Selamat membaca. "Kau, membunuhnya?" tanyaku dengan nada suara parau. Seolah mati mati rasa, bahkan air mataku yang sudah diambang batas. Mengering, tak ingin jatuh hanya untuk pemimpin tidak punya hati seperti Vardiantura. "Segampang itulah tanganmu terangkat untuknya?"Tapi dia hanya santai saja. "Hem…" dia menatap tangannya yang berlumuran darah tanpa rasa bersalah sedikitpun. "Kalau mau membandingkan, maka bandingkan berapa banyak orang terdekatmu yang telah dia bunuh." Dia mendekat padaku. Memegang beberapa helai rambutku yang terurai tanpa mementingkan perasaanku.Ini tidak romantis.Ini menjijikan."Dia tidak membunuh siapapun!""Cara bicaramu itu. Benar-benar mirip dengannya, hanya saja. Dia takut saat melihat mataku dan kamu, bahkan tak berkedip saat memandang seorang raja. Emabell!Akhhh…kepalaku tiba-tiba saja terasa sangat berat saat ia mengakhiri kalimatnya. Seakan ada beban yang sangat kuat yang memaksa mataku untuk tertutup. Dia mendekat—berbisik tepat di telingaku. "J
Selamat membaca."Emabell!" Bruk!Aku jatuh dari kursi, karena rasa pusing yang datang seperti beban yang sangat berat. Jatuh di atas kepalaku. Darah keluar dari mulut dan hidungku, dan ya. Edanosa langsung membantuku.Dia membaringkanku di lantai, mencoba memeriksa tubuhku yang mulai melemah. Semua khawatir—dan untuk pertama kalinya aku merasa tidak dibenci dunia Elydra, mereka tidak menatapku dengan tatapan meremehkan karena aku begitu lemah.Ibu dan ayah juga cemas. "Jangan begini Emabell, tidak akan membantumu." Edanosa tampak frustasi saat mengetahui kalau Maledictus Sanguis kembali hidup dalam darahku, seolah menjadi parasit yang tidak akan pernah hilang."Aku butuh Baginda.""Aku disini, mengapa mencari orang lain. Emabell, kamu adalah milikku. Sejak awal, kamu lahir didunia ini kembali karena kamu ditakdirkan untukku."Aku menahan pahitnya hatiku. Dan ingin sekali memukul pria menyebalkan didepanku saat ini, tapi aku terlalu lemah untuk berteriak padanya. "Ya. Anda benar. Mu
Selamat membaca.Kemarin. Aku mendengar ledakan, dan aku juga mendengar Sirrius—tapi setelah aku pingsan dan hari ini. Tidak ada yang terjadi, seakan Sirrius menghilang bersama dengan harapanku."Aku kira akan membuatku tidur selama seminggu?""Dan membuatmu mati?" tanya Nesesbula sembari menatapku dengan tatapan dingin, dan yap mereka menempatkan makhluk berdarah abadi yang begitu kuat disisiku. Seorang raja paling ku benci disini. "Hah, Emabell. Menyerahlah pada ambisimu itu. Dia akan segera mati.""Siapa?""Emabell!"Aku tertawa kecil sembari memakan es krim yang mereka berikan bersama dessert yang manis-manis untuk memulihkan tubuhku yang lemah, setelah terkena kekuatan Vardiantura yang sudah gila menantang putranya sendiri."Kenapa kau marah. Aku kan cuma bertanya.""Hanya dia yang boleh, tidak denganmu Emabell. Hiduplah, bukankah itu yang kau inginkan. Tetap hidup dan tidak bergantung pada siapapun.""Itu dulu."Aku berbicara sangat sangat santai meski rasanya aku ingin memakai
Selamat membaca.Makan malam kali ini ditemani dengan keresahan raja Herdiant akan istrinya yang sedari tadi terlihat tidak tenang. Jujur aku merasa bersalah karena menyalahkan mereka, tapi itu tetap salah mereka. Siapa suru berbuat jahat begitu pada Kafkanku, sekarang rasakan bagaimana rasanya tidak bisa berpikiran jernih."Kau mengatakan sesuatu pada ratu Rah Emabell?" tanya Nesesbula curiga. Jelas, karena setelah bersama dengannya. Aku pergi bersama ratu Rah. Tapi aku tidak mau jawab, dan hanya fokus pada makanan yang ada di depanku saat ini. Menganggapnya bagaikan patung—memang cari mati aku ini. Tapi tak apa, aku bisa menahan atmosfer yang begitu kuat menembus seluruh tubuhku yang berbeda.Lubang nih tubuhku karena tatapan mereka semua.Dan pangeran Edanosa yang menentang ibu dan ayahnya sekarang berpihak pada Vardiantura. Yang awalnya menginginkan kematian ku, kini menginginkan kehidupanku. Munafik sekali mereka.Tak lama. Aku selesai makan, dan pamit. Untung sih Raja Vardiantu
Selamat membaca.Aku berharap ini bukanlah akhir. Dan malam ini, adalah malam yang begitu indah. Ditemani dinginnya malam, diatas balkon. Dengan pakaian tipis, aku tersenyum berdesis seolah bisa menatap ke arah Baginda yang seakan berdiri ditempat yang sama, mengingat diriku."Aku dilema Baginda!" ujarku sambil tersenyum menatap langit, sebelum sebuah mantel menyentuh punggung belakangku yang sedikit bergetar karena udara dingin yang memang lumayan dingin.Vardiantura muncul di sampingku. "Dia itu anakmu, jangan terlalu memikirkannya Emabell!" ingatnya padaku yang malah tersenyum, tak melempar kehangatan yang ia berikan untuk mengisi kekosongan hatiku dan pikiranku yang dipenuhi dengan ribuan kata 'rindu,rindu, rindu….' yang tak berkesudahan.Meski ku coba untuk kuhentikan, nyatanya semakin membuatnya semakin banyak. Tapi itu, tidak sampai menyakiti perasaanku."Kau bicara seolah masih hidup.""Memangnya kau melihatku sebagai apa selama ini Emabell?!""Mayat hidup." jawabku tak kebera
Selamat membaca.Duk!BRAK!Prang!Bugh! Buku melayang ke udara, bersama denganku yang sedang berlari keluar dari pintu—barang-barang melayang di belakangku, dilempar oleh dua orang yang sepertinya agak…."EMABELL!"Bukan agak lagi. Tapi benar-benar marah karena aku menjodohkan mereka dengan satu orang yang sama, namun anehnya aku malah berkata kalau aku sudah mengikat orang itu dengan orang lain—lagian kenapa kalian mendengarkanku sih?"Huaaa, aku tidak bermaksud. Aku juga cuma bercanda!" seruku sembari berlari, melesat, bahkan melompat ke sana sini untuk menghindari dia orang yang juga ingin sekali menangkapku. Sumpah. Kakiku otomatis berlari dari perpustakaan. "Ibu…."Berlari tanpa arah, aku akhirnya sampai ke tempat yang begitu aneh namun aku tahu. Kursi singgasana yang terpajang di atas sana sudah menunjukan kalau ini adalah aula utama, dan yap. Ada ibu dan ayah yang sedang membawa karangan bunga masuk ke dalam aula."Emabell?" Mereka mengerutkan alis mereka. Dan buru-buru aku m
Selamat membaca.Sakana begitu terkejut, karena aku tiba-tiba saja mulai memainkan peran seperti yang dia inginkan secara tiba-tiba—itu karena raja Vardiantura dan yang lainnya mulai curiga pada diamnya kami.Dan benar. Semua tepat pada waktunya. "Aku tidak meminta apapun padanya sampai sejauh ini, karena aku tahu dia akan marah. Tapi aku mohon, kali ini saja. Biarkan aku ikut denganmu, aku mau ikut denganmu Sakana…." Malu atau pun tidak. Jawabannya adalah tidak, karena aslinya aku benar-benar ingin Sakana membawaku pada Baginda. Karena aku rindu pria kejam itu, aku rindu segala intimidasi dan sentuhannya. Bohong kalau aku bilang aku tidak ingin dipeluk oleh Baginda—apapun yang ia rencanakan, selama itu tidak dikategorikan sebagai cara ampuh membuatku baik-baik saja aku. Emabell, akan berpikir kalau ia membuangku pada pria lain!"Tinggallah, Baginda akan menjemputmu.""Kau pikir aku akan percaya, kau pikir aku tidak tahu seberapa jahat dia dalam menilai ku."Mampus. Tapi maaf Sakana
Selamat membaca."Kalau begitu akan ku bacakan.""Tidak perlu!" Tolakku mentah-mentah, sembari terus melangkahkan kakiku semakin jauh ke dalam tanam yang begitu luar biasa indah. Ingin rasanya ku pindahkan ke Clossiana Frigga tapi, aku lebih suka kalau Clossiana Frigga tetap menjadi tempat dimana musim gugur selalu ada.Aku rindu. "Sampai kapan ini akan berakhir? Kedamaian seperti apa yang sedang ku tuju?" Kalau tanpa nya, aku akan membakar dunia Elydra ini—biarkan saja mereka menganggapku kejam dan akhirnya membunuhku. Tapi sekali lagi, apakah aku punya api yang bisa membuatku membakar dunia ini.Sendirian. Rupanya senyuman penuh ketenanganku membuat Vardiantura tak ingin menggangguku lagi, di bawah pohon apel. Aku membaringkan tubuhku.Mencoba untuk tidur.Akan tetapi. Saat mataku tertutup, gambar berbentuk Phoenix memenuhi mataku dan tiba-tiba saja.Hah! Aku tersadar, mataku terbuka. Tapi ini bukan tubuhku, aku tidak bisa mengendalikan tubuhku—berkomunikasi. Sakana. Istana hitam.
Selamat membaca. Tabir pelindung yang terbentuk di atas dunia Elydra itu mampu menyerap setiap api kemarahan Darka, meski terlambat. Tapi kekuataan itu begitu besar sampai setiap kaki yang berdiri akhirnya tak mampu lagi untuk berdiri—semua mahkluk akhirnya menghormati Emabell, bahkan para tetua yang tersisa menundukan kepalanya.Bukan karena kekuataan lagi. Tapi karena pengorbanan seorang manusia biasa pada dunia yang dengan hebatnya menolaknya sebagai ratu, tapi dengan sangat luar biasanya ia bela dengan mengorbankan nyawanya sendiri."Mungkin agak terlambat, tapi kini kau akan menjadi ratu kami. Satu-satunya ratu kami, Emabell kami."Aku menang. Tapi tunggu, aku kewalahan karena menahan kekuataan Darka. Keringat dingin memenuhi tubuhku, tapi tidak apa-apa. Ini bukan pertama kalinya aku di panggang!WUSH!Lenyap. Ah, rupanya aku juga tumbang. Baginda…tolong aku?!Gelap.***Beberapa hari kemudian, akhirnya aku sadar. Seolah tersadar dari mimpi, atau terbangun di dalam mimpi.Aku me
Selamat membaca.Raja dan Ratu, dan setiap makhluk yang mengisi aula utama Gratarus yang mengag dan indah saling tatap. Mereka kebingungan dengan alis yang mengerut sempurna—bagaimana tidak, pasalnya aku yang sudah seperti kehilangan kendali akan dirinya sendiri tiba-tiba saja menjadi tenang."Kau baik-baik saja Nak?" tanya ayah. Melirik ke arahku yang sedang berjalan menuju altar. "Emabell?""Ya ayah? Aku baik. Sangat baik." ucapku sembari tersenyum. Meski hatiku sangat ragu sekarang—"ternyata benar ya ayah, memilih itu sangat mudah. Yang susah itu, adalah bertahan." Kataku sambil mengumbar senyuman khas seorang Emabell dari Clossiana Frigga.Dan yah. Mata ayahku berbinar, dapat ku rasakan kalau hatinya tergetar atas perkataanku yang sepertinya sangat menyentuh hatinya. "Kau a-akhirnya mengerti Emabell?""Iya.""Ayah bangga padamu."Aku tersenyum. "Ayah akan semakin bangga. Karena kini aku mencintai Dunia Elydra.""Kenapa?" Karena dunia ini mencintai Bagindaku, rajaku, pilihan hatiku
Selamat membaca.Kau mengurungku. Lalu memintaku untuk melangsungkan upacara pernikahan yang tidak seharusnya terjadi Vardiantura? Baik, lakukan. "Aku akan mengukur waktu!"Mataku berubah warna menjadi keemasan, dan darah keluar dari mataku meski hanya sedikit. Itu karena Sakana mencoba melakukan lelepati denganku yang ternyata berhasil—baginda, hanya menyuruhku untuk menunggu sampai ia datang."Kalau kau tidak bisa bersabar, Baginda bersumpah akan memperkosaku setiap malam dan membunuh kami di depanmu! Jadi jangan lakukan hal gila. Kau mengerti!" tegas Sakana mengingatkan.Mataku membulat sempurna. Dan dengan susah payah aku menelan salivaku, "iya a-aku mengerti." jawabku.Karena semakin pusing. Jadi Sakana memutuskan telepati.Setelahnya, aku menatap ke arah pintu. Tapi percuma, pintu itu dikunci dari depan. 'hah' aku tidak suka di paksa—runtukku dalam hati.***-sementara itu, istana hitam. Utara yang membeku. Terjadi penangkapan besar-besaran di empat wilayah di Utara. Kota Devika
Selamat membaca.Berkat kecurigaan yang sepenuhnya benar. Aku di sidang di hadapan raja Vardiantura, di temani pangeran Edanosa dan Raja Nesessbula sebagai saksi atas kesalahanku."Bagaimana bisa rasa rindu menjadi kesalahan? Rindu itu tidak menyakitiku maka itu bukanlah sebuah kesalahan." Aku membela diriku sendiri. Tidak peduli seberapa hebatnya para ratu serta ibu dan ayahku yang terus memberiku kode agar aku diam saja tak mengatakan apapun—maaf tapi dia bukan Bagindaku, dan aku tidak akan pernah tunduk padanya."Berarti kamu berkomunikasi dengannya." ucapnya dingin."Itu hakku!" "Sejak kapan kamu memiliki hak Emabell?""Dan sejak kapan kau memiliki hak untuk bertanya padaku?" balasku tak ingin kalah. karena aku benar, ini adalah hakku.Edanosa menatapku dengan alis yang mengerut ke atas lagi. Tapi aku tidak bisa diam lagi, aku menatapnya sekali lalu tersenyum padanya seolah mengatakan kalau aku akan baik-baik saja meski hasilnya."Lihat aku!" Titah Vardiantura. Dan aku menatapnya
Selamat membaca.Gartarus. Kerajaan yang yang akan menjadi yang utama setelah Utara, indah, asri dan sangat nyaman namun sedikit mencekam.Orang-orangnya berkulit sawo matang dan hampir dari 99% warganya adalah pengendali tumbuh-tumbuhan. Merekalah yang membuat tumbuhan dapat bergerak, tapi ada juga tumbuh-tumbuhan yang sudah memiliki nyawa sejak lahir.Dedaunan yang jatuh bahkan bisa terbang kembali ke udara seperti ribuan burung-burung.Mereka ramah, dan alami saat tersenyum padaku."Huh! Senang rasanya melihat semua saling bahu membahu dalam mengurus kerajaan. Tamu tak diundang bahkan di sambut dengan baik," Ucapku sambil tersenyum manis menghirup udara segar menyambut hari pernikahanku. "Anehnya hanya Raja Nesessbula yang berbeda." Tambahku."Apa maksud Anda Emabell?!""Kau seperti orang mati, berkulit pucat, dingin dan terlihat seperti bukan berasal dari wilayah ini."Dia tersenyum smirk. "Timur. Tidak selalu tentang warna kulit. Dan lagi, aku adalah keturunan asli kerajaan Grata
Selamat membaca.Akhirnya hari itu tiba juga. Aku dan gaun pengantin di hadapanku, perhiasan bahkan mahkota yang akan ku kenakan terpajang dalam lemari kaca yang begitu mewah.Pernikahanku dan Vardiantura. Mereka berpikir kami akan menjadi 'lawan mencintai lawan' harusnya begitu. Tapi aku sudah mencintai lawanku yang sebenarnya—pria brengsek itu bukan Vardiantura tapi Baginda.Aku tersenyum membayangkan. "Kau tersenyum?" Edanosa muncul di sampingku. "Kau suka gaunnya?""Ya.""Aku mengenal guruku Emabell, dia memiliki dua senyuman. Yang satunya tulus, dan yang satunya lagi tulus dengan rencana.""Hm?" Ku kerutkan keningku pada pangeran Edanosa yang ada di sampingku. Sebelum tersenyum padanya. "Benarkah? Jadi, apa arti senyumanku ini?!" "Tulus dengan rencana." Aku tersenyum senang. "Emabell. Aku mohon!" Dia mengerutkan keningnya padaku. Mengandeng tanganku dengan mata berkaca-kaca."Lepas.""Alasan kau koma, bukan karena kekuataan misterius yang membutakan. Tapi karena…." Aku buru-bu
Selamat membaca.Aku tersenyum senang. Lalu menatap ke arah Nesessbula yang ingin menyampaikan informasi ini. "Sekalian, katakan padanya, aku masih menunggu." Terangku yang membuat Sih Vardiantura sialan itu tersenyum sinis."Apa yang kau harapkan?""Sampaikan saja!" Potongku. Tak peduli pada wajah angkuh seakan tak terkalahkan padahal cuma mayat hidup, aku jadi merindukan dia yang ku ciptakan dalam benakku. "Ini perintah!" Deg!"Kau….""Kau ingin aku menjadi ratu, akan ku lakukan sesuai yang kau inginkan. Dan kalian akan hidup!" Tegasku sembari tersenyum sampai mataku tidak lagi terbuka—meski artinya adalah sindiran.Mereka saling tatap. Tersenyum satu sama lainnya. "kau mau menikah denganku?" tanya Vardiantura."Hm." Jawabku sembari terus mengunyah."Kau mau menjadi ratu kami tanpa Baginda tercinta mu itu?""Hm." "Kau ingin memberikanku cinta.""Tentu.""Bagaimana dengan keturunan.""Tidak buruk."Mereka semakin bingung. "Kau masih waras Emabell?""Tidak. Setengah gila. YAH WARASL
Selamat membaca.Aku berjalan seperti orang bodoh diantara dinginnya malam, menikmati luasnya taman yang di bangun hanya untukku. Emabell dari Clossiana Frigga, bahkan nama taman ini adalah namaku. TAMAN EMABELL. Semuanya lengkap, kasih sayang, cinta, perhatian bahkan makanan sudah tersedia. Hanya saja, mengapa? Aku terus menatap ke arah tembok raksasa yang menghalangi duniaku."Baginda?" Sadar kalau ada langkah yang terus mengikutiku sedari tadi—Kubiarkan karena Baginda juga diam saja sedari tadi.Tiba-tiba. Ia memelukku dari belakang. "Tidak dingin?" tanyanya—Bisa kurasakan dengan jelas hembusan nafasnya yang menyentuh leher jenjangku. "Em.""Em?" Ulangnya.Aku tidak bersemangat sampai aku bisa membaca isi pikirannya. "Baginda mereka mengadakan pertemuan dan akhirnya Utara diundang….""Kita tidak akan pergi!""Mereka memilihku sebagai perwakilan." Aku sangat bersemangat sampai lupa akan sesuatu. "Ini…" tak melanjutkan ucapanku, kepalaku malah tertunduk ke bawah. Dan tak kusadari k
Selamat membaca.Ribuan panah amarah penuh penolakan di tengah kedamaian tanpa Utara. Dari orang-orang yang pernah tersenyum padaku—Tetapi Dia, Baginda. Dengan cepat menerjang ribuan anak panah itu seperti meteor yang kembali naik ke atas langit tanpa rasa takut.WUSH!Angin berhembus menerpa ku dengan sangat kuat, membuat surai dan pakaian kami beterbangan ke mana-mana. Tapi mata kami seakan menatap biasa saja ke arah Baginda.Zurra menatapku. "Nah Emabell, kita pulang?" Ia mengulurkan tangannya. Membuat aku tergetar, tersentak kagum. Melihat senyuman mereka yang berdiri di hadapanku, dengan ribuan prajurit Utara yang mendekat. Seolah menjemput kami untuk kembali pulang.Meski hanya kumpulan tengkorak dan mayat hidup. Mengapa rasanya bisa sangat hangat? Kegerian dan ketakutan yang pernah ada, sekarang ada dimana? Dan tekad untuk pulang ke Clossiana Frigga yang membuat banyak sekali rasa sakit. Terbang ke angkasa mana?"Ayo kita pulang." Senyumku sembari meraih tangan Zurra.Namun seb