“ Apa? Tidak ! Aku juga memiliki kekasih saat menikah dengan Erlangga.” Balas Melissa. “Lantas?” “Apakah aku bisa menceritakan ini padamu? Meskipun kau sahabat Erlangga tapi aku sedikit ragu.” Balas Melissa lalu melipat kedua tangannya di depan dada. “Tidak apa-apa kau tidak perlu memberitahuku alasannya. Erlangga juga tidak menceritakan perihal pernikahannya denganmu. Sayang sekali saat hari pernikahan kalian aku harus kembali ke Thailand, kakakku melahirkan jadi aku ingin melihat keponakanku.” Balas Lee. “Wah pasti menyenangkan memiliki anggota keluarga baru. Ngomong-ngomong kau orang Thailand?” Tanya Melissa. “Ya, Ayahku Korea dan Ibuku Thailand.” Balas Lee. “Thailand seperti apa?” “Lebih panas, tidak ada salju di sana.” Balas Lee singkat. “Kalau aku punya uang yang banyak aku akan ke sana.” Ucap Melissa. “Tidak perlu uang yang banyak, kalau kau mau aku bisa mengajakmu ke sana.” Balas Lee. “Whoaa! Kau baik sekali.” Ucap Melissa. “Kau akan ke mana naik bus ini?” Tanya Lee.
“Justru karena aku kasihan padanya. Dia memiliki Rio yang sangat ia cintai. Melissa mengatakan tersiksa dengan pernikahannya denganmu. Dia merasa terkurung dengan pernikahan kalian. Lagi pula sejak awal dia tak menginginkan pernikahan ini. Jadi kau bisa meninggalkan Melissa. Kasihanilah dia.” Ucap Marissa yang semakin mengeratkan pelukannya pada Erlangga. “Lalu bagaimana dengan diriku? Apakah kau hanya memandangku sebagai objek?” Tanya Erlangga. “Apakah kau tidak kasihan padaku juga? Apakah kau pikir hidup kita ini adalah sebuah permainan. Di mana kau bisa memutuskan untuk pergi lalu kemudian kembali, lalu membuang adikmu untuk meraih kebahagiaanmu?” Tanya Erlangga. “Tapi Melissa tidak bahagia dengan pernikahan kalian!” ucap Marissa. “Tapi aku bahagia dengan pernikahanku dengan Melissa.” Balas Erlangga. DEG! Marissa membulatkan matanya, tangannya semakin erat merengkuh tubuh Erlangga. Perasaannya berubah menjadi kalut. Dia ketakutan sekarang. “Apa maksudmu, Erlangga?” Tanya Mariss
Melissa duduk di halte menunggu bus datang. Hari sudah gelap, sejak tadi dia menghabiskan waktunya hanya duduk di halte menunggu malam. Dia merasa menjadi seorang pengecut. Mengapa juga dia tidak berani bertemu dengan ibu dan kakaknya, sebenamya dia bukannya tidak berani. Dia hanya malas saja berada pada situasi di bawah tekanan.TIIN TIINMelissa mengangkat kepalanya dan dia mendapati mobil Erlangga terparkir di depan halte tempatnya duduk.“Erlangga?”“Orang akan menyangka kau tidak punya rumah.” Ucap Erlangga. “Cepat, sudah malam. Ayo pulang bersama.” Ucap Erlangga.Melissa berdiri lalu berjalan menuju mobil Erlangga. Gadis itu lantas masuk ke dalam mobil Erlangga. Erlangga menunggu Melissa memakai sabuk pengaman baru menyuruh supir mereka menjalankan mobilnya.“Aku baru sadar kau kembali memodifikasi mobilmu seperti semula.” Ucap Melissa.“Aku sudah bisa berjalan sekarang, tidak perlu bentuk yang sebelumnya.” Ucap Erlangga.“Kakimu sudah benar-benar kuat? Sudah bisa berlari?” Tany
Kamar Erlangga & MelissaMelissa bergerak gelisah di sisi atas, dia terus berguling ke kiri dan ke kanan. Sejak tadi dia terus memikirkan makna dari ucapan Erlangga saat pria itu menciumnya di mobil. Melissa menyentuhnya dengan jari-jarinya yang lentik.“Kenapa sangat sulit merasakan paham dengan perasaanku, Melissa?”“Apa maksudnya? Dia menyukaiku? Tidak !” ucap Melissa pada dirinya sendiri. Dia menatap pintu kamar. Erlangga belum kembali sejak satu jam yang lalu. Pria itu masih sibuk di ruang kerjanya. Apakah bekerja seharian di kantor masih kurang?Erlangga mendengar langkah kaki berjalan menuju ke arah pintu. Dengan cepat dia membalikkan tubuh membelakangi pintu, ia lantas menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Melissa berusaha mengatur napasnya. Jantungnya mendadak berdegup sangat kencang, dia takut Erlangga membahas tentang apa yang sudah terjadi.CEKLEK!“Dia sudah tidur? Cepat sekali.” Ucap Erlangga.Pintu kamar terbuka. Erlangga berdiri di taman pintu ditatapnya is
Erlangga berdehem kecil lalu kembali tersenyum. “Marissa seperti tuan putri dari satu kerajaan, sedangkan kau adalah prajurit kerajaan.” Ucap Erlangga dengan kekehan.“Aishhh~ dasar. Aku ini juga pandai melakukan aktivitas keputrian. Aku pandai memasak dan bisa sedikit mengajar.” Ucap Melissa.“Aku yakin kau akan jadi ibu yang baik.” Ucap Erlangga tulus.“Tentu saja.” Balas Melissa dengan yakin.“Ayo! Sebaiknya kita tidur sudah malam.” Ucap Erlangga.“Ah Tunggu sebentar…” ucap Melissa.“Apa?” Tanya Erlangga.“Aku tidak sengaja bertemu dengan Lee.” Ucap Melissa.“Lalu?” Tanya Erlangga.“Lee mengajakku ke bazar barang antik minggu depan. Apakah aku boleh pergi dengannya?” Tanya Melissa.“Hanya berdua?”“Hmm…” angguk Melissa. Dia memasang wajah paling imut yang ia miliki.“Jangan pulang lebih dari jam sembilan malam.” Ucap Erlangga. Erlangga mengenal Lee, Erlangga akan baik-baik saja pergi bersama Lee.“Ah! Terima kasih! Kita lihat nanti apa ada barang unik yang bisa aku bawa pulang untu
“Melissa berada pada posisi sulit, dia tidak bisa pergi begitu saja. Aku tahu akan sangat keterlaluan bila membuatnya pergi meninggalkan Erlangga. Erlangga hanya akan semakin tersakiti dan membenci keluarga kita.” Ucap Marissa.“Selesaikan apa yang sudah kau mulai. Ibu yakin kalau Erlangga memang ditakdirkan untukmu, dia akan kembali padamu.” Ucap Ibu Marissa.Marissa menatap wajah ibunya dengan sayang. “Terima kasih, aku yakin dia akan kembali padaku, dia hanya sedang marah padaku. Aku akan membuat dia kembali ke sisiku lagi.” Ucap Marissa lalu membalas pelukan ibunya.“Kau kurus sekali.” Ucap Ibu Marissa.“Aku mungkin akan menyakiti Melissa.” Ucap Marissa.“Tidak apa-apa, adikmu selalu berbesar hati. Tahun ini Ibu akan mendaftarkan Melissa untuk berkuliah. Dia pasti akan sangat senang sekali.” Ucap Ibu Marissa.“Maaf aku selalu menyusahkan kalian.” Ucap Marissa. Matanya menatap lurus pada kamar Erlangga. Tekadnya sudah bulat, ia akan membuat Erlangga kembali ke sisinya.1 Minggu Ke
.“Whoaa! Benarkah? Mereka memang ditakdirkan bersama. Syukurlah Erlangga bisa berjalan kembali.” Ucap gadis bermantel kuning.Melissa sudah tidak mendengar percakapan dua gadis tersebut. Dia kembali memfokuskan pandangannya pada Erlangga dan Marissa, senyum di wajah Erlangga terlihat begitu sumringah. Melissa meraba dadanya, ada perasaan tidak nyaman yang ia rasakan. Apakah dia cemburu pada Marissa?“Tidak! Siapa aku,” ucap Melissa menyadarkan dirinya. Gadis itu bersiap akan pergi ketika dia melihat tangan Erlangga dan Marissa saling bertautan satu sama lain ketika seorang pria mengambil foto mereka. Melissa sontak terkejut melihat hal tersebut, tanpa ia sadari matanya berkaca-kaca tanpa alasan. Dia memutuskan untuk pergi sajaMelissa membalikkan tubuhnya tetapi ia justru menabrak dada seorang pria. Diangkatnya kepalanya dan mendapati Lee yang berdiri di hadapannya.“Syukurlah!”“Apa? Kau kenapa?” Tanya Lee khawatir.“Tidak, ayo kita pergi.” Ucap Melissa dengan napas tersenggal-sengg
Ruby Bar01.00AMMelissa mengerjapkan matanya mencoba beradaptasi dengan cahaya terang di ruangan. Gadis itu kemudian sepenuhnya membuka matanya. Dia masih belum sadar di mana ia berada saat ini. Hingga beberapa menit kemudian ia terbangun dari tempat tidur.“YA TUHAN! Di mana ini!” ucap Melissa yang kini kebingungan setengah mati. Dia berada di sebuah kamar dengan ranjang ukuran King Size. Tidak ada siapa-siapa di sini kecuali dirinya.Melissa mencari ponselnya di dalam tas dengan panik. Gadis itu lantas menyalakan ponselnya, jam menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Melissa semakin panik saat di layar ponsel muncul dua puluh panggilan tidak terjawab dari Erlangga dan sepuluh panggilan tidak terjawab dari Lee.“Ya Tuhan apa yang terjadi sebenernya.” Ucap Melissa sambil meremas-remas rambutnya berusaha memutar kembali ingatannya.Melissa menegakkan tubuhnya lalu menggelengkan kepalanya dengan keras. Dia tidak mabuk, syukurlah. Melissa menilik pakaian yang ia pakai, masih utuh tidak ada
Dan apa yang dikatakan oleh seseorang tak dikenal itu masuk ke gendang telinganya. Dikta menyisir semua orang yang ada di sekitarnya saat ini. Matanya tertuju pada salah satu spot di mana sosok itu berada. Ya, dia mendapati sosok yang tak dikenal masuk dikerumunannya. Terlihat seringai senyum puasnya itu terulas di mukanya. Ia menggunakan pakaian serba hitam. Sayangnya, Dikta tak bisa melihat sorot mata yang tertutup oleh bayangan topi yang dikenakannya. Tak hanya dia yang puas, melainkan sosok mereka yang ada disitu pun ikut merayakan kekalahan Dikta. Ya, walaupun sementara mereka sangat yakin itu bisa menjadi peringatan agar Dikta bisa mundur dari jabatannya. Agaknya dalam hati mereka masing-masing silih berganti menghina Dikta. Atau mungkin ada yang menertawakan Dikta juga. Entahlah, pikiran Dikta berkecamuk. Bukan karena masalah diseret tapi siapa lagi yang bermain drama dengannya saat ini. Perlahan namun pasti Dikta meninggalkan kantor utamanya dengan tangan diborgol. Keluar
Dan apa yang dikatakan oleh seseorang tak dikenal itu masuk ke gendang telinganya. Dikta menyisir semua orang yang ada di sekitarnya saat ini. Ia mendapati sosok yang tak dikenal masuk dikerumunan. Terlihat seringai senyum puasnya itu terulas di mukanya. Mereka sangat puas melihat Dikta, yang diseret paksa bak tersangka sesungguhnya. Agaknya Dikta berat sekali melangkahkan kakinya. Hanya saja Dikta tak bisa menangkapnya dengan jelas, karena polisi lebih dulu menyuruh Dikta untuk masuk ke dalam mobilnya. Sepanjang perjalanan Dikta benar-benar pasrah. Bahkan ia tak berbicara sepatah kata apapun. Diam. Dan mengikuti alur mereka inginnya seperti apa. Namun di balik diamnya Dikta, ia terus mengamati sosok itu dari belakang. Mengingat kembali semua yang dikatakan oleh mereka. Harap-harap ada klu yang menyudutkan pada sosok tersangka. Dikta juga masih ingat siapa saja yang ikut andil di dalam sana. Sehingga Dikta bertekad akan kebebasannya akan menelusuri siapa mereka. Apakah benar yang
Tampak nafas pria itu benar-benar tersenggal. Kentara sekali ia sangat kelelahan agaknya. "Ada apa? Minum dulu!" sosor Dikta seiring memberikan segelas air minum. Mengambil dan meneguk airnya dengan rasa tamak. Agaknya ia sangat kelelahan. Baik Sierra maupun Dikta masih menunggu apa yang ingin dikatakan olehnya itu. "Ada apa?" Hosh! Hosh! "Anu, Pak. Itu kantor—" Mata Dikta membulat sempurna mendengarkan hal itu. Kini tatapannya mulai menatap lekat untuk membenarkan rasa jujurnya itu. Sehingga batin Dikta dili seperti sudah dikejar seseorang. Memperhatikan keadaan kamar di manan Sierra berada. Dikta berusaha mencerna kembali 11 "Pak gawat kantor kena sidik oleh pihak terkait dan investor!" sosornya terburu-buru. "Jangan bercanda! Ini tidak lucu!" sanggah Dikta geram. Menelan salivanya kuat-kuat. Sierra hanya bisa menatapnya datar. Karena hal ini sering terjadi. Sierra hanya busa menonton kejadian klasik ini. Ia yakin Dikta pasti terkejut akan apa yang terjadi. Walaupun Sierr
Mengangguk. Ia ingin merangkul Sierra, hanya saja lengannya benar-benar tak kuasa menahan nyeri karena luka itu. Ditambah Dikta dihantam berkali-kali saat melawan Sony yang membuat salah satu tangannya kebas.“DIKTA TANGANMU TERLUKA! PAK CEPAT KE RUMAH SAKIT!”Sang pengawal pun langsung menginjak pedal gasnya begitu saja. Sierra benar-benar panik akan apa yang terjadi. Dikta hanya terkekeh melihat tingkah Sierra yang terlalu berlebihan ini. Padahal lukanya tak seberapa dengan rasa khawatirnya itu.Sesampainya di rumah sakit, malah bukan Dikta yang dilarikan untuk di tangani. Tapi malah Sierra yang dilarikan ke ruang UGD. Dikta memboyong tubuh wanita yang merintih kesakitan itu.“Sus, tolong!”Dengan sigap para perawat itu membawa Sierra berlalu menuju ruang UGD. Dikta hanya bisa menunggunya di depan ruangan dengan harap-harap cemas. Ia tak peduli lagi dengan rasa sakit yang diembannya saat ini.Ya, perjalanan yang cukup terjal dari tempat kejadian membuat Sierra mengalami pendarahan d
Tapi Bella malah menarik paksa pria itu dalam pelukannya. Pelukan yang selama ini ia elu-elukan setiap malam. Jujur saja, Bella sangat merindukan Dikta kala ini. Ya, dia sangat menginginkan Dikta kembali dalam pelukannya. Kembali merajut dunia yang telah lama hilang. Ternyata Bella baru menyadari, jika Diktalah yang berhasil membangun dunianya terasa megah. Atau bisa dikatakan hanya Dikta yang bisa mengerti segala keinginannya. Bukan Noah maupun kedua orangtuanya. Bahkan bisa dikatakan jika Diktalah yang berhasil membuatnya menjadi istri yang layak. Dia berhasil mengagungkan Bella dengan segala perjuangannya yang tulus itu. Dan tak pernah Bella temukan pada Noah hingga saat ini. Andai saja waktu bisa diputar kembali, mungkin Bella takan pernah melakukan itu. Dan mungkin saja anaknya masih hidup sampai saat ini kan?Dikta menepis segala rayuan Bella yang mulai menjalari tubuhnya. Sungguhpun, Dikta jijik dan muak sekali. “Bella! Lepaskan! Kenapa kau mau menjadi jalang seperti ini,
Dari root top bangunan di seberang jalan, tepatnya di seberang kosan Sony, seorang pria mengawasi Sony yang sedang dikepung oleh Dikta dan pengawalnya.Pria itu sudah siap dengan senapan laras panjangnya, bersiap membidik target. Saat itu Dikta menanyai Sony, tapi dia diam ... tidak mau berkata jujur. Setelah dihajarpun Sony ditanya kembali oleh Dikta. “Sekarang!” perintah wanita dari telepon, kepada pria yang menggunakan penutup kepala dengan earpiece di telinganya. Dan ... DOR! Dikta dan ketiga pengawal terkejut, mereka menoleh sekeliling dan mencari sumber suara. Setelah beberapa menit barulah Dikta tahu, seseorang mencoba lari dari rooftop rumah di seberang kostan yang ditinggali oleh Sony. “Di sana! Tangkap!” perintah Dikta menunjuk ke bangunan di seberang kostan, dua pengawal langsung bergerak untuk mengejar penembak Sony. “Urus mayatnya,” titah Dikta pada dua pengawal yang sedari awal memegangi tubuh Sony, dan sekarang dua pengawal itu sedikit gemetar yang mereka
Satu persatu masalah menghampiri Dikta, hampir tak berkesudahan, satu masalah selesai satu lagi muncul. Dia hampir gila, merasa ingin menyerah saat ini karena salah satu dari masalah tersebut adalah Sierra. Istrinya itu adalah kekuatannya, harta yang ia punya satu-satunya. Sedang mengandung buah hati mereka, tapi karena termakan hasutan orang dia lebih memilih pergi meninggalkannya. Dikta tidak tahu harus mencari Sierra ke mana. Ponselnya juga tak aktif, tidak bisa dihubungi sama sekali. Dikta juga tak mendapati istrinya ada di rumah kakeknya. Dia tak tahu apakah ada tempat tinggal Sierra yang lain atau istrinya itu hanya tidur di hotel. Dikta akhirnya membiarkan istrinya itu menenangkan diri dan dia berjanji akan mengurus masalahnya supaya cepat selesai. Pagi ini Dikta pergi ke kantor seperti biasanya, hari ini kakek sudah bilang tidak akan mampir ke kantornya, kakek membantu Dikta mencarikan investor baru untuk perusahaan yang dipimpin oleh Dikta itu, pria itu bersyukur sekali.
Dikta menerima telepon dari kakek Sierra, menyuruhnya untuk segera datang ke rumah orangtua Bella. “Aku ada di apartemen, Kek,” ucap Dikta, dia seketika teringat amanah dari ayah Bella yang merupakan mertuanya dulu. “Kau harus bawa mayatku juga istriku. Tolong kebumikan kami dengan layak. Aku yakin hidupku sudah tak bisa bertahan lebih lama lagi,” ucap ayah Bella sesaat sebelum dia tewas karena peluru yang bersarang di kepalanya. Dikta tak bisa untuk tidak sedih, marah dan kecewa, perasaan itu campur aduk di dalam hatinya sekarang. Karena sudah ditunggu oleh kakek, dia segera turun dan menuju ke rumah Bella lagi. Beberapa menit kemudian Dikta sampai di kediaman orangtua Bella, bunga duka sudah berjejer rapi di depan gerbang rumah, banyak mobil yang juga berderet-deret memenuhi tepi jalan. Dikta memarkirkan mobilnya, agak jauh dari kediaman mantan mertuanya itu. Dia turun kemudian melangkah masuk ke sana, orang-orang sudah datang untuk melawat. Dikta melihat ada Bella di sana y
Dikta terperangah, dia membelakakkan matanya sekarang. Kedua mantan mertuanya itu terkapar, dan malangnya di depan matanya ayah mertuanya dihabisi begitu saja. Dikta yang geram berusaha mengejar siapa penembak yang bersembunyi di gudang tadi. Dikta berlari kencang, melawan rasa sakit kepalanya akibat hantaman tongkat baseball yang mengenai kepalanya. Pria itu kabur, melesat dengan cepat berlari dari arah gudang ke depan. Dari belakang Dikta menyusul berlari kencang, seperti mengenal sosok tersebut, dia mempercepat langkah kemudian menarik jaket hitam yang dikenakan pria yang akan kabur itu. Dikta menarik dengan kedua tangannya hingga pria itu terjerembab. Pria itu menggunakan pakaian serba hitam yakni pakaian serba hitam, sepatu hitam, bertopi hitam, masker hitam dan tak lupa kedua tangannya menggunakan sarung tangan. Dikta menarik masker dan topi pria itu, membuangnya asal, dan ketika semuanya terlepas pria itu tertawa. “Hahaha ... Sudah pas bukan waktunya?” ujar Noah, dia seakan