di sosial medianya. Memberitahu orang-orang bahwa mulai hari ini kafenya sudah buka. Malam harinya, kafe itu ramai pengunjung berdatangan. Sebenarnya Citra tak heran. Karena sebelumnya pun mereka sudah melakukan grand opening dan diliput banyak wartawan. Maka, tak heran sudah banyak yang tahu tentang kafe mereka. Citra hanya membayangkan seandainya dia membuka franchise dari dulu waktu dia masih SMA, pasti pengunjungnya tak akan langsung seramai ini, tak akan semudah ini. Semua ini juga pakai modal yang tidak sedikit. Citra jadi teringat ucapan suaminya tempo hari. " .... Franchise itu cocok buat pembisnis pemula kayak kita. Kayak kamu yang pengin nyoba dunia bisnis. Franchise itu mudah sebenarnya ngejalaninnya. Jadi misal pengin bisn
Sore harinya, setelah Atala pergi ke kampus, Citra berkunjung ke makam orang tuanya sekaligus ke makam eyang kakungnya. Dia pergi seorang diri. Citra ingat eyang putri pernah bilang kita tidak boleh melupakan orang yang sudah meninggal. Karena walaupun sudah meninggal mereka tetap melihat kita, mereka ingat kita. Jadi kita pun tak lantas melupakan mereka.Dengan berkunjung ke makam itu salah satu cara kita menunjukkan kalau kita pun masih ingat dengan mereka. Citra mengunjungi makam orang tuanya terlebih dulu yang jaraknya pun bersebelahan.Wanita mengenakan kerudung putih itu mengangkat tangan lebih dulu untuk berdo'a sebelum akhirnya menaburkan bunga kertas warna-warni ke atas gundukan tanah itu. Citra menaburkannya ke makam ibu dan ayahnya bergantian."Mama, Papa." Citra yang berjongkok di antara kedua makam itu memandangi makam orang tuanya bergantian. "Maaf, ya, aku baru bisa ke sini lagi. Mama dan Papa pasti bisa lihat gimana kehidupanku yang sekarang. Aku bahagia, Ma, Pa, deng
Hari-hari terus berlalu. Tidak ada yang berubah dari rutinitas Citra dan Atala selain Atala yang akhirnya memutuskan untuk berhenti bekerja. Karena dia ingin fokus dengan kuliahnya dan membantu istrinya menangani Senja Cafe. Tentu Atala merasa tidak yakin dia bisa menangani semuanya dengan baik, karenanya dia memilih berhenti. Citra pun setuju saja dan tidak menghakimi suaminya karena mereka pun sudah punya kafe sendiri. Suatu hari, Citra ingin berbelanja di pasar sekaligus membeli alat dan bahan-bahan pembuatan kopi yang sudah habis seperti gelas kertas, gula, susu cair dan lain-lain. "Biar aku antar, ya." Atala langsung menyambar kunci mobil yang terletak di atas meja saat dilihatnya istrinya itu sibuk mengobok-obok tas tangannya. Citra yang tengah sibuk dengan aktivitasnya itu terhenti dan mengangkat kepalanya menatap suaminya. "Nggak. Kamu di rumah aja gantiin aku. Lagian cuman belanja bentar doang, ditemenin segala." "Ya, nggak pa-pa. Di kafe kan udah ada Kak Nadia. Jadi aku
"Mana bayaran gue!" Seorang pria bertubuh besar menggertak garang seorang pedagang remaja lelaki.Remaja itu terlihat takut-takut. Sambil tertunduk, dia menjawab. "Be-be-lum ada, Bang. Pem-be-beli lagi sepi.""Bohong aja lo! Gue liat pembeli lo ramai dari tadi!" Si pria bertubuh besar itu mendorong baru si remaja sampai tubuh ringkih itu terhuyung."Nggak ada, Bang."Citra bergidik ngeri melihatnya. Dia pun berbalik arah, mencari jalan lain. Sebenarnya dia ingin menolong pedagang remaja itu. Tapi dia juga takut. Nantinya alih-alih menolong orang, yang ada dia kena batunya. Citra tak mau ambil risiko. Hidup di Jakarta memang keras. Citra yakin remaja itu masih sekolah, mungkin sekitar SMA. Tapi dia juga harus bekerja juga untuk membantu orang tuanya mencari nafkah. Atau bahkan mungkin remaja itu berhenti sekolah dan memilih bekerja.Menyusuri jalan yang cukup jauh dengan berjalan kaki sambil membawa banyak belanjaan membuatnya cukup kewalahan. Dia agak menyesal tadi sudah menolak ta
"Iya, iya, maaf, lain kali aku bakal lebih dengerin kamu, deh." Citra menunduk lesu seiring dengan langkahnya yang mengiringi langkah Atala sejak tadi. Mereka kembali ke tempat di mana Atala memarkir mobilnya. Sepanjang perjalanan itu Atala menceramahi istrinya habis-habisan. Lelaki itu berkali-kali bilang harusnya tadi Citra mengikuti sarannya untuk diantar olehnya.Dan ketika istrinya bertanya bagaimana dia bisa ada di sini juga. Atala menjawab dia membututi istrinya sejak tadi dan rela meninggalkan kafe. Perasaan tak nyamannya mendorongnya melakukan itu.Ya, sejak tadi Atala memang membututi istrinya pakai mobil. Dia juga berjalan kaki mengiringi istrinya dari kejauhan saat wanita itu memasuki pasar sayur. Sampai dia mendapati Citra di kepung dan dijahili para preman."Kayaknya kamu emang nggak aman deh kalau pergi-pergi sendiri," jawab Atala kemudian. "Harus selalu ada yang nemenin, nih." Mereka lalu berhenti di depan bagasi mobil. Dan Atala membuka pintu bagasinya"Mungkin hari
Mereka bertiga, Johan, Atala dan Citra akhirnya memutuskan untuk makan siang di kedai yang ada di antara pasar tradisional itu. Mereka memesan gado-gado.Waktu pertama kali melihat kehadiran papanya di sini, Atala bertanya-tanya kenapa papanya bisa ada di pasar tradisional. Dan Johan menjawab bahwa dia memang sengaja ke sini untuk bernostalgia.Melihat itu, Citra langsung antusias untuk mengajak papanya makan gado-gado di kedai pasar tradisional itu. Dengan senang hati tanpa keraguan sedikitpun, Johan menerima tawaran itu.Berbeda dengan Atala yang dibesarkan dari keluarga kaya raya, Johan pernah melewati masa sulit di masa kecilnya. Karenanya Johan paham dan mengerti bagaimana rasanya hidup susah. Masa kecil Johan juga sering menikmati makan makanan murah yang tak pernah Atala makan.Sementara Atala masih terheran-heran kenapa papanya mau makan di tempat seperti ini. Atala terpaksa ikut mereka masuk ke kedai dan memesan gado-gado murah itu. "Jadi Atala tempat ini udah nggak familier
"Rencana apa?" tanya papanya yang sudah menikmati makanan itu beberapa sendok."Rencana buat belajar hidup sederhana." Atala lalu menoleh pada Citra dan tersenyum. "Iya kan, Sayang?"Citra yang juga sudah mengunyah malah mengernyit bingung. "Yang mana?"Reaksi Citra yang demikian membuat Atala malu. Dia menatap istrinya tak habis pikir. "Yang itu loh, Sayang, masak nggak ingat. Sini aku bisikkin." Atala lalu berbisik di telinga Citra.Citra tertawa setelahnya, bahkan sampai menepuk meja. "Oh itu ....""Ingat kan?" Atala menatap Citra dari samping dan masih merangkul bahu istrinya.Citra mengangguk-angguk. "Iya, ingat. Jadi Pa, Atala katanya dulu pernah pengin belajar hidup sederhana gara-gara aku cerita tentang novel urban legend yang mana tokohnya kebanyakan pria kaya yang pura-pura jadi miskin. Papa tahu tentang novel urban legend nggak?"Papa Johan mengernyit. "Jadi Atala mau belajar hidup sederhana? Maksudnya bagaimana?" Bukannya menjawab pertanyaan Citra tentang novel urban legen
"Kayaknya aku butuh bodyguard, deh, buat temenin aku ke mana-mana." Ide itu tiba-tiba melintas di benak Citra ketika Atala berkali-kali bilang kalau lain kali Citra tak boleh lagi pergi-pergi sendiri. Bahkan ketika mereka sudah berada di Mall pun Atala masih saja membahas hal itu.Ya, setelah puas menghabiskan waktu bersama papa dan mengobrol banyak hal dengan orang tua itu, mereka kembali melanjutkan berbelanja di Mall, membeli kebutuhan kafe mereka.Citra menoleh pada Atala yang mengiringinya menyusuri stan makanan sejak tadi, karena lelaki itu tak merespons ucapannya barusan. "Menurut kamu gimana?" tanyanya lagi."Aku nggak setuju," tegas Atala."Kenapa nggak setuju?" Citra bertanya saat dia mengambil beberapa bungkus daging premium di dalam freezer."Ya nggak setuju!""Bukannya bagus, ya, itu artinya aku ada yang jagain. Kamu bisa tenang dan nggak perlu repot kayak seka
Enam tahun kemudian.Tok! Tok! Tok!Pintu ruang CEO itu terdengar diketuk, sebelum akhirnya sang CEO yang duduk di atas singgasananya menyahut."Ya, masuk!"Pintu di buka, memunculkan seorang wanita cantik mengenakan pakaian kantor. Terlihat begitu elegan. Sepatu hak tingginya terdengar menggema mengetuk lantai ketika dia berjalan mendekat sembari meninting paper bag. Sang CEO tersenyum senang melihat kehadiran wanita itu. "Makan siangnya sudah datang, Pak," beritahu sang sekretaris itu, lalu meletakkan paper bagnya ke atas meja."Terima kasih," sahut sang CEO. Ya, baru saja dia meminta sang sekretaris pribadinya itu memesankan makanan online untuknya. "Eh, kamu mau ke mana?" tanyanya ketika sang sekretaris terlihat beranjak pergi.Wanita berambut pendek itu menatapnya. "Keluar, Pak.""Duduk di sini, temanin saya makan, seperti biasa, dong." Sang CEO tersenyum penuh arti saat menutup laptopnya. "Maaf, saya belum lapar, Pak. Lagian masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan,
Citra tersenyum saat dia tak sengaja masuk ke stan baju bayi dan balita, dan melihat beberapa baju bayi yang bergantungan itu. Baju-baju bayi itu membuatnya teringat dengan bayinya yang sempat singgah di perutnya. Dia bahkan belum sempat membelikan bayi itu baju, tapi bayi itu sudah pergi. "Hei, kamu di sini ternyata." Teguran itu menyadarkan lamunan Citra. Wanita itu sontak menoleh ke sampingnya. Atala menegurnya sambil menatapnya heran. Lalu Atala ikut memandang ke arah pandang Citra. "Udah jangan sedih-sedih lagi, jangan ingat-ingat lagi," ucapnya menghibur sambil mengusap kepala istrinya.Citra tersenyum. "Iya.""Udah selesai pilih bajunya?"Citra menggeleng. "Ya udah, ayok pilih lagi."Atala benar-benar mengajak Citra jalan ke Mall demi menghibur istrinya itu. Walau sepertinya hal itu tak banyak membantu. Karena Atala masih sering mendapati Citra murung memikirkan sesuatu.Citra kembali mendorong trolinya, kembali memasuki stan pakaian dewasa, bersama Atala juga. Saat Citr
"Aku ... aku punya kabar duka, Eyang," ucap Citra pada eyang ditelepon setelah eyang bertanya ada apa."Kabar duka apa, Nduk?" Suara Eyang terdengar cemas. "Aku ... keguguran, Eyang." Air mata Citra sontak menetes bersamaan dengan dia mengucapkan kalimat itu. Masih sedih saja hatinya mengingat ketiadaan bayinya padahal kemarin bayinya masih ada dalam kandungannya. Dadanya juga terasa sesak. "Bayiku udah nggak ada.""Ya Allah Gusti ...." Suara Eyang terdengar sedih. Dan sepertinya eyang putri menangis di seberang sana. "Ini semua ...." Citra berhenti ketika hendak mengucapkan kata-kata 'ini semua salahku, aku nggak becus jaga kandungan, aku nggak bisa jadi ibu yang baik'.Dia berhenti mengucapkannya karena ingat pesan Atala yang mengatakan seharusnya dia tak boleh menyalahi diri. "Apa, Nduk?""Enggak, Eyang. Mungkin ini semua udah takdir Allah, ya, Eyang. Eyang jangan sedih, ya. Nanti aku pasti bisa hamil lagi, kok." Citra tersenyum. Sejatinya dia tengah menghibur dirinya sendiri."
Dua hari berlalu. Citra masih memikirkan kandungannya yang keguguran. Meski Atala berkali-kali mengatakan sebaiknya dia tak perlu menyalahkan dirinya. Tetap saja, Citra merasa bersalah karena kenyataannya memang begitu. Karena dia sadar jauh dalam lubuk hatinya paling dalam, dia belum siap menjadi ibu, dan Atala tak tahu itu. Tak ada yang tahu isi hatinya selain dirinya dan Tuhan. Seketika kenangan dan kejadian lalu itu pun teringat lagi. Dia ingat bagaimana selama ini dia tak begitu menginginkan bayi itu. Percakapannya dengan Bi Rahma waktu pertama kali dia tahu dia hamil pun terngiang. "Aku nggak mau hamil, Bi ...." "Kenapa Non jadi sedih? Harusnya Non bahagia kan? Kan Non sudah menikah dengan Tuan Atala. Memang sudah seharusnya Non hamil." "Tapi, Bi .... Aku belum siap. Aku belum siap mengurus anak, aku takut ...." "Non jangan pesimis begitu .... Ingat, ya, apa pun yang Allah kehendaki itulah yang terbaik. Non ingat kan dulu Non sendiri juga ndak mau menikah dengan Tuan Atala.
Sejak dalam perjalanan hingga sampai ke rumah, Citra hanya berdiam diri. Bahkan dia tak menyahut ketika Bi Rahma menegurnya. Bi Rahma mengalihkan pandang pada Atala yang hanya dibalas gelengan kepala. Atala membiarkan Citra masuk ke kamar. Lantas dia bicara pada Bi Rahma."Ada apa, Tuan? Kenapa Non Citra begitu sedih? Kandungannya baik-baik saja, kan?" Meski sudah tahu apa yang mungkin terjadi, Bi Rahma masih berharap yang baik-baik.Atala terdiam lama sebelum akhirnya menjawab. "Citra keguguran, Bi." Dia berterus-terang. Wajahnya tertunduk lesu. Membayangkan bagaimana dia mengatakan berita buruk ini pada keluarga yang lain, terutama papa. "Ke-keguguran, Tuan?" Bi Rahma tampak tak percaya. Atala diam saja. Dan itu cukup menjelaskan."Ya Allah ...." Bi Rahma sampai menutup mulutnya. "Kasihan Non Citra." Art itu bisa langsung membayangkan bagaimana perasaan Citra saat ini. "Non Citra sekarang pasti sedih sekali. Pantas saja tadi banyak diam.""Iya, Bi. Bi aku ke kamar dulu, ya, temeni
Mendengar itu, Atala spontan menoleh. Wajah lelaki itu langsung berubah melihat istrinya kesakitan sambil memegangi perut."Citra!" Dia pun berlari mendatangi istrinya itu. "Perut kamu kenapa?" tanyanya saat memegangi tubuh istrinya. Rasa kesal tadi sontak menguap entah kemana bergantikan rasa khawatir luar biasa."Perut aku sakit banget." Citra merintih. "Kita ke rumah sakit sekarang, ya?"Atala langsung membopong istrinya turun ke bawah dengan tergesa. Sebelum pergi, dia meneriaki Bi Rahma untuk memberitahu kalau dia dan Citra akan pergi ke rumah sakit.Meski sempat khawatir melihat keadaan majikannya itu, Bi Rahma menurut. "Ya Allah semoga Non Citra ndak kenapa-kenapa. Semoga kandungannya baik-baik saja," doa sang art itu dengan tulus.***Atala mondar-mandir dengan gelisah di depan ruang kebidanan. Di balik rasa khawatirnya terhadap kandungan istrinya, dia masih berharap dan berdoa kalau kandungan isrinya yang baru seumur jagung itu baik-baik saja. Begitu pintu ruang itu terbuka
"Sayang, hari ini kita jalan-jalan, yuk!" ajak Citra kala dia mendapati suaminya sedang termenung di balkon lantai atas. Tapi suaminya itu hanya berdiam diri, tak bereaksi sedikit pun setelah mendengar suaranya. Seolah dia sudah bisa menebak hal itu.Citra sudah menduga semua ini. Hal yang dia takutkan akhirnya terjadi. Atala marah karena mengetahui Dimas masih meneleponnya. Begitu melihat siapa yang meneleponnya, Citra langsung bergegas ke atas menyusuli suaminya, berusaha untuk mencairkan suasana. Dia mencari suaminya itu ke sana kemari. Namun, ternyata suaminya di sini. Dan suaminya itu tak bergeming sedikitpun mendengar suaranya. Dia benar-benar marah.Tapi Citra tentu saja tak menyerah. Wanita itu menghela napas, berjalan mendekati suaminya. Mencoba memberanikan diri memeluk pinggang suaminya. Dan kali ini, Atala tak melepasnya, tapi tak juga membalas pelukannya. Citra pun melepas pelukannya. "Kamu marah, ya, sama aku? Kenapa?" Dia mulai bertanya.Citra tak ingin masalah ini be
Hari-hari terus berlalu, kehidupan Citra dan Atala berjalan bahagia seperti biasanya. Meski kadang kala Atala merasa beban yang ditanggungnya terasa berat, dia tetap kuat. Karena dia bersama Citra. Kebahagiaan Citra adalah kebahagiaannya juga. Maka dia akan berusaha melakukan apa pun untuk kebahagiaan istrinya itu.Hari itu hari Minggu. Atala tentu saja tak ke kampus. Dan dia punya banyak waktu luang untuk istrinya. Sebenarnya Atala bisa mengajak Citra jalan-jalan. Namun, mengingat istrinya yang hamil dan harus lebih menjaga kandungan, mereka memilih diam di rumah saja. Lagipula bagi seorang Atala tak masalah dia diam di rumah, asal bersama sang istri tercinta.Citra sedang mandi di toilet yang ada di kamarnya saat Atala hanya rebahan di kasurnya.Pria itu nyaris jatuh tertidur ketika dia mendengar bunyi dering ponsel khas milik istrinya.Atala pun seketika terjaga. "Sayang, ponsel kamu bunyi tuh? Angkat, dong," racaunya setengah sadar. Hening, tak ada sahutan dari Citra. Dan ponsel
Sejak hari itu, Citra jadi lebih kalem. Dia lebih serius mendengarkan apa kata suaminya. Dia makan dan minum vitamin secara teratur. Setelah makan dan minum dia rebahan, sesekali sambil main ponsel.Beberapa hari belakangan ini, Dimas tak ada menghubunginya lagi, entah itu sekadar chat atau telepon. Membuatnya sedikit lega. Kata dokter, selama masa kehamilan, sebisa mungkin Citra tak boleh banyak pikiran. Apalagi memikirkan hal yang tidak penting. Ya, Citra bisa untuk sedikit tenang dan tidak memikirkan apa pun dulu, kecuali ... masalah Dimas itu. Citra mungkin baru akan berhenti memikirkannya jika dia sudah bercerita pada suaminya. Tapi ... Citra belum berani cerita sekarang. Citra memijit pelipisnya yang tiba-tiba pusing. Peringatan Atala tempo hari yang terdengar begitu tegas kembali membayangi."Aku serius kali ini, Sayang. Aku mau mulai sekarang kamu lebih menjaga kandunganmu. Kamu harus lebih dengarkan aku. Kalau sekali aja aku dengar kabar buruk dari kamu dan itu karena ka