Anwar mengangguk pelan. "Sudah setahun ini, Aira. Dokter menyebutkan kondisi ini memburuk setiap harinya."Aira merasa dunianya runtuh. Setiap kenangan manis bersama ayahnya melintas dalam benaknya. Ia mencoba menahan air matanya yang mulai menetes."Papa, maafkan Aira. Maafkan Aira yang meninggalkan Papa sendiri. Aira tidak tahu bahwa Papa …"Anwar menyentuh lembut pipi Aira. "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Nak. Papa tahu kamu selalu berjuang dengan keras. Ini takdir, dan kita harus menerimanya."Sari mendekat ke arah Aira, mengelus bahu Aira, ia mencoba menahan tangisnya. "Anakku, kita harus bersama-sama menghadapi semua ini.""Aira sangat menyesal, Ma. Aira ingin bisa kembali ke waktu dulu dan menghabiskan lebih banyak waktu bersama Papa."Anwar tersenyum lemah. "Waktu yang kita miliki bersama sudah sangat berharga, Aira. Jangan menyesal. Papa selalu bangga denganmu."Mereka berdua terdiam sejenak, membiarkan suasana haru mengisi ruangan. Aira mencoba menguatkan dirinya untuk menj
Mereka berdua duduk di teras rumah makan, tempat yang nyaman untuk berbincang. Steven masih mencerna informasi yang baru saja dia terima. "Aku tidak tahu harus berkata apa, Ma. Ini begitu mengejutkan."Emily meletakkan tangannya perlahan di pundak Steven. "Mama paham ini sulit untuk diterima, Sayang. Tapi setidaknya, kita sekarang sudah bersama lagi."Steven tersenyum tipis. "Bagaimana mungkin seorang ayah bisa melakukan itu pada anaknya? Aku bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya tumbuh tanpa kehadiran seorang ayah."Emily menatapnya penuh pengertian. "Sudah banyak air yang mengalir di bawah jembatan, Steven. Yang penting sekarang adalah kita punya kesempatan untuk membangun kembali hubungan kita.""Aku juga tak bisa mempercayai Michael sebagai adik kandungku. Bagaimana ini bisa terjadi?"Emily menjelaskan dengan penuh kesabaran. "Meskipun kamu dan Michael memiliki konflik, tapi kalian tidak boleh melupakan bahwa kalian adalah saudara."Steven mengangguk pelan, mencoba menc
Aira berada di sudut ruangan, setelah mendengar percakapan yang terjadi di antara Emily dan Steven. Rasa kecewa dan pahit menyelimuti hatinya saat mengetahui bahwa keluarga yang selama ini di idamkannya ternyata hanyalah ilusi. Aira merasa dikecewakan oleh tiga orang yang seharusnya paling dekat dengannya.Emily dan Steven, ibu dan anak yang selama ini ada dalam kehidupan Aira, tak lain adalah bagian dari masa lalu yang semakin terungkap dengan begitu sangat pahit. Aira merasa seperti terjatuh ke dalam jurang yang gelap, tanpa tahu harus berbuat apa.Pikiran-pikiran memenuhi benaknya. Steven, suaminya sendiri, telah membohonginya sejak awal pernikahan. Suami yang dicintai selama lima tahun, ternyata menyimpan begitu banyak rahasia yang tak pernah Aira duga.Aira tidak bisa mengendalikan emosinya. Kekecewaan, amarah, dan kesedihan bercampur aduk dalam dirinya. Aira melangkah pergi dari ruangan itu, mencoba meredam emosinya, tapi setiap langkah yang diambilnya terasa begitu berat.Di da
Setelah berada di depan kediaman Adiwijaya, Aira dan Veline segera memasuki rumah tersebut dengan membawa koper mereka. Sari melihat dengan haru anak kecil yang ada dalam genggaman Aira. Dengan penuh kebahagiaan, Sari bertanya kepada Aira, "Apakah ini cucuku?""Iya, Ma, ini cucu mama!" kata Aira sambil memperkenalkan Veline.Sari langsung memeluk Veline dengan hangat, rasa bahagia dan harunya tak terbendung. Aira tersenyum melihat kebahagiaan ibunya dan melihat Veline berinteraksi dengan keluarga di rumah Adiwijaya."Terima kasih, Aira, sudah membawa Veline ke sini," ujar Sari penuh rasa syukur."Iya, Ma, Aira membawa Veline ke sini karena Aira tahu pasti kalian juga ingin bertemu dengannya," kata Aira sambil tersenyum bahagia.Sari juga turut tersenyum. "Vel, jangan malu-malu, ya. Ini rumahmu juga sekarang."Veline mengangguk antusias. "Iya, Oma! Veline suka rumah ini!"Mereka pun beralih masuk ke dalam rumah. Anwar yang tengah duduk di kursi roda yang melihat keceriaan mereka bertig
Ruangan kerja Steven dipenuhi dengan udara yang tegang. Meskipun berada di tengah tumpukan pekerjaan, fokusnya terpecah oleh masalah rumit yang melibatkan Aira dan dirinya. Steven melirik layar komputernya, tetapi pikirannya melayang jauh ke dalam persoalan pribadinya.Aryo, sahabat karib Steven, memasuki ruangannya dengan wajah penuh keheranan melihat Steven yang tampak begitu terganggu. "Steven, ada apa sebenarnya? Aku melihat kau seperti orang yang kehilangan arah."Steven menghela napas berat sebelum akhirnya memutuskan untuk berbagi dengan Aryo. "Aryo, semuanya menjadi kacau belakangan ini. Aira sudah tahu bahwa Veline adalah anakku, dan yang lebih mengejutkan, aku dan Michael adalah saudara kandung."Aryo membulatkan mata, terkejut mendengar pengakuan tersebut. "Apa? Saudara kandung dengan Michael? Bagaimana bisa?"Steven pun menceritakan dengan detail bagaimana awalnya ia terpisah dengan orang tuanya, Emily, ketika kabur dari rumah membawa mereka yang masih kecil, Aryo hanya bi
Aira yang berada di kediaman Adiwijaya merasa tegang saat berkumpul bersama keluarganya. Suasana haru dan kekhawatiran terasa di udara. Aira memutuskan untuk membicarakan keputusannya untuk berpisah dengan Steven. Sari, ibunya, mencoba membujuk putrinya agar memikirkan kembali keputusannya."Mama tahu ini sulit, Nak. Tapi pikirkanlah lagi, Steven sudah minta maaf, apa kalian tidak ingin berbicara terlebih dulu untuk menyelesaikan semua ini?" ucap Sari sambil memegang tangan Aira.Aira menggeleng lemah. "Ma, selama lima tahun, Steven merahasiakan banyak hal. Aku butuh waktu untuk menemukan jati diriku yang sebenarnya."Dian, kakak Aira, juga mencoba membujuk Aira. "Aira, mungkin Steven memang punya alasan tersendiri. Jangan terlalu cepat mengambil keputusan."Air mata Aira berkelip, merasa sulit untuk memberikan penjelasan yang dapat menguatkan keputusannya. "Kak, ini bukan hanya soal alasan. Ini soal kepercayaan yang sudah hilang. Aku merasa harus menemukan diriku yang sejati, tanpa k
Ketika Aira hendak melihat Steven yang ingin menandatangani surat perceraian tersebut, tiba-tiba ia merasakan kepalanya yang begitu pusing. Aira menyentuh keningnya, tetapi tiba-tiba pandangannya buram, dan ia tergeletak di lantai tak sadarkan diri.Steven, yang saat itu berdiri di dekat meja, langsung bergerak cepat ke arah Aira yang pingsan. Ia merasakan detak jantungnya berpacu kencang, dan ketakutan membayangi pikirannya. Steven mencapai tubuh Aira dan meraih kepalanya dengan cemas."Aira ..."Steven dengan hati-hati menaruh kepala Aira di pangkuannya, berusaha memanggil istrinya untuk bangun. "Aira, bangunlah, aku mohon. Apa yang terjadi denganmu?" Steven memegang wajah Aira dengan lembut, berharap untuk melihat tanda-tanda kesadaran di matanya.Namun, Aira tetap tak merespon. Raut wajahnya pucat, dan Steven bisa merasakan kecemasan yang semakin menggelayuti dirinya. Ia merapalkan kata-kata penenang, sambil sesekali mencoba mengusap wajah Aira."Tenang, Aira. Semuanya akan baik-ba
Sinar matahari sore menerobos jendela ruangan rawat di rumah sakit, menandakan bahwa Aira dan Steven telah melewati berbagai peristiwa yang intens. Dokter Clara datang membawa kabar baik, dan sekarang, saatnya mereka pulang.Dokter Clara berkata, "Selamat, Steven dan Aira. Kesehatan Aira dalam kondisi baik, dan kami senang bisa memberikan izin pulang."Aira tersenyum bahagia, merasa bersyukur atas setiap perkembangan yang terjadi. Steven membantu Aira berdiri dan menemani dokter ke meja resepsionis untuk menyelesaikan administrasi."Terima kasih, Dokter. Kami sangat bersyukur atas semua bantuannya," kata Steven."Senang bisa membantu. Pastikan Aira tetap menjalani pemeriksaan rutin dan istirahat yang cukup. Jangan ragu untuk bertanya jika ada kekhawatiran."Setelah menyelesaikan proses administratif, Steven dan Aira bersiap-siap untuk pulang. Steven membantu Aira melepaskan pakaian pasien, dan mereka meninggalkan ruangan rawat menuju pintu keluar."Steven, aku baik-baik saja. Aku ingin