Gilang menatap Brian tak percaya, kemudian menggelengkan kepalanya. "Tak ada Brian, Dimas tak pernah menceritakan masalah pribadinya," ucap Gilang singkat dan langsung membalikkan badannya melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Gilang kini tak percaya dengan Brian, cukup satu kali dia bekerja sama dengannya dan akan dipastikan ini adalah yang terakhir kalinya.
Brian tersenyum kecut melihat sikap Gilang yang tak bersahabat. Sebuah panggilan masuk diponselnya membuatnya tersenyum , Handy menghubunginya. Sepertinya rencana papa sudah mulai dilaksanakannya. Semoga saja kali ini bisa berhasil dengan baik, tidak seperti sebelumnya. Batin Brian sambil menggeser layar ponsel untuk memulai percakapan terkait kerja sama yang mereka lakukan."Bagaimana Han? Xavier sudah menghubungimu bukan?" tanya Brian cepat setelah terdengar suara di seberang. "Ya, hanya aku masih tidak memahami tujuan yang diinginkannya," ucap Handy jujur. "Bagian mana yang kurang paham Han? Aku bisa bantu"Hanny, sudah selesai memeriksanya?" tanya Om Pras. Yasmine sudah mengirimkan waktu bertemu di rumah sakit sekitar pukul sebelas. Khansa menatap Om Pras sesaat. Om Pras melihat ke arah meja. Khansa tak memeriksa laporannya, namun banyak coretan-coretan yang dibuatnya."Aku kan sudah bilang aku tidak bisa Om!" seru Khansa kesal sambil melemparkan pupen ke atas meja yang akhirnya terjatuh di dekat kaki Om Pras. Selalu saja jika kesal memanggilnya dengan panggilan yang tak disukainya. Om Pras mengambil pulpen dan meletakkannya di atas meja. Kali ini dibiarkannya Khansa berbuat semaunya, bagaimanapun Khansa pasti sedang gelisah menunggu hasil tes DNA yang dilakukannya. "Kita pergi sekarang, Yasmine mengabari akan sampai di rumah sakit pukul sebelas," ucap Om Pras sambil menatap dalam Khansa. Sesaat Khansa terdiam hingga akhirnya bangun dan mengulurkan tangannya mengambil tas di meja. Khansa menatap lekat Om Pras dan mengangguk menandakan dia sudah siap berangkat. Perjalanan menuju rumah
Dimas memesan minuman setelah mereka berdua duduk di sana. Sambil menunggu minuman datang Dimas meletakkan dua amplop di atas meja. Keduanya sama dengan amplop yang baru saja diterimanya. Tapi mengapa Dimas juga memiliki hasil DNA yang dilakukannya? tanya Yasmine dalam hati. "Yasmine ada yang ingin membuat masalah antara Brian dan Prasetya, dimulai dari hasil DNA yang diubahnya," ucap Dimas menjelaskan. "Siapa Dim? Apakah Papa Xavier?" tanya Yasmine menerka. Dimas mengangguk, namun dilanjutkan ucapannya untuk meminta Yasmine membantunya. Kemarin saat dia dan Gilang menemui Prasetya di kantornya, mereka bersepakat saling membantu. Prasetya meminta Dimas dan Gilang menyelidiki hasil tes DNA Brian dan Yasmine, jika sudah ada hasilnya mereka harus melaporkan langsung pada Prasetya. Saat didapatkannya informasi yang sebenarnya, Prasetya meminta Gilang mengawasi orang yang melakukannya, setelah dia dan Yasmine memutuskan melakukan tes DNA. Dimas dengan koneksinya berhasil mendapatkan inf
Mobil Rama sudah memasuki halaman rumah besar, Asha sudah sejak dari sekolah tak habis-habisnya bercerita mengenai Nenek dan Tante Nadinnya. Hingga Rama hapal kebiasaan yang dilakukan Nadin.Rama tersenyum saat diketahuinya jika Nadin Takut pada kucing. Bagaimana bisa hewan semanis kucing bisa menjadi menakutkan untuk Nadin. "Asha serius Tante Nadin takut kucing?" tanya Rama penasaran. Asha dengan cepat mengangguk. Mobil kini dihentikan agak jauh dari teras, karena akan makan siang dahulu pasti mobil akan lama terparkir. Rama turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Asha. Saat dilihatnya Nenek Dewi sudah menunggu di teras, Asha berlari menghampiri. Di sampingnya berdiri Nadin yang terlihat sangat cantik. Rama langsung menunduk saat hatinya memberi penilaian pada Nadin. Rama takut jika dia tak bisa menahan diri padahal dia baru saja memulai hubungan dengan Diana. "Mengapa setelah aku memutuskan bersama Diana, kini di matanya Nadin terlihat berbeda?" tanyanya
Rama kembali membalikkan badannya, menatap Nadin sesaat dan menduga apa yang akan dikatakan selanjutnya. Meminta bantuan padanya yang berkaitan dengan mama dan papanya yang sudah meninggal. "Ada apa sebenarnya dengan Nadin?" tanya Rama membatin. "Ram, entah mengapa peristiwa kecelakaan itu belakangan ini selalu menghampiri pikiranku. Penjelasan Prasetya mengenai kecelakaan yang terjadi sampai hari ini masih membuatku menebak siapa pelakunya. Jika mobil itu digunakan Pras dan papanya kemungkinan yang akan meninggal saat itu adalah papanya Pras, bukan begitu Ram?" jelas Nadin dengan diakhiri pertanyaan yang tak bisa di jawab Rama. "Maksudmu apa Nadin? Aku belum memahaminya. Apakah kamu ingin tahu siapa pelakunya?" tanya Rama menatap lekat Nadin. Dilihatnya Nadin mengangguk pasti. Rama berpikir keras bagaimana caranya menjawab pertanyaan yang menjadi masa lalu kelam keluarga besar Narendra. "Aku harus melakukan konfirmasi terlebih dahulu. Apalagi ini berkaitan dengan masa lalu. Bisakah
"Riska, bagaimana kabar Ibu?" tanya Dimas saat mereka kembali makan siang bersama. "Baik Dim, terima kasih sudah banyak membantu. Sekarang ibu hanya melakukan kontrol setiap bulan sekali ke rumah sakit," jelas Riska. "Syukurlah," ucap Dimas singkat. Sebuah pesan masuk hingga Dimas kini mengalihkan konsentrasinya pada ponsel yang dipegangnya.Handy yang baru kembali setelah memesan makanan sekaligus ke toilet terlihat sedikit bingung dengan kondisi di hadapannya, di tatapnya Riska yang sedang menatap ke arah luar jendela berganti dengan Dimas yang sedang memainkan ponselnya. "Mengapa mereka tidak saling berbicara?" tanya Handy dalam hati."Kok diam-diaman seperti sedang marahan saja!" seru Handy saat akan duduk kembali di kursinya. Dimas menatap Riska sebentar dan menjawab, "Maaf Han, aku ada pesan dari kantor jadi harus kubalas secepatnya. Maaf ya Ris," ucap Dimas mencoba mencairkan suasana. Riska hanya membalas dengan senyuman.Entah mengapa Riska m
Riska yang mendengar ucapan dan pertanyaan Gilang menatapnya tak mengerti. "Jangan dengarkan Gilang Ris, ayo aku antar pulang!" perintah Dimas pada Riska yang dijawab dengan anggukan kepala Riska. "Hei ...! Aku belum selesai makannya!" seru Gilang. "Lanjutkan saja, semua sudah dibayar Handy tadi," ucap Dimas sesaat akan melangkah. Riska kemudian ikut bangun dan melangkah di belakang Dimas. Gilang hanya menatap kepergian Dimas dan Riska dengan senyum yang mengembang. "Sepertinya aku tahu siapa yang akan memenangkannya," ucap Gilang dalam hati. Dimas sudah mengendarai mobilnya menuju rumah Riska, dia tahu dari Gilang jika Riska sudah pindah dan membeli rumah dengan mencicil. Karena itulah dia membawa ibu dan ayahnya tinggal bersamanya. "Ris, maaf aku belum tahu daerah rumahmu yang baru apakah bisa diarahkan?" tanya Dimas dengan mata yang tetap terfokus pada jalanan. "Iya Dim, nanti aku arahkan sampai di perumahan G ya. Nanti ikuti saja yang aku ucapkan," ucap Riska membalas ucapan Dim
"Ibu, Riska sudah menyetujui dalam perjalanan tadi, bulan depan saat ulang tahun Riska mama dan papa akan datang melamar," janji Dimas pada ibu yang kemudian meneteskan butir bening dari sudut matanya. Riska yang melihatnya melangkang mendekati dan menghapusnya dengan lembut. "Riska, ibu harap kamu bisa menjadi istri yang baik untuk Dimas, jangan seperti sebelumnya sering memberikan banyak alasan jika ibu minta Dimas datang," ucap ibu pelan sambil menatap pada Riska yang kembali menunduk. Dimas tersenyum melihatnya, ternyata selama ini ibu meminta Riska menemuinya, tapi tidak dilakukannya. "Ibu, Dimas minta maaf dengan kesibukan pekerjaan, bukan salah Riska jika akhirnya tidak menyampaikan pesan ibu. Lagi pula sekarang semuanya sudah disetujui oleh Riska, bukan begitu Sayang?" tanya Dimas yang membuat wajah Riska merona karena panggilan 'Sayang' yang diucapkan DImas. "Ayah, ibu. Dimas harus kembali ke kantor. Riska sudah diizinkan pulang oleh bosnya, jadi bisa menemani ibu di rumah
Rama memberikan tanda pada Handy dan Dimas untuk segera meninggalkan ruang Om Pras. Mereka berdua tak menunggu lama, bangun dan melangkah keluar mengikuti Rama. Setelah mereka berhasil keluar, dihembuskan nafas lega. Sesaat kemudian mereka saling berpandangan dan tersenyum menyaksikan peristiwa yang jarang terjadi. Huft ..., biarlah kini menjadi urusan bosnya. Rama meminta Handy dan Dimas menunggu kabar darinya. Jika Pak Pras sudah bisa menyelesaikan urusan pribadinya dengan istrinya, nanti akan ditanyakan kembali solusi yang harus dilakukannya. Kini mereka kembali pada aktivitas masing-masing. "Hanny, papa kan sudah bilang jika papa banyak kerjaan. Mengapa memaksakan ke sini? Asha mana?" tanyanya cepat saat tak dilihatnya Asha bersama mamanya. Khansa tak menjawab, namun dilangkahkan kakinya menuju kursi kebesaran Om Pras dan menghempaskan badannya yang penat di sana. Om Pras tersenyum melihatnya. Perut buncitnya membuat Khansa semakin lucu dan menggemaskan S
"Apakah perhitungan keuntungan tidak sesuai dengan kontrak sebelumnya?" tanya Om Pras penasaran melihat ekspresi Brian."Bukan... bukan. Aku kira aku harus membayarkan finalti karena kesalahan yang kulakukan. Tapi...," ucapan Brian dipotong Om Pras."Brian sudah kukatakan sejak awal. Bagaimanapun kamu adalah bagian dari keluarga besar kami. Apalagi kamu sudah menyelamatkan Daniar. Anggap saja sebagian merupakan kompensasi ucapan terima kasih kami padamu. Kami harap kehidupanmu selanjutnya bisa lebih," ucap Om Pras menjelaskan."Terima kasih banyak Pak Pras, aku berjanji tak akan melakukan kesalahan lagi," ucap Brian pelan.Brian kamu akan mengeluarkan biaya pengobatan yang besar untuk Hary, Diana sudah menghubungiku untuk meminta bantuan tanpa sepengetahuanmu, Batin Prasetya sambil tersenyum pada Brian. Aku sudah berjanji pada Diana tidak akan memberitahukanmu. Selamanya ini akan kusipan baik-baik.***"Mama... Papa...!"
Khansa menyeruak kerumunan orang, tadi dia yakin elihat Kak Yasmine dan Amran. Semoga apa yang dilihatnya memang benar, batinnya meragu. Khansa tersenyum sekilas saat melihat mereka berdua memang ada di sana. Yansmin dan Daniar berjongkok di samping Brian yang terluka. Amran sedang melakukan panggilan telepon. Khansa menghampiri Kak Yasmine dan Daniar."Kak... Bagaimana?" tanyanya gugup."Khansa! Sedang apa...?" kaget suara Yasmine melihat adiknya di sini."Aku menjemput Asha dan melihat kecelakaan. Daniar...?" tanyanya kini pandangannya beralih pada Daniar yang masih menangis.Daniar menggeleng pelan sambil berucap, "Ayah... tante."Suara ambulan membelah kerumunan hingga petugas mengangkat tubuh Brian. Daniar dipeluk Kak Yasmine sambil menenangkan tangisnya yang mengeras. Amran terlihat berbincang sejenak dengan petugas ambulan, kemudian memberikan perintah pada sopirnya."Kita ke rumah sakit. Khansa sud
Khansa mendengar suara lain yang meneriakkan nama 'Daniar'. Sesaat kemudian Khansa menghentikan langkahnya setelah lebih dahulu memastikan yang dilihatnya. Sejenak Khansa memastikan sekali lagi sebelum berbalik kembali ke mobil yang membawa mereka tadi."Asha, mama bisa minta tolong?" tanya Khansa pelan.Asha yang masih shok dengan apa yang dilihatnya tadi hanya mengangguk kecil tanpa menjawab. Khansa memahami kekhawatiran Asha pada Daniar."Sayang yang tertabrak bukan Kak Daniar. Namun mama ingin memastikan kondisi kakak. Asha pulang dengan sopir ya. Mama titip Shasha. Tadi minta dibelikan es krim," ucap Khansa cepat.Tanpa menunggu anggukan kepala Asha, Khansa kini berpesan pada sopir, "Pak bawa Asha pulang dahulu, sekalian kabari Pak Prasetya. Saya menunggu di rumah sakit."Sopir yang mengerti maksud Khansa langsung menyalakan kembali mesin mobilnya dan mulai bergerak meninggalkan Khansa yang kembali menuju lokasi kecelakaan. K
"Iya mama, Daniar sudah siap bertemu ayah," jawab Daniar memastikan permintaannya. Yasmine memahami rasa sakit yang dirasakan Daniar oleh penolakan yang dilakukan Brian. Sama sakitnya karena hal itu berarti tuduhan padanya melakukan perselingkuhan dahulu. Yasmine menarik napas dalam setelah memastikannya. "Daniar, mama akan menghubungi ayah dahulu. Jika waktunya sudah disepakati, sepulang sekolah kita akan menemuinya?" ucap Yasmine dengan suara pelan. "Iya ma boleh," jawab Daniar singkat. "Baiklah, aku akan menemani kalian bertemu Brian. Aku akan menjaga jarak agar Brian nyaman bertemu Daniar, Bagaimana?" tanya Amran sekaligus permintaan untuk menemani mereka. "Sudah seharusnya. Aku juga tak akan membiarkan Daniar tanpa pengawasan. Terima kasih Amran," ucap Om Pras menyetujui permintaan Amran. Yasmine mengangguk setuju. Daniar mengucapkan terima kasih pada Papa Amran dan pamit untuk bermain kembali dengan Asha dan Shasha. *** "Pa, Rama masih cuti. Apa harus hari in
Daniar terdiam sesaat mendengar ucapan mamanya, satu hal yang ingin dilupakannya namun diucapkan dengan jelas oleh mamanya. Sesaat diingatnya saat Ayah Brian menolak mengakuinya sebagai putrinya. Mama menangis dan memohon untuk melakukan pengecakan kembali, namun ayahnya menolak. "Mama..., apakah ayah sudah mengakui Daniar sebagai putrinya?" tanyanya polos menatap Yasmine ragu. "Daniar, kamu memang putri dari Ayah Brian. Apakah mama masih belum cukup membuktikannya pada Daniar?" tanya mama menekankan."Ma, Daniar percaya pada mama, tapi ayah....?" ucapnya pelan. Daniar tak melanjutkan ucapannya. Luka yang digoreskan ayah kandungnya perlahan kembali terbuka. Penolakan yang dilakukan hingga tuduhan yang membuat mamanya menangis dahulu kembali terbersit dalam ingatannya. "Daniar, Papa Amran rasa kali ini Ayah Brian sudah mengetahui kebenarannya. Daniar mau memaafkannya bukan?" ucapan Amran membuat Daniar menoleh padanya dan menatap tak percaya. "Ayah Brian ingin bertemu dengan Daniar
"Jika kamu adalah laki-laki sejati, selesaikanlah permasalahan yang seharusnya sudah selesai. Jangan membuat orang lain menderita karena kamu tidak bertanggung jawab," ucap Om Pras menatap tajam Brian dan langsung membalikkan badannya untuk melanjutkan langkah yang tertunda.Brian terdiam mendengarnya. Sudah lama dia tak menanyakan kabar putrinya yang sempat ditolak keberadaannya. Setelah Papa Hary meminta dikirim ke luar negeri untuk proses kesembuhan ditemani Mama Pratiwi dan Diana, Brian mendapatkan informasi jika Daniar memang putri kandungnya. Yasmine sudah tak pernah mencarinya. Brian mendengar jika saat ini Yasmine bekerja di sebuah perusahaan asing dan sudah memiliki posisi yang cukup tinggi, "Apakah ini sebabnya mereka tak mencari keberadaanku?" tanya Brian dalam hati.Seketika rasa rindu menyeruak. Aku akan mencoba menemui Daniar. Pasti Daniar senang jika aku menemuinya, batin Brian dengan senyum tersungging di bibirnya. ***"Bagaimana menurutmu AMran? Apakah aku harus men
"Pras! Apa maksudmu?" seru Rama kesal mendengar ucapan Om Pras. "Pras, apa yang membuat kamu tidak menyetujuinya. Bukannya kamu selalu meminta mama merestui hubungan Nadin dan Rama?" tanya mama heran. Om Pras menatap tajam sesaat. Lama kelamaan wajahnya mengendur dan menarik napas panjang. "Aku tidak setuju jika pernikahan mereka ditunda-tunda. Seluruh persiapan dan acara pernikahan aku yang mengaturnya. Bulan depan ijab qobul dan resepsi langsung digelar!" ujar Om Pras memerintah dengan tegas.Nadin dan Rama yang mendengar berbarengan melakukan protesnya, "Bulan depan??!"Mama yang mendengar ucapan Om Pras tersenyum senang, namun akhirnya tak dapat menahan tawa melihat ekspresi Rama dan Nadin.***"Pras, bagaimana dengan proyek Brian. Hasil analisaku tidak semua yang diambil Brian merugikan. Sepertinya kita harus memilah dan memilih dengan cermat. Minimal tidak menanggung banyak kerugian," ucap Rama saat Om Pras memintanya menganalisa beberapa solusi yang akan diambil. Om Pras ha
Beberapa orang langsung bangun dari kursinya memberikan penghormatan atas kedatangan kembali Prasetya. Om Pras membalas dengan anggukan kepalanya Om Pras melangkah tegap didampingi Rama. Siapa yang tak tahu sepak terjang dua sahabat ini. Mereka langsung menduduki kursi yang kosong. "Pak Pras, akhirnya. Kami sudah lama menantikan nya," seru sebuah suara yang terdengar sangat senang. Brian menatap tak percaya. Sesekali dilirikkan matanya pada Pak Burhan. Dia ingin memastikan apakah Prasetya dan Burhan bekerja sana. Tak ada kekagetan dari wajah Burhan. Terdengar hembusan napas dalam dari Burhan hingga akhirnya mengeluarkan suara. "Siapa yang mengundangnya untuk datang? Bukankah dia bukan pemilik saham lagi?" tanya Brian geram melihat ke arah Prasetya dan Rama. Tak ada yang menjawab. Sebagian besar yang hadir di dalam ruangan sangat mengharapkan Pak Prasetya kembali memimpin Narendra. "Saya yang mengundangnya," jawab Pak Burhan berusaha tenang. "Dalam kapasitas apa mereka
Pagi ini seluruh Dewan Direksi sudah menempati kursinya, tersisa empat kursi yang kosong di bagian depan. Beberapa saling menyapa kabar masing-masing, namun juga bertanya dengan pertemuan mendadak pagi ini. "Apakah kelakuan Brian sudah diketahui Pak Burhan?" bisik seorang pada rekan di sebelahnya. "Pak Burhan dan Brian bukannya saling mendukung. Ini berarti dia akan membiarkan atau malah membuat Brian merajalela di perusahaan," bisik lainnya. "Tak ada yang mengalahkan Prasetya dalam memimpin Narendra. Dia mewarisi papanya yang bertangan besi," bisik lainnya. "Tapi sikapnya itu yang membuat Narendra maju pesat. Siapa yang tak sejalan langsung disingkirkan," kenang mereka mengenai masa lalu. "Ya..., ya. Tapi itu juga yang menghancurkannya. Kelicikan Hary mengawali semuanya...," ucapan yang tak diselesaikan namun yang mendengar mengangguk-angguk setuju. Hary yang tak puas dan iri saat itu, memecah belah dua sahabat hingga berujung perselisihan panjang. Jika saja saat itu k