Di ruang tamu yang megah namun terasa mencekam, suara Azka menggema dengan nada penuh amarah. Matanya menatap tajam ke arah Vero, wanita itu tampak tenang, bahkan sedikit tersenyum, seolah tak terganggu oleh hujan kata-kata yang dilemparkan Azka."Vero, aku tidak habis pikir! Kamu tahu Excel kehilangan ingatannya, tapi kamu malah memanfaatkan situasi itu untuk kepentingan pribadimu!" seru Azka, tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya.Mereka sudah tiba di rumah sejak siang tadi, dan Excel meminta Vero untuk menemaninya. Azka dan Oma Mentari sudah mengingatkan Excel kalau semua sudah berbeda, Vero tidak layak untuknya namun sepertinya ingatan Excel tidak bisa dibantah."Om, kamu berbicara seolah aku adalah penjahat di sini. Semua orang berhak mendapat kesempatan kedua, termasuk aku," balas Vero.Azka melangkah maju, menunjuk Vero dengan jari telunjuknya. "Kesempatan kedua untuk apa? Untuk menghancurkan hidup Excel lagi? Dia bahkan tidak tahu
Bambang terdiam sejenak sebelum menjawab. "Tadi, waktu Bapak sama Mamak udah sampai terminal, ada telepon masuk. Pakdhemu Juwar meninggal dunia. Jadi kami langsung balik arah ke rumah duka. Maaf ya, Bapak lupa ngabarin kalian," jelasnya dengan nada penuh penyesalan. Juwar adalah kakang sepupu Bambang, sebab itu ia tidak bisa meninggalkannya begitu saja.Lia terpaku mendengar penjelasan itu. Hatinya berdesir antara rasa kehilangan atas kabar duka dan ada sedikit rasa lega sebab Nur tidak bertemu dengan orang tuanya dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. "Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Aku ikut berduka, Pak. Tapi kenapa Bapak enggak bilang dari tadi? Nur udah nunggu-nunggu, dia pikir Bapak sama Mamak jadi datang," ujar Lia dengan nada pelan, mencoba membuat suasana seolah baik-baik saja dan mereka antusias dengan kedatangan orang tua.Bambang menghela napas panjang. "Maafkan Bapak, Li. Ini semua mendadak, Bapak benar-benar lupa. Tolong bilang ke
Azka berdiri di ruang tamu dengan wajah yang masih memerah karena perdebatan sengit dengan Vero. Di hadapannya, Pak Supri, sopir keluarga Nur, berdiri dengan sikap tenang namun tegas, seolah tak ingin berlama-lama berada di rumah itu."Pak Supri, kenapa semua barang Nur mau diambil?" tanya Azka, nadanya penuh curiga. "Apa-apaan ini? Ada apa sebenarnya?"Pak Supri menatap Azka dengan hormat, namun tatapannya mengisyaratkan bahwa ia hanya menjalankan tugas. "Maaf, Tuan Azka. Ini perintah langsung dari Non Nur," jawabnya singkat.Azka mengernyit. "Jadi... Nur sudah ditemukan? Bagaimana kondisinya? Dia baik-baik saja?"Pertanyaan itu membuat Pak Supri terdiam sejenak, seperti mempertimbangkan bagaimana menjawabnya. Namun sebelum ia sempat membuka mulut, Vero yang sejak tadi berdiri di hadapan Azka mulai melangkah mundur. Kesempatan ini ia gunakan untuk menyelinap keluar, meninggalkan Azka yang terlalu fokus pada percakapannya dengan Pak Supri.
Rumah Heri kini terasa ramai dengan celoteh, tawa dan tangis anak-anaknya. Nur telah memutuskan untuk menghapus jejak lelaki itu dari hidupnya. Semua foto di galeri ponsel telah di hapusnya, cincin pemberian Excel, kartu debit, dan baju-baju yang mereka beli bersama kini tersimpan di gudang kecil di sudut rumah. Ia merasa lega, bersyukur bahwa Excel belum sempat mengambil hal paling berharga dalam hidupnya—kehormatannya."Biarlah semua jadi kenangan masa lalu. Dan tidak ada gunanya menyimpan itu semua," gumam Nur sambil menutup pintu gudang rapat-rapat, seolah ingin mengunci semua luka bersama barang-barang itu.Hari-hari berlalu, dan Nur mulai menemukan ritme baru. Ia lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-temannya, Sera dan Latifa. Mereka selalu tahu bagaimana membuat Nur tersenyum. Sampai sekarang tak ada satu pun temannya yang tahu bahwa Nur pernah menikah. Bahkan, Dika—lelaki yang selama ini mengejar perhatiannya—mulai terlihat lebih sering di sekitar Nur."Nur, aku cuma m
Suatu sore, ketika Sera mendapat libur dari tempat kerjanya, Nur mengajaknya bermain ke rumah."Aku kenalkan kamu sama keluargaku, ya," ujar Nur setelah mobil terparkir di garasi.Di dalam rumah, Sera disambut hangat oleh Bambang, Isna, dan Lia, sementara Heri masih ada di kantor. Mereka bahkan tak segan mengajak Sera makan bersama. Setelah itu, Nur dan Sera membuat konten bareng, memanfaatkan momen kebersamaan mereka."Ramah banget keluarga kamu, Nur. Meskipun kalian dari keluarga berada, tapi kalian memperlakukan orang miskin kek aku dengan baik. Rasanya aku kayak di rumah sendiri," ujar Sera terharu."Jangan ngomong gitu, Ser. Yang kaya itu suaminya Mbakku. Tanpa Mas Heri, mungkin kami enggak ada di sini sekarang. Sebenarnya, aku juga sama seperti kamu, berasal dari keluarga kurang mampu," balas Nur, berusaha menutupi jati dirinya."Eh, serius?""He-em. Tapi, Alhamdulillah, banyak cobaan yang sudah kami lewati. Bahkan, Mbak Li
Di Balik Ambisi dan DosaDi ruang tamu rumah Oma Mentari, suasana tegang melingkupi. Excel berdiri dengan wajah merah padam, sementara Vero tampak pucat pasi, tangannya gemetar menggenggam ujung rok yang dipakainya. Azka duduk di sofa, menatap Excel dengan wajah penuh kekecewaan dan Oma Mentari mengamati dengan sorot mata tajam yang penuh wibawa.“Excel,” Azka memulai, suaranya tenang tapi tegas. “Kamu sadar apa yang sedang kamu lakukan? Namamu sudah terdaftar di KUA sebagai suami Nur. Apa kamu mau menghancurkan keluarga kita demi wanita ular ini?”Excel menundukkan kepala, merasa tertohok oleh kata-kata sang papa. Namun, sebelum ia bisa menjawab, Vero mencengkeram lengannya.“Excel sudah janji sama aku, Om. Kami akan menikah di KUA saja, tanpa pesta. Setelah itu, dia akan menceraikan Nur. Aku bahkan rela menjadi istri kedua kalau itu yang terbaik,” ujar Vero dengan nada memohon, tapi matanya penuh dengan siasat.Oma Mentari menghela
Namun, Vero hanya tersenyum tipis, matanya penuh dengan keyakinan dan berbicara di dalam hati dengan yakin. “Kamu tahu, Excel, aku tidak menyerah semudah itu. Aku tahu kamu punya prinsip, tapi aku juga tahu bahwa kamu bukan manusia yang kebal terhadap perasaan.”Wanita berambut panjang, lurus, dan hitam legam, sering ditata dengan gaya sederhana namun elegan. Hidungnya mancung, bibir tipisnya selalu tampak segar sebab memakai lip balm. Ia memiliki leher jenjang dan bahu yang tegap, memberi kesan anggun saat berjalan. Tubuh rampingnya ia rekatkan pada tubuh Excel agar lelaki itu terbuai.Excel melangkah mundur hingga mentok pada ranjang, berusaha menjaga jarak. Tetapi Vero dengan cepat mendekat lagi, kali ini memegang tangannya dengan lembut. Ia menatap Excel dengan pandangan yang membuat hati lelaki itu goyah. “Aku hanya ingin kamu jujur pada dirimu sendiri, Xel. Aku tahu kamu merasakan hal yang sama.”Perlahan, pertahanan Excel mulai runtuh. Saat tangan V
"Mbak, pengantinya mana kok enggak keluar-keluar. Apa memang gini caranya orang kota?" tanya Nur. Ia sudah merasa pegal duduk terlalu lama dan sudah tak sabar ingin mencicipi prasmanan. Sejak datang di acara pernikahan Excel, Nur sudah merasa lapar melihat makanan yang begitu menggugah selera meski sebelum berangkat mereka sudah sarapan, namun ia teringat ucapan sang kakak bahwa mereka boleh makan kalau akad sudah selesai. "Enggak juga sih, di undangan akad kan jam sembilan. Ini udah jam sepuluh lima menit," balas Lia sembari melihat jam di pergelangan tangannya. Satu bulan yang lalu setelah wisuda, Nur Cahyani tiba di jakarta bersama kedua orang tuanya. Ia berniat untuk melanjutkan kuliah di kota besar itu dan meraih cita-cita untuk menjadi dokter. Bermodal uang tabungan selama mengonten, tekadnya sudah bulat untuk meraih kesuksesannya. Apalagi kedua orang tuanya sangat mendukung, di tambah sang kakak ipar juga berjanji akan membantu memberi tambahan dana. Tetapi, untuk saat ini o
Namun, Vero hanya tersenyum tipis, matanya penuh dengan keyakinan dan berbicara di dalam hati dengan yakin. “Kamu tahu, Excel, aku tidak menyerah semudah itu. Aku tahu kamu punya prinsip, tapi aku juga tahu bahwa kamu bukan manusia yang kebal terhadap perasaan.”Wanita berambut panjang, lurus, dan hitam legam, sering ditata dengan gaya sederhana namun elegan. Hidungnya mancung, bibir tipisnya selalu tampak segar sebab memakai lip balm. Ia memiliki leher jenjang dan bahu yang tegap, memberi kesan anggun saat berjalan. Tubuh rampingnya ia rekatkan pada tubuh Excel agar lelaki itu terbuai.Excel melangkah mundur hingga mentok pada ranjang, berusaha menjaga jarak. Tetapi Vero dengan cepat mendekat lagi, kali ini memegang tangannya dengan lembut. Ia menatap Excel dengan pandangan yang membuat hati lelaki itu goyah. “Aku hanya ingin kamu jujur pada dirimu sendiri, Xel. Aku tahu kamu merasakan hal yang sama.”Perlahan, pertahanan Excel mulai runtuh. Saat tangan V
Di Balik Ambisi dan DosaDi ruang tamu rumah Oma Mentari, suasana tegang melingkupi. Excel berdiri dengan wajah merah padam, sementara Vero tampak pucat pasi, tangannya gemetar menggenggam ujung rok yang dipakainya. Azka duduk di sofa, menatap Excel dengan wajah penuh kekecewaan dan Oma Mentari mengamati dengan sorot mata tajam yang penuh wibawa.“Excel,” Azka memulai, suaranya tenang tapi tegas. “Kamu sadar apa yang sedang kamu lakukan? Namamu sudah terdaftar di KUA sebagai suami Nur. Apa kamu mau menghancurkan keluarga kita demi wanita ular ini?”Excel menundukkan kepala, merasa tertohok oleh kata-kata sang papa. Namun, sebelum ia bisa menjawab, Vero mencengkeram lengannya.“Excel sudah janji sama aku, Om. Kami akan menikah di KUA saja, tanpa pesta. Setelah itu, dia akan menceraikan Nur. Aku bahkan rela menjadi istri kedua kalau itu yang terbaik,” ujar Vero dengan nada memohon, tapi matanya penuh dengan siasat.Oma Mentari menghela
Suatu sore, ketika Sera mendapat libur dari tempat kerjanya, Nur mengajaknya bermain ke rumah."Aku kenalkan kamu sama keluargaku, ya," ujar Nur setelah mobil terparkir di garasi.Di dalam rumah, Sera disambut hangat oleh Bambang, Isna, dan Lia, sementara Heri masih ada di kantor. Mereka bahkan tak segan mengajak Sera makan bersama. Setelah itu, Nur dan Sera membuat konten bareng, memanfaatkan momen kebersamaan mereka."Ramah banget keluarga kamu, Nur. Meskipun kalian dari keluarga berada, tapi kalian memperlakukan orang miskin kek aku dengan baik. Rasanya aku kayak di rumah sendiri," ujar Sera terharu."Jangan ngomong gitu, Ser. Yang kaya itu suaminya Mbakku. Tanpa Mas Heri, mungkin kami enggak ada di sini sekarang. Sebenarnya, aku juga sama seperti kamu, berasal dari keluarga kurang mampu," balas Nur, berusaha menutupi jati dirinya."Eh, serius?""He-em. Tapi, Alhamdulillah, banyak cobaan yang sudah kami lewati. Bahkan, Mbak Li
Rumah Heri kini terasa ramai dengan celoteh, tawa dan tangis anak-anaknya. Nur telah memutuskan untuk menghapus jejak lelaki itu dari hidupnya. Semua foto di galeri ponsel telah di hapusnya, cincin pemberian Excel, kartu debit, dan baju-baju yang mereka beli bersama kini tersimpan di gudang kecil di sudut rumah. Ia merasa lega, bersyukur bahwa Excel belum sempat mengambil hal paling berharga dalam hidupnya—kehormatannya."Biarlah semua jadi kenangan masa lalu. Dan tidak ada gunanya menyimpan itu semua," gumam Nur sambil menutup pintu gudang rapat-rapat, seolah ingin mengunci semua luka bersama barang-barang itu.Hari-hari berlalu, dan Nur mulai menemukan ritme baru. Ia lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-temannya, Sera dan Latifa. Mereka selalu tahu bagaimana membuat Nur tersenyum. Sampai sekarang tak ada satu pun temannya yang tahu bahwa Nur pernah menikah. Bahkan, Dika—lelaki yang selama ini mengejar perhatiannya—mulai terlihat lebih sering di sekitar Nur."Nur, aku cuma m
Azka berdiri di ruang tamu dengan wajah yang masih memerah karena perdebatan sengit dengan Vero. Di hadapannya, Pak Supri, sopir keluarga Nur, berdiri dengan sikap tenang namun tegas, seolah tak ingin berlama-lama berada di rumah itu."Pak Supri, kenapa semua barang Nur mau diambil?" tanya Azka, nadanya penuh curiga. "Apa-apaan ini? Ada apa sebenarnya?"Pak Supri menatap Azka dengan hormat, namun tatapannya mengisyaratkan bahwa ia hanya menjalankan tugas. "Maaf, Tuan Azka. Ini perintah langsung dari Non Nur," jawabnya singkat.Azka mengernyit. "Jadi... Nur sudah ditemukan? Bagaimana kondisinya? Dia baik-baik saja?"Pertanyaan itu membuat Pak Supri terdiam sejenak, seperti mempertimbangkan bagaimana menjawabnya. Namun sebelum ia sempat membuka mulut, Vero yang sejak tadi berdiri di hadapan Azka mulai melangkah mundur. Kesempatan ini ia gunakan untuk menyelinap keluar, meninggalkan Azka yang terlalu fokus pada percakapannya dengan Pak Supri.
Bambang terdiam sejenak sebelum menjawab. "Tadi, waktu Bapak sama Mamak udah sampai terminal, ada telepon masuk. Pakdhemu Juwar meninggal dunia. Jadi kami langsung balik arah ke rumah duka. Maaf ya, Bapak lupa ngabarin kalian," jelasnya dengan nada penuh penyesalan. Juwar adalah kakang sepupu Bambang, sebab itu ia tidak bisa meninggalkannya begitu saja.Lia terpaku mendengar penjelasan itu. Hatinya berdesir antara rasa kehilangan atas kabar duka dan ada sedikit rasa lega sebab Nur tidak bertemu dengan orang tuanya dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. "Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Aku ikut berduka, Pak. Tapi kenapa Bapak enggak bilang dari tadi? Nur udah nunggu-nunggu, dia pikir Bapak sama Mamak jadi datang," ujar Lia dengan nada pelan, mencoba membuat suasana seolah baik-baik saja dan mereka antusias dengan kedatangan orang tua.Bambang menghela napas panjang. "Maafkan Bapak, Li. Ini semua mendadak, Bapak benar-benar lupa. Tolong bilang ke
Di ruang tamu yang megah namun terasa mencekam, suara Azka menggema dengan nada penuh amarah. Matanya menatap tajam ke arah Vero, wanita itu tampak tenang, bahkan sedikit tersenyum, seolah tak terganggu oleh hujan kata-kata yang dilemparkan Azka."Vero, aku tidak habis pikir! Kamu tahu Excel kehilangan ingatannya, tapi kamu malah memanfaatkan situasi itu untuk kepentingan pribadimu!" seru Azka, tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya.Mereka sudah tiba di rumah sejak siang tadi, dan Excel meminta Vero untuk menemaninya. Azka dan Oma Mentari sudah mengingatkan Excel kalau semua sudah berbeda, Vero tidak layak untuknya namun sepertinya ingatan Excel tidak bisa dibantah."Om, kamu berbicara seolah aku adalah penjahat di sini. Semua orang berhak mendapat kesempatan kedua, termasuk aku," balas Vero.Azka melangkah maju, menunjuk Vero dengan jari telunjuknya. "Kesempatan kedua untuk apa? Untuk menghancurkan hidup Excel lagi? Dia bahkan tidak tahu
Ceklek...Pintu terbuka perlahan, dan Lia yang berdiri di belakang Heri langsung terdiam. Sosok yang berdiri di depan pintu membuatnya tertegun."Nur?" seru Lia dengan suara bergetar, antara lega dan kaget.Nur berdiri di sana dengan tubuh menggigil, wajah sembab, dan pakaian asing yang tampak jauh dari kebiasaannya. Baju yang ia kenakan tidak bermerk, jelas bukan miliknya, dan rambutnya tampak berantakan."Maaf, Mbak Lia... Mas Heri..." suara Nur terdengar pelan, hampir seperti bisikan.Lia, yang semula berniat meluapkan emosinya, hanya bisa menatap adiknya dengan campuran rasa lega dan iba. Ia mendekat, lalu meraih tubuh Nur untuk di peluk dan tanpa sadar air matanya menetes."Nur, ke mana saja kamu? Kami panik nyariinn kamu?" ujar Lia, suaranya gemetar. Namun, nada marah yang semula ada dalam pikirannya lenyap begitu melihat kondisi Nur.Nur menunduk penuh rasa bersalah. "Maafin aku, Mbak, udah buat kalian kawatir."Heri, yang berdiri di samping Lia, segera mengusap bahu Nur dan me
Karena terlalu lapar Sera segera mengisi perutnya dan sebungkus nasi kucing dan meminum air putih sebanyak mungkin agar perutnya kenyang. Orang tuanya yang hanya buruh petani tetapi bertekad anaknya menjadi dokter membuat Sera tidak berdiam diri, ia berkuliah sambil kerja di kafe."Nur, kamu sebenarnya ada masalah apa? Coba kamu cerita sama aku, apa kamu bertengkar dengan mbakmu?" tanya Sera pelan. Setahu Sera Nur tinggal bersama sang kakak, ia sama sekali tak tahu bila Nur sudah menikah.Nur sama sekali tak menggubris pertanyaan temannya meski sudah berulang kali, ia tetap menangis dan meratapi kekecewaannya."Ya sudah kalau kamu belum mau cerita, tapi aku akan siap menjadi pendengarmu selama kamu membutuhkan ku. Sekarang kita istirahat ya, ini udah jam satu malam," ujar Sera. Setelah itu ia memilih memejamkan mata karena fisiknya terlalu lelah dan besok harus kuliah lagi.Kembali pada pagi ini, Sera sudah siap untuk berangkat