Rama mencoba mengendalikan dirinya dengan tetap fokus ke arah jalan. "Dari mana Nadin mengetahui hal ini? Apakah Diana mengatakannya juga pada Nadin?" tanya Rama dalam hati. Nadin tak memaksa Rama menjawab pertanyaannya, dia hanya penasaran dengan sikap Rama yang tak seperti biasanya. Jika memang Rama lebih memilih Diana, dia sudah siap untuk mundur dan tak akan mengganggu hubungan Rama dengan Diana.
"Mengapa kamu menanyakan hal itu? Apakah Diana mengatakan sesuatu mengenaiku?" tanya Rama tanpa menoleh pada Nadin. Nadin tersenyum, setelah sekian lama memendam perasaannya pada Rama. Jika kini Rama memilih orang lain tak akan memengaruhi kehidupannya. Selama ini dia hanya mengurus Mama Dewi, dan mungkin selamanya akan seperti itu. batin Nadin sambil tersenyum kecil.
"Diana pernah mengatakan jika dia menyukaimu Ram, saat itu aku hanya memberikan saran agar mendekatimu dengan jujur jangan menggunakan identitasnya sebagai Amanda. Sepertinya kini Diana sudah meng
Gilang menatap Brian tak percaya, kemudian menggelengkan kepalanya. "Tak ada Brian, Dimas tak pernah menceritakan masalah pribadinya," ucap Gilang singkat dan langsung membalikkan badannya melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Gilang kini tak percaya dengan Brian, cukup satu kali dia bekerja sama dengannya dan akan dipastikan ini adalah yang terakhir kalinya.Brian tersenyum kecut melihat sikap Gilang yang tak bersahabat. Sebuah panggilan masuk diponselnya membuatnya tersenyum , Handy menghubunginya. Sepertinya rencana papa sudah mulai dilaksanakannya. Semoga saja kali ini bisa berhasil dengan baik, tidak seperti sebelumnya. Batin Brian sambil menggeser layar ponsel untuk memulai percakapan terkait kerja sama yang mereka lakukan. "Bagaimana Han? Xavier sudah menghubungimu bukan?" tanya Brian cepat setelah terdengar suara di seberang. "Ya, hanya aku masih tidak memahami tujuan yang diinginkannya," ucap Handy jujur. "Bagian mana yang kurang paham Han? Aku bisa bantu
"Hanny, sudah selesai memeriksanya?" tanya Om Pras. Yasmine sudah mengirimkan waktu bertemu di rumah sakit sekitar pukul sebelas. Khansa menatap Om Pras sesaat. Om Pras melihat ke arah meja. Khansa tak memeriksa laporannya, namun banyak coretan-coretan yang dibuatnya."Aku kan sudah bilang aku tidak bisa Om!" seru Khansa kesal sambil melemparkan pupen ke atas meja yang akhirnya terjatuh di dekat kaki Om Pras. Selalu saja jika kesal memanggilnya dengan panggilan yang tak disukainya. Om Pras mengambil pulpen dan meletakkannya di atas meja. Kali ini dibiarkannya Khansa berbuat semaunya, bagaimanapun Khansa pasti sedang gelisah menunggu hasil tes DNA yang dilakukannya. "Kita pergi sekarang, Yasmine mengabari akan sampai di rumah sakit pukul sebelas," ucap Om Pras sambil menatap dalam Khansa. Sesaat Khansa terdiam hingga akhirnya bangun dan mengulurkan tangannya mengambil tas di meja. Khansa menatap lekat Om Pras dan mengangguk menandakan dia sudah siap berangkat. Perjalanan menuju rumah
Dimas memesan minuman setelah mereka berdua duduk di sana. Sambil menunggu minuman datang Dimas meletakkan dua amplop di atas meja. Keduanya sama dengan amplop yang baru saja diterimanya. Tapi mengapa Dimas juga memiliki hasil DNA yang dilakukannya? tanya Yasmine dalam hati. "Yasmine ada yang ingin membuat masalah antara Brian dan Prasetya, dimulai dari hasil DNA yang diubahnya," ucap Dimas menjelaskan. "Siapa Dim? Apakah Papa Xavier?" tanya Yasmine menerka. Dimas mengangguk, namun dilanjutkan ucapannya untuk meminta Yasmine membantunya. Kemarin saat dia dan Gilang menemui Prasetya di kantornya, mereka bersepakat saling membantu. Prasetya meminta Dimas dan Gilang menyelidiki hasil tes DNA Brian dan Yasmine, jika sudah ada hasilnya mereka harus melaporkan langsung pada Prasetya. Saat didapatkannya informasi yang sebenarnya, Prasetya meminta Gilang mengawasi orang yang melakukannya, setelah dia dan Yasmine memutuskan melakukan tes DNA. Dimas dengan koneksinya berhasil mendapatkan inf
Mobil Rama sudah memasuki halaman rumah besar, Asha sudah sejak dari sekolah tak habis-habisnya bercerita mengenai Nenek dan Tante Nadinnya. Hingga Rama hapal kebiasaan yang dilakukan Nadin.Rama tersenyum saat diketahuinya jika Nadin Takut pada kucing. Bagaimana bisa hewan semanis kucing bisa menjadi menakutkan untuk Nadin. "Asha serius Tante Nadin takut kucing?" tanya Rama penasaran. Asha dengan cepat mengangguk. Mobil kini dihentikan agak jauh dari teras, karena akan makan siang dahulu pasti mobil akan lama terparkir. Rama turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Asha. Saat dilihatnya Nenek Dewi sudah menunggu di teras, Asha berlari menghampiri. Di sampingnya berdiri Nadin yang terlihat sangat cantik. Rama langsung menunduk saat hatinya memberi penilaian pada Nadin. Rama takut jika dia tak bisa menahan diri padahal dia baru saja memulai hubungan dengan Diana. "Mengapa setelah aku memutuskan bersama Diana, kini di matanya Nadin terlihat berbeda?" tanyanya
Rama kembali membalikkan badannya, menatap Nadin sesaat dan menduga apa yang akan dikatakan selanjutnya. Meminta bantuan padanya yang berkaitan dengan mama dan papanya yang sudah meninggal. "Ada apa sebenarnya dengan Nadin?" tanya Rama membatin. "Ram, entah mengapa peristiwa kecelakaan itu belakangan ini selalu menghampiri pikiranku. Penjelasan Prasetya mengenai kecelakaan yang terjadi sampai hari ini masih membuatku menebak siapa pelakunya. Jika mobil itu digunakan Pras dan papanya kemungkinan yang akan meninggal saat itu adalah papanya Pras, bukan begitu Ram?" jelas Nadin dengan diakhiri pertanyaan yang tak bisa di jawab Rama. "Maksudmu apa Nadin? Aku belum memahaminya. Apakah kamu ingin tahu siapa pelakunya?" tanya Rama menatap lekat Nadin. Dilihatnya Nadin mengangguk pasti. Rama berpikir keras bagaimana caranya menjawab pertanyaan yang menjadi masa lalu kelam keluarga besar Narendra. "Aku harus melakukan konfirmasi terlebih dahulu. Apalagi ini berkaitan dengan masa lalu. Bisakah
"Riska, bagaimana kabar Ibu?" tanya Dimas saat mereka kembali makan siang bersama. "Baik Dim, terima kasih sudah banyak membantu. Sekarang ibu hanya melakukan kontrol setiap bulan sekali ke rumah sakit," jelas Riska. "Syukurlah," ucap Dimas singkat. Sebuah pesan masuk hingga Dimas kini mengalihkan konsentrasinya pada ponsel yang dipegangnya.Handy yang baru kembali setelah memesan makanan sekaligus ke toilet terlihat sedikit bingung dengan kondisi di hadapannya, di tatapnya Riska yang sedang menatap ke arah luar jendela berganti dengan Dimas yang sedang memainkan ponselnya. "Mengapa mereka tidak saling berbicara?" tanya Handy dalam hati."Kok diam-diaman seperti sedang marahan saja!" seru Handy saat akan duduk kembali di kursinya. Dimas menatap Riska sebentar dan menjawab, "Maaf Han, aku ada pesan dari kantor jadi harus kubalas secepatnya. Maaf ya Ris," ucap Dimas mencoba mencairkan suasana. Riska hanya membalas dengan senyuman.Entah mengapa Riska m
Riska yang mendengar ucapan dan pertanyaan Gilang menatapnya tak mengerti. "Jangan dengarkan Gilang Ris, ayo aku antar pulang!" perintah Dimas pada Riska yang dijawab dengan anggukan kepala Riska. "Hei ...! Aku belum selesai makannya!" seru Gilang. "Lanjutkan saja, semua sudah dibayar Handy tadi," ucap Dimas sesaat akan melangkah. Riska kemudian ikut bangun dan melangkah di belakang Dimas. Gilang hanya menatap kepergian Dimas dan Riska dengan senyum yang mengembang. "Sepertinya aku tahu siapa yang akan memenangkannya," ucap Gilang dalam hati. Dimas sudah mengendarai mobilnya menuju rumah Riska, dia tahu dari Gilang jika Riska sudah pindah dan membeli rumah dengan mencicil. Karena itulah dia membawa ibu dan ayahnya tinggal bersamanya. "Ris, maaf aku belum tahu daerah rumahmu yang baru apakah bisa diarahkan?" tanya Dimas dengan mata yang tetap terfokus pada jalanan. "Iya Dim, nanti aku arahkan sampai di perumahan G ya. Nanti ikuti saja yang aku ucapkan," ucap Riska membalas ucapan Dim
"Ibu, Riska sudah menyetujui dalam perjalanan tadi, bulan depan saat ulang tahun Riska mama dan papa akan datang melamar," janji Dimas pada ibu yang kemudian meneteskan butir bening dari sudut matanya. Riska yang melihatnya melangkang mendekati dan menghapusnya dengan lembut. "Riska, ibu harap kamu bisa menjadi istri yang baik untuk Dimas, jangan seperti sebelumnya sering memberikan banyak alasan jika ibu minta Dimas datang," ucap ibu pelan sambil menatap pada Riska yang kembali menunduk. Dimas tersenyum melihatnya, ternyata selama ini ibu meminta Riska menemuinya, tapi tidak dilakukannya. "Ibu, Dimas minta maaf dengan kesibukan pekerjaan, bukan salah Riska jika akhirnya tidak menyampaikan pesan ibu. Lagi pula sekarang semuanya sudah disetujui oleh Riska, bukan begitu Sayang?" tanya Dimas yang membuat wajah Riska merona karena panggilan 'Sayang' yang diucapkan DImas. "Ayah, ibu. Dimas harus kembali ke kantor. Riska sudah diizinkan pulang oleh bosnya, jadi bisa menemani ibu di rumah
"Sudah Mas, saya simpan dalam laci meja di pabrik," jawab Raihan pelan."Besok antarkan padaku. Semuanya harus dipastikan sesuai sebelum Khansa menerimanya. Aku tak ingin ada kesalaha di masa depan," tekan Asyraf pada Raihan yang hanya terdiam di kursinya.Raihan tak berani memberikan komentar hanya terdiam sambil menatap lurus pada wajah kakaknya yang terlihat lebih pucat kini."Mas sebaiknya istirahat. Aku panggilkan Mba Arini sekalian pamit kembali ke pabrik," ujar Raihan tanpa meminta pesetujuan. Raihan yakin hanya Mba Arini yang kini didengar Asyraf. Jika mereka melanjutkan perbincangan sudah dipastikan akan melelahkan Asyraf. Raihan bergegas keluar ruang kerja Asyraf dan memanggil Mba Arini yang menunggu di ruang keluarga. Setelah menyampaikan keinginan Asyraf bertemu Khansa dan Prasetya, Raihan melangkah keluar. Dari sudut matanya dilihat tangan Mba Arini mengusap pipinya dan memastikan sekali lagi sebelum melangkahkan kakinya menuju ruang kerja Asyraf yang baru ditinggalkanny
"Rama lihatlah dengan mata hatimu jangan melihat hanya di kulitnya saja," ucap Pak Burhan lagi sambil melangkahkan kakinya keluar ruang rapat. Rama terdiam sesaat. Dicoba mengingat apa yang dipesankan Prasetya padanya. Dari proses serah terima Prasetya tak pernah terlihat marah dengan Pak Burhan, namun kemarahannya pada saat bertatapan dengan Brian. Apakah Pak Burhan sebenarnya berpihak pada Prasetya? Bukan pada Brian? batin Rama bertanya.Rama tersenyum saat mengingat pesan Prasetya jika Pak Burhan pasti akan memperhatikan kesejahteraan karyawannya. Sepertinya kini dia bisa tenang menjalankan tanggung jawabnya di Kampus Pratama. Sudah lama sekali dia tak berkunjung secara langsung. Selama ini setiap rapat dan pertemuan selalu dalam daring. Rama tersenyum lebih lebar lagi. Kini ditinggalkannya ruangan rapat yang penuh kenangan perjuangannya dengan Prasetya. ***"Raihan, bagaimana kondisi pabrik hari ini?" tanya Pak Asyraf di ponselnya."Sudah mencapai 80% pemulihan produksi pabrik,
"Jika nanti papa bukan lagi pimpinan Narendra, Hanny masih mencintai papa kan?" tanya Om Pras melanjutkan pertanyaannya tanpa menjawab pertanyaan Khansa.Khansa beranjak bangun dari pelukan Om Pras. Ditatapnya mata Om Pras dalam untuk mendapatkan kepastian dari ucapan-ucapannya. Awalnya Khansa menduga jika itu hanyalah candaan, namun saat dilihat kejujuran di mata Om Pras Khansa menarik nafas dalam dan menghembuskannya pelahan. "Pa, jika memang itu yang terbaik mama akan mendukung papa. Mama hanya ingin papa sehat dan bisa bersama dengan Asha dan Shasha hingga mereka dewasa," ucapnya sambil merebahkan kembali kepalanya dalam pelukan Om Pras. Tak ada perbincangan selanjutnya hingga akhirnya terdengar hembusan nafas pelan Khansa yang tertidur. Om Pras merebahkan kepala Khansa disampingnya dan menarik selimut menutupi tubuh Khansa pelan."Hanny, papa akan menyelesaikan semua masalah Narendra terlebih dahulu. Papa tidak ingin ada orang yang mencari keuntungan dan menghancurkan Narendra
"Hanny, mengapa ke sini?" tanya Om Pras yang langsung bangun menghampiri Khansa saat mengenali suara yang baru masuk. Om Pras menarik tangan Khansa agar tak ikut masuk ke dalam. Dia tak ingin Khansa ikut terlibat dalam perseteruannya dengan Brian. "Hanny, papa akan menyelesaikan semuanya dahulu. Hanny jaga Asha dan Shasha saja ya," ujar Om Pras setelah dia memaksa Khansa duduk di ruang tunggu tamu. "Tapi, Pa!" potong Khansa cepat. Om Pras menatap Khansa dengan tajam seakan meyakinkannya jika permasalahan di perusahaan akan segera berakhir. Khansa masih meragukan apa yang dilihatnya, namun tatapan mata Om Pras membuatnya tersadar. Jika bukan karena Khansa yang datang sendiri, mungkin dia tak akan seyakin saat ini. "Hanny diantar pulang Gilang. Sekalian menjemput Asha di sekolah. Setelah urusan papa selesai, papa langsung pulang. Bagaimana?" tanya Om Pras setelah memberikan sedikit penjelasan. Khansa mengangguk setuju. Om Pras harus menjelaskan banyak hal padanya. Mama De
"Nadin, aku mohon jangan membuatku bertambah gila dengan rasa bersalah," ujar Rama menghentikan gerakan kursi roda Nadin yang beranjak meninggalkan Rama di taman.Rama tersenyum, ternyata Nadin masih memperhatikan perasaannya. Dilangkahkan kakinya hingga sampai di belakang kursi roda. Saat Rama datang tadi Nadin sedang berjalan melanjutkan terapinya. Perawat yang selalu menemaninya kini sudah berada di hadapan mereka."Mba Nadin sebaiknya melanjutkan terapi dahulu, tadi sudah berjalan lebih jauh dari biasanya!" ujar perawat sambil meletakkan air dalam baskom yagn sudah dberikan obat terapi untuk merendam kedua kaki Nadin. Rama memberi tanda agar perawat meinggalkan mereka."Nadin, biar aku yang melanjutkan terapinya," ucapnya sambil berjongkok dan mulai memijat kaki Nadin. Dahulu sebelum Nadin sadar setiap hari Rama yang melakukan terapi pijatan pada Nadin. Semenjak Nadin sadar, dia selalu menolaknya.Kini Nadin berusaha memahami semua y
"Ram, kini aku sudah tidak sama seperti dahulu. Terapi yang kujalani terasa lambat memberikan kesembuhan. Aku tak ingin menjadi bebanmu, Ram," ucap Nadin dalam hati dengan tatapan nanar.Hingga mobil Rama tak terlihat, barulah Nadin menghembuskan nafas perlahan. Digerakkan tangannya memutar roda agar bisa masuk ke dalam rumah. Mama Dewi yang memperhatikan kejadian di teras, menghampiri dan mendorong kursi roda menuju kamar Nadin. Dibantunya menjaga keseimbangan tubuh Nadin yang beranjak ke atas kasur.Tatapan mata Nadin seakan memohon untuk ditinggalkan sendiri. Namun Mama Dewi tetap berujar pelan, "Rama tak pernah berhenti mencintaimu Nadin. Yakinlah."Nadin tak membantah, namun juga tak menjawab ucapan Mama Dewi. Diperhatikannya Mama Dewi mengeser kursi ke samping tempat tidur agar nanti saat Nadin akan menggunakannya mudah dijangkau."Istirahatlah, Sayang. Mama tunggu nanti di meja makan ya!" perintah mama dengan suara lembut.
"Brian?!!" tanya handy terkejut.Brian tersenyum sekilas. Sedangkan Pak Burhan langsung memahami keterkejutan orang yang di hadapannya. Sebelum berangkat tadi Brian sudah menjelaskan jika dia mengenal beberapa orang yang akan rapat nanti. "Perkenalkan. Ini rekan saya yang selalu membantu, bisa dikatakan Brian adalah asisten saya saat ini," jawab Pak Burhan tegas sehiingga membuat Handy memundrkan langkahnya perlahan dan mempersilaan mereka berdua masuk. Om Pras dan Rama yang mendengar sekilas ucapan Handy dan Pak Burhan saling memandang sesaat dan tersenyum kecil. Sepertinya dugaan mereka tepat. Brian mencari orang yang akan digunakan sebagai rekan kerja sama untuk mencapai tujuan yang kemarin gagal. Batin Om Pras yang kni menatap Brian yang berjalan di samping Pak Burhan. Om Pras berdiri untuk menyabut salah satu dewan direksi yang dibacanya dari daftar pada berkas di hadapannya. Setelah sampai di hadapan Pak Burhan diulurkan tangannya untuk saling berjabat tangan. Pak Burhan meny
"Papa ..., aku pergi dahulu. Aku akan menemui orang yang bisa membantu memperlancar rencanaku," ucap Brian pamit pada Hary. "Brian ..., hati-hatilah. Jangan terlalu memaksa jika memang itu akan membuatmu celaka," pesan papa sebelum Brian meninggalkan Hary sendiri di rumah. Brian menatap sesaat pada papanya. Akhir-akhir ini papa sudah tak pernah mengungkit masa lalunya. Papa lebih banyak mengurung diri di kamar. Sepertinya papa kangen dengan Mama Pratiwi dan adiknya Diana. Batin Brian saat melangkah meninggalkan pintu dan menutupnya kembali. Brian masuk ke dalam mobilnya yang terparkir di samping rumah sederhana yang ditinggalinya sebulan belakangan. Kali ini tujuannya adalah kantor Prasetya. Dia akan mendampingi pemegang saham baru yang akan menemui pemilik Narendra Corp. namun sebelumnya dia akan menemui Burhan, orang yang membantunya dan pesawat yang membawanya baru saja mendarat. Setibanya di Bandara Brian masih harus menunggu karena bagasi yang terlambat serta proses peng
"Gilang hati-hati!" pesan Om Pras sedikit berteriak pada Gilang yang sudah menuju ruang tamu. Gilang hanya memberikan jempolnya tanda mengerti pada Om Pras dan Khansa dari ruang tamu.Sepeninggal Gilang Om Pras elanjutkan sarapan d temani Khansa. Dalam hati Khansa ingin sekali menanyakan masalah-masalah yang terjadi akhir-akhir ini, pabrik papanya hingga kecelakaan yang dialami Nadin, namun melihat Om Pras yang makan dengan lahap diurungkan niatnya. Suara dering telepon menghentikan kegiatan makan Om Pras. Diliriknya layar yang menyala di meja."Rama," gumam Om Pras yang masih terdengar samar oleh Khansa.Khansa melirik sekilas pada Om Pras, wajahnya kini sedikit gusar. Ada kekhawatiran jika kabar yang akan disampaikan Rama bukan kabar yang diinginkannya. Diambilnya telepon dan menggeser layar untuk menjawab panggilan Rama."Ada apa Ram?" tanya Om Pras setelah mendengar suara Rama di seberang."Semalam mobil Brian dipastikan kemba