"Atala, kita nggak bisa diam aja. Kita harus cari cara gimana caranya biar Eyang percaya lagi. Aku nggak bisa kaya gini. Aku nggak mau Eyang marah sama aku!" Citra menggeleng. Perasaannya cemas luar biasa. Ingin rasanya dia melakukan apa pun, tapi saat ini dia benar-benar buntu, tak ada ide lagi untuk membujuk eyang. Wajah eyang putri yang kecewa bahkan masih terbayang-bayang di benaknya. Berhari-hari mereka memikirkan solusi masalah itu bagaimana caranya agar eyang percaya sama mereka. Atala dan Citra bahkan juga sudah menelepon eyang putri, tapi eyang tak merespons. Atala yang kini bersandar di kepala kasurnya malah tersenyum miring, terlihat santai saja. "Aku tahu gimana caranya." Mendengar itu, Citra menatap suaminya ingin tahu. "Gimana?" "Kita harus buktiin ke Eyang kalau kita udah tidur bareng. Kamu harus cepat-cepat hamil. Kita harus rajin-rajin." Atala mengangkat kedua alisnya. "Rajin-rajin apa?" Citra tak mengerti. "Atala yang serius, dong." "Rajin-rajin itu masak
Sebelum menemui papa, Citra kembali masuk ke kamar untuk memberitahu suaminya. "Atala, ada Papa di luar." Atala yang masih berbaring santai di atas kasur menanggapi dengan santai. "Temuin, dong." "Menurut kamu kenapa Papa datang ke sini? Mendadak lagi." Bukannya langsung menemui papa, Citra malah bertanya. Atala pun bangun dari pembaringannya. "Emangnya Papa nggak boleh datang ke rumah kita?" "Bukan gitu. Tadi Bi Rahma bilang wajah Papa kayak tegang gitu, kayak marah. Aku takut kalau Eyang udah ngadu sama Papa tentang--" "Kamu temuin Papa aja belum udah mikir ke mana-mana," potong Atala yang membuat Citra langsung terdiam. Wajah Atala begitu terlihat tak suka. Citra merasa dia sudah salah bicara. "Maksud aku tuh ...." Atala lalu berdiri, berjalan keluar kamar. "Biar aku aja yang temui Papa." Citra menghela napas. Gadis mengenakan daster itu memutuskan mengikuti suaminya, menemui papa juga. Waktu Citra keluar, dia mendengar percakapan papa mertua dan suaminya itu sudah seten
Beberapa hari yang lalu. Hari itu pada acara grand opening Senja Cafe Atala. Johan terlihat asyik mengobrol bersama koleganya yang juga datang di acara itu sambil menikmati kopi Senja Cafe. Namun, tiba-tiba sebuah pesawat kertas menghampiri dan jatuh tepat di bahunya membuatnya menoleh. Pesawat kertas itu kemudian jatuh ke lantai. Belum sempat dia mencerna apa yang terjadi, seorang gadis kecil berlari menghampiri, memungut pesawat kertas itu. "Eh, Nuri ... hati-hati, dong, mainnya ...." Seorang wanita datang menghampiri dan menegurnya. "Kena opa, tuh. Minta maaf dulu sama Opa." Gadis kecil itu menatap Johan yang tengah duduk di kursinya sambil memegangi pesawat kertasnya. "Opa, maaf, ya." Alih-alih marah, Johan tersenyum melihat gadis kecil itu. "Its okay." Dia kenal gadis kecil bernama Nuri itu. Anak itu adalah anak Shinta, kakaknya Citra. Jadi Nuri itu keponakannya Citra juga. Gadis kecil itu lalu tersenyum malu-malu. "Maaf, ya, Pak." Sang ibu terlihat tak nyaman. "Ngga
"Papa kecewa sama kalian." Atala bisa melihat bagaimana kecewanya papa. Hal itu terlihat dari tatapan mata papanya. Citra pun merasakan hal yang sama. "Terutama kamu, Citra." Citra terkejut mendengarnya. "Kalau Atala berbohong dan membuat perjanjian seperti itu mungkin Papa bisa memaklumi. Tapi kamu? Kamu juga menyetujui perjanjian itu, Citra? Kamu udah bohongin Papa padahal Papa sangat percaya sama kamu. Pantas saja waktu itu ...." Papa terdiam, mengingat percakapannya dengan menantunya itu tempo hari. Di mana dia meminta Citra mengubah perilaku Atala, tapi Citra malah tidak yakin. Sekarang Johan baru tahu kenapa waktu itu Citra tidak yakin. "Pantas apa, Pa?" tanya Atala kemudian. Papa Johan malah menggeleng. Dan mengusap wajahnya. Citra menatap Papa dengan pandangan berkaca-kaca. Sakit hatinya mendengar perkataan papa yang terdengar begitu kecewa. Citra mengerti kekecewaan papanya. "Maafin, aku, Pa," lirih Citra mengusap air mata di pipinya. Atala menoleh, me
"Aku bisa banget ngerasain kekecewaan Papa," ungkap Citra begitu mereka masuk ke dalam kamar. Kata-kata yang sejak tadi tertahan dan ingin dia ungkapkan pada suaminya itu. Citra marah, bahkan dia bicara membelakangi suaminya. Dia kesal kenapa bisa-bisanya surat perjanjian itu ditemukan orang lain. Kenapa Atala bisa seceroboh itu."Iya aku juga tahu," sahut Atala yang duduk di pinggir kasurnya."Aku juga tahu aku juga tahu." Citra mengajukan nada bicara Atala, wajahnya terlihat mengejek.Mendengar itu Atala menoleh menatap istrinya yang masih membelakanginya itu dengan heran. Citra lantas berbalik badan. "Bisa-bisanya, sih, kamu teledor soal surat perjanjian itu? Kemana kamu simpan selama ini? Kenapa Nuri bisa menemukannya?" Citra melotot menatap Atala. Detik itu Atala tahu kalau gadis itu marah. "Kok kamu jadi marah-marah?""Ya, aku kesal. Kenapa bisa-bisanya surat perjanjian itu sampai ditemukan orang lain. Kalau seandainya Papa nggak menemukannya, semuanya nggak akan kayak gini. P
Keesokan harinya. Senja Cafe mulai beroperasi. Seperti namanya, Senja Cafe mulai buka pada sore hari menjelang magrib. Ketika para karyawan sudah bersih-bersih dan siap untuk berbuka, Citra memotret kafe mereka dari kejauhan dan menge-post-nya di sosial medianya. Memberitahu orang-orang bahwa mulai hari ini kafenya sudah buka. Malam harinya, kafe itu ramai pengunjung berdatangan. Sebenarnya Citra tak heran. Karena sebelumnya pun mereka sudah melakukan grand opening dan diliput banyak wartawan. Maka, tak heran sudah banyak yang tahu tentang kafe mereka. Citra hanya membayangkan seandainya dia membuka franchise dari dulu waktu dia masih SMA, pasti pengunjungnya tak akan langsung seramai ini, tak akan semudah ini. Semua ini juga pakai modal yang tidak sedikit. Citra jadi teringat ucapan suaminya tempo hari. " .... Franchise itu cocok buat pembisnis pemula kayak kita. Kayak kamu yang pengin nyoba dunia bisnis. Franchise itu mudah sebenarnya ngejalaninnya. Jadi misal pengin bisn
Sore harinya, setelah Atala pergi ke kampus, Citra berkunjung ke makam orang tuanya sekaligus ke makam eyang kakungnya. Dia pergi seorang diri. Citra ingat eyang putri pernah bilang kita tidak boleh melupakan orang yang sudah meninggal. Karena walaupun sudah meninggal mereka tetap melihat kita, mereka ingat kita. Jadi kita pun tak lantas melupakan mereka.Dengan berkunjung ke makam itu salah satu cara kita menunjukkan kalau kita pun masih ingat dengan mereka. Citra mengunjungi makam orang tuanya terlebih dulu yang jaraknya pun bersebelahan.Wanita mengenakan kerudung putih itu mengangkat tangan lebih dulu untuk berdo'a sebelum akhirnya menaburkan bunga kertas warna-warni ke atas gundukan tanah itu. Citra menaburkannya ke makam ibu dan ayahnya bergantian."Mama, Papa." Citra yang berjongkok di antara kedua makam itu memandangi makam orang tuanya bergantian. "Maaf, ya, aku baru bisa ke sini lagi. Mama dan Papa pasti bisa lihat gimana kehidupanku yang sekarang. Aku bahagia, Ma, Pa, deng
Hari-hari terus berlalu. Tidak ada yang berubah dari rutinitas Citra dan Atala selain Atala yang akhirnya memutuskan untuk berhenti bekerja. Karena dia ingin fokus dengan kuliahnya dan membantu istrinya menangani Senja Cafe. Tentu Atala merasa tidak yakin dia bisa menangani semuanya dengan baik, karenanya dia memilih berhenti. Citra pun setuju saja dan tidak menghakimi suaminya karena mereka pun sudah punya kafe sendiri. Suatu hari, Citra ingin berbelanja di pasar sekaligus membeli alat dan bahan-bahan pembuatan kopi yang sudah habis seperti gelas kertas, gula, susu cair dan lain-lain. "Biar aku antar, ya." Atala langsung menyambar kunci mobil yang terletak di atas meja saat dilihatnya istrinya itu sibuk mengobok-obok tas tangannya. Citra yang tengah sibuk dengan aktivitasnya itu terhenti dan mengangkat kepalanya menatap suaminya. "Nggak. Kamu di rumah aja gantiin aku. Lagian cuman belanja bentar doang, ditemenin segala." "Ya, nggak pa-pa. Di kafe kan udah ada Kak Nadia. Jadi aku
Enam tahun kemudian.Tok! Tok! Tok!Pintu ruang CEO itu terdengar diketuk, sebelum akhirnya sang CEO yang duduk di atas singgasananya menyahut."Ya, masuk!"Pintu di buka, memunculkan seorang wanita cantik mengenakan pakaian kantor. Terlihat begitu elegan. Sepatu hak tingginya terdengar menggema mengetuk lantai ketika dia berjalan mendekat sembari meninting paper bag. Sang CEO tersenyum senang melihat kehadiran wanita itu. "Makan siangnya sudah datang, Pak," beritahu sang sekretaris itu, lalu meletakkan paper bagnya ke atas meja."Terima kasih," sahut sang CEO. Ya, baru saja dia meminta sang sekretaris pribadinya itu memesankan makanan online untuknya. "Eh, kamu mau ke mana?" tanyanya ketika sang sekretaris terlihat beranjak pergi.Wanita berambut pendek itu menatapnya. "Keluar, Pak.""Duduk di sini, temanin saya makan, seperti biasa, dong." Sang CEO tersenyum penuh arti saat menutup laptopnya. "Maaf, saya belum lapar, Pak. Lagian masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan,
Citra tersenyum saat dia tak sengaja masuk ke stan baju bayi dan balita, dan melihat beberapa baju bayi yang bergantungan itu. Baju-baju bayi itu membuatnya teringat dengan bayinya yang sempat singgah di perutnya. Dia bahkan belum sempat membelikan bayi itu baju, tapi bayi itu sudah pergi. "Hei, kamu di sini ternyata." Teguran itu menyadarkan lamunan Citra. Wanita itu sontak menoleh ke sampingnya. Atala menegurnya sambil menatapnya heran. Lalu Atala ikut memandang ke arah pandang Citra. "Udah jangan sedih-sedih lagi, jangan ingat-ingat lagi," ucapnya menghibur sambil mengusap kepala istrinya.Citra tersenyum. "Iya.""Udah selesai pilih bajunya?"Citra menggeleng. "Ya udah, ayok pilih lagi."Atala benar-benar mengajak Citra jalan ke Mall demi menghibur istrinya itu. Walau sepertinya hal itu tak banyak membantu. Karena Atala masih sering mendapati Citra murung memikirkan sesuatu.Citra kembali mendorong trolinya, kembali memasuki stan pakaian dewasa, bersama Atala juga. Saat Citr
"Aku ... aku punya kabar duka, Eyang," ucap Citra pada eyang ditelepon setelah eyang bertanya ada apa."Kabar duka apa, Nduk?" Suara Eyang terdengar cemas. "Aku ... keguguran, Eyang." Air mata Citra sontak menetes bersamaan dengan dia mengucapkan kalimat itu. Masih sedih saja hatinya mengingat ketiadaan bayinya padahal kemarin bayinya masih ada dalam kandungannya. Dadanya juga terasa sesak. "Bayiku udah nggak ada.""Ya Allah Gusti ...." Suara Eyang terdengar sedih. Dan sepertinya eyang putri menangis di seberang sana. "Ini semua ...." Citra berhenti ketika hendak mengucapkan kata-kata 'ini semua salahku, aku nggak becus jaga kandungan, aku nggak bisa jadi ibu yang baik'.Dia berhenti mengucapkannya karena ingat pesan Atala yang mengatakan seharusnya dia tak boleh menyalahi diri. "Apa, Nduk?""Enggak, Eyang. Mungkin ini semua udah takdir Allah, ya, Eyang. Eyang jangan sedih, ya. Nanti aku pasti bisa hamil lagi, kok." Citra tersenyum. Sejatinya dia tengah menghibur dirinya sendiri."
Dua hari berlalu. Citra masih memikirkan kandungannya yang keguguran. Meski Atala berkali-kali mengatakan sebaiknya dia tak perlu menyalahkan dirinya. Tetap saja, Citra merasa bersalah karena kenyataannya memang begitu. Karena dia sadar jauh dalam lubuk hatinya paling dalam, dia belum siap menjadi ibu, dan Atala tak tahu itu. Tak ada yang tahu isi hatinya selain dirinya dan Tuhan. Seketika kenangan dan kejadian lalu itu pun teringat lagi. Dia ingat bagaimana selama ini dia tak begitu menginginkan bayi itu. Percakapannya dengan Bi Rahma waktu pertama kali dia tahu dia hamil pun terngiang. "Aku nggak mau hamil, Bi ...." "Kenapa Non jadi sedih? Harusnya Non bahagia kan? Kan Non sudah menikah dengan Tuan Atala. Memang sudah seharusnya Non hamil." "Tapi, Bi .... Aku belum siap. Aku belum siap mengurus anak, aku takut ...." "Non jangan pesimis begitu .... Ingat, ya, apa pun yang Allah kehendaki itulah yang terbaik. Non ingat kan dulu Non sendiri juga ndak mau menikah dengan Tuan Atala.
Sejak dalam perjalanan hingga sampai ke rumah, Citra hanya berdiam diri. Bahkan dia tak menyahut ketika Bi Rahma menegurnya. Bi Rahma mengalihkan pandang pada Atala yang hanya dibalas gelengan kepala. Atala membiarkan Citra masuk ke kamar. Lantas dia bicara pada Bi Rahma."Ada apa, Tuan? Kenapa Non Citra begitu sedih? Kandungannya baik-baik saja, kan?" Meski sudah tahu apa yang mungkin terjadi, Bi Rahma masih berharap yang baik-baik.Atala terdiam lama sebelum akhirnya menjawab. "Citra keguguran, Bi." Dia berterus-terang. Wajahnya tertunduk lesu. Membayangkan bagaimana dia mengatakan berita buruk ini pada keluarga yang lain, terutama papa. "Ke-keguguran, Tuan?" Bi Rahma tampak tak percaya. Atala diam saja. Dan itu cukup menjelaskan."Ya Allah ...." Bi Rahma sampai menutup mulutnya. "Kasihan Non Citra." Art itu bisa langsung membayangkan bagaimana perasaan Citra saat ini. "Non Citra sekarang pasti sedih sekali. Pantas saja tadi banyak diam.""Iya, Bi. Bi aku ke kamar dulu, ya, temeni
Mendengar itu, Atala spontan menoleh. Wajah lelaki itu langsung berubah melihat istrinya kesakitan sambil memegangi perut."Citra!" Dia pun berlari mendatangi istrinya itu. "Perut kamu kenapa?" tanyanya saat memegangi tubuh istrinya. Rasa kesal tadi sontak menguap entah kemana bergantikan rasa khawatir luar biasa."Perut aku sakit banget." Citra merintih. "Kita ke rumah sakit sekarang, ya?"Atala langsung membopong istrinya turun ke bawah dengan tergesa. Sebelum pergi, dia meneriaki Bi Rahma untuk memberitahu kalau dia dan Citra akan pergi ke rumah sakit.Meski sempat khawatir melihat keadaan majikannya itu, Bi Rahma menurut. "Ya Allah semoga Non Citra ndak kenapa-kenapa. Semoga kandungannya baik-baik saja," doa sang art itu dengan tulus.***Atala mondar-mandir dengan gelisah di depan ruang kebidanan. Di balik rasa khawatirnya terhadap kandungan istrinya, dia masih berharap dan berdoa kalau kandungan isrinya yang baru seumur jagung itu baik-baik saja. Begitu pintu ruang itu terbuka
"Sayang, hari ini kita jalan-jalan, yuk!" ajak Citra kala dia mendapati suaminya sedang termenung di balkon lantai atas. Tapi suaminya itu hanya berdiam diri, tak bereaksi sedikit pun setelah mendengar suaranya. Seolah dia sudah bisa menebak hal itu.Citra sudah menduga semua ini. Hal yang dia takutkan akhirnya terjadi. Atala marah karena mengetahui Dimas masih meneleponnya. Begitu melihat siapa yang meneleponnya, Citra langsung bergegas ke atas menyusuli suaminya, berusaha untuk mencairkan suasana. Dia mencari suaminya itu ke sana kemari. Namun, ternyata suaminya di sini. Dan suaminya itu tak bergeming sedikitpun mendengar suaranya. Dia benar-benar marah.Tapi Citra tentu saja tak menyerah. Wanita itu menghela napas, berjalan mendekati suaminya. Mencoba memberanikan diri memeluk pinggang suaminya. Dan kali ini, Atala tak melepasnya, tapi tak juga membalas pelukannya. Citra pun melepas pelukannya. "Kamu marah, ya, sama aku? Kenapa?" Dia mulai bertanya.Citra tak ingin masalah ini be
Hari-hari terus berlalu, kehidupan Citra dan Atala berjalan bahagia seperti biasanya. Meski kadang kala Atala merasa beban yang ditanggungnya terasa berat, dia tetap kuat. Karena dia bersama Citra. Kebahagiaan Citra adalah kebahagiaannya juga. Maka dia akan berusaha melakukan apa pun untuk kebahagiaan istrinya itu.Hari itu hari Minggu. Atala tentu saja tak ke kampus. Dan dia punya banyak waktu luang untuk istrinya. Sebenarnya Atala bisa mengajak Citra jalan-jalan. Namun, mengingat istrinya yang hamil dan harus lebih menjaga kandungan, mereka memilih diam di rumah saja. Lagipula bagi seorang Atala tak masalah dia diam di rumah, asal bersama sang istri tercinta.Citra sedang mandi di toilet yang ada di kamarnya saat Atala hanya rebahan di kasurnya.Pria itu nyaris jatuh tertidur ketika dia mendengar bunyi dering ponsel khas milik istrinya.Atala pun seketika terjaga. "Sayang, ponsel kamu bunyi tuh? Angkat, dong," racaunya setengah sadar. Hening, tak ada sahutan dari Citra. Dan ponsel
Sejak hari itu, Citra jadi lebih kalem. Dia lebih serius mendengarkan apa kata suaminya. Dia makan dan minum vitamin secara teratur. Setelah makan dan minum dia rebahan, sesekali sambil main ponsel.Beberapa hari belakangan ini, Dimas tak ada menghubunginya lagi, entah itu sekadar chat atau telepon. Membuatnya sedikit lega. Kata dokter, selama masa kehamilan, sebisa mungkin Citra tak boleh banyak pikiran. Apalagi memikirkan hal yang tidak penting. Ya, Citra bisa untuk sedikit tenang dan tidak memikirkan apa pun dulu, kecuali ... masalah Dimas itu. Citra mungkin baru akan berhenti memikirkannya jika dia sudah bercerita pada suaminya. Tapi ... Citra belum berani cerita sekarang. Citra memijit pelipisnya yang tiba-tiba pusing. Peringatan Atala tempo hari yang terdengar begitu tegas kembali membayangi."Aku serius kali ini, Sayang. Aku mau mulai sekarang kamu lebih menjaga kandunganmu. Kamu harus lebih dengarkan aku. Kalau sekali aja aku dengar kabar buruk dari kamu dan itu karena ka