Mereka bertiga, Johan, Atala dan Citra akhirnya memutuskan untuk makan siang di kedai yang ada di antara pasar tradisional itu. Mereka memesan gado-gado.Waktu pertama kali melihat kehadiran papanya di sini, Atala bertanya-tanya kenapa papanya bisa ada di pasar tradisional. Dan Johan menjawab bahwa dia memang sengaja ke sini untuk bernostalgia.Melihat itu, Citra langsung antusias untuk mengajak papanya makan gado-gado di kedai pasar tradisional itu. Dengan senang hati tanpa keraguan sedikitpun, Johan menerima tawaran itu.Berbeda dengan Atala yang dibesarkan dari keluarga kaya raya, Johan pernah melewati masa sulit di masa kecilnya. Karenanya Johan paham dan mengerti bagaimana rasanya hidup susah. Masa kecil Johan juga sering menikmati makan makanan murah yang tak pernah Atala makan.Sementara Atala masih terheran-heran kenapa papanya mau makan di tempat seperti ini. Atala terpaksa ikut mereka masuk ke kedai dan memesan gado-gado murah itu. "Jadi Atala tempat ini udah nggak familier
"Rencana apa?" tanya papanya yang sudah menikmati makanan itu beberapa sendok."Rencana buat belajar hidup sederhana." Atala lalu menoleh pada Citra dan tersenyum. "Iya kan, Sayang?"Citra yang juga sudah mengunyah malah mengernyit bingung. "Yang mana?"Reaksi Citra yang demikian membuat Atala malu. Dia menatap istrinya tak habis pikir. "Yang itu loh, Sayang, masak nggak ingat. Sini aku bisikkin." Atala lalu berbisik di telinga Citra.Citra tertawa setelahnya, bahkan sampai menepuk meja. "Oh itu ....""Ingat kan?" Atala menatap Citra dari samping dan masih merangkul bahu istrinya.Citra mengangguk-angguk. "Iya, ingat. Jadi Pa, Atala katanya dulu pernah pengin belajar hidup sederhana gara-gara aku cerita tentang novel urban legend yang mana tokohnya kebanyakan pria kaya yang pura-pura jadi miskin. Papa tahu tentang novel urban legend nggak?"Papa Johan mengernyit. "Jadi Atala mau belajar hidup sederhana? Maksudnya bagaimana?" Bukannya menjawab pertanyaan Citra tentang novel urban legen
"Gimana kalau gue yang pilihin lo cewek buat ditidurin?"Pria berperawakan kebapakan itu melirik pemuda yang duduk di sampingnya. Menaik-naikkan kedua alisnya. Begitu percaya diri kalau pemuda itu pasti akan menerima tawarannya. Suaranya terdengar tenggelam-timbul karena ditelan ribut suara musik yang mengentak sejak tadi, mengiringi para pengunjung yang berjoget ria.Lawan bicara pria itu hanya tersenyum miring selepas dari bersiul-siul kecil, menggoda cewek seksi yang lewat di hadapannya barusan, lalu mendelik ke arah pria itu. "Tapi gue nggak separah itu," jawabnya kemudian. "Kalau lo mau silakan aja. Jangan ajak-ajak gue." Lantas tatapannya terfokus pada cewek yang berjoget di dance floor di depan sana, hanya mengenakan tengtop dan celana dalam. Sungguh pemandangan yang menyegarkan mata."Nggak ada salahnya kan mencoba hal-hal baru?" Pria itu lalu mengisap rokok yang sudah mengecil. Pria itu tidak tersinggung dengan perkataan lawan bicaranya barusan dan masih berusaha mempengaruhi.
"Lo lo pada? Ngapain kalian ngehadang jalan gue, hah?! Kurang kerjaan banget kalian!" sergah Atala begitu kesal.Rani ikut turun dari mobil. "Mereka siapa, sih, Sayang?" Rani menatap kedua cewek di hadapannya ini dengan pandangan remeh. Penampilan kedua cewek itu jauh berbeda dengannya yang kekinian dan seksi."Mereka tukang pembawa masalah ...," jawab Atala sambil menunjuk kedua cewek itu. "Ngapain coba lo berdiri di tengah jalan begitu? Syukur nggak gue tabrak lo.""Sebelumnya kita minta maaf tiba-tiba ngehadang jalan kalian kayak gini," jelas cewek yang menghadang jalannya tadi. "Tapi itu semua karena gue butuh banget bantuan lo Atala buat benerin ban mobil gue yang pecah." Cewek itu menatap Atala dengan pandangan memohon.Atala malah menatap cewek itu remeh, lantas kemudian tertawa. "Lo nyuruh gue benerin mobil lo? Lo kira gue kang mon--""Bukan. Bukan nyuruh, kok." Cewek itu menggeleng kencang. "Tapi minta tolong, please ..." Cewek itu menangkupkan kedua tangan di depan dada.Atal
"Jadi Eyang minta aku nikah sama dia?" Citra menatap eyang kakungnya tak percaya.Pria tua renta yang terbaring sekarat di atas ranjang rumah sakit itu menganggukkan kepala lemah. Dengan susah payah dia berucap. "Eyang u-udah ndak la-ma la-gi. Eyang ....""Citra ...." Eyang Putri tiba-tiba angkat bicara membuat Citra beralih menatapnya. "Selama ini kamu tinggal sama Eyang Putri dan Eyang Kakung saja. Orang tuamu udah ndak ada. Dua kakakmu juga sudah pada menikah. Tinggal kamu yang belum. Sedangkan sekarang kamu liat sendiri kondisi Eyang Kakung. Umurnya udah ndak lama lagi. Jadi kami mau kamu segera menikah, supaya ada yang menghidupimu, Nduk ....""Tapi kan Eyang Putri dan Eyang Kakung tahu aku tahun ini mau masuk kedokteran. Aku mau capai cita-citaku dulu. Umurku juga baru sembilan belas tahun, Eyang. Aku nggak mau nikah muda, apalagi sama dia! Aku--" Citra kehabisan kata-kata. Tenggorokannya tiba-tiba terasa tercekat.Citra benar-benar tidak menyangka, dia yang tadinya sibuk jalan-
"Papa mau jodohin aku sama perempuan pilihan Papa?"Atala terkejut mendengar penuturan papanya. Sebelumnya, papanya memanggilnya ke ruang kerja karena ada hal penting yang ingin dibahas. Ternyata papanya memintanya menikah.Dan tak hanya itu, yang membuat Atala lebih terkejut adalah papanya ingin menikahinya dengan Citra, cewek yang tidak pernah menyukainya sekaligus anak mendiang sahabat papanya dulu."Iya, kenapa? Kamu mau bantah?" tanya Johan yang duduk di kursi kerjanya sejak tadi.Atala tertawa culas. "Papa nggak salah? Umurku masih sembilan belas tahun lho, Pa. Aku belum siap nikah. Aku masih pengin senang-senang, Pa. Lagian ini bukan zamannya Siti Nurbaya lagi, Pa. Astaga." Atala kehilangan kata-kata."Dengerin Papa selesai ngomong!" sergah Johan.Atala terdiam."Duduk!" Johan menunjuk kursi di depannya.Atala pun duduk dengan malas-malasan."Kamu itu satu-satunya anak Papa, Atala. Tapi kamu sama sekali nggak pernah buat Papa bangga. Selama masa sekolah, kamu hanya memberi Papa
Atala dan Citra akhirnya sepakat membuat perjanjian. Walau usaha Atala untuk membujuk Citra menyetujui perjanjiannya itu tidaklah mudah karena Citra terus menolak. Bersamaan dengan itu Johan keluar menemui mereka dan mendesak Citra untuk menerima perjodohan tersebut mengingat kondisi eyang kakung yang semakin memprihatinkan.Selain itu, eyang putri bahkan mengatakan Citra kejam dan egois jika tak mau menuruti keinginan terakhir eyang kakung.Eyang putri mengatakan Citra harus mau menuruti keinginan terakhir eyang kakung agar beliau tenang dan bahagia. Setelah menimbang-nimbang, Citra pun terpaksa menerima perjodohan itu.Pernikahan itu pun dilaksanakan dengan sangat sederhana dalam ruang rawat inap eyang kakung di waktu subuh. Di sana hanya ada beberapa orang yang terdiri dari Pak Penghulu yang akan menikahi mereka. Ada Johan, eyang kakung dan eyang putri sebagai saksi.Citra dan Atala duduk berdampingan. Mereka hanya memakai baju biasa yang mereka kenakan sebelumnya, yakni kaos dan c
Pagi harinya, pukul tujuh. Prosesi eyang kakung di lakukan di TPU Umum Jakarta. Sanak keluarga berdatangan melayat dengan pakaian serba hitam. Mereka adalah keluarga dekat yang sedarah, tetangga, dan teman baik eyang kakung semasa hidup. Proses pemakaman eyang kakung berjalan lancar, tidak terkendala apa pun sampai jasadnya di masukkan ke liang kubur.Dan tangis Citra pecah seketika seiring dengan jasad eyang kakung yang ditimbus tanah sedikit demi sedikit. "Eyang, kenapa pergi secepat ini, Eyang. Maafin Citra belum bisa jadi cucu yang berguna buat Eyang Kakung, belum bisa bahagiakan Eyang Kakung. Maafin Citra, Eyang ...." Citra menatap liang kubur eyang kakung penuh penyesalan. Ada banyak hal yang dia sesalkan. Seandainya dia bisa memutar waktu."Sudah, Citra, jangan menangis berlebihan. Ikhlaskan Eyang Kakung," hibur eyang putri yang sejak tadi berdiri di sisi cucunya itu sambil mengusap-usap bahu gadis itu. "Dengan kamu mau menikahi Atala itu sudah cukup membuat Eyang Kakung bahag
"Rencana apa?" tanya papanya yang sudah menikmati makanan itu beberapa sendok."Rencana buat belajar hidup sederhana." Atala lalu menoleh pada Citra dan tersenyum. "Iya kan, Sayang?"Citra yang juga sudah mengunyah malah mengernyit bingung. "Yang mana?"Reaksi Citra yang demikian membuat Atala malu. Dia menatap istrinya tak habis pikir. "Yang itu loh, Sayang, masak nggak ingat. Sini aku bisikkin." Atala lalu berbisik di telinga Citra.Citra tertawa setelahnya, bahkan sampai menepuk meja. "Oh itu ....""Ingat kan?" Atala menatap Citra dari samping dan masih merangkul bahu istrinya.Citra mengangguk-angguk. "Iya, ingat. Jadi Pa, Atala katanya dulu pernah pengin belajar hidup sederhana gara-gara aku cerita tentang novel urban legend yang mana tokohnya kebanyakan pria kaya yang pura-pura jadi miskin. Papa tahu tentang novel urban legend nggak?"Papa Johan mengernyit. "Jadi Atala mau belajar hidup sederhana? Maksudnya bagaimana?" Bukannya menjawab pertanyaan Citra tentang novel urban legen
Mereka bertiga, Johan, Atala dan Citra akhirnya memutuskan untuk makan siang di kedai yang ada di antara pasar tradisional itu. Mereka memesan gado-gado.Waktu pertama kali melihat kehadiran papanya di sini, Atala bertanya-tanya kenapa papanya bisa ada di pasar tradisional. Dan Johan menjawab bahwa dia memang sengaja ke sini untuk bernostalgia.Melihat itu, Citra langsung antusias untuk mengajak papanya makan gado-gado di kedai pasar tradisional itu. Dengan senang hati tanpa keraguan sedikitpun, Johan menerima tawaran itu.Berbeda dengan Atala yang dibesarkan dari keluarga kaya raya, Johan pernah melewati masa sulit di masa kecilnya. Karenanya Johan paham dan mengerti bagaimana rasanya hidup susah. Masa kecil Johan juga sering menikmati makan makanan murah yang tak pernah Atala makan.Sementara Atala masih terheran-heran kenapa papanya mau makan di tempat seperti ini. Atala terpaksa ikut mereka masuk ke kedai dan memesan gado-gado murah itu. "Jadi Atala tempat ini udah nggak familier
"Iya, iya, maaf, lain kali aku bakal lebih dengerin kamu, deh." Citra menunduk lesu seiring dengan langkahnya yang mengiringi langkah Atala sejak tadi. Mereka kembali ke tempat di mana Atala memarkir mobilnya. Sepanjang perjalanan itu Atala menceramahi istrinya habis-habisan. Lelaki itu berkali-kali bilang harusnya tadi Citra mengikuti sarannya untuk diantar olehnya.Dan ketika istrinya bertanya bagaimana dia bisa ada di sini juga. Atala menjawab dia membututi istrinya sejak tadi dan rela meninggalkan kafe. Perasaan tak nyamannya mendorongnya melakukan itu.Ya, sejak tadi Atala memang membututi istrinya pakai mobil. Dia juga berjalan kaki mengiringi istrinya dari kejauhan saat wanita itu memasuki pasar sayur. Sampai dia mendapati Citra di kepung dan dijahili para preman."Kayaknya kamu emang nggak aman deh kalau pergi-pergi sendiri," jawab Atala kemudian. "Harus selalu ada yang nemenin, nih." Mereka lalu berhenti di depan bagasi mobil. Dan Atala membuka pintu bagasinya"Mungkin hari
"Mana bayaran gue!" Seorang pria bertubuh besar menggertak garang seorang pedagang remaja lelaki.Remaja itu terlihat takut-takut. Sambil tertunduk, dia menjawab. "Be-be-lum ada, Bang. Pem-be-beli lagi sepi.""Bohong aja lo! Gue liat pembeli lo ramai dari tadi!" Si pria bertubuh besar itu mendorong baru si remaja sampai tubuh ringkih itu terhuyung."Nggak ada, Bang."Citra bergidik ngeri melihatnya. Dia pun berbalik arah, mencari jalan lain. Sebenarnya dia ingin menolong pedagang remaja itu. Tapi dia juga takut. Nantinya alih-alih menolong orang, yang ada dia kena batunya. Citra tak mau ambil risiko. Hidup di Jakarta memang keras. Citra yakin remaja itu masih sekolah, mungkin sekitar SMA. Tapi dia juga harus bekerja juga untuk membantu orang tuanya mencari nafkah. Atau bahkan mungkin remaja itu berhenti sekolah dan memilih bekerja.Menyusuri jalan yang cukup jauh dengan berjalan kaki sambil membawa banyak belanjaan membuatnya cukup kewalahan. Dia agak menyesal tadi sudah menolak ta
Hari-hari terus berlalu. Tidak ada yang berubah dari rutinitas Citra dan Atala selain Atala yang akhirnya memutuskan untuk berhenti bekerja. Karena dia ingin fokus dengan kuliahnya dan membantu istrinya menangani Senja Cafe. Tentu Atala merasa tidak yakin dia bisa menangani semuanya dengan baik, karenanya dia memilih berhenti. Citra pun setuju saja dan tidak menghakimi suaminya karena mereka pun sudah punya kafe sendiri.Suatu hari, Citra ingin berbelanja di pasar sekaligus membeli alat dan bahan-bahan pembuatan kopi yang sudah habis seperti gelas kertas, gula, susu cair dan lain-lain."Biar aku antar, ya." Atala langsung menyambar kunci mobil yang terletak di atas meja saat dilihatnya istrinya itu sibuk mengobok-obok tas tangannya.Citra yang tengah sibuk dengan aktivitasnya itu terhenti dan mengangkat kepalanya menatap suaminya. "Nggak. Kamu di rumah aja gantiin aku. Lagian cuman belanja bentar doang, ditemenin segala.""Ya, nggak pa-pa. Di kafe kan udah ada Kak Nadia. Jadi aku tem
Sore harinya, setelah Atala pergi ke kampus, Citra berkunjung ke makam orang tuanya sekaligus ke makam eyang kakungnya. Dia pergi seorang diri. Citra ingat eyang putri pernah bilang kita tidak boleh melupakan orang yang sudah meninggal. Karena walaupun sudah meninggal mereka tetap melihat kita, mereka ingat kita. Jadi kita pun tak lantas melupakan mereka.Dengan berkunjung ke makam itu salah satu cara kita menunjukkan kalau kita pun masih ingat dengan mereka. Citra mengunjungi makam orang tuanya terlebih dulu yang jaraknya pun bersebelahan.Wanita mengenakan kerudung putih itu mengangkat tangan lebih dulu untuk berdo'a sebelum akhirnya menaburkan bunga kertas warna-warni ke atas gundukan tanah itu. Citra menaburkannya ke makam ibu dan ayahnya bergantian."Mama, Papa." Citra yang berjongkok di antara kedua makam itu memandangi makam orang tuanya bergantian. "Maaf, ya, aku baru bisa ke sini lagi. Mama dan Papa pasti bisa lihat gimana kehidupanku yang sekarang. Aku bahagia, Ma, Pa, deng
Keesokan harinya. Senja Cafe mulai beroperasi. Seperti namanya, Senja Cafe mulai buka pada sore hari menjelang magrib. Ketika para karyawan sudah bersih-bersih dan siap untuk berbuka, Citra memotret kafe mereka dari kejauhan dan menge-post-nya di sosial medianya. Memberitahu orang-orang bahwa mulai hari ini kafenya sudah buka. Malam harinya, kafe itu ramai pengunjung berdatangan. Sebenarnya Citra tak heran. Karena sebelumnya pun mereka sudah melakukan grand opening dan diliput banyak wartawan. Maka, tak heran sudah banyak yang tahu tentang kafe mereka. Citra hanya membayangkan seandainya dia membuka franchise dari dulu waktu dia masih SMA, pasti pengunjungnya tak akan langsung seramai ini, tak akan semudah ini. Semua ini juga pakai modal yang tidak sedikit. Citra jadi teringat ucapan suaminya tempo hari. " .... Franchise itu cocok buat pembisnis pemula kayak kita. Kayak kamu yang pengin nyoba dunia bisnis. Franchise itu mudah sebenarnya ngejalaninnya. Jadi misal pengin bisn
"Aku bisa banget ngerasain kekecewaan Papa," ungkap Citra begitu mereka masuk ke dalam kamar. Kata-kata yang sejak tadi tertahan dan ingin dia ungkapkan pada suaminya itu. Citra marah, bahkan dia bicara membelakangi suaminya. Dia kesal kenapa bisa-bisanya surat perjanjian itu ditemukan orang lain. Kenapa Atala bisa seceroboh itu."Iya aku juga tahu," sahut Atala yang duduk di pinggir kasurnya."Aku juga tahu aku juga tahu." Citra mengajukan nada bicara Atala, wajahnya terlihat mengejek.Mendengar itu Atala menoleh menatap istrinya yang masih membelakanginya itu dengan heran. Citra lantas berbalik badan. "Bisa-bisanya, sih, kamu teledor soal surat perjanjian itu? Kemana kamu simpan selama ini? Kenapa Nuri bisa menemukannya?" Citra melotot menatap Atala. Detik itu Atala tahu kalau gadis itu marah. "Kok kamu jadi marah-marah?""Ya, aku kesal. Kenapa bisa-bisanya surat perjanjian itu sampai ditemukan orang lain. Kalau seandainya Papa nggak menemukannya, semuanya nggak akan kayak gini. P
"Papa kecewa sama kalian." Atala bisa melihat bagaimana kecewanya papa. Hal itu terlihat dari tatapan mata papanya. Citra pun merasakan hal yang sama. "Terutama kamu, Citra." Citra terkejut mendengarnya. "Kalau Atala berbohong dan membuat perjanjian seperti itu mungkin Papa bisa memaklumi. Tapi kamu? Kamu juga menyetujui perjanjian itu, Citra? Kamu udah bohongin Papa padahal Papa sangat percaya sama kamu. Pantas saja waktu itu ...." Papa terdiam, mengingat percakapannya dengan menantunya itu tempo hari. Di mana dia meminta Citra mengubah perilaku Atala, tapi Citra malah tidak yakin. Sekarang Johan baru tahu kenapa waktu itu Citra tidak yakin. "Pantas apa, Pa?" tanya Atala kemudian. Papa Johan malah menggeleng. Dan mengusap wajahnya. Citra menatap Papa dengan pandangan berkaca-kaca. Sakit hatinya mendengar perkataan papa yang terdengar begitu kecewa. Citra mengerti kekecewaan papanya. "Maafin, aku, Pa," lirih Citra mengusap air mata di pipinya. Atala menoleh, me