Kota kosmopolitan yang dijuluki rumah kedua orang Indonesia ini, sepertinya bukan kali pertama dijejaknya. Bagi Tyas kota Singapura tak asing, dengan langit yang sempurna, gedung menjulang dan matahari bersinar dimana-mana.
Kapan dirinya pernah ke kota dengan ikonik patung Merlion ini, Tyas benar-benar tak bisa menghadirkan memorinya. Semakin didesaknya pikirannya berpaling ke belakang, justru syarafnya menjadi tegang dengan gejala pusing dan berdebar-debar."Ayo Love, kita jalan keluar siang ini? Aku tidak manusiawi ya, membiarkanmu terkurung di hotel saja dua hari ini?" ujar Hans saat mengajaknya sarapan pagi di resto hotel."Mau jalan kemana? Dan sampai kapan kita berada di Singapura, Hans?" Tyas bertanya begitu karena baru sekarang lelaki berwajah Indo ini mengajaknya sarapan bareng.Pagi kemarin hanya pesan dikirimnya memberitahu bahwa agendanya sangat padat, jadi langsung pergi tanpa sempat menemui Tyas di kamarnya. Bahkan sampai malam punMerlin, aku baru saja melihat Tyas di Singapura? Tapi dia bersama bule sedang makan siang, Penglihatanku mungkin salah, tapi apakah ada berita baru dari pihak polisi?" Kata-kata Feysa ditelpon bagai petir menyengat indera pendengaranku. Dia bilang melihat Tyas?"Halo, Merlin? Kamu sudah tanya ke Fakih apa sudah ada perkembangan kasus Tyas?" Di seberang sana Feysa masih menunggu jawaban."Belum Fey, tidak ada jasad yang ditemukan di lokasi kejadian. Tyas masih dalam laporan orang hilang." Kusahuti Feysa sebagaimana situasi terakhir."Oh, syukurlah.....""Tapi Erlan dicurigai merencanakan kejahatan terhadap Tyas, dia menyembunyikan status hubungan dan berniat ingin menceraikan Tyas?""Apa?? Aku baru tahu sekarang, kenapa justru Erlan yang terlibat. Aduhhh, bodohnya? Seharusnya tadi kupastikan saja wanita itu Tyas atau bukan?" Feysa terdengar panik dan menyesal.Kepanikan itu pastilah tidak sebesar yang kurasakan sekarang.
Sudah seminggu aku hanya mendekam dalam ruangan, kalau tidak di kamar, paling keluar duduk di ruang tivi. Begitu tidak terbiasanya dengan iklim di negeri kelahiran Hans, karena kami datang di penghujung musim dingin.Beruntungnya suhu sudah tidak lagi mencapai minus 20°, di jalan beraspal pun salju sudah tidak terlalu tebal. Kulongokkan kepala melihat dari jendela kaca, beberapa tetangga sebelah dan seberang rumah beraktifitas di halaman rumah. "Mau kemana, kamu Love?" Maura, Nenek Hans bertanya dalam bahasa inggris beraksen Kanada. Rupanya Dia melihatku keluar kamar menuju tangga, neneknya Hans memang kerap duduk berjam-jam di sofa empuknya, menonton tivi atau merajut. Dua kegiatan yang tak biasa kulakoni."Aku mau menyekop salju, seperti para tetangga? Bosan rasanya di dalam terus, Nek?" sahutku tersenyum."Ah, ya-ya. Kamu bisa bermain salju karena sebentar lagi musim dingin berakhir?" Maura manggut-manggut mempersilakan. Di rumah berlantai dua
Tiga bulan adalah waktu yang terasa panjang jika dijalani dalam penantian atau semacam ketidakjelasan. Aku tahu Erland memendam semua pertanyaan dibalik sikapnya yang terlihat baik-baik saja.Tyas yang menghilang tanpa jejak menyisakan rasa bersalah dalam diri suamiku, terkadang kudapati dirinya termenung atau saat sujudnya begitu lama di sholat pertengahan malam. Aku yakin terselip nama Tyas dan Arumi menjadi bagian dalam doa yang dimohonkannya.Dan di pagi menjelang siang hari Minggu, kami dikagetkan oleh pekikan Feysa di ruang tamu, ponakan kesayangan mama Netty itu memang sedang cuti semester dari perkualiahannya."Ada tamu kayaknya, Mas? Feysa kenapa segitu heboh?" tanyaku pada suami yang ikut berbaring menidurkan baby Ghaazi. Lalu tak lama terdengar ketukan di pintu kamar."Ada tamu untukmu, turunlah. Alia sebaiknya kamu juga ke bawah?" Mama Netty muncul di balik pintu yang dibuka oleh suami. "Duluan aja, Mas." Aku berkata sambil t
"Kau saja yang pergi, Mas? Aku cukup menerima keputusan kalian saja, pendirianku tidak berubah tentang poligami. Kecuali sampai masa pemulihan Tyas," Kutolak ajakan Erland pergi ke Jakarta, berembug di hadapan keluarga Arumi mengambil langkah untuk menghadapi persoalan baru."Tyas itu hamil dan akan melahirkan anakku, Al? Ini bukan persoalan satu atau dua bulan, seperti dulu kau memberikan waktu buatku mengambil keputusan?!" Sergah Erland menatapku, kubalas sorot matanya yang mengandung permohonan."Aku paham Mas, situasi ini memang tidak bisa kau hindari? Aku mendukungmu untuk menyelesaikan masalah, tapi bukan berarti secara fisik aku bisa hadir di antara kalian! Atau sebaliknya Tyas bisa masuk lagi dalam rumah tangga kita, aku nggak bisa Mas?" "Kau tidak benar-benar mendukungku, Alia? Kau menempatkanku pada posisi sulit lagi..." keluh Erland.Aku menelan ludah. Tadinya aku beralasan tidak bisa meninggalkan pekerjaan, tapi Erland berke
"Hari ini tolong disiapkan keperluan baby Ghaazi untuk empat hari ya Sus, Besok pagi sekali kita berangkat ke Kalimantan." Kupesani suster sebelum ke kantor pagi ini."Wah, pertama kali saya diajak pergi langsung ke Kalimantan, Bu?" cetus suster kaget tapi terlihat senang."Bosnya baik ya Bu, urusan kerja boleh ngajak anak dan saya juga?" Suster masih nyeletuk melihatku hanya diam."Saya jujur bilangnya nggak tega meninggalkan suster cuma berdua Egha selama lima hari, sedangkan papanya dan oma Netty juga sedang ke Jakarta. Ternyata malah dibelikan tiket untuk kalian berdua?" Kucoba menjelaskan walaupun logikanya aku pun merasa aneh dengan keputusan Pak Desta. Sudahlah, berhusnudzon saja. Undangan kali ini kulihat bersifat privat dari Pengusaha Tambang yang memiliki memiliki berbagai lini usaha di bawah naungan Group BorneoCitra. Hari jadi corporasi dimeriahkan dengan berbagai agenda promotif-edukatif-sosial Responsibility, oleh karena i
Perjalanan ke Jakarta tanpa kesediaan Alia ikut serta membuatku terjaga dalam benak, mempertanyakan nasib pernikahan kami ke depannya.Fakih menelpon bahwa dokter Viona mendesak keluarga segera menyikapi pengobatan Tyas yang harusnya ditingkatkan dalam bentuk penerimaan keluarga. Ingatan Tyas akan pulih sepenuhnya bila orang terdekat dan lingkungannya mendukung.Manakala semua orang sependapat, kudapati Alia bergeming seperti sikapnya empat bulan lalu. Penolakan terhadap poligami begitu kental dalam sorot mata dan bahasa tubuhnya yang menjaga jarak."Aku paham Mas, situasi ini memang tidak bisa kau hindari? Aku mendukungmu untuk menyelesaikan masalah, tapi bukan berarti secara fisik aku bisa hadir di antara kalian! Atau sebaliknya Tyas bisa masuk lagi dalam rumah tangga kita, aku nggak bisa Mas?" Ucapannya terngiang lagi, dengan sorot mata terluka menikamku tanpa daya. Dukungan Alia kuharapkan agar bisa kutegaskan kondisi tidak ideal dalam hubung
"Jadi ini gadis yang diceritakan papa-mama kamu, Desta? Calon istri yang membuat kamu memandang sebelah mata pada anak gadis tante?" Ucapan itu bernada sedikit ketus, oleh seorang wanita berumur limapuluhan dalam look yang cantik dan mewah. Pandangannya tajam memindaiku dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.Senyumku tertahan mendengar Desta sampai terbatuk disemprot nyonya rumah yang mengharapkannya jadi menantu."Putri tante Selfi istimewa, banyak penggemar menunggu kesempatan mendekatinya. Saya dan Alia akan senang menganggapnya sebagai adik?" Kilah Desta kemudian."Hem, tante masih menunggu undangan kalian. Bila janur kuning sudah melengkung, barulah tante merekomendasikan pria lain buat anak gadis tante!" Ujar tante Selfi tak menyerah. Aku meneguk ludah melihat kegigihan seorang ibu menjodohkan putrinya. Sementara Desta kulihat lebih santai menanggapi, mungkin dipikirnya mengenalkanku sudah cukup telak buat menampik rencana perjodohan.Kami beruntung karena om Wimar segera data
Hari ketiga kembali di Surabaya, seperti biasa pekerjaan rutin menyambutku. Hari ini Bu Yani meminta Reviu triwulan pada semua unit. Tingkat Kehadiran, interaksi dan dinamika kelas, aktivitas online di media pembelajaran, semua data itu yang sekarang sedang kukompilasi."Alia, kita bergabung di zoom meeting sekarang ya! link sudah diemailkan oleh mereka," Seruan Bu Yani dari balik pintu memaksaku membuka email dan masuk ke rapat virtual yang nampaknya baru mulai berhai-halo, saling menyapa antar manager operasional dan para assisten yang menjadi peserta dari seluruh cabang.Menghadiri rapat secara virtual memungkinkanku sambil menggarap permintaan bu Yani. Sengaja tidak mengaktifkan suara dan video, hanya menampilkan foto profil di jendela akun. Sekilas kudengar suara yang kukenali adalah Restu dan Bu Yani, selebihnya masih asing. Aku terus saja mengerjakan kompilasi data, menampilkan dalam bentuk bentuk Bar chart dan Curve, sambil pasang telinga menyimak apakah pembahasan di zoom me