"Sayang masih pusing?" tanya mama yang ada di samping Amran. "Ma, bakso tusuknya mana, Khansa mau lagi ma," ucap Khansa saat matanya masih mengerjap. "Dihabiskan Mas Pras ya ma, bakso tusuk Khansa?" tanyanya kembali. Amran hanya memperhatikan dan bergeser agar Ibu Arini bisa mendekati Khansa.
Khansa masih memegang buket bunga lily yang diberikan Amran. Mama mengusap lembut pucuk kepala "Sayang kangen dengan Prasetya?" tanya mama pelan. Khansa kini sudah tertidur kembali. Mama menatap papa seakan meminta pengertiannya. Amran kini melangkah menuju sofa untuk menunggu.
Papa mengikuti Amran dan duduk setelah Amran. "Nak Amran, sepertinya saya akan meminta bantuan kembali. Kami secepatnya harus kembali, masalah yang menimpa kami di masa lalu sudah mulai terlihat titik terangnya. Kami ingin membersihkan nama baik keluarga besar kami. Juga mengembangkan kembali perusahaan yang telah kami rintis bersama almarhum papamu," ucap Pak Asyraf menjelaskan.
"Siapa yang mau Asha hukum? Apakah Nenek dan Kakek juga?" tanya Pak Asyraf saat kembali memasuki ruangan. "Nenek? Kakek? Mama ... Asha punya Nenek dan Kakek di sana, kenapa tidak ajak Asha kalau mama nginap di rumah mereka? Mama jahat!" sungut Asha melihat mamanya dengan kakek dan neneknya. "Asha Sayang, jangan hukum kami ya. Mama ke sini meminta Nenek dan Kakek kembali pulang. Kalau mama tidak ke sini Kakek dan Nenek pasti belum mau kembali," bela mama dengan wajah memelas pada Asha. "Benarkan?" tanya Khansa pada mama dan papanya kemudian. Mereka mengangguk meyakinkan Asha. Om Pras hanya tersenyum mendengarkannya. Rasa kangennya kini terobati apalagi saat dilihatnya Khansa sehat dan kandungannya juga sehat. Dibiarkannya Asha berbincang dengan Nenek dan Kakeknya. Setelah saling berjanji Kakek meminta izin untuk berbicara dengan papanya terkait perusahaan. "Rama ...! Bawa Asha bermain sebentar, siapkan makan siang. Aku akan bergabung setelah berbicara dengan papa Asyraf," perintahnya
"Lantas mengapa Ayah menghubungimu?" tanya Riska dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Ris, maaf. Aku akan menjelaskannya tapi kamu tenang dulu ya. Lagi pula sebaiknya kita langsung berangkat. Aku akan jelaskan diperjalanan nanti," jawab Dimas mencoba menenangkan Riska yang gugup mendengar ibunya sakit. Dimas menghubungi sopirnya agar bersiap di depan restoran, setelah menutup panggilan teleponnya dia menatap Handy dan Gilang bergantian dan bertanya, "Aku akan bawa Riska ke Bandung, soal pekerjaan nanti aku akan menghubungi Pak Rama atau Pak Pras. Ada yang ingin ikut menemani?" Handy menatap Gilang, dia tak mungkin ikut besok dan lusa laporan perkembangan proyek yang dipegangnya tak mungkin menunda karena ini menyangkut banyak kepentingan. Gilang menggeleng dan menjawab, "Maaf Dim, pekerjaanku besok menunggu laporan yang kubuat. Setelah selesai aku akan menyusul ke Bandung dengan Handy." Gilang tahu Handy juga khawatir, namun tanggung jawab mereka berdua pada
Khansa yang menunggu di kursi tunggu, terkejut melihat Om Pras dipapah oleh Pak Rama dan seorang pengawal papa. Khansa berjalan mendekati mereka. Melihat kondisi tersebut Dinda langsung mendekat dan mengikuti langkah Khansa walau tetap menjaga jarak, dia khawatir dengan keamanan Khansa. "Pak Rama, mengapa Om Pras?" tanya Khansa saat mereka sudah berhadapan. Pak Rama hanya tersenyum ban menjawab, "Sepertinya ngidamnya parah Bu, harus langsung mencari obatnya." Khansa tak mengerti apa yang dimaksud Pak Rama. "Kita berangkat sekarang?" tanyanya kemudian. Khansa hanya mengangguk dan mengikuti Pak Rama menuju mobil yang sudah menunggu. "Ke sekolah dulu pak!" perintah Pak Rama sekaligus meminta mobil yang mengawal untuk mengikuti mereka. Om Pras direbahkan di dalam mobil dengan berbantalkan paha Khansa yang duduk agak rapat dengan pintu, khawatir Om Pras tidak nyaman. Kaki Om Pras pun dibiarkan menjuntai ke bawah. Khansa yang menatap lekat wajah Om Pras merasa bersalah. Sepertinya Om Pras
Riska menoleh ke arah suara yang baru didengarnya. Dimas! Apakah Dimas mendengar apa yang ibu dan aku ucapkan tadi? tanyanya dalam hati. Bukankah tadi pamit akan kembali ke Jakarta? tanyanya lagi. Ayah sudah lebih dahulu melangkah menuju Dimas. "Nak Dimas tidak jadi pulang?" tanya ayah saat Dimas sudah melangkah masuk. "Ada teman papa yang datang ke sini, Dia dokter yang sering menangani pasien yang sama dan ingin membantu proses operasi. Papa bilang sebentar lagi sampai," jelas Dimas memberitahu alasannya tidak jadi kembali ke Jakarta. "Pak Dimas, dokter dari Jakarta sudah sampai. Apakah bapak ingin menemuinya dahulu?" tanya seorang perawat yang baru maasuk. "Sekalian saja dipersiapkan operasinya agar tidak menunggu lama, saya yang akan menemuinya," jawab Dimas sambil meminta segera dilaksanakan. Perawat mengangguk dan mengecek perlengkapan yang sudah terpasang di tubuh ibu. "Jika begitu, kami bawa pasien ke ruang operasi. Nanti Pak Dimas bisa menemuinya sebelum masuk ruangan," je
"Rama!" panggil Om Pras yang datang bersamaan dengan kepala pengawalan Pak Asyraf. "Bagaimana Pa? Brian mulai membuka diri dan menyerang. Perlukah kita membuatnya jatuh sekarang?" tanya Om Pras dingin. "Tidak perlu gegabah Pras. Pak awasi semua yang dilakukan Brian1 Kalian harus terus berkoordinasi, dia sudah mengantongi banyak informasi mengenai kembalinya kami. Minta beberapa orang mengawasi Yasmine dan putrinya, papa tidak mau Brian menjadikan kalian menjadi senjata yang menghancurkan," ucap Pak Asyraf sambil menatap Yasmine. Setelah Rama dan pengawal papa meninggalkan ruangan, obrolan dilanjutkan dengan rencana pengalihan pimpinan Gunawan Grup pada Pak Asyraf. "Bagaimana Pak Asyraf? Khansa atau bapak yang akan memimpin nanti, kami harus menyiapkan semua surat-suratnya?" tanya Om Raihan pada papa. "Sebenarnya keinginan terbesar, Khansa yang memimpin, tapi sepertinya dia lebih cocok menjadi ibu rumah tangga dan mengurus cucu-cucuku," jelas papa sambil tertawa
"Bukan seperti itu ma, papa hanya menanyakan apakah yang papa lakukan sudah sesuai dengan peraturan perusahaan," jelasnya membela diri. Dimas tersenyum melihat seorang Presdir yang takluk di depan istrinya. Khansa ikut duduk di samping Dimas yang membuat Om Pras meradang, "Dimas izinnya sudah aku terima dan aku berikan izin hingga ibunya Riska sembuh, sekarag pergilah!" ucap Om Pras memerintah. Dimas tersenyum mendengar jawaban yang berbeda dengan sebelumnya. "Khansa, sepertinya ada yang cemburu, dan aku tak mau lagi melihat hukuman yang diberikannya padamu. Lebih baik aku pergi dan membawa kabar baik untuk Riska," ucapnya bangun dari kursi. "Dimas, sampaikan salam untuk Riska, aku akan ke Bandung setelah Mas Pras memberikan izin," ucap Khansa pada Dimas. "Sampaikan pada Riska jika aku masih membutuhkannya setelah ibunya sembuh. Proyeknya bersamamu juga harus selesai sesuai target, Dimas!" ucapnya sedikit mengencangkan suara, karena Dimas sudah menuju pintu kel
Brian yang kecewa dengan hasil tes DNA meninggalkan Yasmine seorang diri di ruang tunggu rumah sakit. Awalnya dia sangat berharap jika Daniar adalah putrinya. Ingin dibuktikan pada papanya jika dia bisa memiliki keluarga walau dengan cara yang salah. Namun kenyataan yang dihadapinya membuatnya membenarkan apa yang dikatakan papanya mengenai Daniar. "Apa kamu yakin Daniar putrimu? Keluarga Narendra sudah menghancurkan papa, apakah Pras tidak akan membalasnya padamu Brian? Papa yakin dia akan menghancurkanmu," ucap papanya saat dikatakan akan melakukan tes DNA untuk mengetahui siapa ayah kandung Daniar. Ternyata papa benar, aku saja yang terlalu banyak berharap, jika aku juga bisa memiliki keluarga kecil. Yasmine, kamu telah membohongiku dengan memintaku menikahimu dulu. Untungnya aku sudah meninggalkanmu. Pikiran Brian yang kalut membawanya ke sebuah bar tempatnya dulu menghilangkan kejenuhannya. *** "Diana, bagaimana kondisi di sana?" tanya papa saat makan malam masih berlangsung.
Brian yang kaget mendapati pipinya sakit menatap marah pada papanya. Xavier juga kaget karena mendengar suara istrinya di tangga. Brian mendengus kesal dan berjalan menaiki tangga. Saat akan melewati mamanya, dihentikan langkahnya sejenak. Brian tak ingin melihat mamanya sedih, maka diucapkannya kalimat yang menenangkan untuk mamanya. "Aku baik-baik saja ma, ini tidak sesakit hatiku dikhianati Yasmine. Mama tak perlu khawatir," ucap Brian kemudian melanjutkan langkahnya menuju kamarnya. Pratiwi menunggu Xavier naik. Sepertinya ada hal yang harus mereka selesaikan sebelum semua kejadian yang ada akan membuat putranya meradang dan berbuat yang tidak baik."Brian pantas diberikan pelajaran. Untuk apa membuang waktu dengan mabuk-mabukan hanya untuk wanita seperti Yasmine?" tanyanya sambil memberikan penjelasan. Pratiwi hanya menarik nafas dalam. Apa yang dikatakan Xavier benar, tapi harus ada alasan yang masuk akal. Bukan hanya untuk mengedepankan egois masing-masing saja."Sudah waktun
"Apakah perhitungan keuntungan tidak sesuai dengan kontrak sebelumnya?" tanya Om Pras penasaran melihat ekspresi Brian."Bukan... bukan. Aku kira aku harus membayarkan finalti karena kesalahan yang kulakukan. Tapi...," ucapan Brian dipotong Om Pras."Brian sudah kukatakan sejak awal. Bagaimanapun kamu adalah bagian dari keluarga besar kami. Apalagi kamu sudah menyelamatkan Daniar. Anggap saja sebagian merupakan kompensasi ucapan terima kasih kami padamu. Kami harap kehidupanmu selanjutnya bisa lebih," ucap Om Pras menjelaskan."Terima kasih banyak Pak Pras, aku berjanji tak akan melakukan kesalahan lagi," ucap Brian pelan.Brian kamu akan mengeluarkan biaya pengobatan yang besar untuk Hary, Diana sudah menghubungiku untuk meminta bantuan tanpa sepengetahuanmu, Batin Prasetya sambil tersenyum pada Brian. Aku sudah berjanji pada Diana tidak akan memberitahukanmu. Selamanya ini akan kusipan baik-baik.***"Mama... Papa...!"
Khansa menyeruak kerumunan orang, tadi dia yakin elihat Kak Yasmine dan Amran. Semoga apa yang dilihatnya memang benar, batinnya meragu. Khansa tersenyum sekilas saat melihat mereka berdua memang ada di sana. Yansmin dan Daniar berjongkok di samping Brian yang terluka. Amran sedang melakukan panggilan telepon. Khansa menghampiri Kak Yasmine dan Daniar."Kak... Bagaimana?" tanyanya gugup."Khansa! Sedang apa...?" kaget suara Yasmine melihat adiknya di sini."Aku menjemput Asha dan melihat kecelakaan. Daniar...?" tanyanya kini pandangannya beralih pada Daniar yang masih menangis.Daniar menggeleng pelan sambil berucap, "Ayah... tante."Suara ambulan membelah kerumunan hingga petugas mengangkat tubuh Brian. Daniar dipeluk Kak Yasmine sambil menenangkan tangisnya yang mengeras. Amran terlihat berbincang sejenak dengan petugas ambulan, kemudian memberikan perintah pada sopirnya."Kita ke rumah sakit. Khansa sud
Khansa mendengar suara lain yang meneriakkan nama 'Daniar'. Sesaat kemudian Khansa menghentikan langkahnya setelah lebih dahulu memastikan yang dilihatnya. Sejenak Khansa memastikan sekali lagi sebelum berbalik kembali ke mobil yang membawa mereka tadi."Asha, mama bisa minta tolong?" tanya Khansa pelan.Asha yang masih shok dengan apa yang dilihatnya tadi hanya mengangguk kecil tanpa menjawab. Khansa memahami kekhawatiran Asha pada Daniar."Sayang yang tertabrak bukan Kak Daniar. Namun mama ingin memastikan kondisi kakak. Asha pulang dengan sopir ya. Mama titip Shasha. Tadi minta dibelikan es krim," ucap Khansa cepat.Tanpa menunggu anggukan kepala Asha, Khansa kini berpesan pada sopir, "Pak bawa Asha pulang dahulu, sekalian kabari Pak Prasetya. Saya menunggu di rumah sakit."Sopir yang mengerti maksud Khansa langsung menyalakan kembali mesin mobilnya dan mulai bergerak meninggalkan Khansa yang kembali menuju lokasi kecelakaan. K
"Iya mama, Daniar sudah siap bertemu ayah," jawab Daniar memastikan permintaannya. Yasmine memahami rasa sakit yang dirasakan Daniar oleh penolakan yang dilakukan Brian. Sama sakitnya karena hal itu berarti tuduhan padanya melakukan perselingkuhan dahulu. Yasmine menarik napas dalam setelah memastikannya. "Daniar, mama akan menghubungi ayah dahulu. Jika waktunya sudah disepakati, sepulang sekolah kita akan menemuinya?" ucap Yasmine dengan suara pelan. "Iya ma boleh," jawab Daniar singkat. "Baiklah, aku akan menemani kalian bertemu Brian. Aku akan menjaga jarak agar Brian nyaman bertemu Daniar, Bagaimana?" tanya Amran sekaligus permintaan untuk menemani mereka. "Sudah seharusnya. Aku juga tak akan membiarkan Daniar tanpa pengawasan. Terima kasih Amran," ucap Om Pras menyetujui permintaan Amran. Yasmine mengangguk setuju. Daniar mengucapkan terima kasih pada Papa Amran dan pamit untuk bermain kembali dengan Asha dan Shasha. *** "Pa, Rama masih cuti. Apa harus hari in
Daniar terdiam sesaat mendengar ucapan mamanya, satu hal yang ingin dilupakannya namun diucapkan dengan jelas oleh mamanya. Sesaat diingatnya saat Ayah Brian menolak mengakuinya sebagai putrinya. Mama menangis dan memohon untuk melakukan pengecakan kembali, namun ayahnya menolak. "Mama..., apakah ayah sudah mengakui Daniar sebagai putrinya?" tanyanya polos menatap Yasmine ragu. "Daniar, kamu memang putri dari Ayah Brian. Apakah mama masih belum cukup membuktikannya pada Daniar?" tanya mama menekankan."Ma, Daniar percaya pada mama, tapi ayah....?" ucapnya pelan. Daniar tak melanjutkan ucapannya. Luka yang digoreskan ayah kandungnya perlahan kembali terbuka. Penolakan yang dilakukan hingga tuduhan yang membuat mamanya menangis dahulu kembali terbersit dalam ingatannya. "Daniar, Papa Amran rasa kali ini Ayah Brian sudah mengetahui kebenarannya. Daniar mau memaafkannya bukan?" ucapan Amran membuat Daniar menoleh padanya dan menatap tak percaya. "Ayah Brian ingin bertemu dengan Daniar
"Jika kamu adalah laki-laki sejati, selesaikanlah permasalahan yang seharusnya sudah selesai. Jangan membuat orang lain menderita karena kamu tidak bertanggung jawab," ucap Om Pras menatap tajam Brian dan langsung membalikkan badannya untuk melanjutkan langkah yang tertunda.Brian terdiam mendengarnya. Sudah lama dia tak menanyakan kabar putrinya yang sempat ditolak keberadaannya. Setelah Papa Hary meminta dikirim ke luar negeri untuk proses kesembuhan ditemani Mama Pratiwi dan Diana, Brian mendapatkan informasi jika Daniar memang putri kandungnya. Yasmine sudah tak pernah mencarinya. Brian mendengar jika saat ini Yasmine bekerja di sebuah perusahaan asing dan sudah memiliki posisi yang cukup tinggi, "Apakah ini sebabnya mereka tak mencari keberadaanku?" tanya Brian dalam hati.Seketika rasa rindu menyeruak. Aku akan mencoba menemui Daniar. Pasti Daniar senang jika aku menemuinya, batin Brian dengan senyum tersungging di bibirnya. ***"Bagaimana menurutmu AMran? Apakah aku harus men
"Pras! Apa maksudmu?" seru Rama kesal mendengar ucapan Om Pras. "Pras, apa yang membuat kamu tidak menyetujuinya. Bukannya kamu selalu meminta mama merestui hubungan Nadin dan Rama?" tanya mama heran. Om Pras menatap tajam sesaat. Lama kelamaan wajahnya mengendur dan menarik napas panjang. "Aku tidak setuju jika pernikahan mereka ditunda-tunda. Seluruh persiapan dan acara pernikahan aku yang mengaturnya. Bulan depan ijab qobul dan resepsi langsung digelar!" ujar Om Pras memerintah dengan tegas.Nadin dan Rama yang mendengar berbarengan melakukan protesnya, "Bulan depan??!"Mama yang mendengar ucapan Om Pras tersenyum senang, namun akhirnya tak dapat menahan tawa melihat ekspresi Rama dan Nadin.***"Pras, bagaimana dengan proyek Brian. Hasil analisaku tidak semua yang diambil Brian merugikan. Sepertinya kita harus memilah dan memilih dengan cermat. Minimal tidak menanggung banyak kerugian," ucap Rama saat Om Pras memintanya menganalisa beberapa solusi yang akan diambil. Om Pras ha
Beberapa orang langsung bangun dari kursinya memberikan penghormatan atas kedatangan kembali Prasetya. Om Pras membalas dengan anggukan kepalanya Om Pras melangkah tegap didampingi Rama. Siapa yang tak tahu sepak terjang dua sahabat ini. Mereka langsung menduduki kursi yang kosong. "Pak Pras, akhirnya. Kami sudah lama menantikan nya," seru sebuah suara yang terdengar sangat senang. Brian menatap tak percaya. Sesekali dilirikkan matanya pada Pak Burhan. Dia ingin memastikan apakah Prasetya dan Burhan bekerja sana. Tak ada kekagetan dari wajah Burhan. Terdengar hembusan napas dalam dari Burhan hingga akhirnya mengeluarkan suara. "Siapa yang mengundangnya untuk datang? Bukankah dia bukan pemilik saham lagi?" tanya Brian geram melihat ke arah Prasetya dan Rama. Tak ada yang menjawab. Sebagian besar yang hadir di dalam ruangan sangat mengharapkan Pak Prasetya kembali memimpin Narendra. "Saya yang mengundangnya," jawab Pak Burhan berusaha tenang. "Dalam kapasitas apa mereka
Pagi ini seluruh Dewan Direksi sudah menempati kursinya, tersisa empat kursi yang kosong di bagian depan. Beberapa saling menyapa kabar masing-masing, namun juga bertanya dengan pertemuan mendadak pagi ini. "Apakah kelakuan Brian sudah diketahui Pak Burhan?" bisik seorang pada rekan di sebelahnya. "Pak Burhan dan Brian bukannya saling mendukung. Ini berarti dia akan membiarkan atau malah membuat Brian merajalela di perusahaan," bisik lainnya. "Tak ada yang mengalahkan Prasetya dalam memimpin Narendra. Dia mewarisi papanya yang bertangan besi," bisik lainnya. "Tapi sikapnya itu yang membuat Narendra maju pesat. Siapa yang tak sejalan langsung disingkirkan," kenang mereka mengenai masa lalu. "Ya..., ya. Tapi itu juga yang menghancurkannya. Kelicikan Hary mengawali semuanya...," ucapan yang tak diselesaikan namun yang mendengar mengangguk-angguk setuju. Hary yang tak puas dan iri saat itu, memecah belah dua sahabat hingga berujung perselisihan panjang. Jika saja saat itu k