Selamat membaca.Di ruang rapat yang kini penuh retakan. Kami semua duduk di kursi yang telah disediakan, untuk membicarakan masalah mengapa mereka tidak menyerang Utara dengan benar—meski mereka tahu mereka dapat melumpuhkan pertahanan istana hitam."Mereka tahu akibat dari penyerangan besar-besaran yang sedang kau pikirkan Emabell!" Penjelasan Baginda membuat aku membulatkan mataku terkejut. Karena Baginda begitu peka dengan raut wajahku yang menunjukan isi hatiku. "Begitu ya." Aku menghembuskan nafasku kasar. "Dan apa akibatnya? Bisakah aku mengetahuinya juga?!"Mereka semua yang ada dalam ruangan ini saling tatap. Dan ya. Mereka menyembunyikan sesuatu, yang bisa dengan jelas aku dapatkan jawabannya dengan mudah—bagaimana kalau berpura-pura tak tahu saja.Ternyata. Alasan mereka tidak menyerang adalah karena aku, karena impianku bisa hancur dan mengapa mereka begitu peduli? "Mengapa, pria itu terlihat takut menghancurkan dunia ini?" tanyaku tiba-tiba yang membuat Baginda menarik l
Selamat membaca."Sulit kan?" Sakana tiba-tiba saja muncul di samping Ar, sembari menatap ke arahku yang kian hari semakin menjauh dari pandangan mereka—tidak mereka ketahui, aku tersenyum membelakangi mereka."Emabell itu, benar-benar berbeda.""Ya." jawab Ar dengan tatapan datarnya. "Karena sampai kapanpun, aku tidak akan pernah setara dengan kakakku sendiri. Dia selalu menang."Aku memiliki alasan yang kuat mengapa aku begitu mencintai Killian, semua karena dia mengenal bagaimana seorang manusia bermimpi.***Tap!Tap!Tap!Bugh!"Awwww. Sttt!" Aku meringis karena kepalaku membentur sesuatu yang keras. Mengerutkan keningku sembari mengelus-elus dahiku yang memerah. Aku menatap ke arah penghalang yang menghalangiku. "Baginda?" Menatap ke arah hiasan pakaiannya yang menyakitiku barusan."Gadis nakal.""Hah?"Deg! Mataku melebar, sadar kalau Baginda sedang marah padaku dan yap. Aku mengobati leherku. Mungkinkah dia akan marah padaku? "Emmm," Mengaruk tengkukku yang tak gatal sebelum m
Selamat membaca."Lepas! Aku mau menemui Emabell!" Dari balik pintu kamar yang tutup rapat, di tengah-tengah cahaya yang masuk dari antara lupang kunci. Aku terbangun, menahan berat badanku untuk mengambil posisi duduk—menyakitkan. "Akh?" Aku mendesah setelahnya. Sebelum….Bukh!Pintu terbuka. Menampakan wajah Damor dan Sirrius yang memaksa masuk dengan membela pintu menjadi dua dan terpaksa melumpuhkan Almosa dan Zurra dengan racun Damor.Deg! Tapi setelahnya mereka terdiam, mata mereka membelalak. Berkaca-kaca saat melihat bentuk dan rupaku yang tidak ada bedanya dari tahanan seumur hidup. Dengan siksaan setiap harinya—tersenyum. Aku mencoba menguatkan mereka."Jangan tersenyum." "Damor, Sirr…""KUBILANG JANGAN TERSENYUM!" Damor mendekat namun ia bahkan tak berani memelukku karena takut aku terluka. Tubuhku penuh dengan luka dan lebam yang terlihat begitu jelas di mata mereka saat ini. "Aku mohon…Da-damor, Almosa dan Zurra,""APA YANG KALIAN BERDUA LAKUKAN PADA ZURRA DAN ALMOSA?!"
Selamat membaca.Suara lonceng berdentang. Samar, aku melihat gaun berwarna putih. Juga uluran tangan seseorang, darah dan sebuah cincin. Gelap—berangin.KRAK!KRAK!KRAK!Suara ranting kayu diinjak. Istana hitam, mengapa tampak begitu jauh dan mengapa? Aku sedang menggandeng tangan seseorang? Tunggu…mengapa langkahku berjalan semakin jauh? Tidak. Kumohon. Berhenti…aku mau Baginda, Utara. Bersama mereka.Sebelum panas menggerogoti tubuhku.***Hah. Aku bangun dalam keterkejutan sesaat pandanganku tertuju pada perban yang melilit pinggangku. Dibawah gaun sederhana nan nyaman. "Baginda." Aku berlari mencari-cari Baginda karena rencanaku berhasil.Sebelumnya. Aku mendengar suara hati yang begitu familiar dan perasaan akan sesuatu yang berbahaya, itu sebabnya aku meminta Baginda bersandiwara karena merasa ada yang mengawasiku dengan senyuman penuh kemenangan saat berada di atas awan—tak mudah membujuk Baginda untuk berakting seakan kehilangan kepercayaan agar aku bisa mendapatkan sedikit
Selamat membaca.Esok harinya. Ketika udara dan sekitaranku begitu tenang, matahari bersinar sangat terik. Membuat makhluk hidup seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan hidup dan melakukan aktivitas mereka seperti biasanya. "Jadi tidak terlihat seperti adanya perseteruan." ucapku menatap ke arah luar jendela ruangan rapat. Sebelum sebuah tangan jatuh di bahuku. Almosa. Tersenyum, aku berbalik menatap ke arah Baginda yang sedang duduk di kursi utama. Sebelum berlari ke arahnya, duduk di atas pangkuannya. Tidak punya waktu untuk bersantai-santai ria. Karena lawan yang sedang kami hadapi begitu berbahaya."Baiklah Emabell, pertama-tama. Apakah kamu baik-baik saja?" tanya salah satu tetua sembari menatap ke arah lukaku yang kini mulai memudar bekasnya. Mereka—dengan nama yang tidak ingin aku ketahui. Membuat aku membalas sambil menganggukkan kepalaku."Ya. Aku baik-baik saja.""Ehem. Bisa hasil dari rencana gila Anda, Emabell?"Aku tertawa kecil. "Tidak begitu jelas, tapi saat itu aku melihat
Selamat membaca.Meski tinggal bersama dengan keabadian dan keajaiban, sayangnya aku tidak percaya pada hal seperti Reinkarnasi atau kesempatan kedua setelah kematian—karena dalam kisah ini, aku bukan miliknya."Kenapa duduk melamun begitu?" Ledek Sirrius sembari mengandeng leherku dengan lengannya layaknya sahabat dekat. Akhhh….tidak bisa bernafas. "Nanti kerasukan bagaimana?""Tidak bisa ber-bernafas!" keluhku—Sirrius melepas tangannya dariku. Sontak, aku terhyung namun dengan cepat dia menarik tanganku agar tidak jatuh ke tanah. "Brengsek!""Oho. Apa ini? Emabell yang baik hati memaki?" Sirrius menyipitkan matanya. "Akan ku laporkan pada Baginda.""Coba saja. Sana! Pergi, katakan apa yang baru saja aku ucapkan.""Pede sekali?"'heh' Damor datang dengan seringainya. "Kau tidak tahu. Sebutan apa yang didapatkan yang mulia dari Emabell?" Damor jelas tahu bagaimana sikapku yang sebenarnya lumayan kasar. "Memangnya bagaimana manusia lemah ini memanggil pemimpin kita yang luar biasa tak
Selamat membaca.Sebenarnya aku tidak ingin menangis, aku tidak ingin marah, aku juga tidak ingin memilih atau menjauh. Tapi ini bukan kendaliku—selesai bertengkar dengan Baginda. Aku tertidur dan bangun-bangunnya hari sudah gelap. Dan siapa yang menyangka kalau langit berwarna hitam pekat lah yang kulihat di jendela yang terbuka lebar.Bahkan ada bintang-bintang."Warna pink merusak mata itu akhirnya menghilang hm?" tanyaku lemah, sebelum bangkit dari tidurku. Melesat ke arah jendela, terbang keluar menuju hutan perbatasan antara Clossiana Frigga dan Utara. "Maaf Baginda ada yang harus aku pastikan. Ingat kau yang membuatku sekuat ini, maka bertahanlah dengan sikapku."Resah. Ya, Sebab suara yang memanggil-manggil namaku itu begitu Familiar di telingaku. Dan semoga itu tidak mengecewakan, aku benar-benar berharap.Saat sampai. Angin mendesau disekitaranku! Melirik singkat ke arah belakang, benar mereka tidak mengetahui keberadaanku yang tidak ada lagi di utara. Seolah telah diatur be
Selamat membaca. "Kau, membunuhnya?" tanyaku dengan nada suara parau. Seolah mati mati rasa, bahkan air mataku yang sudah diambang batas. Mengering, tak ingin jatuh hanya untuk pemimpin tidak punya hati seperti Vardiantura. "Segampang itulah tanganmu terangkat untuknya?"Tapi dia hanya santai saja. "Hem…" dia menatap tangannya yang berlumuran darah tanpa rasa bersalah sedikitpun. "Kalau mau membandingkan, maka bandingkan berapa banyak orang terdekatmu yang telah dia bunuh." Dia mendekat padaku. Memegang beberapa helai rambutku yang terurai tanpa mementingkan perasaanku.Ini tidak romantis.Ini menjijikan."Dia tidak membunuh siapapun!""Cara bicaramu itu. Benar-benar mirip dengannya, hanya saja. Dia takut saat melihat mataku dan kamu, bahkan tak berkedip saat memandang seorang raja. Emabell!Akhhh…kepalaku tiba-tiba saja terasa sangat berat saat ia mengakhiri kalimatnya. Seakan ada beban yang sangat kuat yang memaksa mataku untuk tertutup. Dia mendekat—berbisik tepat di telingaku. "J