Beberapa hari setelah kedatangan Papa Johan terlewati. Baru semingguan Citra hamil, tapi dia sudah merasakan banyak perubahan dalam hidupnya. Pahit manis selalu ada berdampingan dalam suatu hal. Atala benar-benar mendengar omongan papanya. Dia benar-benar memperhatikan Citra. Memperhatikan juga apa-apa yang istrinya itu makan. Karena kandungannya masih sangat muda, Atala melarang Citra untuk pergi ke mana-mana, apalagi sendirian. Atala juga melarang Citra jalan dengan temannya, Tasya. Bahkan Atala menyuruhnya banyak-banyak istirahat saja, sampai-sampai untuk pergi-pergi ke dapur pun dilarang. Citra hanya boleh berbaring atau setidaknya menghabiskan waktu di kamar sambil menunggu kepulangannya. Atala hanya tak ingin kandungan Citra jadi keguguran kalau wanita itu banyak gerak. Dia tak ingin Citra sampai jatuh nantinya. Atala sangat over protective pada Citra semenjak dia hamil. Dan Citra sendiri merasa risih. Dan tentu saja hal itu juga membuat Citra merasa bosan. Citra juga men
Citra membelalak melihat sosok di hadapannya itu. Sosok yang tak pernah dia sangka akan datang ke sini, lagi. Setelah sekian lama, setelah apa yang sudah terjadi di antara mereka, keduanya tak lagi saling memberi kabar. Tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba saja orang itu ada di sini, lagi. "Ngapain lo ke sini?" Citra bertanya ketus. Tatapannya melotot tajam ke arah sosok itu. Sosok itu kemudian berjalan mendekat seiring dengan senyumnya yang kian melebar, karena melihat kehadiran Citra. "Maaf," ucapnya setelah jaraknya dengan Citra cukup dekat. "Aku tahu mungkin sekarang kamu benci sama aku, tapi--" "Ya bagus kalau lo tahu gue benci sama lo. Gue emang udah benci sama lo!" sahut Citra muak. "Tapi aku mohon dengarkan aku dulu." Wajah lelaki di hadapannya ini tampak memelas. Citra pun diam mendengarkan orang itu bicara. Sesekali dia melirik ke arah rumahnya, berharap ART-nya tidak ada yang keluar melihat mereka. "Aku minta maaf atas semua yang udah terjadi terakhir
Citra akhirnya berhasil masuk ke kamar setelah dia menguasai diri. Dia tak menyangka, ART-nya itu sempat melihatnya menangis. Untung saja dia punya alasan yang masuk akal untuk menjawabnya waktu itu. Percakapannya dengan Bi Rahma pun terlintas. "Non, Citra, dari mana? Kenapa lari-lari? Non kenapa menangis?" "A-aku, aku habis dari luar, Bi, lihat-lihat pemandangan di luar, habis bosan di kamar terus." Citra meringis. "Tapi ...." "Tapi kenapa, Non?" Waktu itu Bi Rahma menatapnya penuh khawatir. "Tapi tiba-tiba perutku sakit, Bi." Jawaban itu serta-merta membuat Bi Rahma makin khawatir. Dan Citra sempat menyela. "Perut aku sakit dan sampai nggak mampunya aku, aku nangis, tapi sekarang udah nggak pa-pa, kok, Bi. Perutku nggak sakit lagi. Iya." Citra mengangguk meyakinkan. "Bener, Non?" Bi Rahma masih menatapnya khawatir. "Apa ndak di cek di rumah sakit saja, takutnya--" "Nggak perlu, Bi." Lagi-lagi Citra menggeleng. "Nggak perlu sampai ke rumah sakit segala. Aku udah baik-baik aja,
"Kamu tuh jangan aneh-aneh, deh, tingkahnya." Atala mulai mengomel. Meski Citra tadi sudah berusaha menjelaskan kalau dia baik-baik saja. Dan dia memang terlihat baik-baik saja, Atala tetap saja mengomel. "Kalau aku bilang istirahat, ya, istirahat. Jangan ke mana-mana. Jangan mikirin macam-macam. Kalau bosan kan bisa hidupin tivi itu. Kamu juga harus bisa nahan rasa bosan demi jaga kandungan kamu. Kandungan kamu itu masih terlalu muda, masih rentan. Ingat kan kemarin dokter bilang apa waktu USG? Dokter loh yang minta, bukan hanya aku. Minimal kamu bisa tahan sampai kandunganmu udah kuat. Nggak lama, kok." "Iya, iya, aku minta maaf udah nggak dengerin kamu," sahut Citra melirik suaminya yang kini duduk di pinggir kasur. "Aku kan tadi cuman keluar di halaman doang, sebentar doang. Janji deh nggak gitu lagi. Udah, ya, jangan marah-marah." Atala menghela napas. "Kamu udah makan?" Citra terdiam sesaat sebelum akhirnya menggeleng. Dia belum makan karena memang belum lapar, dan tadi re
"Eyang mengerti apa yang kamu rasakan, Citra ... Sangat ngerti karena Eyang juga pernah di posisimu, Eyang pernah menjadi seorang ibu. Ya, memang begitu lah rasanya hamil. Begitu lah proses menjadi seorang ibu. Ini belum seberapa, Citra. Perjalananmu untuk menjadi seorang ibu ke depannya akan lebih sulit, setelah ini kamu akan melahirkan, membesarkan dan mendidik anakmu. Makanya Allah memberi pahala yang besar untuk seorang ibu." Ucapan eyang putri tempo hari terngiang terus di kepala Citra. Citra memang sempat mengeluhkan keadaannya pada eyangnya. Gejala-gejala hamil yang membuatnya tidak nyaman dan dia belum terbiasa. Seperti dia yang kesulitan makan karena tidak cocok dengan semua jenis makanan yang dia makan. Sering muntah saat tengah makan. Dia juga tidak bisa makan makanan favoritnya lagi. Bahkan untuk tidur pun dia harus mencari posisi yang nyaman. Tidak bisa lagi tidur sesuka hati seperti dulu. Dan eyang mengeluarkan wejangan-wejangannya. "Kamu harus sabar, harus i
Waktu terus berlalu. Hari berganti Minggu, Minggu berganti bulan. Dan kini usia kandungan Citra sudah berusia tiga Minggu lima hari, nyaris satu bulan. Dan selama itu, Citra mampu melewatinya. Dia berusaha beradaptasi dengan cepat. Dia tak lagi mengeluh. Dia berusaha kuat dan menyadari apa yang dia rasakan itu adalah hal yang biasa bagi ibu hamil. Apalagi ada suaminya yang selalu menemani, memperhatikannya nyaris setiap saat. Hingga Citra tak lagi mengeluh dan merasa terbebani dengan kehamilannya. Sampai suatu hari Kak Shinta datang, katanya ingin menjenguk Citra. Sejak Citra hamil dia belum pernah menjenguk adik bungsunya itu. Kala itu Atala tak ada di rumah karena sedang sibuk di kampus. Kak Shinta tak datang dengan tangan kosong. Dia membawa sesuatu. "Maaf, Kak, ini maksudnya apa, ya?" tanya Citra bingung melihat begitu banyak barang-barang bawaan kakaknya. Di ruang tamunya kini ada sekantong besar berisi pakaian bayi dan perlengkapan bayi lainnya. Ada juga kereta bayi, h
"Ada apa ini, Citra? Kak Shinta?" Atala menatap istrinya dan Kak Shinta bergantian. "Ini loh, Atala, istrimu ini." Kak Shinta menyahut lebih dulu sebelum Citra. Wanita itu tampak kesal. "Kenapa dengan Citra?" "Kakak datang ke mari buat ngasih ini ke kalian. Buat bayi kalian. Kakak tahu kalian lebih dari mampu membeli ini, tapi nggak ada salahnya kan Kakak mau memberi? Tapi Citra malah marah-marah." Atala lalu menatap Citra penuh tanya seiring dengan langkahnya yang mendekati istrinya itu. "Aku bukannya marah, Sayang," sahut Citra. "Aku cuman nggak mau semua keperluan bayi kita dipersiapkan terlalu cepat. Bayi kita bahkan belum ada sebulan, lho. Ini pamali dan aku nggak mau ambil risiko nanti bayiku jadinya kenapa-kenapa." Sebelum Atala menyahut, Citra lebih dulu menatap Kak Shinta. "Oh, atau ... jangan-jangan Kak Shinta sengaja lakukan ini semua, ya?" tudingnya. Kak Shinta semakin menatap adiknya itu tak mengerti. "Sengaja lakuin apa, Citra?" Citra yang sudah telanjur per
Atala menatap barang-barang pemberian kakak iparnya itu penuh kebingungan. Bingung mau diapakan barang-barang itu. Ancaman istrinya sungguh menyeramkan. Lebih menyeramkan daripada film-film horor. Dia tak mau mendapat sanksi semacam itu bila tak membuang barang-barang ini. Tapi Atala juga tak mau mubazir. Barang-barang ini bagus dan masih baru. Mau dibuang ke mana pula? Tapi kalau tidak di buang ... bayangan tidur pisah kamar menari-nari di pelupuk matanya. Saat lelaki itu tengah bingung, dia melihat Bi Rahma lewat, dia pun menegur asisten rumah tangganya itu. Bi Rahma serta-merta menoleh. Lalu bergegas mendatangi majikan mudanya itu. "Iya, ada apa, Tuan?" "Bi Rahma punya cucu yang masih bayi?" Atala mulai dengan pertanyaan. Meski bingung ditanya demikian, wanita tambun itu tetap menjawab. "Endak, Tuan. Cucu-cucu Bibi udah pada gede semua. Paling kecil balita lima tahunan. Memangnya ada apa, ya, Tuan?" "Kalau anak keluarga Bibi yang lain ada yang masih bayi? Siapa pun kek, kala
Enam tahun kemudian.Tok! Tok! Tok!Pintu ruang CEO itu terdengar diketuk, sebelum akhirnya sang CEO yang duduk di atas singgasananya menyahut."Ya, masuk!"Pintu di buka, memunculkan seorang wanita cantik mengenakan pakaian kantor. Terlihat begitu elegan. Sepatu hak tingginya terdengar menggema mengetuk lantai ketika dia berjalan mendekat sembari meninting paper bag. Sang CEO tersenyum senang melihat kehadiran wanita itu. "Makan siangnya sudah datang, Pak," beritahu sang sekretaris itu, lalu meletakkan paper bagnya ke atas meja."Terima kasih," sahut sang CEO. Ya, baru saja dia meminta sang sekretaris pribadinya itu memesankan makanan online untuknya. "Eh, kamu mau ke mana?" tanyanya ketika sang sekretaris terlihat beranjak pergi.Wanita berambut pendek itu menatapnya. "Keluar, Pak.""Duduk di sini, temanin saya makan, seperti biasa, dong." Sang CEO tersenyum penuh arti saat menutup laptopnya. "Maaf, saya belum lapar, Pak. Lagian masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan,
Citra tersenyum saat dia tak sengaja masuk ke stan baju bayi dan balita, dan melihat beberapa baju bayi yang bergantungan itu. Baju-baju bayi itu membuatnya teringat dengan bayinya yang sempat singgah di perutnya. Dia bahkan belum sempat membelikan bayi itu baju, tapi bayi itu sudah pergi. "Hei, kamu di sini ternyata." Teguran itu menyadarkan lamunan Citra. Wanita itu sontak menoleh ke sampingnya. Atala menegurnya sambil menatapnya heran. Lalu Atala ikut memandang ke arah pandang Citra. "Udah jangan sedih-sedih lagi, jangan ingat-ingat lagi," ucapnya menghibur sambil mengusap kepala istrinya.Citra tersenyum. "Iya.""Udah selesai pilih bajunya?"Citra menggeleng. "Ya udah, ayok pilih lagi."Atala benar-benar mengajak Citra jalan ke Mall demi menghibur istrinya itu. Walau sepertinya hal itu tak banyak membantu. Karena Atala masih sering mendapati Citra murung memikirkan sesuatu.Citra kembali mendorong trolinya, kembali memasuki stan pakaian dewasa, bersama Atala juga. Saat Citr
"Aku ... aku punya kabar duka, Eyang," ucap Citra pada eyang ditelepon setelah eyang bertanya ada apa."Kabar duka apa, Nduk?" Suara Eyang terdengar cemas. "Aku ... keguguran, Eyang." Air mata Citra sontak menetes bersamaan dengan dia mengucapkan kalimat itu. Masih sedih saja hatinya mengingat ketiadaan bayinya padahal kemarin bayinya masih ada dalam kandungannya. Dadanya juga terasa sesak. "Bayiku udah nggak ada.""Ya Allah Gusti ...." Suara Eyang terdengar sedih. Dan sepertinya eyang putri menangis di seberang sana. "Ini semua ...." Citra berhenti ketika hendak mengucapkan kata-kata 'ini semua salahku, aku nggak becus jaga kandungan, aku nggak bisa jadi ibu yang baik'.Dia berhenti mengucapkannya karena ingat pesan Atala yang mengatakan seharusnya dia tak boleh menyalahi diri. "Apa, Nduk?""Enggak, Eyang. Mungkin ini semua udah takdir Allah, ya, Eyang. Eyang jangan sedih, ya. Nanti aku pasti bisa hamil lagi, kok." Citra tersenyum. Sejatinya dia tengah menghibur dirinya sendiri."
Dua hari berlalu. Citra masih memikirkan kandungannya yang keguguran. Meski Atala berkali-kali mengatakan sebaiknya dia tak perlu menyalahkan dirinya. Tetap saja, Citra merasa bersalah karena kenyataannya memang begitu. Karena dia sadar jauh dalam lubuk hatinya paling dalam, dia belum siap menjadi ibu, dan Atala tak tahu itu. Tak ada yang tahu isi hatinya selain dirinya dan Tuhan. Seketika kenangan dan kejadian lalu itu pun teringat lagi. Dia ingat bagaimana selama ini dia tak begitu menginginkan bayi itu. Percakapannya dengan Bi Rahma waktu pertama kali dia tahu dia hamil pun terngiang. "Aku nggak mau hamil, Bi ...." "Kenapa Non jadi sedih? Harusnya Non bahagia kan? Kan Non sudah menikah dengan Tuan Atala. Memang sudah seharusnya Non hamil." "Tapi, Bi .... Aku belum siap. Aku belum siap mengurus anak, aku takut ...." "Non jangan pesimis begitu .... Ingat, ya, apa pun yang Allah kehendaki itulah yang terbaik. Non ingat kan dulu Non sendiri juga ndak mau menikah dengan Tuan Atala.
Sejak dalam perjalanan hingga sampai ke rumah, Citra hanya berdiam diri. Bahkan dia tak menyahut ketika Bi Rahma menegurnya. Bi Rahma mengalihkan pandang pada Atala yang hanya dibalas gelengan kepala. Atala membiarkan Citra masuk ke kamar. Lantas dia bicara pada Bi Rahma."Ada apa, Tuan? Kenapa Non Citra begitu sedih? Kandungannya baik-baik saja, kan?" Meski sudah tahu apa yang mungkin terjadi, Bi Rahma masih berharap yang baik-baik.Atala terdiam lama sebelum akhirnya menjawab. "Citra keguguran, Bi." Dia berterus-terang. Wajahnya tertunduk lesu. Membayangkan bagaimana dia mengatakan berita buruk ini pada keluarga yang lain, terutama papa. "Ke-keguguran, Tuan?" Bi Rahma tampak tak percaya. Atala diam saja. Dan itu cukup menjelaskan."Ya Allah ...." Bi Rahma sampai menutup mulutnya. "Kasihan Non Citra." Art itu bisa langsung membayangkan bagaimana perasaan Citra saat ini. "Non Citra sekarang pasti sedih sekali. Pantas saja tadi banyak diam.""Iya, Bi. Bi aku ke kamar dulu, ya, temeni
Mendengar itu, Atala spontan menoleh. Wajah lelaki itu langsung berubah melihat istrinya kesakitan sambil memegangi perut."Citra!" Dia pun berlari mendatangi istrinya itu. "Perut kamu kenapa?" tanyanya saat memegangi tubuh istrinya. Rasa kesal tadi sontak menguap entah kemana bergantikan rasa khawatir luar biasa."Perut aku sakit banget." Citra merintih. "Kita ke rumah sakit sekarang, ya?"Atala langsung membopong istrinya turun ke bawah dengan tergesa. Sebelum pergi, dia meneriaki Bi Rahma untuk memberitahu kalau dia dan Citra akan pergi ke rumah sakit.Meski sempat khawatir melihat keadaan majikannya itu, Bi Rahma menurut. "Ya Allah semoga Non Citra ndak kenapa-kenapa. Semoga kandungannya baik-baik saja," doa sang art itu dengan tulus.***Atala mondar-mandir dengan gelisah di depan ruang kebidanan. Di balik rasa khawatirnya terhadap kandungan istrinya, dia masih berharap dan berdoa kalau kandungan isrinya yang baru seumur jagung itu baik-baik saja. Begitu pintu ruang itu terbuka
"Sayang, hari ini kita jalan-jalan, yuk!" ajak Citra kala dia mendapati suaminya sedang termenung di balkon lantai atas. Tapi suaminya itu hanya berdiam diri, tak bereaksi sedikit pun setelah mendengar suaranya. Seolah dia sudah bisa menebak hal itu.Citra sudah menduga semua ini. Hal yang dia takutkan akhirnya terjadi. Atala marah karena mengetahui Dimas masih meneleponnya. Begitu melihat siapa yang meneleponnya, Citra langsung bergegas ke atas menyusuli suaminya, berusaha untuk mencairkan suasana. Dia mencari suaminya itu ke sana kemari. Namun, ternyata suaminya di sini. Dan suaminya itu tak bergeming sedikitpun mendengar suaranya. Dia benar-benar marah.Tapi Citra tentu saja tak menyerah. Wanita itu menghela napas, berjalan mendekati suaminya. Mencoba memberanikan diri memeluk pinggang suaminya. Dan kali ini, Atala tak melepasnya, tapi tak juga membalas pelukannya. Citra pun melepas pelukannya. "Kamu marah, ya, sama aku? Kenapa?" Dia mulai bertanya.Citra tak ingin masalah ini be
Hari-hari terus berlalu, kehidupan Citra dan Atala berjalan bahagia seperti biasanya. Meski kadang kala Atala merasa beban yang ditanggungnya terasa berat, dia tetap kuat. Karena dia bersama Citra. Kebahagiaan Citra adalah kebahagiaannya juga. Maka dia akan berusaha melakukan apa pun untuk kebahagiaan istrinya itu.Hari itu hari Minggu. Atala tentu saja tak ke kampus. Dan dia punya banyak waktu luang untuk istrinya. Sebenarnya Atala bisa mengajak Citra jalan-jalan. Namun, mengingat istrinya yang hamil dan harus lebih menjaga kandungan, mereka memilih diam di rumah saja. Lagipula bagi seorang Atala tak masalah dia diam di rumah, asal bersama sang istri tercinta.Citra sedang mandi di toilet yang ada di kamarnya saat Atala hanya rebahan di kasurnya.Pria itu nyaris jatuh tertidur ketika dia mendengar bunyi dering ponsel khas milik istrinya.Atala pun seketika terjaga. "Sayang, ponsel kamu bunyi tuh? Angkat, dong," racaunya setengah sadar. Hening, tak ada sahutan dari Citra. Dan ponsel
Sejak hari itu, Citra jadi lebih kalem. Dia lebih serius mendengarkan apa kata suaminya. Dia makan dan minum vitamin secara teratur. Setelah makan dan minum dia rebahan, sesekali sambil main ponsel.Beberapa hari belakangan ini, Dimas tak ada menghubunginya lagi, entah itu sekadar chat atau telepon. Membuatnya sedikit lega. Kata dokter, selama masa kehamilan, sebisa mungkin Citra tak boleh banyak pikiran. Apalagi memikirkan hal yang tidak penting. Ya, Citra bisa untuk sedikit tenang dan tidak memikirkan apa pun dulu, kecuali ... masalah Dimas itu. Citra mungkin baru akan berhenti memikirkannya jika dia sudah bercerita pada suaminya. Tapi ... Citra belum berani cerita sekarang. Citra memijit pelipisnya yang tiba-tiba pusing. Peringatan Atala tempo hari yang terdengar begitu tegas kembali membayangi."Aku serius kali ini, Sayang. Aku mau mulai sekarang kamu lebih menjaga kandunganmu. Kamu harus lebih dengarkan aku. Kalau sekali aja aku dengar kabar buruk dari kamu dan itu karena ka