“Apa? Dikta benar-benar menjadi tersangka dan ditahan?! Ini gila!”Sierra berkata dengan tidak percaya ketika hasil sidang putusan menyebutkan bahwa Dikta menjadi tersangka atas terbunuhnya Beno dengan senjata api.Kakek Sierra yang berada di samping Sierra mencoba sebisa mungkin untuk menahan Sierra. Dia memberinya penjelasan dengan sabar dan penuh ketenangan. Bahwa semua ini terjadi karena laporan yang dilakukan oleh Bella.“Sierra, tenanglah dulu. Jangan bertindak di luar kendali atau tindakanmu mungkin membuat Dikta kembali masuk dalam jeratan Bella.”“Ah! Sialan! Wanita itu lagi, wanita itu lagi!” geram Sierra saat dia kembali duduk dengan mendengarkan penjelasan sang kakek.Sebenarnya semuanya di luar dugaan siapa pun. Baik Sierra, Kakek Sierra, bahkan Dikta sekalipun.Pada awalnya Bella membawa kasus kematian Beno, terbunuhnya Beno karena ditembak pistol itu ke ranah hukum. Tidak hanya membawanya ke ranah hukum dengan tangan kosong, Bella bahkan membawa pistol yang saat itu di
Rencana nyatanya tak selalu semulus yang dibayangkan. Segala macam cata yang telah diupayakan dan disusun dengan tapi nyatanya tak melulu sejalan dengan kenyataan di lapangan.Begitulah kira-kira situasi yang tepat untuk menggambarkan bagaimana kondisi pencarian yang dilakukan oleh Sierra dan kakeknya selama setahun belakangan.Ya.Setahun berlalu sudah.Banyak hal yang terjadi di perusahaan Kakek Sierra. Namun, tidak banyak perubahan yang didapatkan dari kasus yang menimpa Dikta. Tak ada perkembangan berarti dari pencarian Noah. Tak ada juga tanda-tanda dari keberadaannya sampai detik ini. Dan apa yang paling membuat Sierra merasa kepalanya bisa saja pecah kapan saja adalah kondisi Dikta.“Kakek! Aku tidak kuat melihat Dikta terus menerus berada di penjara!”Kakek Sierra yang baru saja mengerjakan dokumen penting untuk kepentingan klien, mendongak dan memandang lekat-lekat sosok Sierra yang baru saja masuk ke ruang kerjanya tanpa mengetuk pintu. “Ada apa lagi?”Pertanyaan yang sela
Dikta hanya bisa melihat pria tua itu kini duduk di sampingnya. Entah kenapa rasanya, Dikta masih berat untuk mengatakan apapun dari bibirnya. Ditambah ia pun masih sulit untuk lepas dari bayang-bayang Beno dalam hidupnya.“Dikta?”Dikta masih sibuk dalam lamunannya. Bahkan ia juga sibuk meruntuki diri atas segala penyesalan yang tak bisa ditebus oleh apapun. Sekalipun sang kakek sekarang sudah duduk di sampingnya. Ia sengaja memberi ruang pada Dikta, agar membicarakan apa yang terjadi. Hanya saja Dikta tak kuasa akan apa yang susah sekali lepas terjadi ini. Bahkan tatapan yang kosong itu masih Dikta lemparkan hingga saat ini. Jangan ditanyakan lagi bagaimana kondisi Dikta saat ini, dia benar-benar sudah tak peduli akan dirinya sendiri.Sierra hanya bisa berdiam diri di depan kamar, sambil menguping apa yang akan dibicarakan oleh mereka saat ini. Sesekali pandangannya mengedar ke arah Dikta akan apa yang diinginkan olehnya.Dikta membenamkan mukanya yang lesu itu. Entah bagaimana la
Sierra masih terduduk. Rasanya sulit sekali percaya akan apa yang terjadi saat ini. Bahkan ini di luar nalarnya. Dan tak bisa dikendalikan oleh akal sehatnya itu.Dikta yang mulai menyadari gelagat polos Sierra ini hanya tersenyum. Ternyata di balik sikap kejinya, Sierra berhasil menjaga asetnya hingga saat ini. Betapa beruntungnya Dikta bisa mendapatkan berlian dari segelintir batu di kali.Dikta memaklumi karena hal ini benar-benar sulit diterima. Tapi, Dikta tak mau permainan ini benar-benar berakhir. Ia ingin menuntaskannya. Juga ingin memberikan sisi lain pada hidup Sierra.Dikta bangun dan menghampiri Sierra yang mematung karena permainannya terhenti sekejap. Ia memeluk Sierra kembali. Melingkarkan tangannya ke arah perut, lalu menggerayanginya ke sisi lain milik Sierra.Aset atas dan bawah Sierra berhasil Dikta pancing agar Sierra kembali larut ke dalamnya. Sierra terus menampik itu, hanya saja Dikta berhasil memberikan kelembutan yang membuat candu bagi Sierra.Kini wajah wani
Dikta hanya bisa pasrah akan apa yang dituturkan Sierra. Ia tak bisa mengelak jika keputusan Sierra sudah bulat seperti itu. Meninggalkan apartment itu tanpa tahu tujuan kemana ia harus pergi. Dikta hanya bisa menepi ke rumah teman dekatnya, kala menjadi rekan dulu di perusahaan Bella. Untung saja ia masih menyimpan uang dan fasilitas yang dititipkan oleh sang kakek padanya.Sehingga Dikta tak terlalu kebingungan jika benar-benar harus meninggalkan Sierra. Dikta hanya bisa menyusuri jalan setapaknya dengan pikiran yang tak menentu.Di tengah perjalanan menuju rumah rekan dekatnya itu, langkah kaki Dikta dijegal sebuah mobil mewah yang tak asing baginya. Membuka kaca mobilnya, ternyata Dikta berhasil dipergoki oleh sang kakek. Sehingga Dikta yang semula akan pergi ke rumah rekannya, melawan haluan untuk ikut dengan sang kakek.Entah kenapa suasana mendadak menjadi canggung sekali. Bahkan kedekatan mereka seperti terhalang oleh tembok besar di sana. Baik Dijta maupun sang kakek masih s
22. SISI LAIN SIERRASierra terkesiap. Ia hanya bisa menyunggingkan senyumnya di depan Dikta. Begitupun Dikta sebaliknya, ia benar-benar canggung akan apa yang dilakukan oleh Sierra. Padahal mereka sudah lama saling kenal. Ingin sekali Dikta membuka obrolan dengannya, namun bibir ini terlalu sulit untuk terbuka.Mereka saling menautkan pandangan satu sama lain. Menatap saling lekat. Namun terkesiap lagi karena malu.Membuang pandangan ke arah lain, harap-harap itu bisa meredam suasana yang terlanjur menegang. Mungkin mereka masih tertaut pada masalah sebelumnya.Tapi Sierra mengakui jika itu bukanlah kesalahan Dikta saja. Melainkan salahnya juga. Benak mereka sama-sama ingin mengatakan permintaan maaf atas kejadian masa itu. Kejadian itu benar-benar terjadi di luar kendali mereka. Sehingga ada alasan tersendiri dalam benak mereka, untuk saling menerima dan mengakuinya.Sebisa mungkin Dikta melemparkan pandangannya ke arah lain untuk meredam rasa canggung juga salah tingkahnya ini. A
“Wah! Kakek tak menyangka jika kau benar-benar bisa memasak seenak ini, Sie. Sepertinya kita bisa membuka peluang usaha baru dengan kemampuan Sierra,” goda kakek Sierra membuat Sierra tersenyum merekah karenanya.“Ah, Kakek. Kalian ini terlalu berlebihan.”“Siapa yang berlebihan? Kita benar-benar mengatakan ini apa adanya kok. Betulkan, Dik?”Dikta hanya mengangguk begitu saja. Sesekali ekor mata Dikta mendapati Sierra yang terus memperhatikannya. Dan selalu ada saja moment ketika tatapan mereka bertemu satu sama lain. Yang membuat salah tingkah karenanya. Dikta berusaha meredam rasa salah tingkahnya itu. Ia selalu membuang muka kala mata mereka terantuk.Istirahat sudah selesai, rapat kembali dimulai. Semua orang-orang penting yang terlibat, sudah berkumpul di tempatnya masing-masing. Bahkan beberapa dari mereka sudah menyelesaikan tugasnya. Semua tugas audit dan rapat berjalan sebagaimana mestinya. Mungkin bisa dibilang sangat lancar dari sebelumnya.“Ya, rapat kita tutup. Terima k
Pagi datang menjelang. Seperti biasa, Sierra sudah menyiapkan apa yang biasa ia lakukan sebelumnya. Bahkan jika ia tak melakukan rutinitas itu sebelum pergi ke kantor, rasanya ada yang hampa bagi hidup Sierra.Begitupun sebaliknya dengan Dikta, walaupun sebetulnya canggung akan apa yang dilakukan oleh Sierra. Akhirnya Dikta menuruti dan mulai terbiasa akan hal yang dilakukannya. Sebab Sierra sering kali mengatakan pada Dikta, jika ia melakukan ini dengan sukarela. Beruntungnya di apartment Sierra hanya ada pegawai tukang kebun saja, jadi Sierra dan Dikta bisa bebas melakukan apapun. Namun dalam konteks yang masih batas wajar tentunya. Padahal mereka ini sudah menjadi suami istri, sah pula. Namun rasa canggung masih saja menyelimuti mereka. Agaknya Dikta tak pernah bosan menceramahi Sierra agar tak terlalu kecapean.Ia takut Sierra terlalu memaksakan diri. Dikta yang merasa asing dengan hal ini, akhirnya Dikta mulai terbiasa. Jikalau ada hal yang membuatnya tak enak ia langsung menyu