Dimas tertegun saat dilihatnya Yasmine sudah berada di hadapannya. Masih dilihatnya butir air mata mengalir di pipi Yasmine. Dimas mencoba tersenyum dan berkata, "Aku kira aku salah mengenali, ternyata benar, kamu Yasmine." Yasmine mangangguk mencoba menghapus air matanya dan tersenyum. "Ya aku menunggu sopirku, namun sepertinya ada sedikit hambatan," ucapnya beralasan. Dimas mengangguk dan mencoba menawarkan tumpangan karena kebetulan akan mengambil arah yang sama. Yasmine awalnya menolak, namun setelah didesak akhirnya menyetujui. Sebelumnya dimintanya Dimas mengantarnya untuk menjemput Daniar terlebih dahulu di sekolahnya. Dimas mengangguk dan mulai menjalankan mobilnya menuju lokasi yang diinginkan Yasmine. "Yasmine, apakah kabar Khansa baik-baik saja? Kudengar dia tidak tinggal bersama Prasetya, tapi sudah kembali ke keluarganya," tanya Dimas saat mobil yang dikendarainya sudah melaju di jalan raya. "Tidak bersama Prasetya, maksudnya Khansa meninggalkan Pras?" tanya Yasmin
"Riska, bagaimana proyek dengan Dimas? lusa pertemuan sesuai agenda bukan?" tanya Handy pada Riska yang kini bekerja satu tim dengannya. "Benar Pak, sesuai rencana Pak Dimas yang akan datang ke kantor dengan timnya," jawab Riska sambil membuka agendanya. "Oke, siapkan ruang rapat dan coba tanyakan pada Pak Rama apakah Pak Pras ingin ikut bergabung mendengarkan laporan perkembangan kerja sama kita," ucap Handy meminta Riska menghubungi Pak Rama, penanggung jawab proyek yang sedang dikerjakannya."Baik Pak," jawab Riska sambil melangkah keluar ruangan Pak Handy. "Riska, sebentar!" serunya membuat langkah Riska terhenti. "Kita makan siang bareng ya, kebetulan Gilang sudah memesan restoran dekat kantor, bagaimana?" tanyanya pelan. Riska menatap Handy dan mengangguk setelah mempertimbangkannya. Mereka kini menjadi dekat, tak jarang Gilang mengundang mereka makan siang bersama seperti siang ini. Riska yang mengetahui jika keduanya bersaing memperebutkannya mengatakan akan ikut makan sian
Gilang hanya tertawa tanpa mengomentari sikap Dimas. Kini mereka melihat-lihat sekeliling pusat perbelanjaan sambil menunggu Riska dan Handy yang berbelanja di dalam. Cukup lama mereka menunggu hingga saat Dimas mulai kesal dan memutar badannya, dilihatnya Riska yang berjalan keluar sambil tertawa dengan Handy.Barang belanjaan Riska dibawakan Handy sambil tersenyum. Sesampainya di hadapan Gilang dan Dimas, Handy meminta maaf jika mereka berdua terlalu lama menunggu. Gilang menggeleng pelan dan memberi tanda jika mereka akan mulai berjalan kembali. Dimas kini memilih berjalan dibelakang. Riska dan Handy yang berjalan di depan. Sesekali mereka berbincang mengenai Khansa, namun mereka juga tidak memiliki ide di mana Khansa kini berada. Menurut Dimas, Yasmine juga tak mengetahuinya. "Dim, kapan ketemu Yasmine?" tanya Gilang terlihat aneh. "Kemarin, sepertinya ada masalah degan Brian, mereka bertengkar. Jadi aku menawarkan tumpangan," ucap Dimas menjelaskan. Kini Riska yang sedikit kesa
Ternyata Mama Dewi mengetahuinya. Selama ini mama memang masih memiliki orang-orang yang masih loyal dan selalu melindunginya, karena mama tetaplah keluarga Narendra. Jika Om Hary masih hidup, maka lelaki di keluarga Narendra tinggal mereka bertiga, Pasetya, Om Hary, dan Asha. Nadin putri dari adik almarhum papa yang sudah lebih dulu meninggal bersama istrinya karena kecelakaan lalu lintas.Nadin sangat dekat dengan Mama Dewi dan selalu menemaninya. Saat ini Nadin mewakili Mama Dewi di perusahaan setelah sebelumnya menjadi sekretarisnya beberapa waktu menggantikan sekretaris yang sedang cuti. Nadin sangat ingin menjadi asisten pribadi, namun dia tak ingin apa yang dilakukannya di kantor dilaporkan pada Mama Dewi."Iya, Xavier. Jika benar dia adalah Om Hary, maka peperanganku akan semakin cepat berlangsung. Apa yang dilakukannya pada almarhum papa akan kubalas lebih kejam. Jika Mama Dewi membantunya maka aku tak akan segan-segan menghancurkan semuanya," anca
"Sayang masih pusing?" tanya mama yang ada di samping Amran. "Ma, bakso tusuknya mana, Khansa mau lagi ma," ucap Khansa saat matanya masih mengerjap. "Dihabiskan Mas Pras ya ma, bakso tusuk Khansa?" tanyanya kembali. Amran hanya memperhatikan dan bergeser agar Ibu Arini bisa mendekati Khansa. Khansa masih memegang buket bunga lily yang diberikan Amran. Mama mengusap lembut pucuk kepala "Sayang kangen dengan Prasetya?" tanya mama pelan. Khansa kini sudah tertidur kembali. Mama menatap papa seakan meminta pengertiannya. Amran kini melangkah menuju sofa untuk menunggu. Papa mengikuti Amran dan duduk setelah Amran. "Nak Amran, sepertinya saya akan meminta bantuan kembali. Kami secepatnya harus kembali, masalah yang menimpa kami di masa lalu sudah mulai terlihat titik terangnya. Kami ingin membersihkan nama baik keluarga besar kami. Juga mengembangkan kembali perusahaan yang telah kami rintis bersama almarhum papamu," ucap Pak Asyraf menjelaskan.
"Siapa yang mau Asha hukum? Apakah Nenek dan Kakek juga?" tanya Pak Asyraf saat kembali memasuki ruangan. "Nenek? Kakek? Mama ... Asha punya Nenek dan Kakek di sana, kenapa tidak ajak Asha kalau mama nginap di rumah mereka? Mama jahat!" sungut Asha melihat mamanya dengan kakek dan neneknya. "Asha Sayang, jangan hukum kami ya. Mama ke sini meminta Nenek dan Kakek kembali pulang. Kalau mama tidak ke sini Kakek dan Nenek pasti belum mau kembali," bela mama dengan wajah memelas pada Asha. "Benarkan?" tanya Khansa pada mama dan papanya kemudian. Mereka mengangguk meyakinkan Asha. Om Pras hanya tersenyum mendengarkannya. Rasa kangennya kini terobati apalagi saat dilihatnya Khansa sehat dan kandungannya juga sehat. Dibiarkannya Asha berbincang dengan Nenek dan Kakeknya. Setelah saling berjanji Kakek meminta izin untuk berbicara dengan papanya terkait perusahaan. "Rama ...! Bawa Asha bermain sebentar, siapkan makan siang. Aku akan bergabung setelah berbicara dengan papa Asyraf," perintahnya
"Lantas mengapa Ayah menghubungimu?" tanya Riska dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Ris, maaf. Aku akan menjelaskannya tapi kamu tenang dulu ya. Lagi pula sebaiknya kita langsung berangkat. Aku akan jelaskan diperjalanan nanti," jawab Dimas mencoba menenangkan Riska yang gugup mendengar ibunya sakit. Dimas menghubungi sopirnya agar bersiap di depan restoran, setelah menutup panggilan teleponnya dia menatap Handy dan Gilang bergantian dan bertanya, "Aku akan bawa Riska ke Bandung, soal pekerjaan nanti aku akan menghubungi Pak Rama atau Pak Pras. Ada yang ingin ikut menemani?" Handy menatap Gilang, dia tak mungkin ikut besok dan lusa laporan perkembangan proyek yang dipegangnya tak mungkin menunda karena ini menyangkut banyak kepentingan. Gilang menggeleng dan menjawab, "Maaf Dim, pekerjaanku besok menunggu laporan yang kubuat. Setelah selesai aku akan menyusul ke Bandung dengan Handy." Gilang tahu Handy juga khawatir, namun tanggung jawab mereka berdua pada
Khansa yang menunggu di kursi tunggu, terkejut melihat Om Pras dipapah oleh Pak Rama dan seorang pengawal papa. Khansa berjalan mendekati mereka. Melihat kondisi tersebut Dinda langsung mendekat dan mengikuti langkah Khansa walau tetap menjaga jarak, dia khawatir dengan keamanan Khansa. "Pak Rama, mengapa Om Pras?" tanya Khansa saat mereka sudah berhadapan. Pak Rama hanya tersenyum ban menjawab, "Sepertinya ngidamnya parah Bu, harus langsung mencari obatnya." Khansa tak mengerti apa yang dimaksud Pak Rama. "Kita berangkat sekarang?" tanyanya kemudian. Khansa hanya mengangguk dan mengikuti Pak Rama menuju mobil yang sudah menunggu. "Ke sekolah dulu pak!" perintah Pak Rama sekaligus meminta mobil yang mengawal untuk mengikuti mereka. Om Pras direbahkan di dalam mobil dengan berbantalkan paha Khansa yang duduk agak rapat dengan pintu, khawatir Om Pras tidak nyaman. Kaki Om Pras pun dibiarkan menjuntai ke bawah. Khansa yang menatap lekat wajah Om Pras merasa bersalah. Sepertinya Om Pras