Ketika Michael hendak melepas pakainya, tiba-tiba ia mendengar ponselnya berdering. Ia cepat-cepat menghentikannya dan meraih ponsel yang ada di dalam saku celananya."Sayang, sebentar, aku angkat telepon dulu," ujar Michael.Dengan cepat, Michael menjawab panggilan tersebut. "Halo.""Tuan Michael, ayahmu masuk ke rumah sakit.""Apa? Apa yang terjadi dengan Papa?" tanya Michael khawatir."Pak Carlos tiba-tiba pingsan di ruang kerjanya.""Baiklah, aku ke sana sekarang."Setelah menutup panggilan telepon, Michael menyimpan ponselnya kembali ke dalam saku celananya. Dia melihat Aira yang masih berada di atas kasur dengan keadaan yang sudah berantakan."Sayang, aku harus pergi sekarang," ucap Michael."Tapi …""Aku tidak lama kok. Nanti aku kembali ke sini. Aku harus melihat keadaan Papa dulu di rumah sakit. Kamu tidak apa-apa kan aku tinggal sebentar?"Aira hanya mengangguk lemah. Michael mencium keningnya sejenak sebelum meninggalkan kamar.Setelah berkata demikian, Michael langsung ber
Aira mengusap kasar air mata yang jatuh di pipinya. "Apa kamu pikir aku ini ibu yang jahat, yang bisa membunuh anakku sendiri? Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu? Aku pikir kamu adalah seorang malaikat yang hadir dalam hidupku untuk memberikan warna yang indah, tapi aku salah. Aku salah menilai kamu, Steven."Steven menatap Aira dengan perasaan bersalah, menyesali semua perbuatannya karena telah merahasiakan rahasia besar kepada istrinya. Tangannya mencoba meraih tangan Aira, mencoba menggenggam erat dan meredakan emosi Aira yang sudah memuncak."Kamu pantas marah padaku, Aira, karena sudah merahasiakan kebenaran tentang Veline. Maafkan aku, meski aku tahu maafku tak pernah kamu terima, tapi hanya itu yang bisa aku katakan saat ini. Aku menyesal."Aira dengan kasar menghempaskan tangan Steven yang sedang menggenggamnya. "Aku tidak ingin lagi melihatmu, Steven!"Aira beranjak dari tempat duduknya, lalu melangkah keluar dari kamar. "Aira, kamu mau ke mana?" tanya Steven yang semakin
Steven mengelus pipi Aira dengan lembut. Namun, tiba-tiba ia mendengar Aira mengigau."Michael," gumam Aira lirih.Satu kata yang keluar dari mulut istrinya membuat hati Steven teramat sakit. Rasanya seperti terjatuh ke dalam jurang yang dalam dan gelap, di mana semua rasa sakit dan kekecewaan berkumpul menjadi satu."Aira, kenapa kamu masih menyebut namanya? Apa selama ini kamu hanya mencintai Michael? Apa aku sama sekali tidak ada di hatimu?"Steven tersenyum getir, merasa dirinya hanya sebuah pelampiasan bagi istrinya. "Apa aku ini terlalu bodoh? Aku bahkan sudah mengira kamu mencintaiku, ternyata aku hanya pelarianmu saja."Steven mengusap kedua bola matanya yang sudah memanas, ia kemudian bangkit dari tepi ranjang meninggalkan Aira sendiri di kamar. Akan tetapi, ketika ia hendak menyentuh gagang pintu, ia kembali mendengar Aira mengigau."Steven …."Sejenak, Steven langsung menoleh ke arah Aira kembali ketika ia mendengar Aira memanggil namanya."Aku mencintaimu .…"Ketika mendeng
Emily dan Widya memutuskan untuk makan siang bersama di restoran yang dipilih Emily. Mereka berdua duduk santai dan menikmati hidangan, percakapan mereka pun dimulai."Bagaimana kabarmu, Widya? Sudah lama sekali kita tidak bertemu," tanya Emily dengan ramah.Widya tersenyum. "Iya, Bu Emily. Saya baik-baik saja. Bagaimana dengan Bu Emily sendiri?"Emily menghela napas. "Aku baik, Widya. Tentang Steven, aku masih mencari tahu di mana keberadaannya. Sudah 26 tahun kami tidak bertemu, dan rindu ini semakin terasa."Widya melihat ekspresi kesedihan di wajah Emily. "Saya sangat mengerti, Bu. Tentu saja, Bu Emily masih merindukan Steven. Bu, saya ingin meminta maaf sama Ibu," tutur Widya.Emily merasa heran dengan perkataan Widya. "Minta maaf, untuk apa?""Sebenarnya, selama ini, Steven bersama saya."Deg!Jantung Emily terasa diremas kencang ketika mendengar perkataan Widya."Apa? Kenapa selama ini kamu membohongiku, Widya? Kamu bilang waktu itu Steven hilang entah ke mana! Jadi selama ini
Anwar mengangguk pelan. "Sudah setahun ini, Aira. Dokter menyebutkan kondisi ini memburuk setiap harinya."Aira merasa dunianya runtuh. Setiap kenangan manis bersama ayahnya melintas dalam benaknya. Ia mencoba menahan air matanya yang mulai menetes."Papa, maafkan Aira. Maafkan Aira yang meninggalkan Papa sendiri. Aira tidak tahu bahwa Papa …"Anwar menyentuh lembut pipi Aira. "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Nak. Papa tahu kamu selalu berjuang dengan keras. Ini takdir, dan kita harus menerimanya."Sari mendekat ke arah Aira, mengelus bahu Aira, ia mencoba menahan tangisnya. "Anakku, kita harus bersama-sama menghadapi semua ini.""Aira sangat menyesal, Ma. Aira ingin bisa kembali ke waktu dulu dan menghabiskan lebih banyak waktu bersama Papa."Anwar tersenyum lemah. "Waktu yang kita miliki bersama sudah sangat berharga, Aira. Jangan menyesal. Papa selalu bangga denganmu."Mereka berdua terdiam sejenak, membiarkan suasana haru mengisi ruangan. Aira mencoba menguatkan dirinya untuk menj
Mereka berdua duduk di teras rumah makan, tempat yang nyaman untuk berbincang. Steven masih mencerna informasi yang baru saja dia terima. "Aku tidak tahu harus berkata apa, Ma. Ini begitu mengejutkan."Emily meletakkan tangannya perlahan di pundak Steven. "Mama paham ini sulit untuk diterima, Sayang. Tapi setidaknya, kita sekarang sudah bersama lagi."Steven tersenyum tipis. "Bagaimana mungkin seorang ayah bisa melakukan itu pada anaknya? Aku bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya tumbuh tanpa kehadiran seorang ayah."Emily menatapnya penuh pengertian. "Sudah banyak air yang mengalir di bawah jembatan, Steven. Yang penting sekarang adalah kita punya kesempatan untuk membangun kembali hubungan kita.""Aku juga tak bisa mempercayai Michael sebagai adik kandungku. Bagaimana ini bisa terjadi?"Emily menjelaskan dengan penuh kesabaran. "Meskipun kamu dan Michael memiliki konflik, tapi kalian tidak boleh melupakan bahwa kalian adalah saudara."Steven mengangguk pelan, mencoba menc
Aira berada di sudut ruangan, setelah mendengar percakapan yang terjadi di antara Emily dan Steven. Rasa kecewa dan pahit menyelimuti hatinya saat mengetahui bahwa keluarga yang selama ini di idamkannya ternyata hanyalah ilusi. Aira merasa dikecewakan oleh tiga orang yang seharusnya paling dekat dengannya.Emily dan Steven, ibu dan anak yang selama ini ada dalam kehidupan Aira, tak lain adalah bagian dari masa lalu yang semakin terungkap dengan begitu sangat pahit. Aira merasa seperti terjatuh ke dalam jurang yang gelap, tanpa tahu harus berbuat apa.Pikiran-pikiran memenuhi benaknya. Steven, suaminya sendiri, telah membohonginya sejak awal pernikahan. Suami yang dicintai selama lima tahun, ternyata menyimpan begitu banyak rahasia yang tak pernah Aira duga.Aira tidak bisa mengendalikan emosinya. Kekecewaan, amarah, dan kesedihan bercampur aduk dalam dirinya. Aira melangkah pergi dari ruangan itu, mencoba meredam emosinya, tapi setiap langkah yang diambilnya terasa begitu berat.Di da
Setelah berada di depan kediaman Adiwijaya, Aira dan Veline segera memasuki rumah tersebut dengan membawa koper mereka. Sari melihat dengan haru anak kecil yang ada dalam genggaman Aira. Dengan penuh kebahagiaan, Sari bertanya kepada Aira, "Apakah ini cucuku?""Iya, Ma, ini cucu mama!" kata Aira sambil memperkenalkan Veline.Sari langsung memeluk Veline dengan hangat, rasa bahagia dan harunya tak terbendung. Aira tersenyum melihat kebahagiaan ibunya dan melihat Veline berinteraksi dengan keluarga di rumah Adiwijaya."Terima kasih, Aira, sudah membawa Veline ke sini," ujar Sari penuh rasa syukur."Iya, Ma, Aira membawa Veline ke sini karena Aira tahu pasti kalian juga ingin bertemu dengannya," kata Aira sambil tersenyum bahagia.Sari juga turut tersenyum. "Vel, jangan malu-malu, ya. Ini rumahmu juga sekarang."Veline mengangguk antusias. "Iya, Oma! Veline suka rumah ini!"Mereka pun beralih masuk ke dalam rumah. Anwar yang tengah duduk di kursi roda yang melihat keceriaan mereka bertig
Beberapa bulan telah berlalu sejak pernikahan Michael dan Fika. Kini, Fika duduk di sofa ruang tamu, menunggu dengan gelisah kedatangan Michael dari kantor. Setiap kali mendengar suara mobil memasuki garasi, hatinya berdegup kencang. Namun, setelah beberapa saat, ketegangan itu berganti menjadi kekhawatiran saat Michael tak kunjung pulang.Fika menyalakan telepon genggamnya, mengecek pesan dari Michael, tetapi tak ada kabar. Waktu terus berlalu, membuat kecemasannya semakin dalam. Selama dua minggu terakhir, dia merasa jantungnya seperti akan copot dari dadanya. Sesuatu yang tak biasa terjadi pada tubuhnya, dan dia mulai curiga akan kehamilan.Fika bergegas menuju kamar mandi, mengambil tespek dari laci. Dengan gemetar, dia membuka bungkusnya dan mengikuti instruksi penggunaan dengan hati-hati. Ketika garis kedua mulai terbentuk, dia terkejut dan hampir tidak percaya. "Aku tidak salah lihat, kan? Ini garis dua, itu artinya aku hamil," gumam Fika, suaranya penuh campuran antara kekaguma
Hari pernikahan Michael dan Fika tiba, dan suasana penuh kebahagiaan menyelimuti rumah mereka. Keluarga dan teman-teman terdekat berkumpul untuk merayakan momen istimewa ini. Taman mereka dihiasi dengan indah, dengan bunga-bunga yang warna-warni menghiasi setiap sudut, menciptakan atmosfer yang mempesona.“Aku begitu deg-degan,” gumam Fika sembari menatap tubuhnya di dalam cermin. Wanita yang sudah mengenakan kebaya berwarna putih itu begitu cantik, bahkan Aira sendiri begitu pangling melihat sahabatnya itu.“Kamu cantik sekali,” puji Aira sambil menyentuh bahu Fika.“Terima kasih, Aira. Oh iya, Santi sama Nita sudah datang belum, ya?”“Sepertinya mereka masih di jalan. Para tamu juga sudah hadir. Apa kamu mau keluar sekarang?”Fika mengangguk. “Boleh.”***Para tamu mulai berdatangan, masing-masing membawa senyuman ceria dan ucapan selamat untuk pasangan pengantin baru. Suasana penuh kehangatan dan kebersamaan terasa begitu kental di udara.Keluarga Michael dan Fika sibuk melayani par
Di ruang tamu rumah orangtuanya, Michael duduk di antara kedua orang tuanya, Carlos dan Emily, sementara Fika duduk di seberang mereka. Suasana terasa tegang, seolah-olah ada sesuatu yang besar akan diungkapkan oleh Michael."Michael, ada apa sebenarnya?" tanya Emily dengan nada cemas. Dia melihat ekspresi serius di wajah anaknya, membuatnya khawatir.Michael menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mulai berbicara. "Ma, Pa, aku punya sesuatu yang ingin aku sampaikan pada kalian."Carlos dan Emily bertukar pandang, mereka bisa merasakan bahwa ini adalah hal yang penting. Mereka menunggu dengan cemas sambil memperhatikan Michael.“Apa yang ingin kamu sampaikan, Michael?” tanya Carlos."Aku ... aku dan Fika telah memutuskan untuk menikah," ujar Michael dengan tegas.Wajah Carlos dan Emily langsung berubah kaget. Mereka tidak bisa menyembunyikan kejutan mereka atas pengumuman tersebut. "Tunggu sebentar, Michael. Apakah kamu serius?" tanya Carlos dengan suara gemetar.Michael menganggu
Steven segera dilarikan ke rumah sakit setelah insiden tragis tersebut. Paramedis dengan cepat membawa tubuhnya yang terluka ke ambulans, sementara Michael dan Aira duduk di bangku belakang, penuh kecemasan dan ketakutan akan nasib Steven. Di perjalanan menuju rumah sakit, Michael mencoba menenangkan Aira, tetapi kecemasan mereka berdua tidak bisa disembunyikan.“Tenanglah, Aira. Steven pasti akan baik-baik saja.”“Aku hanya takut dia kenapa-napa.”Sesampainya di rumah sakit, Steven langsung diterima oleh tim medis yang siap sedia. Dokter segera memeriksa luka tembakannya, memastikan bahwa kondisi Steven stabil sebelum dibawa ke ruang operasi. Operasi dilakukan dengan cepat untuk mengeluarkan peluru yang masuk ke tubuhnya dan memperbaiki kerusakan yang diakibatkannya.Sementara itu, Aira duduk gelisah di ruang tunggu, menunggu dengan hati yang penuh kekhawatiran. Setiap detik terasa seperti jam bagi Aira, dan kegelisahannya semakin bertambah ketika tidak ada kabar tentang kondisi suam
Steven, Michael, dan Fika akhirnya tiba di tempat yang diduga menjadi tempat penculikan Veline dan Aira. Michael dengan cepat menyuruh Fika untuk tetap berada di dalam mobil, menyadari bahwa situasi di luar sangatlah berbahaya.Namun, Fika bersikeras ingin ikut keluar dari mobil untuk ikut membantu. "Tapi, tapi, aku juga bisa membantu!" protesnya.Michael menatapnya tajam. "Tidak, kamu tetap di sini," ujarnya dengan nada yang tidak bisa ditawar.Steven, yang duduk di sebelah Fika, menambahkan, "Apa yang dikatakan Michael benar. Kamu tetap di dalam mobil saja karena di luar begitu berbahaya."Fika merasa sedikit kecewa, tetapi dia tahu bahwa mereka berdua hanya ingin melindunginya. Akhirnya, dia mengangguk dengan berat hati. "Baiklah," ucapnya pelan.Steven dan Michael lalu keluar dari mobil dengan hati-hati, siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang mungkin terjadi di dalam ruangan tersebut. Mereka berdua saling bertukar pandang, menguatkan satu sama lain dengan keberanian mereka.
Steven merasa seperti jantungnya berdegup kencang di dalam dadanya ketika dia menyadari Aira pergi begitu saja, setelah menerima panggilan telepon dari Andre. Panggilan itu memberitahunya bahwa Veline, anak mereka, dalam bahaya. Steven tidak bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Andre, akan melakukan sesuatu yang sekejam ini.Dengan gemetar, Steven segera menyalakan mesin mobilnya lagi. Hati dan pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran yang tak terbayangkan. Dia mulai menekan pedal gas dengan keras, dan segera melaju mengikuti taksi yang sudah membawa Aira pergi.“Aku harus mengikuti Aira dari belakang,” gumam Steven, sambil terus fokus mengendarai mobilnya.Di tengah perjalanan, mobil Steven tiba-tiba mogok. Rasa frustrasi dan putus asa menghantamnya, seperti gelombang yang menghantam batu karang. “Sial, kenapa jadi mogok?” Dia mengetuk kemudi dengan marah, mencoba untuk menghidupkan mobilnya kembali, tetapi tidak ada reaksi. Dalam kepanika
Steven yang mendengar kabar itu langsung merasa khawatir. "Apa? Veline hilang?""I-iya, Steven," ucap Aira gugup."Kenapa bisa hilang, Aira?" Terdengar nada suara Steven yang cemas di seberang sana."A-aku yang ceroboh, aku meninggalkannya sendirian saat menerima telepon." Aira berucap seraya berderai air mata.Steven mengusap kasar wajahnya, ia tak habis pikir kepada Aira, kenapa bisa ia meninggalkan Veline sendirian seperti itu.Steven menghela napas gusar. "Ya sudah, aku akan segera pulang sekarang. Tenanglah, kita pasti menemukannya."Setelah sambungan teleponnya terputus, Aryo menghampiri Steven yang terlihat begitu cemas. "Steven, ada apa?" tanyanya."Veline hilang, Aryo. Aku harus mencarinya sekarang juga.""Apa? Kenapa bisa Veline hilang?" Aryo terkesiap, ketika lelaki itu mendengar bila Veline telah hilang."Aira meninggalkannya sendirian ketika ada yang menelponnya, sudahlah, aku harus pergi sekarang." Steven langsung bergegas pergi dari hadapan Aryo."Steven, aku pasti akan
Mata Aira terbuka secara perlahan saat merasakan sinar matahari pagi yang menghangatkan tubuhnya. Meskipun matanya terasa sangat mengantuk, tetapi ia segera bangkit dari dunia mimpi. Wanita itu menyibak selimut dan dengan langkah hati-hati, turun dari tempat tidur. Steven sudah tidak ada di sampingnya, mungkin suaminya telah lebih dulu bangun.Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, ia memutuskan untuk menuju kamar putrinya. Seulas senyum terukir di wajah Aira, ketika ia melihat Veline yang sudah bangun. "Sayang, kamu sudah bangun?" Aira segera melangkah menghampiri putrinya, Veline yang masih terduduk di tepi ranjang."Mama, aku sudah bangun. Apa hari ini kita akan pergi main, Ma?" tanya Veline, ketika ia masih ingat bila ibunya sempat mengajaknya untuk jalan-jalan.Aira menyadari bahwa Veline perlu jalan-jalan karena sudah lama, ia tak mengajak putrinya itu jalan bersama. "Uh, ternyata putri mama ini sudah tak sabar untuk jalan-jalan, ya? Apa kamu sudah siap memangnya?" Aira tersen
Di rumah Emily, suasana makan malam berlangsung hangat. Meja yang dikelilingi oleh semua anggota keluarga dan tetangga terdekatnya, mengundang tawa dan canda. Emily, yang menjadi tuan rumah, dengan cermat menyajikan hidangan-hidangan lezat yang telah dipersiapkan dengan penuh cinta.Setelah makan malam selesai, Fika, anak tetangga Emily, dengan ramah menawarkan bantuan untuk membersihkan piring-piring kotor. "Tante, biar Fika yang bantu membersihkan beberapa piring yang kotor ke dapur," ujar Fika sambil tersenyum.Emily mengangguk, bersyukur atas tawaran itu, tetapi kemudian menolak dengan lembut. "Terima kasih, Fika, tapi tidak perlu. Kami sudah memiliki pembantu untuk membersihkan semuanya."Namun, Fika tetap bersikeras. "Tidak apa-apa, Tante. Saya ingin membantu." Dengan tegas, ia mulai mengumpulkan beberapa piring kotor dan membawanya ke dapur.Tiba-tiba, Fika terpeleset. Michael, yang berada di dekatnya, dengan cepat menjangkau untuk menahan tubuhnya agar tidak jatuh. Mata mereka