Aira bergegas mempersiapkan diri, hatinya penuh kekhawatiran dan keraguan. Suaminya, Steven, telah menghabiskan semalam di restoran, meninggalkan Aira dengan rasa cemas dan pertanyaan yang belum terjawab. Michael, mantan kekasihnya, menciptakan kekacauan dalam hidup Aira dengan mengklaim bahwa mereka masih memiliki hubungan. Meskipun Aira tahu itu tidak benar, namun dirinya harus menjelaskan semuanya kepada Steven.Dengan hati yang berat, Aira memilih gaun biru tua yang menjadi favorit Steven. Sambil memeriksa dirinya di cermin, dia mencoba menyembunyikan kecemasan yang melingkupi dirinya. "Semoga Steven dapat memahami," gumamnya sambil menyusun rambutnya dalam keadaan gugup.Aira melangkah dengan cepat keluar dari apartemennya, langkahnya penuh keteguhan meski hatinya terasa berat. Udara pagi yang sejuk menyambutnya, dan cahaya matahari mulai menari di langit. Dia menuju mobilnya yang terparkir rapi di depan gedung apartemen. Mengambil kunci dari tasnya, Aira membuka pintu mobil dan
"Aira …" Steven hanya bisa berteriak, berharap istrinya tidak meninggalkannya begitu saja, namun percuma saja mobil Michael sudah berlalu dari hadapannya."Euugh! Sial!" umpat Steven kesal, sambil merapikan kemejanya yang sempat dikancingkan saat mengejar Aira. Ia merasakan kekecewaan dan penyesalan yang begitu mendalam, sementara Santi berdiri di sampingnya, mencoba mencari kata-kata untuk mengatasi situasi sulit ini.Sementara itu, di dalam mobil Michael, Aira duduk dengan wajah yang penuh ketegangan. Michael merasa sedih melihat bagaimana kejadian tersebut mempengaruhi mereka semua. "Apa kamu baik-baik saja?" tanya Michael dengan simpati.Aira menggelengkan kepala. "Aku hanya butuh waktu untuk merenung. Semuanya terasa begitu rumit."Michael mengangguk paham. "Jika kau butuh seseorang untuk berbicara, aku di sini."Sementara itu, di parkiran, Steven dan Santi masih terdiam. "Aku harus bicara dengan Aira. Aku harus menjelaskan semuanya," ucap Steven dengan tegas.Santi mengangguk. "
Hari yang cerah memancarkan sinar hangat saat Michael dan Aira selesai sarapan pagi. Michael bersiap untuk mengantar Aira pulang, tetapi setelah setengah perjalanan, Aira menyuruh Michael untuk pergi ke sekolah anaknya, Veline. "Aku mau menjemput Veline saja, bisakah kamu putar arah?" pinta Aira.Michael yang mendengar itu terkejut. Apakah dia tak salah dengar? Apa Aira akan mempertemukannya dengan Veline? Pikir Michael dalam kebingungannya."Kamu serius?" tanya Michael."Aku serius," ucap Aira sambil menganggukan kepalanya. Akhirnya, Michael pun setuju dan memutar arah mobilnya untuk menuju sekolah Veline. Dan suasana di dalam mobil terasa canggung. Aira memutuskan untuk memberi penjelasan pada Michael."Michael, aku rasa saatnya Veline bertemu denganmu. Biarkan dia mengira kamu sebagai temanku saja," kata Aira dengan suara pelan.Michael mengangguk, mencoba memahami situasi yang semakin rumit ini. "Aku mengerti, Aira. Tapi bagaimana dengan Steven? Apakah dia akan setuju?"Aira menar
Studio pemotretan itu bergetar dengan aktivitas yang sibuk. Cahaya sorotan memperlihatkan kemegahan setiap sudut ruangan, dan fotografer serta kru lainnya sibuk menjalankan tugas mereka. Aira, seorang model yang tengah naik daun, berdiri di tengah studio dengan penuh kepercayaan diri, memancarkan pesona yang selalu berhasil menangkap perhatian kamera.Setelah pemotretan selesai, Aira mengenakan gaun yang elegan dan meninggalkan set pemotretan menuju ruang tunggu. Pikirannya beralih pada Emily, pemilik agensi tempatnya bekerja. Aira memutuskan untuk menemui Emily untuk membahas proyek-proyek mendatang dan sekaligus memberikan kesan positif dari hasil pemotretan hari ini.Namun, ketika Aira sudah berada di depan pintu ruangan Emily, ia mendengar suara familiar yang menghebohkan suasana hatinya. Suara tertawa dan percakapan yang tampaknya sangat akrab mengisi ruangan. Aira mendengar nama Emily dipanggil dengan sebutan yang sangat tidak biasa: 'Mama.'Langkah-langkah Aira melambat, dan di
Sebuah mobil Tesla berwarna solid black mendarat di depan sebuah perusahaan model berkelas. Steven memandangi istrinya, Aira, yang masih terdiam di sampingnya dengan ekspresi yang penuh beban pikiran. Ia merasa tidak tahu harus berbuat apa untuk meyakinkan Aira tentang pekerjaannya dan merestuinya pada pilihan yang terbaik.Mereka berdua memasuki lobi perusahaan model tersebut. Aira, seorang model sukses yang telah mencapai banyak pencapaian, namun kini dihantui oleh rasa kekecewaan dan keraguan. Steven menyadari bahwa tugasnya bukan hanya sebagai suami, tetapi juga sebagai pendengar yang setia."Dengar, Sayang," kata Steven dengan lembut ketika mereka berdua menuju ruang tunggu agensi. "Aku tahu ini sulit untukmu. Tapi bisakah kita bicarakan lebih lanjut sebelum kamu membuat keputusan yang besar ini?"Aira menoleh padanya dengan tatapan yang menggambarkan kesedihan. "Steven, aku merasa semua yang telah kubangun selama ini hanya menjadi puing-puing. Aku tidak ingin hidup dalam bayang-
Steven menatap Aira dengan ekspresi penuh kekhawatiran. "Aira, itu tidak benar. Aku tidak tahu apa yang dia bicarakan."Aira terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Michael. "Apa maksudmu, Michael? Apa yang dia sembunyikan?"Michael tersenyum sinis. "Steven adalah ayah dari Veline, bukan aku.""Apa?" Aira terdiam, tak percaya dengan apa yang didengarnya."Iya, Aira, Steven adalah ayahnya."Deg!Aira merasa dunianya runtuh. Semua perasaan marah dan kecewa kini bercampur aduk dalam hatinya. "Tidak mungkin. Steven, itu tidak mungkin, bukan?" Aira menatap suaminya, mencari kepastian.Steven terlihat terkejut dan cemas. "Aira, ini tidak seperti yang kamu kira. Aku … aku tidak pernah bermaksud menyakiti kamu.""Jadi, selama ini kamu berbohong kepadaku?" Sakit yang Aira rasakan begitu dalam, ia tidak tahu mengapa semua orang menyembunyikan kebenaran darinya, tidak suaminya, maupun mantan kekasihnya.Aira menghadap Michael. "Aku tidak tahu apa yang kamu katakan itu benar atau tidak, karen
Ketika Michael hendak melepas pakainya, tiba-tiba ia mendengar ponselnya berdering. Ia cepat-cepat menghentikannya dan meraih ponsel yang ada di dalam saku celananya."Sayang, sebentar, aku angkat telepon dulu," ujar Michael.Dengan cepat, Michael menjawab panggilan tersebut. "Halo.""Tuan Michael, ayahmu masuk ke rumah sakit.""Apa? Apa yang terjadi dengan Papa?" tanya Michael khawatir."Pak Carlos tiba-tiba pingsan di ruang kerjanya.""Baiklah, aku ke sana sekarang."Setelah menutup panggilan telepon, Michael menyimpan ponselnya kembali ke dalam saku celananya. Dia melihat Aira yang masih berada di atas kasur dengan keadaan yang sudah berantakan."Sayang, aku harus pergi sekarang," ucap Michael."Tapi …""Aku tidak lama kok. Nanti aku kembali ke sini. Aku harus melihat keadaan Papa dulu di rumah sakit. Kamu tidak apa-apa kan aku tinggal sebentar?"Aira hanya mengangguk lemah. Michael mencium keningnya sejenak sebelum meninggalkan kamar.Setelah berkata demikian, Michael langsung ber
Aira mengusap kasar air mata yang jatuh di pipinya. "Apa kamu pikir aku ini ibu yang jahat, yang bisa membunuh anakku sendiri? Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu? Aku pikir kamu adalah seorang malaikat yang hadir dalam hidupku untuk memberikan warna yang indah, tapi aku salah. Aku salah menilai kamu, Steven."Steven menatap Aira dengan perasaan bersalah, menyesali semua perbuatannya karena telah merahasiakan rahasia besar kepada istrinya. Tangannya mencoba meraih tangan Aira, mencoba menggenggam erat dan meredakan emosi Aira yang sudah memuncak."Kamu pantas marah padaku, Aira, karena sudah merahasiakan kebenaran tentang Veline. Maafkan aku, meski aku tahu maafku tak pernah kamu terima, tapi hanya itu yang bisa aku katakan saat ini. Aku menyesal."Aira dengan kasar menghempaskan tangan Steven yang sedang menggenggamnya. "Aku tidak ingin lagi melihatmu, Steven!"Aira beranjak dari tempat duduknya, lalu melangkah keluar dari kamar. "Aira, kamu mau ke mana?" tanya Steven yang semakin
Beberapa bulan telah berlalu sejak pernikahan Michael dan Fika. Kini, Fika duduk di sofa ruang tamu, menunggu dengan gelisah kedatangan Michael dari kantor. Setiap kali mendengar suara mobil memasuki garasi, hatinya berdegup kencang. Namun, setelah beberapa saat, ketegangan itu berganti menjadi kekhawatiran saat Michael tak kunjung pulang.Fika menyalakan telepon genggamnya, mengecek pesan dari Michael, tetapi tak ada kabar. Waktu terus berlalu, membuat kecemasannya semakin dalam. Selama dua minggu terakhir, dia merasa jantungnya seperti akan copot dari dadanya. Sesuatu yang tak biasa terjadi pada tubuhnya, dan dia mulai curiga akan kehamilan.Fika bergegas menuju kamar mandi, mengambil tespek dari laci. Dengan gemetar, dia membuka bungkusnya dan mengikuti instruksi penggunaan dengan hati-hati. Ketika garis kedua mulai terbentuk, dia terkejut dan hampir tidak percaya. "Aku tidak salah lihat, kan? Ini garis dua, itu artinya aku hamil," gumam Fika, suaranya penuh campuran antara kekaguma
Hari pernikahan Michael dan Fika tiba, dan suasana penuh kebahagiaan menyelimuti rumah mereka. Keluarga dan teman-teman terdekat berkumpul untuk merayakan momen istimewa ini. Taman mereka dihiasi dengan indah, dengan bunga-bunga yang warna-warni menghiasi setiap sudut, menciptakan atmosfer yang mempesona.“Aku begitu deg-degan,” gumam Fika sembari menatap tubuhnya di dalam cermin. Wanita yang sudah mengenakan kebaya berwarna putih itu begitu cantik, bahkan Aira sendiri begitu pangling melihat sahabatnya itu.“Kamu cantik sekali,” puji Aira sambil menyentuh bahu Fika.“Terima kasih, Aira. Oh iya, Santi sama Nita sudah datang belum, ya?”“Sepertinya mereka masih di jalan. Para tamu juga sudah hadir. Apa kamu mau keluar sekarang?”Fika mengangguk. “Boleh.”***Para tamu mulai berdatangan, masing-masing membawa senyuman ceria dan ucapan selamat untuk pasangan pengantin baru. Suasana penuh kehangatan dan kebersamaan terasa begitu kental di udara.Keluarga Michael dan Fika sibuk melayani par
Di ruang tamu rumah orangtuanya, Michael duduk di antara kedua orang tuanya, Carlos dan Emily, sementara Fika duduk di seberang mereka. Suasana terasa tegang, seolah-olah ada sesuatu yang besar akan diungkapkan oleh Michael."Michael, ada apa sebenarnya?" tanya Emily dengan nada cemas. Dia melihat ekspresi serius di wajah anaknya, membuatnya khawatir.Michael menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mulai berbicara. "Ma, Pa, aku punya sesuatu yang ingin aku sampaikan pada kalian."Carlos dan Emily bertukar pandang, mereka bisa merasakan bahwa ini adalah hal yang penting. Mereka menunggu dengan cemas sambil memperhatikan Michael.“Apa yang ingin kamu sampaikan, Michael?” tanya Carlos."Aku ... aku dan Fika telah memutuskan untuk menikah," ujar Michael dengan tegas.Wajah Carlos dan Emily langsung berubah kaget. Mereka tidak bisa menyembunyikan kejutan mereka atas pengumuman tersebut. "Tunggu sebentar, Michael. Apakah kamu serius?" tanya Carlos dengan suara gemetar.Michael menganggu
Steven segera dilarikan ke rumah sakit setelah insiden tragis tersebut. Paramedis dengan cepat membawa tubuhnya yang terluka ke ambulans, sementara Michael dan Aira duduk di bangku belakang, penuh kecemasan dan ketakutan akan nasib Steven. Di perjalanan menuju rumah sakit, Michael mencoba menenangkan Aira, tetapi kecemasan mereka berdua tidak bisa disembunyikan.“Tenanglah, Aira. Steven pasti akan baik-baik saja.”“Aku hanya takut dia kenapa-napa.”Sesampainya di rumah sakit, Steven langsung diterima oleh tim medis yang siap sedia. Dokter segera memeriksa luka tembakannya, memastikan bahwa kondisi Steven stabil sebelum dibawa ke ruang operasi. Operasi dilakukan dengan cepat untuk mengeluarkan peluru yang masuk ke tubuhnya dan memperbaiki kerusakan yang diakibatkannya.Sementara itu, Aira duduk gelisah di ruang tunggu, menunggu dengan hati yang penuh kekhawatiran. Setiap detik terasa seperti jam bagi Aira, dan kegelisahannya semakin bertambah ketika tidak ada kabar tentang kondisi suam
Steven, Michael, dan Fika akhirnya tiba di tempat yang diduga menjadi tempat penculikan Veline dan Aira. Michael dengan cepat menyuruh Fika untuk tetap berada di dalam mobil, menyadari bahwa situasi di luar sangatlah berbahaya.Namun, Fika bersikeras ingin ikut keluar dari mobil untuk ikut membantu. "Tapi, tapi, aku juga bisa membantu!" protesnya.Michael menatapnya tajam. "Tidak, kamu tetap di sini," ujarnya dengan nada yang tidak bisa ditawar.Steven, yang duduk di sebelah Fika, menambahkan, "Apa yang dikatakan Michael benar. Kamu tetap di dalam mobil saja karena di luar begitu berbahaya."Fika merasa sedikit kecewa, tetapi dia tahu bahwa mereka berdua hanya ingin melindunginya. Akhirnya, dia mengangguk dengan berat hati. "Baiklah," ucapnya pelan.Steven dan Michael lalu keluar dari mobil dengan hati-hati, siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang mungkin terjadi di dalam ruangan tersebut. Mereka berdua saling bertukar pandang, menguatkan satu sama lain dengan keberanian mereka.
Steven merasa seperti jantungnya berdegup kencang di dalam dadanya ketika dia menyadari Aira pergi begitu saja, setelah menerima panggilan telepon dari Andre. Panggilan itu memberitahunya bahwa Veline, anak mereka, dalam bahaya. Steven tidak bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Andre, akan melakukan sesuatu yang sekejam ini.Dengan gemetar, Steven segera menyalakan mesin mobilnya lagi. Hati dan pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran yang tak terbayangkan. Dia mulai menekan pedal gas dengan keras, dan segera melaju mengikuti taksi yang sudah membawa Aira pergi.“Aku harus mengikuti Aira dari belakang,” gumam Steven, sambil terus fokus mengendarai mobilnya.Di tengah perjalanan, mobil Steven tiba-tiba mogok. Rasa frustrasi dan putus asa menghantamnya, seperti gelombang yang menghantam batu karang. “Sial, kenapa jadi mogok?” Dia mengetuk kemudi dengan marah, mencoba untuk menghidupkan mobilnya kembali, tetapi tidak ada reaksi. Dalam kepanika
Steven yang mendengar kabar itu langsung merasa khawatir. "Apa? Veline hilang?""I-iya, Steven," ucap Aira gugup."Kenapa bisa hilang, Aira?" Terdengar nada suara Steven yang cemas di seberang sana."A-aku yang ceroboh, aku meninggalkannya sendirian saat menerima telepon." Aira berucap seraya berderai air mata.Steven mengusap kasar wajahnya, ia tak habis pikir kepada Aira, kenapa bisa ia meninggalkan Veline sendirian seperti itu.Steven menghela napas gusar. "Ya sudah, aku akan segera pulang sekarang. Tenanglah, kita pasti menemukannya."Setelah sambungan teleponnya terputus, Aryo menghampiri Steven yang terlihat begitu cemas. "Steven, ada apa?" tanyanya."Veline hilang, Aryo. Aku harus mencarinya sekarang juga.""Apa? Kenapa bisa Veline hilang?" Aryo terkesiap, ketika lelaki itu mendengar bila Veline telah hilang."Aira meninggalkannya sendirian ketika ada yang menelponnya, sudahlah, aku harus pergi sekarang." Steven langsung bergegas pergi dari hadapan Aryo."Steven, aku pasti akan
Mata Aira terbuka secara perlahan saat merasakan sinar matahari pagi yang menghangatkan tubuhnya. Meskipun matanya terasa sangat mengantuk, tetapi ia segera bangkit dari dunia mimpi. Wanita itu menyibak selimut dan dengan langkah hati-hati, turun dari tempat tidur. Steven sudah tidak ada di sampingnya, mungkin suaminya telah lebih dulu bangun.Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, ia memutuskan untuk menuju kamar putrinya. Seulas senyum terukir di wajah Aira, ketika ia melihat Veline yang sudah bangun. "Sayang, kamu sudah bangun?" Aira segera melangkah menghampiri putrinya, Veline yang masih terduduk di tepi ranjang."Mama, aku sudah bangun. Apa hari ini kita akan pergi main, Ma?" tanya Veline, ketika ia masih ingat bila ibunya sempat mengajaknya untuk jalan-jalan.Aira menyadari bahwa Veline perlu jalan-jalan karena sudah lama, ia tak mengajak putrinya itu jalan bersama. "Uh, ternyata putri mama ini sudah tak sabar untuk jalan-jalan, ya? Apa kamu sudah siap memangnya?" Aira tersen
Di rumah Emily, suasana makan malam berlangsung hangat. Meja yang dikelilingi oleh semua anggota keluarga dan tetangga terdekatnya, mengundang tawa dan canda. Emily, yang menjadi tuan rumah, dengan cermat menyajikan hidangan-hidangan lezat yang telah dipersiapkan dengan penuh cinta.Setelah makan malam selesai, Fika, anak tetangga Emily, dengan ramah menawarkan bantuan untuk membersihkan piring-piring kotor. "Tante, biar Fika yang bantu membersihkan beberapa piring yang kotor ke dapur," ujar Fika sambil tersenyum.Emily mengangguk, bersyukur atas tawaran itu, tetapi kemudian menolak dengan lembut. "Terima kasih, Fika, tapi tidak perlu. Kami sudah memiliki pembantu untuk membersihkan semuanya."Namun, Fika tetap bersikeras. "Tidak apa-apa, Tante. Saya ingin membantu." Dengan tegas, ia mulai mengumpulkan beberapa piring kotor dan membawanya ke dapur.Tiba-tiba, Fika terpeleset. Michael, yang berada di dekatnya, dengan cepat menjangkau untuk menahan tubuhnya agar tidak jatuh. Mata mereka