Hari ketiga kembali di Surabaya, seperti biasa pekerjaan rutin menyambutku. Hari ini Bu Yani meminta Reviu triwulan pada semua unit. Tingkat Kehadiran, interaksi dan dinamika kelas, aktivitas online di media pembelajaran, semua data itu yang sekarang sedang kukompilasi."Alia, kita bergabung di zoom meeting sekarang ya! link sudah diemailkan oleh mereka," Seruan Bu Yani dari balik pintu memaksaku membuka email dan masuk ke rapat virtual yang nampaknya baru mulai berhai-halo, saling menyapa antar manager operasional dan para assisten yang menjadi peserta dari seluruh cabang.Menghadiri rapat secara virtual memungkinkanku sambil menggarap permintaan bu Yani. Sengaja tidak mengaktifkan suara dan video, hanya menampilkan foto profil di jendela akun. Sekilas kudengar suara yang kukenali adalah Restu dan Bu Yani, selebihnya masih asing. Aku terus saja mengerjakan kompilasi data, menampilkan dalam bentuk bentuk Bar chart dan Curve, sambil pasang telinga menyimak apakah pembahasan di zoom me
"Kita jemput Egha kan, Mas?" Aku bertanya begitu mendudukkan bobot dijok mobil, di samping Erland yang menjemput lagi sore ini. Suamiku mengangguk dan memutar kemudi melajukan mobil menuju Graha Estate.Kangen sekali rasanya pada putraku karena tadi malam Erland menginginkan waktu berdua kami tidak terganggu, jadilah baby Ghaazi dibiarkan menginap di rumah orangtuanya. "Ma-ma, maaa!" Buah hatiku yang sedang bermain dengan suster di halaman, berlari menghambur begitu melihatku turun dari mobil."Apakabar sayang? Muuaach. Cup.Cup. Dua hari nggak lihat kamu, mama kangennn?" Kugendong baby Ghaazi masuk ke rumah. Kaki yang mengayun langkah jadi terhenti menyaksikan siapa yang sedang mengobrol di ruang keluarga.Feysa dan Tyas.Kedua wanita itu menoleh diusik oleh baby Ghaazi yang mengoceh dalam pelukannku. Feysa memutar badannya melambai pada putraku yang segera saja terkekeh senang setiap di sapa oleh siapa pun "Kalian tidak jadi p
Tak ada cara lain untuk mengupayakannya, pagi ini aku memberanikan diri bertandang ke kediaman owner Desta. Beruntungnya Firda tempo hari mengajak ke alamat ini dan sekarang aku sejenak ragu sebelum akhirnya men-dial pada nomor kontak Desta."Halo, Alia. Ada apa?" Tak kusangka segera diterimanya."Ahm, ini saya sedang di depan rumah, Pak Desta. Bisakah minta waktu bicara dengan Pak Desta?" Aku tak punya topik untuk sekedar basa-basi."Apa? Kamu di rumah saya? Tunggu sebentar saya kebetulan mau keluar," Nada suara terkejutnya begitu kentara.Tak berapa lama pintu gerbang dibuka oleh seorang pria, aku meminta sopir taksi melajukan mobil kami mendekati gerbang. Kubuka kaca dan mengatakan ingin bertemu Pak Destanto Amirudin."Silakan mobilnya langsung ke dalam saja, barusan bapak menyuruh masuk?" sahut pria itu sopan. Mobil melaju memasuki halaman yang menyita setengah lapangan bola itu. Aku turun di sisi kanan teras berpilar tinggi. Owner Desta sendiri yang menyambutku. Langkah panjangny
"Bagaimana kondisimu? Hari ini kita jalan ya, lusa aku sudah balik." Feysa mendudukkan bobotnya di sampingku. Pagi ini kedatangannya mengurai rasa sepi karena aku sendirian di rumah mertua."Kamu ngajak jalan terus dari kemarin, tapi aku beneran gak mood, Fey?" "Kenapa? Erlan jutek lagi?""Ish, dia bukan jutek tapi sikapnya diamnya itu malah menyiksa, Fey!?" sergahku sambil mendorong bahu Feysa. Kenapa pula Feysa jadi menjuluki kakak sepupunya lelaki jutek. Erland yang kami kenal sejak masa SMA mana pernah bersikap ketus atau kasar, hanya saja akhir-akhir ini ngobrol dengannya lebih banyak mandeg dan tidak nyambung. Tidak ada yang bisa kujadikan topik untuk lebih menarik minatnya kecuali bila kondisi kesehatan kandungan yang kuutarakan, barulah Erland nampak peduli."Kamu itu baiknya jangan bikin Erlan gerah. Biarkan saja dia begitu, kalau nanti anak kalian sudah lahir pasti sikapnya jadi lebih cair?" ujar Feysa."Kamu sok tahu
Rumah kediaman itu kini ramai dengan tamu yang ingin mengucapkan belasungkawa secara langsung kepada pihak keluarga. Mobil yang silih berganti datang-pergi sejak tadi tak juga berkurang frekwensinya.Karangan bunga ucapan duka berjejer sepanjang pagar hingga mengitari halaman berumput hijau yang menyita setengah lapangan bola, menggambarkan keluarga yang berduka ini cukup dikenal oleh kalangan luas.Seminggu yang lalu aku datang ke sini menemui owner Desta, tapi hari ini sosoknya tak dapat ditemui di antara banyaknya pelayat dan keluarga kerabat yang sibuk dengan prosesi penyelenggaraan Jenazah. "Ibu akan ikut ke pemakaman?" tanyaku pada Bu Yani yang duduk di sampingku. Beliau menggeleng."Saya menyelesaikan prosesi di rumah ini, besok baru ke sini lagi. Kegiatan belajar sore dan malam ini ditiadakan saja, infokan di grup kelas " "Baik, Bu" Aku segera mengetik pesan digrup WA pengajar dan seluruh penanggungjawab sejumlah unit
Dua minggu lagi masa kontrakan rumah berakhir. Tak ada niat dan juga tak sempat mencari alternatif lain, jadi pilihannya adalah melanjutkan atau berhenti. Pilihan kedua berarti aku kembali ke Jakarta dan untuk sementara menetap di rumah Citraland. Persoalannya adalah job yang belum kudapatkan, kecil kemungkinan proses pencarian yang baru berjalan dua minggu bisa memberiku lapangan pekerjaan baru di ibokota.Aku sedang berpikir untuk menego pemilik kontrakan barangkali bersedia dibayar kelanjutan sewa untuk tiga bulan ke depan. Rentang waktu masih bisa kuupayakan mencari lowongan kerja lagi. Ketika itulah telpon masuk dari......Owner Desta."Hallo, Alia?" Sapaan khasnya begitu sambungan kuterima."Iya, Pak?" Entah kenapa kaku sekali suaraku menyahuti."Mengenai peluang kerja yang kamu butuhkan, bisa kita bicara di alamat yang saya kirimkan? Nanti sore ya, sepulang kamu dari kantor?" Perkataannya berikut membuatku terhenyak senan
"Kamu pindah kerja ke Jakarta?" Erland menatapku tajam mengiringi pertanyaannya. "Iya Mas, posisinya sekretaris. Kesempatan baik karena aku tidak jauh lagi dari bunda." jawabku berusaha menampilkan rasa yakin. Kuhindari iris hitam matanya yang bergeming menyorotku"Siapa yang menawari kamu pekerjaan itu, Al?" Nada suaranya sudah berubah, mengandung curiga."Destanto Amirudin, dia owner lembaga pendidikan tempatku bekerja." Mendengar jawabanku, kening Erland berkerut seperti sedang mengingat sesuatu. Dia pasti mengenal figur lelaki yang kusebut namanya. Erland kelahiran dan besar di kota ini, dan jika dia menyimak berita hangat akhir-akhir ini maka suamiku pasti memahami situasi yang terjadi."Jadi kau ditawari menjadi sekretarisnya karena dia yang akan melanjutkan kepemimpinan ayahnya?" Tepat dugaanku. Erland bisa langsung menebak."Iya Mas, dua minggu ini masih pengalihtugasan di kantor.""Kenapa kamu mengambil keputusan sendiri, Al? Bagaimana kalau aku keberatan? Tugas sebagai sek
"Erlan tidak bilang dia hari ini menemui Tyas ke Jakarta?" Pertanyaan mama Netty disertai mimik terkejut menatapku. "Iya, Ma. Mungkin karena papanya Egha marah atas keputusan Alia," jawabku mencoba tersenyum. "Keputusan mengenai apa, Alia?" Raut wajah mertuaku menegang, mungkin tentang perceraian yang terbersit di pikiran beliau, walaupun ke depannya itu pula yang akan kutempuh."Alia pindah kerja ke Jakarta dua minggu lagi, Ma." Mertuaku kini terdiam, sedikit mendung membayangi netranya. Kesedihan yang disebabkan akan tinggal berjauhan dengan baby Ghaazi. Putraku kini berusia delapanbelas bulan sedang di masa yang mana segala tingkah dan pembawaannya sangat menyenangkan bagi oma-opa Aku berpindah duduk ke sisi beliau, mengusap bahunya dengan rasa sayang. Mama Netty benar-benar mengasihi menantu bagai anak perempuannya sendiri. Satu tahun setengah ini aku membuktikan, mungkin seperti itulah alam semesta ditata. Ketika suamimu tak hadir sempurna maka figur lain dalam keluarga akan m