"Malam ini, aku mau menginap di rumah kamu, boleh, kan?" ujar Fika dengan antusias."A-apa?" Aira terkejut dengan permintaan tersebut, tidak menyangka bahwa Fika ingin menginap di rumahnya.Saat ini, Aira sedang berada di rumah sakit, terlebih Aira sudah tidak tinggal di rumahnya lagi, tepatnya rumah orangtuanya."Kenapa Aira?" tanya Fika, ia bingung, sepertinya Aira merasa terkejut atas permintaannya."S-sepertinya tidak bisa, Fika. Maaf ..." jawab Aira dengan rasa penyesalan."Kenapa memangnya? Padahal aku malas banget di rumah sendirian," keluh Fika."Memangnya Tante dan Om ke mana?" tanya Aira."Lagi keluar kota. Ya udah deh kalau gak boleh, nanti aku nginap di rumah Nita kalau gak Santi." Fika berujar dengan sedikit kecewa."Iya, sekali lagi aku minta maaf." Aira berkata dengan suara lembut, merasa bersalah karena tidak bisa memenuhi permintaan Fika.Aira berharap Fika dapat memahami situasinya dan menemukan tempat lain untuk menginap. Dia ingin fokus pada pemulihannya dan ia seng
"Apa? Maksud Papa, sekarang Papa sedang berada di luar negeri?" Aira terkejut mendengar kabar tersebut.Anwar menjelaskan dengan senang hati, "Iya, Aira. Kami sedang berlibur di luar negeri bersama kakak iparmu juga Dimas dan keluarganya. Kami merasa butuh waktu bersama setelah semua yang terjadi. Tapi jangan khawatir, kami akan kembali dalam waktu dekat."Aira merasa sedih. Di satu sisi, dia senang mendengar bahwa keluarganya sedang berlibur dan bahagia. Namun, di sisi lain, dia merasa sedih karena mereka tidak ada di dekatnya saat dia sedang mengalami masa sulit."Apa? Kenapa Papa tidak memberi tahu Aira?" Aira terdengar kecewa dan sedikit marah."Sudahlah, Aira. Percuma juga papa memberitahu kamu. Suami kamu mana mampu membawa kamu ke luar negeri," jawab Anwar dengan nada cuek.Tapi Aira tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. "Tapi, Pa! Seharusnya Papa memberitahu Aira terlebih dahulu jika ingin pergi ke luar negeri. Aira ini masih keluarga kalian, bukan?" Namun, Anwar hanya meng
Aira dan Steven terkesiap melihat siapa yang tiba-tiba datang begitu saja. Mereka berdua memandang ke arah pintu dengan rasa penasaran dan keheranan.Di ambang pintu, sudah ada Aryo yang tersenyum manis, dan di sampingnya ada seorang wanita paruh baya, yaitu Widya—ibunda Steven.Steven yang sedang memeluk Aira, segera melepaskan pelukannya, begitu juga dengan Aira yang langsung menghapus air matanya.Widya begitu bahagia melihat anak dan menantunya yang sudah terlihat dekat. Ia merasa khawatir dengan sikap keras kepala Aira, namun ia juga tahu betul bahwa Aira memiliki sisi lain yang tidak diketahui oleh orang lain. Meskipun terkadang terlihat cuek, manja, dan egois, Aira selalu menyembunyikan kesedihannya sendiri.Widya sudah bekerja di keluarga Adiwijaya selama hampir 15 tahun, waktu yang tidak sebentar. Sejak Aira masih kecil, Widya selalu membantu mengurusnya. Widya juga sudah menganggap Aira sebagai putrinya sendiri, terlebih sekarang Aira sudah menjadi menantunya.Selama bertahun
"Aira, ada apa?" tanya Steven dengan rasa khawatir saat melihat Aira terlihat seperti sedang menahan sesuatu."Aku mau ke toilet," jawab Aira sambil mencoba turun dari brankar dengan hati-hati.Steven dengan sigap mengulurkan bantuan dan membantu Aira turun dari brankar. Ia juga mengambil selang infus agar Aira bisa membawanya bersama saat pergi ke toilet. "Biar aku bantu," ucapnya dengan penuh perhatian.Steven memastikan bahwa Aira merasa nyaman dan aman saat bergerak. Ia ingin memastikan bahwa Aira mendapatkan perawatan yang terbaik dan merasa didukung dalam setiap kebutuhannya.Setelah masuk ke dalam kamar mandi, Aira akhirnya melepaskan rasa mual yang telah lama mengganggu perutnya.Hooeekk! Hooeekk!Steven yang mendengar suara muntah Aira menjadi khawatir. Ia segera bertanya dengan kekhawatiran, "Aira, apa kamu baik-baik saja?"Namun, tidak ada jawaban dari Aira. Steven hanya bisa mendengar suara muntah yang terus berulang dari dalam kamar mandi.Steven merasa cemas dan ingin mem
Ketika Steven hendak pergi, ada suara memanggil namanya, Steven menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah sumber suara dan melihat sahabatnya, Aryo, yang tersenyum manis kepadanya."Steven," panggil Aryo dengan penuh perhatian.Aryo mendekati Steven dan bertanya, "Ada apa? Apa ada sesuatu?"Aryo merasa bahwa Steven sedang menghadapi masalah, sehingga ia ingin membantu."Aku membutuhkan uang untuk tagihan rumah sakit Aira. Aku sudah mencoba meminjam kepada Pak Udin, tapi dia tidak mau meminjamkannya," ucap Steven dengan rasa kekecewaannya.Aryo tersenyum dan dengan tulus berkata, "Kamu tidak perlu khawatir, gunakan saja uangku."Steven terkejut mendengar tawaran tersebut. Ia merasa terharu dengan kebaikan hati Aryo."Tapi, Aryo ....""Kita ini sahabat, Steven. Jika kamu butuh sesuatu, kamu bilang saja," sela Aryo dengan tegas.Steven merasa terharu dan berterima kasih kepada Aryo atas tawarannya. Ia merasa beruntung memiliki seorang sahabat yang begitu peduli."Terima kasih, Aryo. Kal
"Aira!" teriak Steven sambil berusaha mempertahankan handuknya.Aira langsung menoleh ke arah Steven dan terkejut dengan apa yang ia lihat. Ia melihat seekor ular yang tiba-tiba muncul di dekat gagang ember."Aaahhhh ... Ular!" teriak Aira dengan ketakutan."Aira, tutup matamu!" Steven berkata dengan harapan bahwa Aira akan mengikuti perintahnya.Namun, Aira masih terpaku dan tidak kunjung menutup matanya. Melihat itu, Steven dengan cepat mendekati Aira dan menutup mata Aira dengan tangannya."Tutup matamu!" perintah Steven sekali lagi dengan suara tegas.Aira yang masih tergagap-gagap karena ketakutan akan ular tersebut, mencoba menjelaskan, "Tapi, u-ularnya!" ujar Aira gugup, mencoba memberi tahu Steven tentang keberadaan ular yang membuatnya ketakutan."Itu bukan u-, maksudku, ularnya sudah pergi," alibi Steven dengan cepat. "Tutup matamu!" perintahnya kembali dengan tegas.Aira masih ragu dan bertanya, "Kenapa harus ditutup? Nanti kalau ularnya masuk ke dalam kamar, bagaimana?""Ul
"Mama ... Mama, jangan tinggalkan Steven," gumam Steven dalam tidurnya.Aira yang sedari tadi belum tidur, terkesiap dengan Steven yang sedang mengigau, ia kemudian menyingkap selimutnya, berangsur turun dari tempat tidur menuju steven yang tertidur di teras."Steven, kamu kenapa?" tanya Aira yang cemas.Steven terus mengigau dalam tidurnya, tangannya bergelayutan di udara seolah-olah mencoba menjangkau sesuatu. Aira mendekatinya dengan hati-hati, mencoba untuk tidak membuatnya terbangun, tapi tetap memperhatikan setiap gerakan yang dilakukannya."Steven, bangun. Apa kamu sedang bermimpi buruk?" bisik Aira sambil meraih tangan Steven yang gelisah. Namun, Steven masih terus mengigau tanpa merespon. Aira merasa cemas melihat keadaan Steven yang gelisah dalam tidurnya. Ia mencoba membangunkannya dengan lembut, tapi Steven tetap dalam keadaan yang sama.Aira berusaha mencari tahu apa yang sedang mengganggu tidur Steven. Aira duduk di samping Steven dan memeluknya dengan penuh kasih sayang.
Ketika Aira hendak berdiri, Steven tiba-tiba menahan tangan Aira dengan erat. Ia meraih Aira ke dalam pangkuannya.Aira begitu terkesiap, ketika tiba-tiba Steven menarik tangannya. Kedua mata mereka saling bertemu, Aira merasa terpesona oleh keindahan mata Steven, deru napas hangat sudah menyentuh wajahnya yang lembut, membuat jantungnya berdegup kencang.Perasaan aneh tiba-tiba datang pada Aira, ia tidak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan. Tubuhnya gemetar, dan ada getaran emosional yang mengalir melalui dirinya. Meskipun dia dan Steven telah melalui berbagai konflik dan pertengkaran, saat ini, ada sesuatu yang membuatnya merasa rapuh dan terbuka.Tangan Steven mulai meraih dagu Aira menggunakan ibu jari dan telunjuk, lalu berangsur naik ke pipi Aira, ia mengelusnya begitu lembut.Aira hanya bisa menelan air liurnya, ketika ia mulai memperhatikan bibir Steven yang merah muda.Steven mulai mengikis jarak di antara mereka, ia membuang jarak di antara keduanya, deru napas hangat sudah m