“Cepat! Ayo, cepat! Hati-hati!”Dengan penuh kehati-hatian dan perasaan menegangkan, Dikta memberi arahan kepada dua orang bawahan yang diperintahkan oleh Kakek Sierra untuk membantunya dalam pencarian dan penyergapan tempat Noah menculik Beno.Setelah menuruti apa yang dikatakan Sierra, dia dan Kakek Sierra itu akhirnya berhasil melakukan pencarian dan penyelidikan. Buah dari kerja keras mereka terbayarkan sudah dengan terbongkarnya tempat yang digunakan Noah untuk menculik Beno.“Tuan, apa kita akan melakukan penyerangan secara langsung jika dia benar-benar ada di sana?” bisik salah seorang diantara mereka pada Dikta yang sedang mengendap-endap di depan.“Tidak, lakukan saja sesuai rencana yang sudah kita bahas sebelumnya bersama Sierra juga kakeknya.” Balasan mutlak tanpa bantahan dari Dikta membuat dua orang itu diam total. Mereka kemudian mengangguk tanpa suara dan mengikuti Dikta bergerak terus dalam kegelapan malam hari ini.Dikta tiba-tiba berhenti tepat sebelum dia tiba di s
Baik Noah maupun Dikta langsung lemas di tempat. Keduanya tidak mengira bahwa Beno akan berlari untuk melindungi Dikta dari peluru Noah. Di saat-saat seperti itu, kemunculan Beno benar-benar membuat semuanya melenceng dari perkiraan semua orang!“Beno!!!”Dikta yang berada di belakang Beno segera maju untuk menangkap tubuh kecil Beno yang sudah bersimbah darah. Dengan kesadaran yang sangat tipis, Beno memandang Dikta yang memeluknya begitu erat dengan air mata bercucuran.“Beno! Kenapa kamu tidak mendengarkan apa yang aku katakan? Kenapa kamu keluar? Kenapa kamu ingkar janji?” tanya Dikta dengan suara bergetar menahan tangisnya.Namun, bocah cilik itu hanya tersenyum tipis. Seolah mengerti betapa sedihnya Dikta melihat dia seperti ini, dia menatap Dikta lekat-lekat.“Ka-karena Be-Beno sayang ....”Kata-kata yang diucapkan Beno terdengar begitu lirih hampir tak terdengar di telinga Dikta. Belum lagi kalimatnya yang terputus-putus begitu. Sulit bagi Dikta untuk mengetahuinya dengan jela
“Apa? Dikta benar-benar menjadi tersangka dan ditahan?! Ini gila!”Sierra berkata dengan tidak percaya ketika hasil sidang putusan menyebutkan bahwa Dikta menjadi tersangka atas terbunuhnya Beno dengan senjata api.Kakek Sierra yang berada di samping Sierra mencoba sebisa mungkin untuk menahan Sierra. Dia memberinya penjelasan dengan sabar dan penuh ketenangan. Bahwa semua ini terjadi karena laporan yang dilakukan oleh Bella.“Sierra, tenanglah dulu. Jangan bertindak di luar kendali atau tindakanmu mungkin membuat Dikta kembali masuk dalam jeratan Bella.”“Ah! Sialan! Wanita itu lagi, wanita itu lagi!” geram Sierra saat dia kembali duduk dengan mendengarkan penjelasan sang kakek.Sebenarnya semuanya di luar dugaan siapa pun. Baik Sierra, Kakek Sierra, bahkan Dikta sekalipun.Pada awalnya Bella membawa kasus kematian Beno, terbunuhnya Beno karena ditembak pistol itu ke ranah hukum. Tidak hanya membawanya ke ranah hukum dengan tangan kosong, Bella bahkan membawa pistol yang saat itu di
Rencana nyatanya tak selalu semulus yang dibayangkan. Segala macam cata yang telah diupayakan dan disusun dengan tapi nyatanya tak melulu sejalan dengan kenyataan di lapangan.Begitulah kira-kira situasi yang tepat untuk menggambarkan bagaimana kondisi pencarian yang dilakukan oleh Sierra dan kakeknya selama setahun belakangan.Ya.Setahun berlalu sudah.Banyak hal yang terjadi di perusahaan Kakek Sierra. Namun, tidak banyak perubahan yang didapatkan dari kasus yang menimpa Dikta. Tak ada perkembangan berarti dari pencarian Noah. Tak ada juga tanda-tanda dari keberadaannya sampai detik ini. Dan apa yang paling membuat Sierra merasa kepalanya bisa saja pecah kapan saja adalah kondisi Dikta.“Kakek! Aku tidak kuat melihat Dikta terus menerus berada di penjara!”Kakek Sierra yang baru saja mengerjakan dokumen penting untuk kepentingan klien, mendongak dan memandang lekat-lekat sosok Sierra yang baru saja masuk ke ruang kerjanya tanpa mengetuk pintu. “Ada apa lagi?”Pertanyaan yang sela
Dikta hanya bisa melihat pria tua itu kini duduk di sampingnya. Entah kenapa rasanya, Dikta masih berat untuk mengatakan apapun dari bibirnya. Ditambah ia pun masih sulit untuk lepas dari bayang-bayang Beno dalam hidupnya.“Dikta?”Dikta masih sibuk dalam lamunannya. Bahkan ia juga sibuk meruntuki diri atas segala penyesalan yang tak bisa ditebus oleh apapun. Sekalipun sang kakek sekarang sudah duduk di sampingnya. Ia sengaja memberi ruang pada Dikta, agar membicarakan apa yang terjadi. Hanya saja Dikta tak kuasa akan apa yang susah sekali lepas terjadi ini. Bahkan tatapan yang kosong itu masih Dikta lemparkan hingga saat ini. Jangan ditanyakan lagi bagaimana kondisi Dikta saat ini, dia benar-benar sudah tak peduli akan dirinya sendiri.Sierra hanya bisa berdiam diri di depan kamar, sambil menguping apa yang akan dibicarakan oleh mereka saat ini. Sesekali pandangannya mengedar ke arah Dikta akan apa yang diinginkan olehnya.Dikta membenamkan mukanya yang lesu itu. Entah bagaimana la
Sierra masih terduduk. Rasanya sulit sekali percaya akan apa yang terjadi saat ini. Bahkan ini di luar nalarnya. Dan tak bisa dikendalikan oleh akal sehatnya itu.Dikta yang mulai menyadari gelagat polos Sierra ini hanya tersenyum. Ternyata di balik sikap kejinya, Sierra berhasil menjaga asetnya hingga saat ini. Betapa beruntungnya Dikta bisa mendapatkan berlian dari segelintir batu di kali.Dikta memaklumi karena hal ini benar-benar sulit diterima. Tapi, Dikta tak mau permainan ini benar-benar berakhir. Ia ingin menuntaskannya. Juga ingin memberikan sisi lain pada hidup Sierra.Dikta bangun dan menghampiri Sierra yang mematung karena permainannya terhenti sekejap. Ia memeluk Sierra kembali. Melingkarkan tangannya ke arah perut, lalu menggerayanginya ke sisi lain milik Sierra.Aset atas dan bawah Sierra berhasil Dikta pancing agar Sierra kembali larut ke dalamnya. Sierra terus menampik itu, hanya saja Dikta berhasil memberikan kelembutan yang membuat candu bagi Sierra.Kini wajah wani
Dikta hanya bisa pasrah akan apa yang dituturkan Sierra. Ia tak bisa mengelak jika keputusan Sierra sudah bulat seperti itu. Meninggalkan apartment itu tanpa tahu tujuan kemana ia harus pergi. Dikta hanya bisa menepi ke rumah teman dekatnya, kala menjadi rekan dulu di perusahaan Bella. Untung saja ia masih menyimpan uang dan fasilitas yang dititipkan oleh sang kakek padanya.Sehingga Dikta tak terlalu kebingungan jika benar-benar harus meninggalkan Sierra. Dikta hanya bisa menyusuri jalan setapaknya dengan pikiran yang tak menentu.Di tengah perjalanan menuju rumah rekan dekatnya itu, langkah kaki Dikta dijegal sebuah mobil mewah yang tak asing baginya. Membuka kaca mobilnya, ternyata Dikta berhasil dipergoki oleh sang kakek. Sehingga Dikta yang semula akan pergi ke rumah rekannya, melawan haluan untuk ikut dengan sang kakek.Entah kenapa suasana mendadak menjadi canggung sekali. Bahkan kedekatan mereka seperti terhalang oleh tembok besar di sana. Baik Dijta maupun sang kakek masih s
22. SISI LAIN SIERRASierra terkesiap. Ia hanya bisa menyunggingkan senyumnya di depan Dikta. Begitupun Dikta sebaliknya, ia benar-benar canggung akan apa yang dilakukan oleh Sierra. Padahal mereka sudah lama saling kenal. Ingin sekali Dikta membuka obrolan dengannya, namun bibir ini terlalu sulit untuk terbuka.Mereka saling menautkan pandangan satu sama lain. Menatap saling lekat. Namun terkesiap lagi karena malu.Membuang pandangan ke arah lain, harap-harap itu bisa meredam suasana yang terlanjur menegang. Mungkin mereka masih tertaut pada masalah sebelumnya.Tapi Sierra mengakui jika itu bukanlah kesalahan Dikta saja. Melainkan salahnya juga. Benak mereka sama-sama ingin mengatakan permintaan maaf atas kejadian masa itu. Kejadian itu benar-benar terjadi di luar kendali mereka. Sehingga ada alasan tersendiri dalam benak mereka, untuk saling menerima dan mengakuinya.Sebisa mungkin Dikta melemparkan pandangannya ke arah lain untuk meredam rasa canggung juga salah tingkahnya ini. A
Dan apa yang dikatakan oleh seseorang tak dikenal itu masuk ke gendang telinganya. Dikta menyisir semua orang yang ada di sekitarnya saat ini. Matanya tertuju pada salah satu spot di mana sosok itu berada. Ya, dia mendapati sosok yang tak dikenal masuk dikerumunannya. Terlihat seringai senyum puasnya itu terulas di mukanya. Ia menggunakan pakaian serba hitam. Sayangnya, Dikta tak bisa melihat sorot mata yang tertutup oleh bayangan topi yang dikenakannya. Tak hanya dia yang puas, melainkan sosok mereka yang ada disitu pun ikut merayakan kekalahan Dikta. Ya, walaupun sementara mereka sangat yakin itu bisa menjadi peringatan agar Dikta bisa mundur dari jabatannya. Agaknya dalam hati mereka masing-masing silih berganti menghina Dikta. Atau mungkin ada yang menertawakan Dikta juga. Entahlah, pikiran Dikta berkecamuk. Bukan karena masalah diseret tapi siapa lagi yang bermain drama dengannya saat ini. Perlahan namun pasti Dikta meninggalkan kantor utamanya dengan tangan diborgol. Keluar
Dan apa yang dikatakan oleh seseorang tak dikenal itu masuk ke gendang telinganya. Dikta menyisir semua orang yang ada di sekitarnya saat ini. Ia mendapati sosok yang tak dikenal masuk dikerumunan. Terlihat seringai senyum puasnya itu terulas di mukanya. Mereka sangat puas melihat Dikta, yang diseret paksa bak tersangka sesungguhnya. Agaknya Dikta berat sekali melangkahkan kakinya. Hanya saja Dikta tak bisa menangkapnya dengan jelas, karena polisi lebih dulu menyuruh Dikta untuk masuk ke dalam mobilnya. Sepanjang perjalanan Dikta benar-benar pasrah. Bahkan ia tak berbicara sepatah kata apapun. Diam. Dan mengikuti alur mereka inginnya seperti apa. Namun di balik diamnya Dikta, ia terus mengamati sosok itu dari belakang. Mengingat kembali semua yang dikatakan oleh mereka. Harap-harap ada klu yang menyudutkan pada sosok tersangka. Dikta juga masih ingat siapa saja yang ikut andil di dalam sana. Sehingga Dikta bertekad akan kebebasannya akan menelusuri siapa mereka. Apakah benar yang
Tampak nafas pria itu benar-benar tersenggal. Kentara sekali ia sangat kelelahan agaknya. "Ada apa? Minum dulu!" sosor Dikta seiring memberikan segelas air minum. Mengambil dan meneguk airnya dengan rasa tamak. Agaknya ia sangat kelelahan. Baik Sierra maupun Dikta masih menunggu apa yang ingin dikatakan olehnya itu. "Ada apa?" Hosh! Hosh! "Anu, Pak. Itu kantor—" Mata Dikta membulat sempurna mendengarkan hal itu. Kini tatapannya mulai menatap lekat untuk membenarkan rasa jujurnya itu. Sehingga batin Dikta dili seperti sudah dikejar seseorang. Memperhatikan keadaan kamar di manan Sierra berada. Dikta berusaha mencerna kembali 11 "Pak gawat kantor kena sidik oleh pihak terkait dan investor!" sosornya terburu-buru. "Jangan bercanda! Ini tidak lucu!" sanggah Dikta geram. Menelan salivanya kuat-kuat. Sierra hanya bisa menatapnya datar. Karena hal ini sering terjadi. Sierra hanya busa menonton kejadian klasik ini. Ia yakin Dikta pasti terkejut akan apa yang terjadi. Walaupun Sierr
Mengangguk. Ia ingin merangkul Sierra, hanya saja lengannya benar-benar tak kuasa menahan nyeri karena luka itu. Ditambah Dikta dihantam berkali-kali saat melawan Sony yang membuat salah satu tangannya kebas.“DIKTA TANGANMU TERLUKA! PAK CEPAT KE RUMAH SAKIT!”Sang pengawal pun langsung menginjak pedal gasnya begitu saja. Sierra benar-benar panik akan apa yang terjadi. Dikta hanya terkekeh melihat tingkah Sierra yang terlalu berlebihan ini. Padahal lukanya tak seberapa dengan rasa khawatirnya itu.Sesampainya di rumah sakit, malah bukan Dikta yang dilarikan untuk di tangani. Tapi malah Sierra yang dilarikan ke ruang UGD. Dikta memboyong tubuh wanita yang merintih kesakitan itu.“Sus, tolong!”Dengan sigap para perawat itu membawa Sierra berlalu menuju ruang UGD. Dikta hanya bisa menunggunya di depan ruangan dengan harap-harap cemas. Ia tak peduli lagi dengan rasa sakit yang diembannya saat ini.Ya, perjalanan yang cukup terjal dari tempat kejadian membuat Sierra mengalami pendarahan d
Tapi Bella malah menarik paksa pria itu dalam pelukannya. Pelukan yang selama ini ia elu-elukan setiap malam. Jujur saja, Bella sangat merindukan Dikta kala ini. Ya, dia sangat menginginkan Dikta kembali dalam pelukannya. Kembali merajut dunia yang telah lama hilang. Ternyata Bella baru menyadari, jika Diktalah yang berhasil membangun dunianya terasa megah. Atau bisa dikatakan hanya Dikta yang bisa mengerti segala keinginannya. Bukan Noah maupun kedua orangtuanya. Bahkan bisa dikatakan jika Diktalah yang berhasil membuatnya menjadi istri yang layak. Dia berhasil mengagungkan Bella dengan segala perjuangannya yang tulus itu. Dan tak pernah Bella temukan pada Noah hingga saat ini. Andai saja waktu bisa diputar kembali, mungkin Bella takan pernah melakukan itu. Dan mungkin saja anaknya masih hidup sampai saat ini kan?Dikta menepis segala rayuan Bella yang mulai menjalari tubuhnya. Sungguhpun, Dikta jijik dan muak sekali. “Bella! Lepaskan! Kenapa kau mau menjadi jalang seperti ini,
Dari root top bangunan di seberang jalan, tepatnya di seberang kosan Sony, seorang pria mengawasi Sony yang sedang dikepung oleh Dikta dan pengawalnya.Pria itu sudah siap dengan senapan laras panjangnya, bersiap membidik target. Saat itu Dikta menanyai Sony, tapi dia diam ... tidak mau berkata jujur. Setelah dihajarpun Sony ditanya kembali oleh Dikta. “Sekarang!” perintah wanita dari telepon, kepada pria yang menggunakan penutup kepala dengan earpiece di telinganya. Dan ... DOR! Dikta dan ketiga pengawal terkejut, mereka menoleh sekeliling dan mencari sumber suara. Setelah beberapa menit barulah Dikta tahu, seseorang mencoba lari dari rooftop rumah di seberang kostan yang ditinggali oleh Sony. “Di sana! Tangkap!” perintah Dikta menunjuk ke bangunan di seberang kostan, dua pengawal langsung bergerak untuk mengejar penembak Sony. “Urus mayatnya,” titah Dikta pada dua pengawal yang sedari awal memegangi tubuh Sony, dan sekarang dua pengawal itu sedikit gemetar yang mereka
Satu persatu masalah menghampiri Dikta, hampir tak berkesudahan, satu masalah selesai satu lagi muncul. Dia hampir gila, merasa ingin menyerah saat ini karena salah satu dari masalah tersebut adalah Sierra. Istrinya itu adalah kekuatannya, harta yang ia punya satu-satunya. Sedang mengandung buah hati mereka, tapi karena termakan hasutan orang dia lebih memilih pergi meninggalkannya. Dikta tidak tahu harus mencari Sierra ke mana. Ponselnya juga tak aktif, tidak bisa dihubungi sama sekali. Dikta juga tak mendapati istrinya ada di rumah kakeknya. Dia tak tahu apakah ada tempat tinggal Sierra yang lain atau istrinya itu hanya tidur di hotel. Dikta akhirnya membiarkan istrinya itu menenangkan diri dan dia berjanji akan mengurus masalahnya supaya cepat selesai. Pagi ini Dikta pergi ke kantor seperti biasanya, hari ini kakek sudah bilang tidak akan mampir ke kantornya, kakek membantu Dikta mencarikan investor baru untuk perusahaan yang dipimpin oleh Dikta itu, pria itu bersyukur sekali.
Dikta menerima telepon dari kakek Sierra, menyuruhnya untuk segera datang ke rumah orangtua Bella. “Aku ada di apartemen, Kek,” ucap Dikta, dia seketika teringat amanah dari ayah Bella yang merupakan mertuanya dulu. “Kau harus bawa mayatku juga istriku. Tolong kebumikan kami dengan layak. Aku yakin hidupku sudah tak bisa bertahan lebih lama lagi,” ucap ayah Bella sesaat sebelum dia tewas karena peluru yang bersarang di kepalanya. Dikta tak bisa untuk tidak sedih, marah dan kecewa, perasaan itu campur aduk di dalam hatinya sekarang. Karena sudah ditunggu oleh kakek, dia segera turun dan menuju ke rumah Bella lagi. Beberapa menit kemudian Dikta sampai di kediaman orangtua Bella, bunga duka sudah berjejer rapi di depan gerbang rumah, banyak mobil yang juga berderet-deret memenuhi tepi jalan. Dikta memarkirkan mobilnya, agak jauh dari kediaman mantan mertuanya itu. Dia turun kemudian melangkah masuk ke sana, orang-orang sudah datang untuk melawat. Dikta melihat ada Bella di sana y
Dikta terperangah, dia membelakakkan matanya sekarang. Kedua mantan mertuanya itu terkapar, dan malangnya di depan matanya ayah mertuanya dihabisi begitu saja. Dikta yang geram berusaha mengejar siapa penembak yang bersembunyi di gudang tadi. Dikta berlari kencang, melawan rasa sakit kepalanya akibat hantaman tongkat baseball yang mengenai kepalanya. Pria itu kabur, melesat dengan cepat berlari dari arah gudang ke depan. Dari belakang Dikta menyusul berlari kencang, seperti mengenal sosok tersebut, dia mempercepat langkah kemudian menarik jaket hitam yang dikenakan pria yang akan kabur itu. Dikta menarik dengan kedua tangannya hingga pria itu terjerembab. Pria itu menggunakan pakaian serba hitam yakni pakaian serba hitam, sepatu hitam, bertopi hitam, masker hitam dan tak lupa kedua tangannya menggunakan sarung tangan. Dikta menarik masker dan topi pria itu, membuangnya asal, dan ketika semuanya terlepas pria itu tertawa. “Hahaha ... Sudah pas bukan waktunya?” ujar Noah, dia seakan