"Riska, bagaimana kabar Ibu?" tanya Dimas saat mereka kembali makan siang bersama. "Baik Dim, terima kasih sudah banyak membantu. Sekarang ibu hanya melakukan kontrol setiap bulan sekali ke rumah sakit," jelas Riska. "Syukurlah," ucap Dimas singkat. Sebuah pesan masuk hingga Dimas kini mengalihkan konsentrasinya pada ponsel yang dipegangnya.Handy yang baru kembali setelah memesan makanan sekaligus ke toilet terlihat sedikit bingung dengan kondisi di hadapannya, di tatapnya Riska yang sedang menatap ke arah luar jendela berganti dengan Dimas yang sedang memainkan ponselnya. "Mengapa mereka tidak saling berbicara?" tanya Handy dalam hati."Kok diam-diaman seperti sedang marahan saja!" seru Handy saat akan duduk kembali di kursinya. Dimas menatap Riska sebentar dan menjawab, "Maaf Han, aku ada pesan dari kantor jadi harus kubalas secepatnya. Maaf ya Ris," ucap Dimas mencoba mencairkan suasana. Riska hanya membalas dengan senyuman.Entah mengapa Riska m
Riska yang mendengar ucapan dan pertanyaan Gilang menatapnya tak mengerti. "Jangan dengarkan Gilang Ris, ayo aku antar pulang!" perintah Dimas pada Riska yang dijawab dengan anggukan kepala Riska. "Hei ...! Aku belum selesai makannya!" seru Gilang. "Lanjutkan saja, semua sudah dibayar Handy tadi," ucap Dimas sesaat akan melangkah. Riska kemudian ikut bangun dan melangkah di belakang Dimas. Gilang hanya menatap kepergian Dimas dan Riska dengan senyum yang mengembang. "Sepertinya aku tahu siapa yang akan memenangkannya," ucap Gilang dalam hati. Dimas sudah mengendarai mobilnya menuju rumah Riska, dia tahu dari Gilang jika Riska sudah pindah dan membeli rumah dengan mencicil. Karena itulah dia membawa ibu dan ayahnya tinggal bersamanya. "Ris, maaf aku belum tahu daerah rumahmu yang baru apakah bisa diarahkan?" tanya Dimas dengan mata yang tetap terfokus pada jalanan. "Iya Dim, nanti aku arahkan sampai di perumahan G ya. Nanti ikuti saja yang aku ucapkan," ucap Riska membalas ucapan Dim
"Ibu, Riska sudah menyetujui dalam perjalanan tadi, bulan depan saat ulang tahun Riska mama dan papa akan datang melamar," janji Dimas pada ibu yang kemudian meneteskan butir bening dari sudut matanya. Riska yang melihatnya melangkang mendekati dan menghapusnya dengan lembut. "Riska, ibu harap kamu bisa menjadi istri yang baik untuk Dimas, jangan seperti sebelumnya sering memberikan banyak alasan jika ibu minta Dimas datang," ucap ibu pelan sambil menatap pada Riska yang kembali menunduk. Dimas tersenyum melihatnya, ternyata selama ini ibu meminta Riska menemuinya, tapi tidak dilakukannya. "Ibu, Dimas minta maaf dengan kesibukan pekerjaan, bukan salah Riska jika akhirnya tidak menyampaikan pesan ibu. Lagi pula sekarang semuanya sudah disetujui oleh Riska, bukan begitu Sayang?" tanya Dimas yang membuat wajah Riska merona karena panggilan 'Sayang' yang diucapkan DImas. "Ayah, ibu. Dimas harus kembali ke kantor. Riska sudah diizinkan pulang oleh bosnya, jadi bisa menemani ibu di rumah
Rama memberikan tanda pada Handy dan Dimas untuk segera meninggalkan ruang Om Pras. Mereka berdua tak menunggu lama, bangun dan melangkah keluar mengikuti Rama. Setelah mereka berhasil keluar, dihembuskan nafas lega. Sesaat kemudian mereka saling berpandangan dan tersenyum menyaksikan peristiwa yang jarang terjadi. Huft ..., biarlah kini menjadi urusan bosnya. Rama meminta Handy dan Dimas menunggu kabar darinya. Jika Pak Pras sudah bisa menyelesaikan urusan pribadinya dengan istrinya, nanti akan ditanyakan kembali solusi yang harus dilakukannya. Kini mereka kembali pada aktivitas masing-masing. "Hanny, papa kan sudah bilang jika papa banyak kerjaan. Mengapa memaksakan ke sini? Asha mana?" tanyanya cepat saat tak dilihatnya Asha bersama mamanya. Khansa tak menjawab, namun dilangkahkan kakinya menuju kursi kebesaran Om Pras dan menghempaskan badannya yang penat di sana. Om Pras tersenyum melihatnya. Perut buncitnya membuat Khansa semakin lucu dan menggemaskan S
Khansa mengirimkan pesan pada Riska agar membuatkan janji dengan Dimas. Khansa haru mengetahui permasalahan yang sedang terjadi di perusahaanya. Tadi saat baru datang dilihatnya Dimas dan Handy ada di sini, itu artinya masalah ini pasti berkaitan dengan mereka berdua. Om Pras tidak mungkin menjawab petanyaan Khansa saat ini, jadi lebih baik dicarinya sendiri jawaban yang diperlukannya. Riska sudah menjawab, dia dan Dimas akan menemuinya di rumah makan dekat kantor Dimas. Sebenarnya Dimas sedang sibuk, namun bujukan Riska membuatnya memberikan waktu pada Khansa untuk menemuinya. Khansa tersenyum saat membaca pesan yang dikirimkan Riska. Kini dia akan berpura-pura baru bangun untuk melancarkan usahanya. Suara langkah kaki menghentikan kegiatan Khansa mengirim pesan, dibaringkan kembali badannya seolah-olah baru saja terbangun jika nanti didengarnya suara Om Pras membuka pintu. Om Pras yang melihat Khansa mengerjapkan matanya saat mendengarnya masuk tersenyum. Syukurlah Khansa baru ban
"Lusa pasti kamu akan tahu Sayang. Sudah sore, kita pulang bareng bagaimana?" tanya papa memberikan saran kembali yang kali ini tidak ditolaknya. Minimal papa bisa membelanya jika Om Pras marah karena dia tidak menjemput Asha di rumah mama Dewi. Om Pras tidak mungkin menyalahkan papa jika aku beralasan ke kantor papa karena ada yang harus dibicarakan dengan papa. "Oke papa, nanti papa mampir atau hanya mengantar saja?" tanya Khansa sambil senyum-senyum membayangkan Om Pras tak akan memarahinya jika bersama papa. "Papa drop saja ya Sayang, kasihan mama jika menunggu papa pulang kerjanya telat," ucap papa dengan wajah menyesal. Khansa mengangguk, papa walau sudah tak lagi muda tapi rasa sayangnya pada mama tetap tak pernah berubah. Khansa tersenyum membayangkan Om Pras yang bisa bersikap seperti papa. Dia pasti sangat senang, karena papa sangat bijaksana berbeda dengan Om Pras yang tegas dan suka memarahinya. Khansa kini berjalan bergelayut di lengan papanya, membuat papa mengelus kep
Khansa berganti baju setelah memastikan Om Pras keluar dari kamar. Sampai hari ini Khansa masih malu jika harus berganti baju di depan Om Pras. Setiap hari Khansa selalu membawa bajunya ke dalam kamar mandi dan berganti di sana. Om Pras hanya tersenyum saat Khansa melakukannya dengan meledeknya jika dia sudah melihat semuanya mengapa masih disembunyikan? tanyanya suatu hari. Setelah selesai berganti, Khansa mencoba membaringkan badannya yang kelelahan. Sesaat pikirannya kembali pada permasalahan kantor. Diingatnya wajah Om Pras saat memijit keningnya tadi, juga wajah papa yang kaget saat dia mengatakan jika sudah mengetahui permasalahan Pabrik. Dalam hati Khansa berjanji akan belajar dengan baik untuk bisa membantu papa dan Om Pras."Susu untuk Dede Shasha datang," ucap Om Pras sesaat melangkah masuk menuju tempat tidur. Dlihatnya Khansa yang sudah berganti baju dan berbaring di tempat tidur. Diletakkannya nampan berisi susu dan kopi di nakas. Om Pras lebih dulu mengambil baju yang t
Khansa, Om Pras, dan Pak Asyraf kini berada di restoran sebuah hotel bintang lima, Khansa tak main-main dengan ucaannya tadi. Makanan yang dipilih juga yang terbaik yang ada di restoran ini. "Papa ingat semua papa yang harus bayar dengan uang saku papa!" seru Khansa saat pelayan datang membawakan makanan. "Siap Hanny, mau tambah lagi pesanannya juga boleh," ledek Om Pras tersenyum pada Khansa. Saat Khansa akan membalas ucapan Om Pras suara salam menyapa mereka, Mereka serentak menjawab salam dan Khansa menoleh ke arah suara yang seperti dikenalnya. "Om Amran!?" seru Khansa kaget. "Om Amran?" tanya Om Pras dalam hati. Bukannya dia adalah orang yang pagi tadi ditemuinya di Bandara? Orang yang tak mau membantu walau dia sudah menaikkan dua kali lipat dari harga pokok. "Amran duduklah! Masih ingat degan putri Om Kan?" tanya papa sambil tersenyum. Amran mengangguk dan menjabat tangan Pak Asyraf hangat. "Oh ya, ini suami Khansa, Prasetya," ucap Pak Asyraf melanjutkan ucapannya. Amran mena