Tiba di kota Surabaya siang ini, maka hanya tersisa tiga hari aku mulai masuk kerja. Baby Ghaazi dihandel penuh oleh mama Netty dan suster, sementara kuistirahatkan rasa penat yang mendera disebabkan persiapan yang mendesak tiga hari yang lalu.
Rasanya mataku cepat sekali terpejam saat berbaring di kamar. Di tengah tidurku tangisan baby Ghaazi terdengar nyaring, mungkin rewel karena kecapekan juga. Kucoba abaikan dan meneruskan istirahat demi rencana besok keliling mencari rumah kontrakan.Hanya berselang beberapa saat putraku kembali menangis kencang, memaksaku bangkit dan membuka pintu kamar."Erlan! Jangan membuat papa dan mama kehilangan kepercayaan dari Alia, kamu memaksa menyusul ke sini padahal jelas-jelas dia ingin tenang menyikapi persoalan kalian!" terdengar suara papa Kaffa membuatku tak jadi menuju anak tangga.Erland nekat menyusul kami? Kugigit bibir menahan rasa kesal. Berarti tangis putraku tadi tersulut sikap papanya memaksa hinggKemana sih, Erland? Dua hari ini tidak bisa kuhubungi. Pesan pada sekretarisnya pun hanya minta pending semua agenda selama tiga hari.Apakah dua hari ini, Alia yang menahannya sampai tidak ngantor segala? Atau mereka pergi berlibur, mungkin Erland mau membayar kesalahannya yang tidak bisa segera pulang sewaktu baby Ghaazi sakit? "Alia sekarang tinggal di rumah om Rudi, padahal sudah kukatakan biar aku saja yang mengalah pindah ke citraland, bila sementara ini dia belum bersedia kami tinggal satu atap lagi?" Erland mengungkapkan hal itu terakhir kami bertemu. Aku yang enggan terlibat percakapan mengenai Alia dan putranya, hanya mendengarkan saja tanpa berkomentar. Bagiku topik tentang kemarahan Alia tak ada manfaatnya diperpanjang, aku lebih suka menikmati waktu kami dengan hal nenyenangkan lainnya."Bagaimana kalau kita dinner malam ini?" kutawarkan demikian Erland hanya mengangguk dan lantas bangkit kembali menekuni dokumen di meja kerja. "Oke, kutunggu pukul delapan." Kukecup rin
Apa yang membawa langkahku sepagi ini ke rumah Tyas adalah kebiasaan yang sudah menahun. Sejak SMA hingga kuliah di Surabaya, bertiga Feysa kami kompak sebagai teman sekolah-teman kuliah meski beda prodi, teman jalan-teman curhat.Lulus S1 Komunikasi aku mengikuti Tyas yang mengelola bisnis orangtuanya tinggal di ibukota, sedangkan Feysa melanjutkan studi ke Singapura. Otomatis aku dan Tyas semakin sering menghabiskan waktu bersama, tanpa Feysa.Pagi ini aku singgah berniat mengajaknya jogging di ruang terbuka hijau, manakala mataku mengenali mobil yang terparkir di halaman adalah milik Erland. Sepagi ini dan di hari weekend pula, apa gerangan Erland di sini? "Kamu, Mer?" Tyas membukakan pintu dengan muka bantal. Astaga, apa dia baru bangun tidur waktu ku bel tadi. Aku menerobos langsung masuk ke dalam rumah yang tak asing."Jogging, yuk?" Tawarku menelisik sebentar tampilannya yang masih dibalut piyama. Mobil milik Erland yang terparkir di luar
Kesunyian sekian menit melingkupi kami dibuyarkan oleh sapaan Fakih yang berjalan menuruni tangga. Sosoknya tampil dalam outfit seni formal dan cuma membalas senyumku dengan sedikit tarikan bibir saja. Huufffh. Masih marah rupanya."Hai bro, sudah ketemu dengan Arumi?" sapaannya ditujukan pada Erland, sedangkan aku cuma dilirik sekilas."Belum, dia masih dengan assistennya di belakang." sahutan Erland terdengar lega, mungkin dia merasa bebas dari sindiran atau interogasiku selanjutnya "Temuilah dulu, habis itu kita keluar. ada yang asik nih?" Fakih menunjukkan sesuatu di layar ponselnya, sepertinya suatu hal yang hanya menarik bagi kaum adam saja."Bukannya Merlin sudah menunggumu?" sergah Erland sambil melirikku sekilas. "Kami tidak ada acara, tujuannya datang buat bertemu mami dan Arumi saja?" Kali ini kutangkap jelas nada sindiran untuk kebiasaanku mengambil hati keluarga Fakih, lalu kujadikan tamengku bila kami berseteru."
Kecanggungan yang sekian menit tercipta diantara kami akhirnya dibuyarkan oleh sapaan Fakih, abang Arumi itu mengenakan outfit semiformal berjalan menuruni tangga. "Hai bro, sudah ketemu dengan Arumi?" disalaminya aku lalu duduk menjejeri. Entah mereka sudah bertemu sebelumnya, Merlin justru diabaikan. Barangkali hanya perasaanku saja, seperti ada jarak tak kasat mata di antara pasangan kekasih ini."Belum, tadi kulihat masih dengan assistennya di belakang." "Temui saja dulu, setelah itu kita jalan. Lihat ada yang asik nih?" Fakih lantas menunjukkan layar ponselnya padaku. Undangan Launching Produk Fotographi di sebuah klub pria."Bukannya Merlin sudah menunggumu?" kilahku melirik tunangannya yang baru saja berhasil membuatku risau."Kami tidak ada acara, dia datang cuma mau bertemu mami dan Arumi?" sahutan Fakih direspon senyum tipis di wajah datar Merlin yang sempat mengiterogasiku tadi."Oke, kita jalan sebentar lagi. Kutung
"Alia, kamu saja yang menghadiri acara ini, fullday. jadi kalau selesai bisa pulang. Lumayan sorenya main sama baby Ghaazi, kan?" ujar bu Yani tersenyum penuh pengertian, menyerahkan selembar undangan dengan kop surat dinas. "Trimakasih Bu, memang acaranya cuma setengah hari saja kah?" tanyaku sambil sekilas membaca undangan."Undangan Workshop biasanya RKTL di pe-erkan. Di meja desk nanti ditunjuk notulen yang menggabungkan hasil diskusi kelompok. Biasanya pukul tiga-an sudah penutupan dan bubar." Bu Yani menjelaskan lalu kemudian meninggalkan meja kerjaku.Senang hatiku mendengarnya. Kupesan taksi online seraya bergegas akan berangkat. Hari bergulir tak terasa sudah memasuki minggu ketiga aktivitasku bekerja masuk pukul delapan dan pulang pukul lima sore yang sejauh ini kujalani dengan lancar. Acara baru akan dimulai ketika aku tiba, sedikit canggung karena perdana menghadiri forum semacam ini. Di tengah kegiatan workshop saat menyimak materi
"Ternyata Alia mengadu pada mertuanya, Tyas. Sekarang tante Netty dan om Kaffa sudah tahu pernikahanmu dengan Erland?" Ucapan Merlin sudah pasti membuatku terkesima. Sore ini Merlin singgah setelah sebelumnya menelponku minta bertemu."Mereka juga mertuaku, suka tidak suka tapi itu kenyataan. Apa Alia berharap tante Netty akan memihak padanya?" sergahku rada emosi, terpancing kata-kata Merlin."Tante Netty dan suami sih netral, semua keputusan dikembalikan pada Erlan dan Alia. Tapi beliau mendukung Alia yang ambil kesempatan bekerja di Surabaya. Bisa dekat dengan cucu, itu sih yang membahagiakan om Kaffa dan tante Netty sekarang?""Bisa mengisahkan sejelas itu, kamu dapat info dari siapa?" tukasku bingung. Kutatap Merlin ingin tahu siapa informannya."Aku ambil cuti buat pulang mudik, jadi kusempatkan mengunjungi tante Netty. Awalnya aku jadi banyak bertanya tuh, karena kebetulan anaknya Alia sedang sama omanya...."Aku terdiam. Pantas s
"Saya akan mundur dari kehidupan Erlan, tante. Hubungan kami masih sebatas suka sama suka, tidak ada perasaan dan komitmen mendalam?" Kuucapkan perkataan itu dengan sungguh-sungguh sementara tante Netty terhenyak dengan pandangan tak percaya. Barangkali di mata beliau aku terlalu berani."Tyas, itu jalan yang terbaik. Berarti kamu menjaga perasaan Alia dan om-tante. Juga persahabatan terjalin diantara kamu, Feysa, Arumi dan Erlan kan? " ucap tante Netty disertai mata yang berkaca. Ah, dari dulu beliau kukenal memang sangat baik."Maafkan Tyas, tante?" lirihku menyusut sudut mata."Iya, tentu saja sayang?" tante Netty memelukku. Semoga belum sempat tertanam di benak beliau rasa kesal yang berlebihan terhadapku. Rasanya selama berteman Feysa dan sering di ajak main ke sini, mama-papa Erland selalu menanamkan kebaikan dan kenyamanan padaku dan Merlin. Karena ingin memiliki anak perempuan, maka Feysa dan sahabatnya lah yang dimanja. Tak ing
Pagi hari saat akan memesan taksi online aku terkejut mendapati pesan Restu. Agak siang nanti dia akan menjemput baby Ghaazi dan suster untuk diajak jalan bersama Nayla. Begitu kuketik pesan untuk menjawab justru panggilannya yang masuk."Hallo Al, aku sudah di depan rumahmu." ucapnya begitu hubungan tersambung."Hahh? Sepagi ini anakku belum siap diajak kemana-mana, Res?""Oh, bukan itu. Aku kebetulan keluar cari sarapan jadi sekalian mau ngantar kamu ke kantor?""Oh, kirain kamu sudah dengan Nayla? Nggak papa tunggu sebentar, masih bersiap nih?""Oke," Hubungan diputus. Aku keluar kamar mendapati putraku sedang disuapi oleh suster. Kuambil alih sebentar kegiatan itu untuk memberi waktu juga ke suster, siapa tahu ada keperluan ke belakang. Putraku sudah mulai tak bisa diam, berjalan meniti pinggiran sofa atau merangkak menggunakan lutut dan kedua tangan. Genggaman mungilnya tak henti meraih dan melempar anek