Mobil Rama sudah memasuki halaman rumah besar, Asha sudah sejak dari sekolah tak habis-habisnya bercerita mengenai Nenek dan Tante Nadinnya. Hingga Rama hapal kebiasaan yang dilakukan Nadin.Rama tersenyum saat diketahuinya jika Nadin Takut pada kucing. Bagaimana bisa hewan semanis kucing bisa menjadi menakutkan untuk Nadin. "Asha serius Tante Nadin takut kucing?" tanya Rama penasaran. Asha dengan cepat mengangguk. Mobil kini dihentikan agak jauh dari teras, karena akan makan siang dahulu pasti mobil akan lama terparkir. Rama turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Asha. Saat dilihatnya Nenek Dewi sudah menunggu di teras, Asha berlari menghampiri. Di sampingnya berdiri Nadin yang terlihat sangat cantik. Rama langsung menunduk saat hatinya memberi penilaian pada Nadin. Rama takut jika dia tak bisa menahan diri padahal dia baru saja memulai hubungan dengan Diana. "Mengapa setelah aku memutuskan bersama Diana, kini di matanya Nadin terlihat berbeda?" tanyanya
Rama kembali membalikkan badannya, menatap Nadin sesaat dan menduga apa yang akan dikatakan selanjutnya. Meminta bantuan padanya yang berkaitan dengan mama dan papanya yang sudah meninggal. "Ada apa sebenarnya dengan Nadin?" tanya Rama membatin. "Ram, entah mengapa peristiwa kecelakaan itu belakangan ini selalu menghampiri pikiranku. Penjelasan Prasetya mengenai kecelakaan yang terjadi sampai hari ini masih membuatku menebak siapa pelakunya. Jika mobil itu digunakan Pras dan papanya kemungkinan yang akan meninggal saat itu adalah papanya Pras, bukan begitu Ram?" jelas Nadin dengan diakhiri pertanyaan yang tak bisa di jawab Rama. "Maksudmu apa Nadin? Aku belum memahaminya. Apakah kamu ingin tahu siapa pelakunya?" tanya Rama menatap lekat Nadin. Dilihatnya Nadin mengangguk pasti. Rama berpikir keras bagaimana caranya menjawab pertanyaan yang menjadi masa lalu kelam keluarga besar Narendra. "Aku harus melakukan konfirmasi terlebih dahulu. Apalagi ini berkaitan dengan masa lalu. Bisakah
"Riska, bagaimana kabar Ibu?" tanya Dimas saat mereka kembali makan siang bersama. "Baik Dim, terima kasih sudah banyak membantu. Sekarang ibu hanya melakukan kontrol setiap bulan sekali ke rumah sakit," jelas Riska. "Syukurlah," ucap Dimas singkat. Sebuah pesan masuk hingga Dimas kini mengalihkan konsentrasinya pada ponsel yang dipegangnya.Handy yang baru kembali setelah memesan makanan sekaligus ke toilet terlihat sedikit bingung dengan kondisi di hadapannya, di tatapnya Riska yang sedang menatap ke arah luar jendela berganti dengan Dimas yang sedang memainkan ponselnya. "Mengapa mereka tidak saling berbicara?" tanya Handy dalam hati."Kok diam-diaman seperti sedang marahan saja!" seru Handy saat akan duduk kembali di kursinya. Dimas menatap Riska sebentar dan menjawab, "Maaf Han, aku ada pesan dari kantor jadi harus kubalas secepatnya. Maaf ya Ris," ucap Dimas mencoba mencairkan suasana. Riska hanya membalas dengan senyuman.Entah mengapa Riska m
Riska yang mendengar ucapan dan pertanyaan Gilang menatapnya tak mengerti. "Jangan dengarkan Gilang Ris, ayo aku antar pulang!" perintah Dimas pada Riska yang dijawab dengan anggukan kepala Riska. "Hei ...! Aku belum selesai makannya!" seru Gilang. "Lanjutkan saja, semua sudah dibayar Handy tadi," ucap Dimas sesaat akan melangkah. Riska kemudian ikut bangun dan melangkah di belakang Dimas. Gilang hanya menatap kepergian Dimas dan Riska dengan senyum yang mengembang. "Sepertinya aku tahu siapa yang akan memenangkannya," ucap Gilang dalam hati. Dimas sudah mengendarai mobilnya menuju rumah Riska, dia tahu dari Gilang jika Riska sudah pindah dan membeli rumah dengan mencicil. Karena itulah dia membawa ibu dan ayahnya tinggal bersamanya. "Ris, maaf aku belum tahu daerah rumahmu yang baru apakah bisa diarahkan?" tanya Dimas dengan mata yang tetap terfokus pada jalanan. "Iya Dim, nanti aku arahkan sampai di perumahan G ya. Nanti ikuti saja yang aku ucapkan," ucap Riska membalas ucapan Dim
"Ibu, Riska sudah menyetujui dalam perjalanan tadi, bulan depan saat ulang tahun Riska mama dan papa akan datang melamar," janji Dimas pada ibu yang kemudian meneteskan butir bening dari sudut matanya. Riska yang melihatnya melangkang mendekati dan menghapusnya dengan lembut. "Riska, ibu harap kamu bisa menjadi istri yang baik untuk Dimas, jangan seperti sebelumnya sering memberikan banyak alasan jika ibu minta Dimas datang," ucap ibu pelan sambil menatap pada Riska yang kembali menunduk. Dimas tersenyum melihatnya, ternyata selama ini ibu meminta Riska menemuinya, tapi tidak dilakukannya. "Ibu, Dimas minta maaf dengan kesibukan pekerjaan, bukan salah Riska jika akhirnya tidak menyampaikan pesan ibu. Lagi pula sekarang semuanya sudah disetujui oleh Riska, bukan begitu Sayang?" tanya Dimas yang membuat wajah Riska merona karena panggilan 'Sayang' yang diucapkan DImas. "Ayah, ibu. Dimas harus kembali ke kantor. Riska sudah diizinkan pulang oleh bosnya, jadi bisa menemani ibu di rumah
Rama memberikan tanda pada Handy dan Dimas untuk segera meninggalkan ruang Om Pras. Mereka berdua tak menunggu lama, bangun dan melangkah keluar mengikuti Rama. Setelah mereka berhasil keluar, dihembuskan nafas lega. Sesaat kemudian mereka saling berpandangan dan tersenyum menyaksikan peristiwa yang jarang terjadi. Huft ..., biarlah kini menjadi urusan bosnya. Rama meminta Handy dan Dimas menunggu kabar darinya. Jika Pak Pras sudah bisa menyelesaikan urusan pribadinya dengan istrinya, nanti akan ditanyakan kembali solusi yang harus dilakukannya. Kini mereka kembali pada aktivitas masing-masing. "Hanny, papa kan sudah bilang jika papa banyak kerjaan. Mengapa memaksakan ke sini? Asha mana?" tanyanya cepat saat tak dilihatnya Asha bersama mamanya. Khansa tak menjawab, namun dilangkahkan kakinya menuju kursi kebesaran Om Pras dan menghempaskan badannya yang penat di sana. Om Pras tersenyum melihatnya. Perut buncitnya membuat Khansa semakin lucu dan menggemaskan S
Khansa mengirimkan pesan pada Riska agar membuatkan janji dengan Dimas. Khansa haru mengetahui permasalahan yang sedang terjadi di perusahaanya. Tadi saat baru datang dilihatnya Dimas dan Handy ada di sini, itu artinya masalah ini pasti berkaitan dengan mereka berdua. Om Pras tidak mungkin menjawab petanyaan Khansa saat ini, jadi lebih baik dicarinya sendiri jawaban yang diperlukannya. Riska sudah menjawab, dia dan Dimas akan menemuinya di rumah makan dekat kantor Dimas. Sebenarnya Dimas sedang sibuk, namun bujukan Riska membuatnya memberikan waktu pada Khansa untuk menemuinya. Khansa tersenyum saat membaca pesan yang dikirimkan Riska. Kini dia akan berpura-pura baru bangun untuk melancarkan usahanya. Suara langkah kaki menghentikan kegiatan Khansa mengirim pesan, dibaringkan kembali badannya seolah-olah baru saja terbangun jika nanti didengarnya suara Om Pras membuka pintu. Om Pras yang melihat Khansa mengerjapkan matanya saat mendengarnya masuk tersenyum. Syukurlah Khansa baru ban
"Lusa pasti kamu akan tahu Sayang. Sudah sore, kita pulang bareng bagaimana?" tanya papa memberikan saran kembali yang kali ini tidak ditolaknya. Minimal papa bisa membelanya jika Om Pras marah karena dia tidak menjemput Asha di rumah mama Dewi. Om Pras tidak mungkin menyalahkan papa jika aku beralasan ke kantor papa karena ada yang harus dibicarakan dengan papa. "Oke papa, nanti papa mampir atau hanya mengantar saja?" tanya Khansa sambil senyum-senyum membayangkan Om Pras tak akan memarahinya jika bersama papa. "Papa drop saja ya Sayang, kasihan mama jika menunggu papa pulang kerjanya telat," ucap papa dengan wajah menyesal. Khansa mengangguk, papa walau sudah tak lagi muda tapi rasa sayangnya pada mama tetap tak pernah berubah. Khansa tersenyum membayangkan Om Pras yang bisa bersikap seperti papa. Dia pasti sangat senang, karena papa sangat bijaksana berbeda dengan Om Pras yang tegas dan suka memarahinya. Khansa kini berjalan bergelayut di lengan papanya, membuat papa mengelus kep