"Lusa pasti kamu akan tahu Sayang. Sudah sore, kita pulang bareng bagaimana?" tanya papa memberikan saran kembali yang kali ini tidak ditolaknya. Minimal papa bisa membelanya jika Om Pras marah karena dia tidak menjemput Asha di rumah mama Dewi. Om Pras tidak mungkin menyalahkan papa jika aku beralasan ke kantor papa karena ada yang harus dibicarakan dengan papa. "Oke papa, nanti papa mampir atau hanya mengantar saja?" tanya Khansa sambil senyum-senyum membayangkan Om Pras tak akan memarahinya jika bersama papa. "Papa drop saja ya Sayang, kasihan mama jika menunggu papa pulang kerjanya telat," ucap papa dengan wajah menyesal. Khansa mengangguk, papa walau sudah tak lagi muda tapi rasa sayangnya pada mama tetap tak pernah berubah. Khansa tersenyum membayangkan Om Pras yang bisa bersikap seperti papa. Dia pasti sangat senang, karena papa sangat bijaksana berbeda dengan Om Pras yang tegas dan suka memarahinya. Khansa kini berjalan bergelayut di lengan papanya, membuat papa mengelus kep
Khansa berganti baju setelah memastikan Om Pras keluar dari kamar. Sampai hari ini Khansa masih malu jika harus berganti baju di depan Om Pras. Setiap hari Khansa selalu membawa bajunya ke dalam kamar mandi dan berganti di sana. Om Pras hanya tersenyum saat Khansa melakukannya dengan meledeknya jika dia sudah melihat semuanya mengapa masih disembunyikan? tanyanya suatu hari. Setelah selesai berganti, Khansa mencoba membaringkan badannya yang kelelahan. Sesaat pikirannya kembali pada permasalahan kantor. Diingatnya wajah Om Pras saat memijit keningnya tadi, juga wajah papa yang kaget saat dia mengatakan jika sudah mengetahui permasalahan Pabrik. Dalam hati Khansa berjanji akan belajar dengan baik untuk bisa membantu papa dan Om Pras."Susu untuk Dede Shasha datang," ucap Om Pras sesaat melangkah masuk menuju tempat tidur. Dlihatnya Khansa yang sudah berganti baju dan berbaring di tempat tidur. Diletakkannya nampan berisi susu dan kopi di nakas. Om Pras lebih dulu mengambil baju yang t
Khansa, Om Pras, dan Pak Asyraf kini berada di restoran sebuah hotel bintang lima, Khansa tak main-main dengan ucaannya tadi. Makanan yang dipilih juga yang terbaik yang ada di restoran ini. "Papa ingat semua papa yang harus bayar dengan uang saku papa!" seru Khansa saat pelayan datang membawakan makanan. "Siap Hanny, mau tambah lagi pesanannya juga boleh," ledek Om Pras tersenyum pada Khansa. Saat Khansa akan membalas ucapan Om Pras suara salam menyapa mereka, Mereka serentak menjawab salam dan Khansa menoleh ke arah suara yang seperti dikenalnya. "Om Amran!?" seru Khansa kaget. "Om Amran?" tanya Om Pras dalam hati. Bukannya dia adalah orang yang pagi tadi ditemuinya di Bandara? Orang yang tak mau membantu walau dia sudah menaikkan dua kali lipat dari harga pokok. "Amran duduklah! Masih ingat degan putri Om Kan?" tanya papa sambil tersenyum. Amran mengangguk dan menjabat tangan Pak Asyraf hangat. "Oh ya, ini suami Khansa, Prasetya," ucap Pak Asyraf melanjutkan ucapannya. Amran mena
"Brian coba kamu cari informasi mengenai kecelakaan yang menimpa Amanda, apakah benar-benar kecelakaan atau hanya akal-akalan Dewi untuk mendapatkan kepercayaan Rafli. Papa tahu saat itu Pak Asyraf juga sedang mengalami masalah di Gunawan Grup," ucap papa memerintah. "Oh ya Brian, jika ternyata kamu juga ikut andil dalam kecelakaan yang menimpa Amanda dan bekerjasama dengan Dewi, jangan harap meminta bantuan papa jika nanti kamu mendapat balasannya," ucap Xavier mengancam. "Pa, aku ...," ucapan Brian langsung dipotong Xavier dengan tegas. "Pergilah! Bereskan semua permasalahan pribadimu, jangan sampai merugikan di masa depan. Terutama yang berkaitan Dewi, Prasetya sepertinya sudah memegang kuncinya sehingga kini Dewi menuruti ucapan Prasetya," ujar Xavier memberikan petunjuk pada Brian. Brian pamit dan beranjak keluar dari ruangan Xavier, dalam hati masih banyak pertanyaan yang ingin ditanyakannya. Namun Xavier sudah memintanya membereskan urusann
"Jika papa tidak masuk, mama bisa jamin Amran tidak akan berbuat di luar batas?" tanya Om Pras masih dengan rasa kesal yang ditahannya. Khansa tak menjawab, namun apa yang diucapkan Om Pras juga ada benarnya. Khansa tak bisa menjamin apa yang akan di lakukan Om Amran jika dia tidak terbangun. Saat diingat perut besarnya Khansa menggelengkan kepalanya. "Papa, perut Khansa sudah sebesar ini, pasti tidak akan menarik untuk laki-laki manapun," jawabnya cepat dengan rasa kesal karena kecemburuan Om Pras."Siapa yang bilang mama tidak menarik? Mama lucu dengan perut buncitnya. Coba mama bercermin!" tanya Om Pras kembali dengan menahan senyuman. "Oh, jadi papa meledek Khansa, oke. Nanti mama akan bilang pada Asha, biar papa dimarahi karena sudah meledek mama," ucap Khansa sambil bersungut. Khansa bangun dari sofa menuju meja kerjanya untuk mengambil tas yang ada di lemari samping meja."Mama, jangan bawa-bawa Asha. Sudah pasti dia akan membela adiknya,
Rangkaian acara lamaran dari keluarga Dimas sudah selesai, kini tamu undangan dipersilakan memberikan ucapan selamat dan melanjutkan menikmati hidangan yang sudah disiapkan. Asha sudah duduk kembali di kursinya. Kali ini dia membawa banyak buah. Khansa menghampiri karena tertarik dengan tumpukan buah yang dibawa Asha. "Sayang, buat mama mana?' tanya Khansa sambil memasang wajah memelas. "Mama minta diambilkan papa saja," jawab Asha sambil menunjuk papa yang sedang berbincang dengan beberapa rekan bisnisnya. Khansa menarik napas dalam melihat Om Pras dan berganti dengan Asha yang sedang menikmati potongan buah. Khansa memutuskan duduk kembali di kursinya. Saat tubuhnya sudah bersandar pada kursi sebuah tangan menyodorkan piring berisi potongan buah. Khansa tersenyum melihatnya. "Silakan, aku takut jika tidak dituruti dede bayinya akan bersedih," bisik Om Amran yang baru saja meletakkan piring berisi potongan buah-buahan dan duduk di samping Khansa. "Terima kasih, Om. Tahu saja j
"Tidak ada, hanya laporan rutin jika ada yang mencurigakan di lingkungan rumah dan apartemen," jawab Om Pras untuk menenangkan Khansa. Amran yang mendengarnya ikut memberikan ketenangan. "Jika ada masalah yang bisa aku bantu sampaikan saja pada asistenku Pras, jangan ragu," ujar Amran menegaskan. Om Pras hanya mengangguk, dia tak ingin masalah ini dibahas kembali. Dinikmatinya kembali es krim yang mulai mencair. Asha yang duduk di samping Amran terlihat tak terpengaruh dengan pertanyaan Khansa dan juga ucapan Amran. Om Pras menarik nafas dalam. "Wah, terima kasih banyak Pak Pras dan Pak Amran sudah hadir di acara kami. Maaf jika kurang berkenan jamuannya," suara Dimas menyapa Om Pras dan Amran. "Om Dimas tampan sekali dengan jas putihnya, papa Asha juga mau ya jas seperti Om Dimas," ujar Asha saat melihat penampilan Dimas yang berbeda dari biasanya. Khansa dan Riska saling bertatapan dan tersenyum mendengar ucapan Asha. "Boleh Jagoan, nanti kita buat sekalian dengan papa ya. Boleh
Sebelum berangkat Om Pras menghubungi Khansa untuk memastikan keberadaan mereka. Sepertinya nama yang tertulis di balasan chat adalah sebuah restoran. Om Pras mengirimkan pesan pada Rama untuk bersiap menuju lokasi yang dikirimkan Khansa.Sepanjang perjalanan Om Pras merasakan dadanya semakin sesak, ditariknya nafas perlahan dan mencoba mengaturnya agar hilang beban yang seakan menghimpit dadanya."Ram, bisa dipercepat? Aku rasa Khansa sedang kesakitan saat ini," ucapnya memerintah Rama. Laju mobil dirasakannya semakin cepat. Rama kini hanya berkonsentrasi pada jalanan di hadapannya.Hari ini jalanan sangat padat bagi Om Pras, Rama diperintahkannya mencari jalur yang lebih cepat menuju lokasi yang diberikannya. Lampu merahpun kini terasa lama baginya. Sejak mengetahui Khansa keluar bersama Amran pikirannya tak tenang.Mobil yang dikendarai Rama berhasil mengurai kemacetan. Tak lama lagi mereka akan sampai di lokasi restoran. Om Pra
"Sudah Mas, saya simpan dalam laci meja di pabrik," jawab Raihan pelan."Besok antarkan padaku. Semuanya harus dipastikan sesuai sebelum Khansa menerimanya. Aku tak ingin ada kesalaha di masa depan," tekan Asyraf pada Raihan yang hanya terdiam di kursinya.Raihan tak berani memberikan komentar hanya terdiam sambil menatap lurus pada wajah kakaknya yang terlihat lebih pucat kini."Mas sebaiknya istirahat. Aku panggilkan Mba Arini sekalian pamit kembali ke pabrik," ujar Raihan tanpa meminta pesetujuan. Raihan yakin hanya Mba Arini yang kini didengar Asyraf. Jika mereka melanjutkan perbincangan sudah dipastikan akan melelahkan Asyraf. Raihan bergegas keluar ruang kerja Asyraf dan memanggil Mba Arini yang menunggu di ruang keluarga. Setelah menyampaikan keinginan Asyraf bertemu Khansa dan Prasetya, Raihan melangkah keluar. Dari sudut matanya dilihat tangan Mba Arini mengusap pipinya dan memastikan sekali lagi sebelum melangkahkan kakinya menuju ruang kerja Asyraf yang baru ditinggalkanny
"Rama lihatlah dengan mata hatimu jangan melihat hanya di kulitnya saja," ucap Pak Burhan lagi sambil melangkahkan kakinya keluar ruang rapat. Rama terdiam sesaat. Dicoba mengingat apa yang dipesankan Prasetya padanya. Dari proses serah terima Prasetya tak pernah terlihat marah dengan Pak Burhan, namun kemarahannya pada saat bertatapan dengan Brian. Apakah Pak Burhan sebenarnya berpihak pada Prasetya? Bukan pada Brian? batin Rama bertanya.Rama tersenyum saat mengingat pesan Prasetya jika Pak Burhan pasti akan memperhatikan kesejahteraan karyawannya. Sepertinya kini dia bisa tenang menjalankan tanggung jawabnya di Kampus Pratama. Sudah lama sekali dia tak berkunjung secara langsung. Selama ini setiap rapat dan pertemuan selalu dalam daring. Rama tersenyum lebih lebar lagi. Kini ditinggalkannya ruangan rapat yang penuh kenangan perjuangannya dengan Prasetya. ***"Raihan, bagaimana kondisi pabrik hari ini?" tanya Pak Asyraf di ponselnya."Sudah mencapai 80% pemulihan produksi pabrik,
"Jika nanti papa bukan lagi pimpinan Narendra, Hanny masih mencintai papa kan?" tanya Om Pras melanjutkan pertanyaannya tanpa menjawab pertanyaan Khansa.Khansa beranjak bangun dari pelukan Om Pras. Ditatapnya mata Om Pras dalam untuk mendapatkan kepastian dari ucapan-ucapannya. Awalnya Khansa menduga jika itu hanyalah candaan, namun saat dilihat kejujuran di mata Om Pras Khansa menarik nafas dalam dan menghembuskannya pelahan. "Pa, jika memang itu yang terbaik mama akan mendukung papa. Mama hanya ingin papa sehat dan bisa bersama dengan Asha dan Shasha hingga mereka dewasa," ucapnya sambil merebahkan kembali kepalanya dalam pelukan Om Pras. Tak ada perbincangan selanjutnya hingga akhirnya terdengar hembusan nafas pelan Khansa yang tertidur. Om Pras merebahkan kepala Khansa disampingnya dan menarik selimut menutupi tubuh Khansa pelan."Hanny, papa akan menyelesaikan semua masalah Narendra terlebih dahulu. Papa tidak ingin ada orang yang mencari keuntungan dan menghancurkan Narendra
"Hanny, mengapa ke sini?" tanya Om Pras yang langsung bangun menghampiri Khansa saat mengenali suara yang baru masuk. Om Pras menarik tangan Khansa agar tak ikut masuk ke dalam. Dia tak ingin Khansa ikut terlibat dalam perseteruannya dengan Brian. "Hanny, papa akan menyelesaikan semuanya dahulu. Hanny jaga Asha dan Shasha saja ya," ujar Om Pras setelah dia memaksa Khansa duduk di ruang tunggu tamu. "Tapi, Pa!" potong Khansa cepat. Om Pras menatap Khansa dengan tajam seakan meyakinkannya jika permasalahan di perusahaan akan segera berakhir. Khansa masih meragukan apa yang dilihatnya, namun tatapan mata Om Pras membuatnya tersadar. Jika bukan karena Khansa yang datang sendiri, mungkin dia tak akan seyakin saat ini. "Hanny diantar pulang Gilang. Sekalian menjemput Asha di sekolah. Setelah urusan papa selesai, papa langsung pulang. Bagaimana?" tanya Om Pras setelah memberikan sedikit penjelasan. Khansa mengangguk setuju. Om Pras harus menjelaskan banyak hal padanya. Mama De
"Nadin, aku mohon jangan membuatku bertambah gila dengan rasa bersalah," ujar Rama menghentikan gerakan kursi roda Nadin yang beranjak meninggalkan Rama di taman.Rama tersenyum, ternyata Nadin masih memperhatikan perasaannya. Dilangkahkan kakinya hingga sampai di belakang kursi roda. Saat Rama datang tadi Nadin sedang berjalan melanjutkan terapinya. Perawat yang selalu menemaninya kini sudah berada di hadapan mereka."Mba Nadin sebaiknya melanjutkan terapi dahulu, tadi sudah berjalan lebih jauh dari biasanya!" ujar perawat sambil meletakkan air dalam baskom yagn sudah dberikan obat terapi untuk merendam kedua kaki Nadin. Rama memberi tanda agar perawat meinggalkan mereka."Nadin, biar aku yang melanjutkan terapinya," ucapnya sambil berjongkok dan mulai memijat kaki Nadin. Dahulu sebelum Nadin sadar setiap hari Rama yang melakukan terapi pijatan pada Nadin. Semenjak Nadin sadar, dia selalu menolaknya.Kini Nadin berusaha memahami semua y
"Ram, kini aku sudah tidak sama seperti dahulu. Terapi yang kujalani terasa lambat memberikan kesembuhan. Aku tak ingin menjadi bebanmu, Ram," ucap Nadin dalam hati dengan tatapan nanar.Hingga mobil Rama tak terlihat, barulah Nadin menghembuskan nafas perlahan. Digerakkan tangannya memutar roda agar bisa masuk ke dalam rumah. Mama Dewi yang memperhatikan kejadian di teras, menghampiri dan mendorong kursi roda menuju kamar Nadin. Dibantunya menjaga keseimbangan tubuh Nadin yang beranjak ke atas kasur.Tatapan mata Nadin seakan memohon untuk ditinggalkan sendiri. Namun Mama Dewi tetap berujar pelan, "Rama tak pernah berhenti mencintaimu Nadin. Yakinlah."Nadin tak membantah, namun juga tak menjawab ucapan Mama Dewi. Diperhatikannya Mama Dewi mengeser kursi ke samping tempat tidur agar nanti saat Nadin akan menggunakannya mudah dijangkau."Istirahatlah, Sayang. Mama tunggu nanti di meja makan ya!" perintah mama dengan suara lembut.
"Brian?!!" tanya handy terkejut.Brian tersenyum sekilas. Sedangkan Pak Burhan langsung memahami keterkejutan orang yang di hadapannya. Sebelum berangkat tadi Brian sudah menjelaskan jika dia mengenal beberapa orang yang akan rapat nanti. "Perkenalkan. Ini rekan saya yang selalu membantu, bisa dikatakan Brian adalah asisten saya saat ini," jawab Pak Burhan tegas sehiingga membuat Handy memundrkan langkahnya perlahan dan mempersilaan mereka berdua masuk. Om Pras dan Rama yang mendengar sekilas ucapan Handy dan Pak Burhan saling memandang sesaat dan tersenyum kecil. Sepertinya dugaan mereka tepat. Brian mencari orang yang akan digunakan sebagai rekan kerja sama untuk mencapai tujuan yang kemarin gagal. Batin Om Pras yang kni menatap Brian yang berjalan di samping Pak Burhan. Om Pras berdiri untuk menyabut salah satu dewan direksi yang dibacanya dari daftar pada berkas di hadapannya. Setelah sampai di hadapan Pak Burhan diulurkan tangannya untuk saling berjabat tangan. Pak Burhan meny
"Papa ..., aku pergi dahulu. Aku akan menemui orang yang bisa membantu memperlancar rencanaku," ucap Brian pamit pada Hary. "Brian ..., hati-hatilah. Jangan terlalu memaksa jika memang itu akan membuatmu celaka," pesan papa sebelum Brian meninggalkan Hary sendiri di rumah. Brian menatap sesaat pada papanya. Akhir-akhir ini papa sudah tak pernah mengungkit masa lalunya. Papa lebih banyak mengurung diri di kamar. Sepertinya papa kangen dengan Mama Pratiwi dan adiknya Diana. Batin Brian saat melangkah meninggalkan pintu dan menutupnya kembali. Brian masuk ke dalam mobilnya yang terparkir di samping rumah sederhana yang ditinggalinya sebulan belakangan. Kali ini tujuannya adalah kantor Prasetya. Dia akan mendampingi pemegang saham baru yang akan menemui pemilik Narendra Corp. namun sebelumnya dia akan menemui Burhan, orang yang membantunya dan pesawat yang membawanya baru saja mendarat. Setibanya di Bandara Brian masih harus menunggu karena bagasi yang terlambat serta proses peng
"Gilang hati-hati!" pesan Om Pras sedikit berteriak pada Gilang yang sudah menuju ruang tamu. Gilang hanya memberikan jempolnya tanda mengerti pada Om Pras dan Khansa dari ruang tamu.Sepeninggal Gilang Om Pras elanjutkan sarapan d temani Khansa. Dalam hati Khansa ingin sekali menanyakan masalah-masalah yang terjadi akhir-akhir ini, pabrik papanya hingga kecelakaan yang dialami Nadin, namun melihat Om Pras yang makan dengan lahap diurungkan niatnya. Suara dering telepon menghentikan kegiatan makan Om Pras. Diliriknya layar yang menyala di meja."Rama," gumam Om Pras yang masih terdengar samar oleh Khansa.Khansa melirik sekilas pada Om Pras, wajahnya kini sedikit gusar. Ada kekhawatiran jika kabar yang akan disampaikan Rama bukan kabar yang diinginkannya. Diambilnya telepon dan menggeser layar untuk menjawab panggilan Rama."Ada apa Ram?" tanya Om Pras setelah mendengar suara Rama di seberang."Semalam mobil Brian dipastikan kemba