Steven menyelipkan rambut Aira ke belakang telinganya sambil berkata, "Aku tidak bisa melihatmu dengan lelaki lain.""Kenapa?" tanya Aira."Kita sudah menikah, tidak pantas bila kamu dekat dengan lelaki lain.""Oh ya? Terus, kamu sendiri dekat dengan Santi, apa itu pantas?"Aira menatap tajam suaminya, mencoba menangkap esensi pernyataannya. Steven terdiam sejenak sebelum menjawab, "Santi itu sahabatku, bukan wanita yang bisa menggantikan posisimu.""Tapi, Steven, kamu harus memahami perasaanku. Aku merasa tidak adil jika kamu bisa dekat dengan sahabatku, tapi aku tidak boleh berinteraksi dengan lelaki lain."Steven menghela napas. "Aira, kamu tahu, tidak ada niat buruk antara aku dan Santi.""Dan bagaimana dengan foto yang Santi potretkan saat kamu sedang bekerja?"Steven terdiam sejenak, mencoba merumuskan jawaban yang bisa membuat Aira percaya. "Aku tidak tahu bila Santi memotretku. Itu mungkin hanya lelucon atau keisengan.""Itu hanya alasanmu saja, kan, Steven?" Aira menatapnya de
Aryo menepuk bahu Steven, kemudian menunjuk ke arah seseorang yang berada di depan toko percetakan menggunakan dagunya.Steven melihat ke arah yang ditunjuk oleh Aryo dan mengetahui bahwa Santi sudah berada di sana, membawa makanan untuknya."Lihat, sudah ada Santi, sepertinya dia begitu antusias membawakanmu bekal setiap hari," gumam Aryo.Steven hanya bisa menarik napas gusar. Setiap hari, Santi memang selalu membawakan bekal untuknya, meskipun ia sudah menolak, wanita itu terus saja membawakan bekal seperti itu. Keteguhan hati Steven untuk menjelaskan situasi sebenarnya terkendala oleh rasa terima kasih dan kebaikan hati Santi."Apa kamu tidak mau memberitahunya tentang pernikahanmu dengan Aira? Mungkin itu bisa membantu menghentikan kebiasaannya," saran Aryo.Steven menggeleng pelan. "Aku sudah mencoba memberitahunya, tapi sepertinya dia tidak percaya. Dia terus saja membawakan bekal ini setiap hari.""Aira tahu tentang bekal ini?" tanya Aryo.Steven mengangguk. "Iya, tapi dia tida
"Aira!" teriak Steven ketika melihat Aira yang langsung pergi. Dia merasa khawatir dan bingung, tidak mengerti kenapa Aira ada di sini. Tanpa berpikir panjang, Steven pun langsung berlari mengejar Aira."Aira, berhenti!" teriak Steven lagi, berharap Aira akan berhenti dan mendengarkannya. Namun, Aira terus berlari, seolah-olah dia tidak mendengar apa yang Steven katakan.Steven merasa putus asa, tapi ia tidak berhenti. Dia terus berlari, berusaha mengejar Aira. Steven harus berbicara dengan Aira, harus mencoba memahami apa yang sedang Aira rasakan."Berhenti Aira!" Steven menahan tangan Aira dengan lembut."Lepas, Steven! Jangan ikuti aku, aku ingin sendiri!" Aira berucap dengan nada tinggi, menepis tangan Steven yang menahannya.Aira berusaha melepaskan diri, tapi Steven tidak melepaskannya sama sekali. "Aira, kenapa kamu seperti ini? Apa kamu marah kepadaku? Aku minta maaf, aku tidak tahu mengapa Santi tiba-tiba menciumku," ujar Steven dengan suara penuh penyesalan.Dia merasa bersa
Ketika Steven memeluk Aira, dia merasa Aira tak berkutik lagi. Tiba-tiba, tubuh Aira terasa berat di pelukannya, membuat Steven merasa khawatir."Aira," kata Steven, suaranya penuh dengan kekhawatiran. Dia melepaskan pelukannya dan melihat Aira yang tampaknya tidak sadarkan diri."Aira, Aira bangun, Aira!" teriak Steven yang sudah panik. Dia merasa takut, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Dia merasa bingung dan tidak berdaya, melihat Aira yang tidak sadarkan diri di pelukannya.Dalam pelukan Steven, Aira terasa begitu lemah. Tubuhnya terasa berat dan dia tidak memberikan respons apa pun. Steven merasa panik dan khawatir melihat kondisi Aira."Aira," ucap Steven dengan suara gemetar, mencoba membangunkannya. "Bangun, Aira! Tolong, buka matamu!"Namun, Aira tetap tidak merespons. Steven merasa hatinya hancur melihat Aira yang terbaring tak berdaya. Dia merasa bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.Steven akhirnya menggendong Aira ala bridal style, membawanya menuju mobil Ar
"Malam ini, aku mau menginap di rumah kamu, boleh, kan?" ujar Fika dengan antusias."A-apa?" Aira terkejut dengan permintaan tersebut, tidak menyangka bahwa Fika ingin menginap di rumahnya.Saat ini, Aira sedang berada di rumah sakit, terlebih Aira sudah tidak tinggal di rumahnya lagi, tepatnya rumah orangtuanya."Kenapa Aira?" tanya Fika, ia bingung, sepertinya Aira merasa terkejut atas permintaannya."S-sepertinya tidak bisa, Fika. Maaf ..." jawab Aira dengan rasa penyesalan."Kenapa memangnya? Padahal aku malas banget di rumah sendirian," keluh Fika."Memangnya Tante dan Om ke mana?" tanya Aira."Lagi keluar kota. Ya udah deh kalau gak boleh, nanti aku nginap di rumah Nita kalau gak Santi." Fika berujar dengan sedikit kecewa."Iya, sekali lagi aku minta maaf." Aira berkata dengan suara lembut, merasa bersalah karena tidak bisa memenuhi permintaan Fika.Aira berharap Fika dapat memahami situasinya dan menemukan tempat lain untuk menginap. Dia ingin fokus pada pemulihannya dan ia seng
"Apa? Maksud Papa, sekarang Papa sedang berada di luar negeri?" Aira terkejut mendengar kabar tersebut.Anwar menjelaskan dengan senang hati, "Iya, Aira. Kami sedang berlibur di luar negeri bersama kakak iparmu juga Dimas dan keluarganya. Kami merasa butuh waktu bersama setelah semua yang terjadi. Tapi jangan khawatir, kami akan kembali dalam waktu dekat."Aira merasa sedih. Di satu sisi, dia senang mendengar bahwa keluarganya sedang berlibur dan bahagia. Namun, di sisi lain, dia merasa sedih karena mereka tidak ada di dekatnya saat dia sedang mengalami masa sulit."Apa? Kenapa Papa tidak memberi tahu Aira?" Aira terdengar kecewa dan sedikit marah."Sudahlah, Aira. Percuma juga papa memberitahu kamu. Suami kamu mana mampu membawa kamu ke luar negeri," jawab Anwar dengan nada cuek.Tapi Aira tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. "Tapi, Pa! Seharusnya Papa memberitahu Aira terlebih dahulu jika ingin pergi ke luar negeri. Aira ini masih keluarga kalian, bukan?" Namun, Anwar hanya meng
Aira dan Steven terkesiap melihat siapa yang tiba-tiba datang begitu saja. Mereka berdua memandang ke arah pintu dengan rasa penasaran dan keheranan.Di ambang pintu, sudah ada Aryo yang tersenyum manis, dan di sampingnya ada seorang wanita paruh baya, yaitu Widya—ibunda Steven.Steven yang sedang memeluk Aira, segera melepaskan pelukannya, begitu juga dengan Aira yang langsung menghapus air matanya.Widya begitu bahagia melihat anak dan menantunya yang sudah terlihat dekat. Ia merasa khawatir dengan sikap keras kepala Aira, namun ia juga tahu betul bahwa Aira memiliki sisi lain yang tidak diketahui oleh orang lain. Meskipun terkadang terlihat cuek, manja, dan egois, Aira selalu menyembunyikan kesedihannya sendiri.Widya sudah bekerja di keluarga Adiwijaya selama hampir 15 tahun, waktu yang tidak sebentar. Sejak Aira masih kecil, Widya selalu membantu mengurusnya. Widya juga sudah menganggap Aira sebagai putrinya sendiri, terlebih sekarang Aira sudah menjadi menantunya.Selama bertahun
"Aira, ada apa?" tanya Steven dengan rasa khawatir saat melihat Aira terlihat seperti sedang menahan sesuatu."Aku mau ke toilet," jawab Aira sambil mencoba turun dari brankar dengan hati-hati.Steven dengan sigap mengulurkan bantuan dan membantu Aira turun dari brankar. Ia juga mengambil selang infus agar Aira bisa membawanya bersama saat pergi ke toilet. "Biar aku bantu," ucapnya dengan penuh perhatian.Steven memastikan bahwa Aira merasa nyaman dan aman saat bergerak. Ia ingin memastikan bahwa Aira mendapatkan perawatan yang terbaik dan merasa didukung dalam setiap kebutuhannya.Setelah masuk ke dalam kamar mandi, Aira akhirnya melepaskan rasa mual yang telah lama mengganggu perutnya.Hooeekk! Hooeekk!Steven yang mendengar suara muntah Aira menjadi khawatir. Ia segera bertanya dengan kekhawatiran, "Aira, apa kamu baik-baik saja?"Namun, tidak ada jawaban dari Aira. Steven hanya bisa mendengar suara muntah yang terus berulang dari dalam kamar mandi.Steven merasa cemas dan ingin mem
Beberapa bulan telah berlalu sejak pernikahan Michael dan Fika. Kini, Fika duduk di sofa ruang tamu, menunggu dengan gelisah kedatangan Michael dari kantor. Setiap kali mendengar suara mobil memasuki garasi, hatinya berdegup kencang. Namun, setelah beberapa saat, ketegangan itu berganti menjadi kekhawatiran saat Michael tak kunjung pulang.Fika menyalakan telepon genggamnya, mengecek pesan dari Michael, tetapi tak ada kabar. Waktu terus berlalu, membuat kecemasannya semakin dalam. Selama dua minggu terakhir, dia merasa jantungnya seperti akan copot dari dadanya. Sesuatu yang tak biasa terjadi pada tubuhnya, dan dia mulai curiga akan kehamilan.Fika bergegas menuju kamar mandi, mengambil tespek dari laci. Dengan gemetar, dia membuka bungkusnya dan mengikuti instruksi penggunaan dengan hati-hati. Ketika garis kedua mulai terbentuk, dia terkejut dan hampir tidak percaya. "Aku tidak salah lihat, kan? Ini garis dua, itu artinya aku hamil," gumam Fika, suaranya penuh campuran antara kekaguma
Hari pernikahan Michael dan Fika tiba, dan suasana penuh kebahagiaan menyelimuti rumah mereka. Keluarga dan teman-teman terdekat berkumpul untuk merayakan momen istimewa ini. Taman mereka dihiasi dengan indah, dengan bunga-bunga yang warna-warni menghiasi setiap sudut, menciptakan atmosfer yang mempesona.“Aku begitu deg-degan,” gumam Fika sembari menatap tubuhnya di dalam cermin. Wanita yang sudah mengenakan kebaya berwarna putih itu begitu cantik, bahkan Aira sendiri begitu pangling melihat sahabatnya itu.“Kamu cantik sekali,” puji Aira sambil menyentuh bahu Fika.“Terima kasih, Aira. Oh iya, Santi sama Nita sudah datang belum, ya?”“Sepertinya mereka masih di jalan. Para tamu juga sudah hadir. Apa kamu mau keluar sekarang?”Fika mengangguk. “Boleh.”***Para tamu mulai berdatangan, masing-masing membawa senyuman ceria dan ucapan selamat untuk pasangan pengantin baru. Suasana penuh kehangatan dan kebersamaan terasa begitu kental di udara.Keluarga Michael dan Fika sibuk melayani par
Di ruang tamu rumah orangtuanya, Michael duduk di antara kedua orang tuanya, Carlos dan Emily, sementara Fika duduk di seberang mereka. Suasana terasa tegang, seolah-olah ada sesuatu yang besar akan diungkapkan oleh Michael."Michael, ada apa sebenarnya?" tanya Emily dengan nada cemas. Dia melihat ekspresi serius di wajah anaknya, membuatnya khawatir.Michael menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mulai berbicara. "Ma, Pa, aku punya sesuatu yang ingin aku sampaikan pada kalian."Carlos dan Emily bertukar pandang, mereka bisa merasakan bahwa ini adalah hal yang penting. Mereka menunggu dengan cemas sambil memperhatikan Michael.“Apa yang ingin kamu sampaikan, Michael?” tanya Carlos."Aku ... aku dan Fika telah memutuskan untuk menikah," ujar Michael dengan tegas.Wajah Carlos dan Emily langsung berubah kaget. Mereka tidak bisa menyembunyikan kejutan mereka atas pengumuman tersebut. "Tunggu sebentar, Michael. Apakah kamu serius?" tanya Carlos dengan suara gemetar.Michael menganggu
Steven segera dilarikan ke rumah sakit setelah insiden tragis tersebut. Paramedis dengan cepat membawa tubuhnya yang terluka ke ambulans, sementara Michael dan Aira duduk di bangku belakang, penuh kecemasan dan ketakutan akan nasib Steven. Di perjalanan menuju rumah sakit, Michael mencoba menenangkan Aira, tetapi kecemasan mereka berdua tidak bisa disembunyikan.“Tenanglah, Aira. Steven pasti akan baik-baik saja.”“Aku hanya takut dia kenapa-napa.”Sesampainya di rumah sakit, Steven langsung diterima oleh tim medis yang siap sedia. Dokter segera memeriksa luka tembakannya, memastikan bahwa kondisi Steven stabil sebelum dibawa ke ruang operasi. Operasi dilakukan dengan cepat untuk mengeluarkan peluru yang masuk ke tubuhnya dan memperbaiki kerusakan yang diakibatkannya.Sementara itu, Aira duduk gelisah di ruang tunggu, menunggu dengan hati yang penuh kekhawatiran. Setiap detik terasa seperti jam bagi Aira, dan kegelisahannya semakin bertambah ketika tidak ada kabar tentang kondisi suam
Steven, Michael, dan Fika akhirnya tiba di tempat yang diduga menjadi tempat penculikan Veline dan Aira. Michael dengan cepat menyuruh Fika untuk tetap berada di dalam mobil, menyadari bahwa situasi di luar sangatlah berbahaya.Namun, Fika bersikeras ingin ikut keluar dari mobil untuk ikut membantu. "Tapi, tapi, aku juga bisa membantu!" protesnya.Michael menatapnya tajam. "Tidak, kamu tetap di sini," ujarnya dengan nada yang tidak bisa ditawar.Steven, yang duduk di sebelah Fika, menambahkan, "Apa yang dikatakan Michael benar. Kamu tetap di dalam mobil saja karena di luar begitu berbahaya."Fika merasa sedikit kecewa, tetapi dia tahu bahwa mereka berdua hanya ingin melindunginya. Akhirnya, dia mengangguk dengan berat hati. "Baiklah," ucapnya pelan.Steven dan Michael lalu keluar dari mobil dengan hati-hati, siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang mungkin terjadi di dalam ruangan tersebut. Mereka berdua saling bertukar pandang, menguatkan satu sama lain dengan keberanian mereka.
Steven merasa seperti jantungnya berdegup kencang di dalam dadanya ketika dia menyadari Aira pergi begitu saja, setelah menerima panggilan telepon dari Andre. Panggilan itu memberitahunya bahwa Veline, anak mereka, dalam bahaya. Steven tidak bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Andre, akan melakukan sesuatu yang sekejam ini.Dengan gemetar, Steven segera menyalakan mesin mobilnya lagi. Hati dan pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran yang tak terbayangkan. Dia mulai menekan pedal gas dengan keras, dan segera melaju mengikuti taksi yang sudah membawa Aira pergi.“Aku harus mengikuti Aira dari belakang,” gumam Steven, sambil terus fokus mengendarai mobilnya.Di tengah perjalanan, mobil Steven tiba-tiba mogok. Rasa frustrasi dan putus asa menghantamnya, seperti gelombang yang menghantam batu karang. “Sial, kenapa jadi mogok?” Dia mengetuk kemudi dengan marah, mencoba untuk menghidupkan mobilnya kembali, tetapi tidak ada reaksi. Dalam kepanika
Steven yang mendengar kabar itu langsung merasa khawatir. "Apa? Veline hilang?""I-iya, Steven," ucap Aira gugup."Kenapa bisa hilang, Aira?" Terdengar nada suara Steven yang cemas di seberang sana."A-aku yang ceroboh, aku meninggalkannya sendirian saat menerima telepon." Aira berucap seraya berderai air mata.Steven mengusap kasar wajahnya, ia tak habis pikir kepada Aira, kenapa bisa ia meninggalkan Veline sendirian seperti itu.Steven menghela napas gusar. "Ya sudah, aku akan segera pulang sekarang. Tenanglah, kita pasti menemukannya."Setelah sambungan teleponnya terputus, Aryo menghampiri Steven yang terlihat begitu cemas. "Steven, ada apa?" tanyanya."Veline hilang, Aryo. Aku harus mencarinya sekarang juga.""Apa? Kenapa bisa Veline hilang?" Aryo terkesiap, ketika lelaki itu mendengar bila Veline telah hilang."Aira meninggalkannya sendirian ketika ada yang menelponnya, sudahlah, aku harus pergi sekarang." Steven langsung bergegas pergi dari hadapan Aryo."Steven, aku pasti akan
Mata Aira terbuka secara perlahan saat merasakan sinar matahari pagi yang menghangatkan tubuhnya. Meskipun matanya terasa sangat mengantuk, tetapi ia segera bangkit dari dunia mimpi. Wanita itu menyibak selimut dan dengan langkah hati-hati, turun dari tempat tidur. Steven sudah tidak ada di sampingnya, mungkin suaminya telah lebih dulu bangun.Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, ia memutuskan untuk menuju kamar putrinya. Seulas senyum terukir di wajah Aira, ketika ia melihat Veline yang sudah bangun. "Sayang, kamu sudah bangun?" Aira segera melangkah menghampiri putrinya, Veline yang masih terduduk di tepi ranjang."Mama, aku sudah bangun. Apa hari ini kita akan pergi main, Ma?" tanya Veline, ketika ia masih ingat bila ibunya sempat mengajaknya untuk jalan-jalan.Aira menyadari bahwa Veline perlu jalan-jalan karena sudah lama, ia tak mengajak putrinya itu jalan bersama. "Uh, ternyata putri mama ini sudah tak sabar untuk jalan-jalan, ya? Apa kamu sudah siap memangnya?" Aira tersen
Di rumah Emily, suasana makan malam berlangsung hangat. Meja yang dikelilingi oleh semua anggota keluarga dan tetangga terdekatnya, mengundang tawa dan canda. Emily, yang menjadi tuan rumah, dengan cermat menyajikan hidangan-hidangan lezat yang telah dipersiapkan dengan penuh cinta.Setelah makan malam selesai, Fika, anak tetangga Emily, dengan ramah menawarkan bantuan untuk membersihkan piring-piring kotor. "Tante, biar Fika yang bantu membersihkan beberapa piring yang kotor ke dapur," ujar Fika sambil tersenyum.Emily mengangguk, bersyukur atas tawaran itu, tetapi kemudian menolak dengan lembut. "Terima kasih, Fika, tapi tidak perlu. Kami sudah memiliki pembantu untuk membersihkan semuanya."Namun, Fika tetap bersikeras. "Tidak apa-apa, Tante. Saya ingin membantu." Dengan tegas, ia mulai mengumpulkan beberapa piring kotor dan membawanya ke dapur.Tiba-tiba, Fika terpeleset. Michael, yang berada di dekatnya, dengan cepat menjangkau untuk menahan tubuhnya agar tidak jatuh. Mata mereka