Praanngg!Steven menoleh kembali ke arah Ivy, wajahnya terlihat begitu sangat khawatir. "Itu suara apa, Ivy?" tanyanya penasaran.Ivy menggeleng sambil memperhatikan sekeliling. "Aku juga tidak tahu, Mas. Tapi, sepertinya berasal dari kamar Nenek," jawab Ivy.Mereka berdua pun segera berlari menuju kamar Mariani yang terletak di lantai satu. Setelah beberapa saat, mereka tiba di kamar itu dan melihat Mariani terbaring di lantai yang dingin."Nenek!" jerit Ivy, berlari mendekati neneknya. Steven juga segera menghampiri."Nek, bangun, Nek," ujar Steven sambil mengecek denyut nadi Mariani yang masih terasa berdetak."Nenek, bangun," gumam Ivy lirih, menepuk dengan pelan wajah Mariani yang sudah terlihat pucat."Lebih baik, kita bawa Nenek ke rumah sakit," ucap Steven dengan tegas.Ivy mengangguk setuju. "Baik, Mas."Steven lantas menggendong Mariani dengan hati-hati dan membawanya keluar rumah. Sementara itu, Ivy menghubungi sopir keluarga untuk menyiapkan mobil. Begitu di luar, Steven d
"Dokter bilang tekanan darah Nenek naik, Ma. Untung saja tadi Ivy dan Mas Steven langsung membawa Nenek ke rumah sakit," ungkap Ivy dengan mata berkaca.Mendengar berita tentang tekanan darah ibunya yang naik, Emily merasa sangat cemas. Begitu juga dengan nama Steven yang membuat Emily langsung terkejut. "Apa? Steven?" tanyanya penasaran.Ivy mengangguk pelan. "Iya, Ma. Dia lelaki yang sudah menyelamatkan Nenek," jelasnya."Lalu, di mana dia sekarang?"Ivy tersenyum, lalu berkata, "Dia bilang tadi mau keluar sebentar. Mungkin sebentar lagi akan kembali ke sini, Ma."Mendengar itu, Emily menghembuskan napas panjang. "Mama ingin sekali mengucapkan terima kasih langsung padanya," ucapnya seraya memandangi sang ibu yang sedang tertidur lelap.Saat mendengar kisah bagaimana ibunya hampir saja tertabrak mobil, Emily merasa sangat terpukul. Namun setelah tahu ada seseorang yang telah menyelamatkan nyawa ibunya, rasa lega pun datang dalam hatinya. Meskipun demikian, rasa penasaran akan sosok
Hari ini, Aira dan Steven sangat antusias untuk pergi ke rumah sakit guna memeriksa kandungan Aira. Keduanya sangat ingin tahu jenis kelamin anak mereka. Sejak pagi, Aira sibuk mencari pakaian yang pas untuk dirinya. Namun, karena perutnya sudah semakin membesar, ia kesulitan menemukan pakaian yang cukup longgar. Terlihat Aira kebingungan, ia menghela napas panjang dan melempar sepotong bajunya ke sofa. "Aduh, rasanya semua bajuku sudah nggak muat lagi, deh," keluhnya dengan kesal.Steven baru saja keluar dari kamar mandi dan melihat ekspresi murung Aira. Ia mendekati istrinya dan bertanya, "Sayang, mengapa wajahmu terlihat murung seperti itu?""Semua bajuku terasa kekecilan, seolah nggak ada yang muat!" gumam Aira yang masih kesal."Apa benar-benar nggak ada yang muat?" tanya Steven lagi, ia hanya ingin memastikan."Ada sih, tapi cuma beberapa saja yang masih bisa aku pakai," jawab Aira.Steven tersenyum tipis, lalu menawarkan solusi. "Kalau begitu, setelah kita pulang dari rumah sa
Aira tercengang, tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. "Kak Dimas? Kenapa Kak Dimas ada di sini?" gumam Aira heran. Ia kemudian segera berdiri dan berjalan mendekati sosok yang mirip dengan kakak iparnya itu.Dengan langkah cepat, Aira mendekati sosok itu, bergumul dengan pertanyaan dalam hatinya: Apa alasan Kak Dimas berada di rumah sakit kandungan ini? Apakah Kak Dian, saudara perempuannya, juga sedang hamil? Berbagai kemungkinan mulai mengisi pikiran Aira.Tetapi begitu ia hampir menyentuh bahu lelaki itu, sosok lelaki tersebut segera pergi dari tempatnya dan berjalan menjauh, tanpa memberi kesempatan kepada Aira untuk berbicara dengannya."Kak Dimas!" seru Aira, ingin memastikan identitas lelaki itu. Namun lelaki tersebut terus saja melangkah menjauh, seolah-olah tidak mendengar seruan Aira.Beberapa saat kemudian, suara suaminya, Steven, membuyarkan lamunan Aira. "Sayang, kamu kenapa? Mengapa kamu berdiri sendirian di sini?" tanya Steven heran.Aira menoleh ke arah
"Kenapa kamu mengajakku bertemu di sini?" tanya Santi yang penasaran ketika Fika mengajaknya bertemu, ia meletakkan tasnya di atas meja dan duduk di hadapan Fika."Ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu, Santi," jawab Fika serius. "Kamu mau memesan minuman dulu?" tawarnya.Santi menggelengkan kepala. "Tidak perlu, aku tidak haus. Jadi, apa sebenarnya yang ingin kamu bicarakan?" Santi semakin penasaran dengan alasan Fika mengajaknya bertemu di kafe ini.Fika menghela napas sebelum berkata, "Baiklah, aku hanya ingin tahu bagaimana hubunganmu dengan Steven. Apa kalian berdua baik-baik saja?" tanyanya, mencoba membaca ekspresi wajah Santi.Santi terkejut dengan pertanyaan itu, ia lalu menjawab, "Hubungan kami baik-baik saja. Apa ada yang salah?""Apa kalian masih berpacaran?" tanya Fika lebih jauh, ia hanya ingin memastikan kebenarannya."Tentu saja," jawab Santi tanpa ragu.Fika bergeming. Bagaimana mungkin Santi mengaku masih berpacaran dengan Steven, padahal ia tahu bahwa Steven sud
Dalam perjalanan menuju angkringannya, Steven merasa sangat khawatir. Ia tak mengerti bagaimana tempat kerjanya bisa terbakar, padahal baru beroperasi selama beberapa minggu. Angkringan tersebut merupakan satu-satunya sumber penghasilan Steven saat ini. Setelah mendengar kabar dari Aryo tentang kebakaran tersebut, ia bingung harus berbuat apa.Setelah 15 menit yang panjang, Steven akhirnya tiba di tempat kerjanya. Ia melihat banyak orang yang sudah berbondong-bondong membantu memadamkan api yang melahap bangunan tersebut, bersama dengan bantuan petugas pemadam kebakaran.Steven menghampiri Aryo, sahabatnya, dengan rasa penasaran yang tidak tertahankan. "Aryo, bagaimana keadaannya sekarang?" tanya Steven dengan suara yang bergetar.Aryo menoleh ke arah Steven yang berdiri di sampingnya. Wajahnya cukup tenang mengingat situasi yang mereka hadapi. "Apinya sudah mulai padam, untung saja petugas kebakaran datang tepat waktu. Jadi, apinya tidak merambat ke toko yang lainnya," jawab Aryo.Me
Aira memasuki rumah orang tuanya dengan hati yang hancur, ia hanya berharap ayahnya akan membantunya mengatasi kesusahan yang dihadapinya.Widya, ibu mertua Aira, tersentak melihat wajah menantunya terasa flat dan muram. "Aira, apa yang terjadi, Sayang?" tanyanya dengan keheranan.Menantu kesayangannya itu menatap ke sekitar, mencari keberadaan ayahnya. "Bu, apakah Papa ada di rumah?" tanya Aira dengan nada berat.Widya menjawab, "Pak Anwar ada di taman belakang, Aira." Dengan cepat, Aira melangkah menuju taman, ekspresi wajahnya menunjukkan kepedihan dan kepasrahan. Dia mendambakan pertemuan dengan ayahnya untuk mengungkapkan situasi buruk yang mereka hadapi.Ketika sudah berada di taman belakang, Aira melihat ayahnya yang sedang duduk santai di kursi taman sambil membaca koran. Aira memutuskan untuk berbicara dengan ayahnya. "Papa," serunya dengan suara lembut.Ayahnya menoleh, ia melihat putrinya yang tengah berjalan ke arahnya. "Aira." Ia lalu meletakkan koran dengan perlahan di
Anwar melayangkan tangannya di udara, kesal dengan sifat Aira yang tak bisa diatur, emosinya sudah meluap. Namun, ketika tangan Anwar akan menyentuh wajah Aira, ada sebuah tangan kekar yang menghalanginya."Tolong jangan kasar kepada istri saya," ucap Steven, lelaki itu datang tepat waktu ketika istrinya akan ditampar. Ia takkan membiarkan siapapun menyakiti istrinya, terkecuali Anwar, ayah dari istrinya sendiri.Anwar menghempaskan tangan Steven, lalu menatap lelaki itu dengan penuh amarah. Ia tak tahu mengapa Steven tiba-tiba muncul di rumahnya."Apa yang kamu lakukan di sini, Steven?" gerutu Anwar dengan rona wajah yang begitu masam."Saya ke sini untuk menjemput istri saya, tapi saya malah melihat Anda akan menyakitinya," jawab Steven dengan tegas.Anwar merasa semakin geram, tak suka dengan campur tangan Steven dalam urusan keluarganya. "Kamu tidak punya hak apa-apa di sini. Ini urusan keluarga kami sendiri.""Saya paham, Pak Anwar. Tapi sekarang Aira adalah istri saya, saya tida