"Kayaknya aku butuh bodyguard, deh, buat temenin aku ke mana-mana." Ide itu tiba-tiba melintas di benak Citra ketika Atala berkali-kali bilang kalau lain kali Citra tak boleh lagi pergi-pergi sendiri. Bahkan ketika mereka sudah berada di Mall pun Atala masih saja membahas hal itu.
Ya, setelah puas menghabiskan waktu bersama papa dan mengobrol banyak hal dengan orang tua itu, mereka kembali melanjutkan berbelanja di Mall, membeli kebutuhan kafe mereka.
Citra menoleh pada Atala yang mengiringinya menyusuri stan makanan sejak tadi, karena lelaki itu tak merespons ucapannya barusan. "Menurut kamu gimana?" tanyanya lagi.
"Aku nggak setuju," tegas Atala.
"Kenapa nggak setuju?" Citra bertanya saat dia mengambil beberapa bungkus daging premium di dalam freezer.
"Ya nggak setuju!"
"Bukannya bagus, ya, itu artinya aku ada yang jagain. Kamu bisa tenang dan nggak perlu repot kayak seka
Dua bulan terlewati sejak hari itu. Banyak perubahan yang terjadi dalam hidup Citra dan Atala selama kurun waktu dua bulan itu. Perubahan ke arah yang positif, tentu saja. Seperti hubungan sang pengantin baru yang makin harmonis saja. Selain itu, kafe mereka yang makin ramai pengunjungnya. Dan yang paling penting bagi Citra adalah sikap eyang putri. Citra tak tahu apa yang Papa Johan pernah katakan pada eyang putri. Tak lama setelah peristiwa eyang datang ke rumah waktu itu, eyang kembali datang ke rumah mereka. Orang tua itu mengatakan dia mulai percaya kalau cucu dan cucu menantunya itu sudah saling mencintai. Eyang putri tak mengungkit masalah rencana pernikahan sementara itu lagi. Eyang putri juga lebih sering menghabisi waktu bermain ke rumah Citra, melihat keadaan cucu kesayangannya itu. Seperti yang terjadi saat ini.Kini Citra sedang berbaring di pangkuan eyang putrinya, di atas kasur, di kamar perempuan itu. Lengan krisut orang tua itu membelai kepala cucu kesayangannya.
".... Dan Eyang mau sebelum Eyang meninggal, Eyang sudah menimang cicit, melihat cicit Eyang tumbuh walau hanya sampai balita.""Jadi Eyang nyuruh aku segera hamil supaya Eyang punya cicit? Nuri kan juga cicit Eyang?""Eyang mau cicit dari kamu? Kalau kamu bisa hamil cepat, kenapa harus ditunda?""Lagi pula sebagai seorang perempuan ... Ndak pantas kamu ngomong seperti barusan, Nduk. Di mana-mana seorang perempuan pasti sangat mendambakan anak. Naluri keibuan sebagai seorang perempuan yang sudah menikah sedikit banyak pasti muncul. Memangnya kamu ndak merasakan naluri itu?"Perkataan eyang itu masih bertalu-talu di kepala Citra. Membayangkan dia harus segera hamil padahal dirinya sendiri sebenarnya tak ingin menikah muda, membuatnya merasa terbebani. Membuatnya jadi ingat sesuatu. Amanah Papa Johan dulu yang memintanya mendidik Atala dan mengubah perangai lelaki itu. Amanah itu juga membuatnya sempat merasa terbebani. Karena dia tak yakin bisa melakukannya. Hanya saja waktu itu dia
Citra memejamkan matanya. Tak ingin lagi mengingat cerita itu lebih jauh. Dari cerita Papa Johan, dia tahu bahwa dirinya memiliki orang tua yang begitu baik. Dan Papa Johan juga sama baiknya dengan papanya. Yang anehnya, dia tak pernah tahu tentang persahabatan keluarganya itu. Kalau memang persahabatan itu terjadi sejak turun-temurun, harusnya dirinya dan Atala juga bersahabat. Tapi yang terjadi mereka malah saling membenci. Iya, itu dulu. Sekarang mereka saling mencintai. Citra tersenyum geli mengingat kenangan itu. Iya, orang tuanya memang sangat baik. Orang tuanya tidak hanya baik dan pengertian pada orang lain, tapi juga pada anaknya sendiri. Tak seperti eyang putri yang terkesan senang memaksakan kehendaknya. Jujur, Citra tak suka sifat eyangnya yang satu itu. Dari dulu selalu saja begitu. Eyang bahkan memaksanya untuk segera hamil dan tega mengatainya tidak punya naluri seorang ibu. Jujur, Citra sakit hati akan hal itu. Semakin dia pikirkan, semakin sakit hatinya. Sud
"Hari ini menu makan siang kita apa, ya, Bi?" Seperti biasa, mendekati jam dua belas, Citra berkunjung ke dapur, mengecek menu masakan Bi Rahma yang disiapkan buat makan siang mereka. "Ini loh, Non, Bibi masak beda dari hari biasanya," jawab Bi Rahma sambil mengaduk masakannya. Sesekali menoleh ke Citra yang sudah berdiri di belakangnya. "Pindang gembung." "Pindang gembung?" Bi Rahma menoleh. "Iya. Seingat Bibi kita belum pernah masak ini, iya kan?" Citra hanya mengangguk-angguk. Dia pun tak begitu ingat selama ini mereka pernah makan ikan gembung pindang atau tidak. Mengingat selama ini pun mereka lebih sering makan daging sapi atau ayam. Citra memperhatikan asap yang keluar dari panci yang tengah diaduk Bi Rahma itu. Aroma bumbu ikan pindang sontak menguar. Masuk ke penciuman Citra dan terasa menggelitik perutnya. Spontan Citra menutup mulutnya, dia merasa mual. Dia pun mengeluarkan gumaman. Bi Rahma menoleh, tatapannya berubah khawatir saat menatap majikan mudanya itu.
Citra tak tahu harus bereaksi bagaimana ketika dia menatap benda putih panjang di tangannya itu, benda itu menampakkan garis merah dua. Alat tes kehamilan itu menunjukkan kalau dia positif hamil. "Ja-jadi aku memang hamil?" Wanita itu pun keluar dari kamarnya. Bi Rahma adalah orang pertama yang dia panggil. Wanita tambun itu tergopoh-gopoh mendatanginya dari dapur. "Ada apa, Non? Bagaimana hasilnya? Non Citra hamil, kan?" Bi Rahma tampak begitu berharap. Hal itu membuat perasaan Citra semakin tak menentu. Apakah kabar kehamilannya ini adalah berita yang membahagiakan? Tapi kenapa dia malah merasa sedih dan kecewa? Alih-alih menjawab, Citra akhirnya malah menangis. "Aku hamil, Bi ...," Bi Rahma justru mengira itu adalah tangis bahagia. Wanita itu tersenyum menatap majikannya. "Alhamdulillah, ya. Akhirnya Non hamil juga." Citra lalu menggeleng masih dengan tangisnya. "Aku nggak mau hamil, Bi ...." Bi Rahma lalu terheran. Dia melihat reaksi Citra bukan seperti seorang calon ib
Hari itu Atala pulang ke rumah agak malam dari biasanya, yakni pukul tujuh. Belum terlalu malam sebenarnya jika mengingat Atala yang selalu pulang sore belakangan ini. Begitu mobilnya masuk ke halaman, rumah megah yang biasanya terang benderang itu tampak gelap. Seperti tak berpenghuni. Lampu teras dan lampu halaman yang biasa menyinari tak menyala. Melihat itu, Atala hanya bisa memendam pertanyaan-pertanyaan yang mulai muncul di benaknya, sampai akhirnya mobilnya berhenti di halaman dan dia turun dari sana. Atala naik ke teras sambil mengecek jam di pergelangan tangannya. "Perasaan ini masih awal. Belum malam banget, kok," gumamnya seorang diri saat dia berpikir mungkinkah Citra marah dengannya karena pulang telat hingga memadamkan lampu. Namun, asumsi lain muncul lagi di benaknya. "Rusak apa ya lampunya. Tumben nggak dinyalain." Ragu untuk mengetuk pintu, Atala memilih menelepon Bi Rahma lebih dulu. Namun, telepon itu tak kunjung diangkat. Membuat lelaki itu terheran-heran. La
"Hari ini kenapa pulangnya telat?" tanya Citra akhirnya saat mereka sudah berada di dalam kamar. Bersiap untuk tidur. Sesekali Citra melirik jarum jam yang sudah menunjukkan pukul sembilan. Masih awal sebenarnya, tapi dia tidak tahan untuk menunda memberi tahu soal kejutan yang satu itu. "Soalnya aku ke kafe dulu tadi," jawab Atala yang sedang duduk di pinggir kasurnya. "Ke kafe kita, ngecek perkembangannya, udah lama juga aku nggak ke sana." Iya, jadwal Atala pulang kampus memang sore, karena dia belakangan ini masih masuk pagi. Tadi dia pulang agak telat karena singgah ke Senja Cafe sebentar, sempat berbincang dengan Kak Nadia juga. Citra mengangguk-angguk. "Kirain kamu ke mana." "Memangnya kamu sempat mikirnya aku ke mana?" Citra menggeleng. "Aku nggak mikir apa-apa, kok." Atala tersenyum. "Makasih, ya, untuk suprise hari ini. Aku senang banget." Mendengar perkataan itu, Citra malah berkata. "Aku yang minta maaf. Aku baru ingat ulang tahun kamu tadi siang. Harusnya aku bisa k
"Ya ampun, Papa, nggak perlu repot-repot gini, lah ...." Atala tak enak hati ketika saat tangannya mau tak mau menerima sekantong besar pemberian dari papanya. Johan yang melangkah memasuki rumah megah pemberiannya itu menatap remeh anaknya. "Alah kamu, selama ini kamu apa-apa juga dari Papa kan? Jadi jangan sungkan gitulah." Atala juga balas tertawa. Bukannya dia sungkan atau apa-apa. Hanya saja rasanya makin ke sini, dia ingin bisa mandiri, ingin bisa memenuhi kebutuhan istrinya sendiri tanpa bantuan papa lagi. Pria yang baru berusia dua puluh tahun itu lantas mengecek isi kantong barusan. Ternyata isinya adalah beberapa kotak susu khusus ibu hamil. Beserta vitamin dan makanan khusus ibu hamil. "Makasih, Pa," ucap Atala kemudian. Setelahnya dia memanggil salah satu ART-nya untuk menaruh makanan itu ke dapur. Citra yang sejak tadi berdiri di samping Atala, ikut mengucapkan terima kasih dan menyuruh papa mertuanya itu duduk. "Papa terkejut sekaligus senang waktu mendenga
Enam tahun kemudian.Tok! Tok! Tok!Pintu ruang CEO itu terdengar diketuk, sebelum akhirnya sang CEO yang duduk di atas singgasananya menyahut."Ya, masuk!"Pintu di buka, memunculkan seorang wanita cantik mengenakan pakaian kantor. Terlihat begitu elegan. Sepatu hak tingginya terdengar menggema mengetuk lantai ketika dia berjalan mendekat sembari meninting paper bag. Sang CEO tersenyum senang melihat kehadiran wanita itu. "Makan siangnya sudah datang, Pak," beritahu sang sekretaris itu, lalu meletakkan paper bagnya ke atas meja."Terima kasih," sahut sang CEO. Ya, baru saja dia meminta sang sekretaris pribadinya itu memesankan makanan online untuknya. "Eh, kamu mau ke mana?" tanyanya ketika sang sekretaris terlihat beranjak pergi.Wanita berambut pendek itu menatapnya. "Keluar, Pak.""Duduk di sini, temanin saya makan, seperti biasa, dong." Sang CEO tersenyum penuh arti saat menutup laptopnya. "Maaf, saya belum lapar, Pak. Lagian masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan,
Citra tersenyum saat dia tak sengaja masuk ke stan baju bayi dan balita, dan melihat beberapa baju bayi yang bergantungan itu. Baju-baju bayi itu membuatnya teringat dengan bayinya yang sempat singgah di perutnya. Dia bahkan belum sempat membelikan bayi itu baju, tapi bayi itu sudah pergi. "Hei, kamu di sini ternyata." Teguran itu menyadarkan lamunan Citra. Wanita itu sontak menoleh ke sampingnya. Atala menegurnya sambil menatapnya heran. Lalu Atala ikut memandang ke arah pandang Citra. "Udah jangan sedih-sedih lagi, jangan ingat-ingat lagi," ucapnya menghibur sambil mengusap kepala istrinya.Citra tersenyum. "Iya.""Udah selesai pilih bajunya?"Citra menggeleng. "Ya udah, ayok pilih lagi."Atala benar-benar mengajak Citra jalan ke Mall demi menghibur istrinya itu. Walau sepertinya hal itu tak banyak membantu. Karena Atala masih sering mendapati Citra murung memikirkan sesuatu.Citra kembali mendorong trolinya, kembali memasuki stan pakaian dewasa, bersama Atala juga. Saat Citr
"Aku ... aku punya kabar duka, Eyang," ucap Citra pada eyang ditelepon setelah eyang bertanya ada apa."Kabar duka apa, Nduk?" Suara Eyang terdengar cemas. "Aku ... keguguran, Eyang." Air mata Citra sontak menetes bersamaan dengan dia mengucapkan kalimat itu. Masih sedih saja hatinya mengingat ketiadaan bayinya padahal kemarin bayinya masih ada dalam kandungannya. Dadanya juga terasa sesak. "Bayiku udah nggak ada.""Ya Allah Gusti ...." Suara Eyang terdengar sedih. Dan sepertinya eyang putri menangis di seberang sana. "Ini semua ...." Citra berhenti ketika hendak mengucapkan kata-kata 'ini semua salahku, aku nggak becus jaga kandungan, aku nggak bisa jadi ibu yang baik'.Dia berhenti mengucapkannya karena ingat pesan Atala yang mengatakan seharusnya dia tak boleh menyalahi diri. "Apa, Nduk?""Enggak, Eyang. Mungkin ini semua udah takdir Allah, ya, Eyang. Eyang jangan sedih, ya. Nanti aku pasti bisa hamil lagi, kok." Citra tersenyum. Sejatinya dia tengah menghibur dirinya sendiri."
Dua hari berlalu. Citra masih memikirkan kandungannya yang keguguran. Meski Atala berkali-kali mengatakan sebaiknya dia tak perlu menyalahkan dirinya. Tetap saja, Citra merasa bersalah karena kenyataannya memang begitu. Karena dia sadar jauh dalam lubuk hatinya paling dalam, dia belum siap menjadi ibu, dan Atala tak tahu itu. Tak ada yang tahu isi hatinya selain dirinya dan Tuhan. Seketika kenangan dan kejadian lalu itu pun teringat lagi. Dia ingat bagaimana selama ini dia tak begitu menginginkan bayi itu. Percakapannya dengan Bi Rahma waktu pertama kali dia tahu dia hamil pun terngiang. "Aku nggak mau hamil, Bi ...." "Kenapa Non jadi sedih? Harusnya Non bahagia kan? Kan Non sudah menikah dengan Tuan Atala. Memang sudah seharusnya Non hamil." "Tapi, Bi .... Aku belum siap. Aku belum siap mengurus anak, aku takut ...." "Non jangan pesimis begitu .... Ingat, ya, apa pun yang Allah kehendaki itulah yang terbaik. Non ingat kan dulu Non sendiri juga ndak mau menikah dengan Tuan Atala.
Sejak dalam perjalanan hingga sampai ke rumah, Citra hanya berdiam diri. Bahkan dia tak menyahut ketika Bi Rahma menegurnya. Bi Rahma mengalihkan pandang pada Atala yang hanya dibalas gelengan kepala. Atala membiarkan Citra masuk ke kamar. Lantas dia bicara pada Bi Rahma."Ada apa, Tuan? Kenapa Non Citra begitu sedih? Kandungannya baik-baik saja, kan?" Meski sudah tahu apa yang mungkin terjadi, Bi Rahma masih berharap yang baik-baik.Atala terdiam lama sebelum akhirnya menjawab. "Citra keguguran, Bi." Dia berterus-terang. Wajahnya tertunduk lesu. Membayangkan bagaimana dia mengatakan berita buruk ini pada keluarga yang lain, terutama papa. "Ke-keguguran, Tuan?" Bi Rahma tampak tak percaya. Atala diam saja. Dan itu cukup menjelaskan."Ya Allah ...." Bi Rahma sampai menutup mulutnya. "Kasihan Non Citra." Art itu bisa langsung membayangkan bagaimana perasaan Citra saat ini. "Non Citra sekarang pasti sedih sekali. Pantas saja tadi banyak diam.""Iya, Bi. Bi aku ke kamar dulu, ya, temeni
Mendengar itu, Atala spontan menoleh. Wajah lelaki itu langsung berubah melihat istrinya kesakitan sambil memegangi perut."Citra!" Dia pun berlari mendatangi istrinya itu. "Perut kamu kenapa?" tanyanya saat memegangi tubuh istrinya. Rasa kesal tadi sontak menguap entah kemana bergantikan rasa khawatir luar biasa."Perut aku sakit banget." Citra merintih. "Kita ke rumah sakit sekarang, ya?"Atala langsung membopong istrinya turun ke bawah dengan tergesa. Sebelum pergi, dia meneriaki Bi Rahma untuk memberitahu kalau dia dan Citra akan pergi ke rumah sakit.Meski sempat khawatir melihat keadaan majikannya itu, Bi Rahma menurut. "Ya Allah semoga Non Citra ndak kenapa-kenapa. Semoga kandungannya baik-baik saja," doa sang art itu dengan tulus.***Atala mondar-mandir dengan gelisah di depan ruang kebidanan. Di balik rasa khawatirnya terhadap kandungan istrinya, dia masih berharap dan berdoa kalau kandungan isrinya yang baru seumur jagung itu baik-baik saja. Begitu pintu ruang itu terbuka
"Sayang, hari ini kita jalan-jalan, yuk!" ajak Citra kala dia mendapati suaminya sedang termenung di balkon lantai atas. Tapi suaminya itu hanya berdiam diri, tak bereaksi sedikit pun setelah mendengar suaranya. Seolah dia sudah bisa menebak hal itu.Citra sudah menduga semua ini. Hal yang dia takutkan akhirnya terjadi. Atala marah karena mengetahui Dimas masih meneleponnya. Begitu melihat siapa yang meneleponnya, Citra langsung bergegas ke atas menyusuli suaminya, berusaha untuk mencairkan suasana. Dia mencari suaminya itu ke sana kemari. Namun, ternyata suaminya di sini. Dan suaminya itu tak bergeming sedikitpun mendengar suaranya. Dia benar-benar marah.Tapi Citra tentu saja tak menyerah. Wanita itu menghela napas, berjalan mendekati suaminya. Mencoba memberanikan diri memeluk pinggang suaminya. Dan kali ini, Atala tak melepasnya, tapi tak juga membalas pelukannya. Citra pun melepas pelukannya. "Kamu marah, ya, sama aku? Kenapa?" Dia mulai bertanya.Citra tak ingin masalah ini be
Hari-hari terus berlalu, kehidupan Citra dan Atala berjalan bahagia seperti biasanya. Meski kadang kala Atala merasa beban yang ditanggungnya terasa berat, dia tetap kuat. Karena dia bersama Citra. Kebahagiaan Citra adalah kebahagiaannya juga. Maka dia akan berusaha melakukan apa pun untuk kebahagiaan istrinya itu.Hari itu hari Minggu. Atala tentu saja tak ke kampus. Dan dia punya banyak waktu luang untuk istrinya. Sebenarnya Atala bisa mengajak Citra jalan-jalan. Namun, mengingat istrinya yang hamil dan harus lebih menjaga kandungan, mereka memilih diam di rumah saja. Lagipula bagi seorang Atala tak masalah dia diam di rumah, asal bersama sang istri tercinta.Citra sedang mandi di toilet yang ada di kamarnya saat Atala hanya rebahan di kasurnya.Pria itu nyaris jatuh tertidur ketika dia mendengar bunyi dering ponsel khas milik istrinya.Atala pun seketika terjaga. "Sayang, ponsel kamu bunyi tuh? Angkat, dong," racaunya setengah sadar. Hening, tak ada sahutan dari Citra. Dan ponsel
Sejak hari itu, Citra jadi lebih kalem. Dia lebih serius mendengarkan apa kata suaminya. Dia makan dan minum vitamin secara teratur. Setelah makan dan minum dia rebahan, sesekali sambil main ponsel.Beberapa hari belakangan ini, Dimas tak ada menghubunginya lagi, entah itu sekadar chat atau telepon. Membuatnya sedikit lega. Kata dokter, selama masa kehamilan, sebisa mungkin Citra tak boleh banyak pikiran. Apalagi memikirkan hal yang tidak penting. Ya, Citra bisa untuk sedikit tenang dan tidak memikirkan apa pun dulu, kecuali ... masalah Dimas itu. Citra mungkin baru akan berhenti memikirkannya jika dia sudah bercerita pada suaminya. Tapi ... Citra belum berani cerita sekarang. Citra memijit pelipisnya yang tiba-tiba pusing. Peringatan Atala tempo hari yang terdengar begitu tegas kembali membayangi."Aku serius kali ini, Sayang. Aku mau mulai sekarang kamu lebih menjaga kandunganmu. Kamu harus lebih dengarkan aku. Kalau sekali aja aku dengar kabar buruk dari kamu dan itu karena ka