Ternyata Mama Dewi mengetahuinya. Selama ini mama memang masih memiliki orang-orang yang masih loyal dan selalu melindunginya, karena mama tetaplah keluarga Narendra. Jika Om Hary masih hidup, maka lelaki di keluarga Narendra tinggal mereka bertiga, Pasetya, Om Hary, dan Asha. Nadin putri dari adik almarhum papa yang sudah lebih dulu meninggal bersama istrinya karena kecelakaan lalu lintas.
Nadin sangat dekat dengan Mama Dewi dan selalu menemaninya. Saat ini Nadin mewakili Mama Dewi di perusahaan setelah sebelumnya menjadi sekretarisnya beberapa waktu menggantikan sekretaris yang sedang cuti. Nadin sangat ingin menjadi asisten pribadi, namun dia tak ingin apa yang dilakukannya di kantor dilaporkan pada Mama Dewi.
"Iya, Xavier. Jika benar dia adalah Om Hary, maka peperanganku akan semakin cepat berlangsung. Apa yang dilakukannya pada almarhum papa akan kubalas lebih kejam. Jika Mama Dewi membantunya maka aku tak akan segan-segan menghancurkan semuanya," anca
"Sayang masih pusing?" tanya mama yang ada di samping Amran. "Ma, bakso tusuknya mana, Khansa mau lagi ma," ucap Khansa saat matanya masih mengerjap. "Dihabiskan Mas Pras ya ma, bakso tusuk Khansa?" tanyanya kembali. Amran hanya memperhatikan dan bergeser agar Ibu Arini bisa mendekati Khansa. Khansa masih memegang buket bunga lily yang diberikan Amran. Mama mengusap lembut pucuk kepala "Sayang kangen dengan Prasetya?" tanya mama pelan. Khansa kini sudah tertidur kembali. Mama menatap papa seakan meminta pengertiannya. Amran kini melangkah menuju sofa untuk menunggu. Papa mengikuti Amran dan duduk setelah Amran. "Nak Amran, sepertinya saya akan meminta bantuan kembali. Kami secepatnya harus kembali, masalah yang menimpa kami di masa lalu sudah mulai terlihat titik terangnya. Kami ingin membersihkan nama baik keluarga besar kami. Juga mengembangkan kembali perusahaan yang telah kami rintis bersama almarhum papamu," ucap Pak Asyraf menjelaskan.
"Siapa yang mau Asha hukum? Apakah Nenek dan Kakek juga?" tanya Pak Asyraf saat kembali memasuki ruangan. "Nenek? Kakek? Mama ... Asha punya Nenek dan Kakek di sana, kenapa tidak ajak Asha kalau mama nginap di rumah mereka? Mama jahat!" sungut Asha melihat mamanya dengan kakek dan neneknya. "Asha Sayang, jangan hukum kami ya. Mama ke sini meminta Nenek dan Kakek kembali pulang. Kalau mama tidak ke sini Kakek dan Nenek pasti belum mau kembali," bela mama dengan wajah memelas pada Asha. "Benarkan?" tanya Khansa pada mama dan papanya kemudian. Mereka mengangguk meyakinkan Asha. Om Pras hanya tersenyum mendengarkannya. Rasa kangennya kini terobati apalagi saat dilihatnya Khansa sehat dan kandungannya juga sehat. Dibiarkannya Asha berbincang dengan Nenek dan Kakeknya. Setelah saling berjanji Kakek meminta izin untuk berbicara dengan papanya terkait perusahaan. "Rama ...! Bawa Asha bermain sebentar, siapkan makan siang. Aku akan bergabung setelah berbicara dengan papa Asyraf," perintahnya
"Lantas mengapa Ayah menghubungimu?" tanya Riska dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Ris, maaf. Aku akan menjelaskannya tapi kamu tenang dulu ya. Lagi pula sebaiknya kita langsung berangkat. Aku akan jelaskan diperjalanan nanti," jawab Dimas mencoba menenangkan Riska yang gugup mendengar ibunya sakit. Dimas menghubungi sopirnya agar bersiap di depan restoran, setelah menutup panggilan teleponnya dia menatap Handy dan Gilang bergantian dan bertanya, "Aku akan bawa Riska ke Bandung, soal pekerjaan nanti aku akan menghubungi Pak Rama atau Pak Pras. Ada yang ingin ikut menemani?" Handy menatap Gilang, dia tak mungkin ikut besok dan lusa laporan perkembangan proyek yang dipegangnya tak mungkin menunda karena ini menyangkut banyak kepentingan. Gilang menggeleng dan menjawab, "Maaf Dim, pekerjaanku besok menunggu laporan yang kubuat. Setelah selesai aku akan menyusul ke Bandung dengan Handy." Gilang tahu Handy juga khawatir, namun tanggung jawab mereka berdua pada
Khansa yang menunggu di kursi tunggu, terkejut melihat Om Pras dipapah oleh Pak Rama dan seorang pengawal papa. Khansa berjalan mendekati mereka. Melihat kondisi tersebut Dinda langsung mendekat dan mengikuti langkah Khansa walau tetap menjaga jarak, dia khawatir dengan keamanan Khansa. "Pak Rama, mengapa Om Pras?" tanya Khansa saat mereka sudah berhadapan. Pak Rama hanya tersenyum ban menjawab, "Sepertinya ngidamnya parah Bu, harus langsung mencari obatnya." Khansa tak mengerti apa yang dimaksud Pak Rama. "Kita berangkat sekarang?" tanyanya kemudian. Khansa hanya mengangguk dan mengikuti Pak Rama menuju mobil yang sudah menunggu. "Ke sekolah dulu pak!" perintah Pak Rama sekaligus meminta mobil yang mengawal untuk mengikuti mereka. Om Pras direbahkan di dalam mobil dengan berbantalkan paha Khansa yang duduk agak rapat dengan pintu, khawatir Om Pras tidak nyaman. Kaki Om Pras pun dibiarkan menjuntai ke bawah. Khansa yang menatap lekat wajah Om Pras merasa bersalah. Sepertinya Om Pras
Riska menoleh ke arah suara yang baru didengarnya. Dimas! Apakah Dimas mendengar apa yang ibu dan aku ucapkan tadi? tanyanya dalam hati. Bukankah tadi pamit akan kembali ke Jakarta? tanyanya lagi. Ayah sudah lebih dahulu melangkah menuju Dimas. "Nak Dimas tidak jadi pulang?" tanya ayah saat Dimas sudah melangkah masuk. "Ada teman papa yang datang ke sini, Dia dokter yang sering menangani pasien yang sama dan ingin membantu proses operasi. Papa bilang sebentar lagi sampai," jelas Dimas memberitahu alasannya tidak jadi kembali ke Jakarta. "Pak Dimas, dokter dari Jakarta sudah sampai. Apakah bapak ingin menemuinya dahulu?" tanya seorang perawat yang baru maasuk. "Sekalian saja dipersiapkan operasinya agar tidak menunggu lama, saya yang akan menemuinya," jawab Dimas sambil meminta segera dilaksanakan. Perawat mengangguk dan mengecek perlengkapan yang sudah terpasang di tubuh ibu. "Jika begitu, kami bawa pasien ke ruang operasi. Nanti Pak Dimas bisa menemuinya sebelum masuk ruangan," je
"Rama!" panggil Om Pras yang datang bersamaan dengan kepala pengawalan Pak Asyraf. "Bagaimana Pa? Brian mulai membuka diri dan menyerang. Perlukah kita membuatnya jatuh sekarang?" tanya Om Pras dingin. "Tidak perlu gegabah Pras. Pak awasi semua yang dilakukan Brian1 Kalian harus terus berkoordinasi, dia sudah mengantongi banyak informasi mengenai kembalinya kami. Minta beberapa orang mengawasi Yasmine dan putrinya, papa tidak mau Brian menjadikan kalian menjadi senjata yang menghancurkan," ucap Pak Asyraf sambil menatap Yasmine. Setelah Rama dan pengawal papa meninggalkan ruangan, obrolan dilanjutkan dengan rencana pengalihan pimpinan Gunawan Grup pada Pak Asyraf. "Bagaimana Pak Asyraf? Khansa atau bapak yang akan memimpin nanti, kami harus menyiapkan semua surat-suratnya?" tanya Om Raihan pada papa. "Sebenarnya keinginan terbesar, Khansa yang memimpin, tapi sepertinya dia lebih cocok menjadi ibu rumah tangga dan mengurus cucu-cucuku," jelas papa sambil tertawa
"Bukan seperti itu ma, papa hanya menanyakan apakah yang papa lakukan sudah sesuai dengan peraturan perusahaan," jelasnya membela diri. Dimas tersenyum melihat seorang Presdir yang takluk di depan istrinya. Khansa ikut duduk di samping Dimas yang membuat Om Pras meradang, "Dimas izinnya sudah aku terima dan aku berikan izin hingga ibunya Riska sembuh, sekarag pergilah!" ucap Om Pras memerintah. Dimas tersenyum mendengar jawaban yang berbeda dengan sebelumnya. "Khansa, sepertinya ada yang cemburu, dan aku tak mau lagi melihat hukuman yang diberikannya padamu. Lebih baik aku pergi dan membawa kabar baik untuk Riska," ucapnya bangun dari kursi. "Dimas, sampaikan salam untuk Riska, aku akan ke Bandung setelah Mas Pras memberikan izin," ucap Khansa pada Dimas. "Sampaikan pada Riska jika aku masih membutuhkannya setelah ibunya sembuh. Proyeknya bersamamu juga harus selesai sesuai target, Dimas!" ucapnya sedikit mengencangkan suara, karena Dimas sudah menuju pintu kel
Brian yang kecewa dengan hasil tes DNA meninggalkan Yasmine seorang diri di ruang tunggu rumah sakit. Awalnya dia sangat berharap jika Daniar adalah putrinya. Ingin dibuktikan pada papanya jika dia bisa memiliki keluarga walau dengan cara yang salah. Namun kenyataan yang dihadapinya membuatnya membenarkan apa yang dikatakan papanya mengenai Daniar. "Apa kamu yakin Daniar putrimu? Keluarga Narendra sudah menghancurkan papa, apakah Pras tidak akan membalasnya padamu Brian? Papa yakin dia akan menghancurkanmu," ucap papanya saat dikatakan akan melakukan tes DNA untuk mengetahui siapa ayah kandung Daniar. Ternyata papa benar, aku saja yang terlalu banyak berharap, jika aku juga bisa memiliki keluarga kecil. Yasmine, kamu telah membohongiku dengan memintaku menikahimu dulu. Untungnya aku sudah meninggalkanmu. Pikiran Brian yang kalut membawanya ke sebuah bar tempatnya dulu menghilangkan kejenuhannya. *** "Diana, bagaimana kondisi di sana?" tanya papa saat makan malam masih berlangsung.
"Sudah Mas, saya simpan dalam laci meja di pabrik," jawab Raihan pelan."Besok antarkan padaku. Semuanya harus dipastikan sesuai sebelum Khansa menerimanya. Aku tak ingin ada kesalaha di masa depan," tekan Asyraf pada Raihan yang hanya terdiam di kursinya.Raihan tak berani memberikan komentar hanya terdiam sambil menatap lurus pada wajah kakaknya yang terlihat lebih pucat kini."Mas sebaiknya istirahat. Aku panggilkan Mba Arini sekalian pamit kembali ke pabrik," ujar Raihan tanpa meminta pesetujuan. Raihan yakin hanya Mba Arini yang kini didengar Asyraf. Jika mereka melanjutkan perbincangan sudah dipastikan akan melelahkan Asyraf. Raihan bergegas keluar ruang kerja Asyraf dan memanggil Mba Arini yang menunggu di ruang keluarga. Setelah menyampaikan keinginan Asyraf bertemu Khansa dan Prasetya, Raihan melangkah keluar. Dari sudut matanya dilihat tangan Mba Arini mengusap pipinya dan memastikan sekali lagi sebelum melangkahkan kakinya menuju ruang kerja Asyraf yang baru ditinggalkanny
"Rama lihatlah dengan mata hatimu jangan melihat hanya di kulitnya saja," ucap Pak Burhan lagi sambil melangkahkan kakinya keluar ruang rapat. Rama terdiam sesaat. Dicoba mengingat apa yang dipesankan Prasetya padanya. Dari proses serah terima Prasetya tak pernah terlihat marah dengan Pak Burhan, namun kemarahannya pada saat bertatapan dengan Brian. Apakah Pak Burhan sebenarnya berpihak pada Prasetya? Bukan pada Brian? batin Rama bertanya.Rama tersenyum saat mengingat pesan Prasetya jika Pak Burhan pasti akan memperhatikan kesejahteraan karyawannya. Sepertinya kini dia bisa tenang menjalankan tanggung jawabnya di Kampus Pratama. Sudah lama sekali dia tak berkunjung secara langsung. Selama ini setiap rapat dan pertemuan selalu dalam daring. Rama tersenyum lebih lebar lagi. Kini ditinggalkannya ruangan rapat yang penuh kenangan perjuangannya dengan Prasetya. ***"Raihan, bagaimana kondisi pabrik hari ini?" tanya Pak Asyraf di ponselnya."Sudah mencapai 80% pemulihan produksi pabrik,
"Jika nanti papa bukan lagi pimpinan Narendra, Hanny masih mencintai papa kan?" tanya Om Pras melanjutkan pertanyaannya tanpa menjawab pertanyaan Khansa.Khansa beranjak bangun dari pelukan Om Pras. Ditatapnya mata Om Pras dalam untuk mendapatkan kepastian dari ucapan-ucapannya. Awalnya Khansa menduga jika itu hanyalah candaan, namun saat dilihat kejujuran di mata Om Pras Khansa menarik nafas dalam dan menghembuskannya pelahan. "Pa, jika memang itu yang terbaik mama akan mendukung papa. Mama hanya ingin papa sehat dan bisa bersama dengan Asha dan Shasha hingga mereka dewasa," ucapnya sambil merebahkan kembali kepalanya dalam pelukan Om Pras. Tak ada perbincangan selanjutnya hingga akhirnya terdengar hembusan nafas pelan Khansa yang tertidur. Om Pras merebahkan kepala Khansa disampingnya dan menarik selimut menutupi tubuh Khansa pelan."Hanny, papa akan menyelesaikan semua masalah Narendra terlebih dahulu. Papa tidak ingin ada orang yang mencari keuntungan dan menghancurkan Narendra
"Hanny, mengapa ke sini?" tanya Om Pras yang langsung bangun menghampiri Khansa saat mengenali suara yang baru masuk. Om Pras menarik tangan Khansa agar tak ikut masuk ke dalam. Dia tak ingin Khansa ikut terlibat dalam perseteruannya dengan Brian. "Hanny, papa akan menyelesaikan semuanya dahulu. Hanny jaga Asha dan Shasha saja ya," ujar Om Pras setelah dia memaksa Khansa duduk di ruang tunggu tamu. "Tapi, Pa!" potong Khansa cepat. Om Pras menatap Khansa dengan tajam seakan meyakinkannya jika permasalahan di perusahaan akan segera berakhir. Khansa masih meragukan apa yang dilihatnya, namun tatapan mata Om Pras membuatnya tersadar. Jika bukan karena Khansa yang datang sendiri, mungkin dia tak akan seyakin saat ini. "Hanny diantar pulang Gilang. Sekalian menjemput Asha di sekolah. Setelah urusan papa selesai, papa langsung pulang. Bagaimana?" tanya Om Pras setelah memberikan sedikit penjelasan. Khansa mengangguk setuju. Om Pras harus menjelaskan banyak hal padanya. Mama De
"Nadin, aku mohon jangan membuatku bertambah gila dengan rasa bersalah," ujar Rama menghentikan gerakan kursi roda Nadin yang beranjak meninggalkan Rama di taman.Rama tersenyum, ternyata Nadin masih memperhatikan perasaannya. Dilangkahkan kakinya hingga sampai di belakang kursi roda. Saat Rama datang tadi Nadin sedang berjalan melanjutkan terapinya. Perawat yang selalu menemaninya kini sudah berada di hadapan mereka."Mba Nadin sebaiknya melanjutkan terapi dahulu, tadi sudah berjalan lebih jauh dari biasanya!" ujar perawat sambil meletakkan air dalam baskom yagn sudah dberikan obat terapi untuk merendam kedua kaki Nadin. Rama memberi tanda agar perawat meinggalkan mereka."Nadin, biar aku yang melanjutkan terapinya," ucapnya sambil berjongkok dan mulai memijat kaki Nadin. Dahulu sebelum Nadin sadar setiap hari Rama yang melakukan terapi pijatan pada Nadin. Semenjak Nadin sadar, dia selalu menolaknya.Kini Nadin berusaha memahami semua y
"Ram, kini aku sudah tidak sama seperti dahulu. Terapi yang kujalani terasa lambat memberikan kesembuhan. Aku tak ingin menjadi bebanmu, Ram," ucap Nadin dalam hati dengan tatapan nanar.Hingga mobil Rama tak terlihat, barulah Nadin menghembuskan nafas perlahan. Digerakkan tangannya memutar roda agar bisa masuk ke dalam rumah. Mama Dewi yang memperhatikan kejadian di teras, menghampiri dan mendorong kursi roda menuju kamar Nadin. Dibantunya menjaga keseimbangan tubuh Nadin yang beranjak ke atas kasur.Tatapan mata Nadin seakan memohon untuk ditinggalkan sendiri. Namun Mama Dewi tetap berujar pelan, "Rama tak pernah berhenti mencintaimu Nadin. Yakinlah."Nadin tak membantah, namun juga tak menjawab ucapan Mama Dewi. Diperhatikannya Mama Dewi mengeser kursi ke samping tempat tidur agar nanti saat Nadin akan menggunakannya mudah dijangkau."Istirahatlah, Sayang. Mama tunggu nanti di meja makan ya!" perintah mama dengan suara lembut.
"Brian?!!" tanya handy terkejut.Brian tersenyum sekilas. Sedangkan Pak Burhan langsung memahami keterkejutan orang yang di hadapannya. Sebelum berangkat tadi Brian sudah menjelaskan jika dia mengenal beberapa orang yang akan rapat nanti. "Perkenalkan. Ini rekan saya yang selalu membantu, bisa dikatakan Brian adalah asisten saya saat ini," jawab Pak Burhan tegas sehiingga membuat Handy memundrkan langkahnya perlahan dan mempersilaan mereka berdua masuk. Om Pras dan Rama yang mendengar sekilas ucapan Handy dan Pak Burhan saling memandang sesaat dan tersenyum kecil. Sepertinya dugaan mereka tepat. Brian mencari orang yang akan digunakan sebagai rekan kerja sama untuk mencapai tujuan yang kemarin gagal. Batin Om Pras yang kni menatap Brian yang berjalan di samping Pak Burhan. Om Pras berdiri untuk menyabut salah satu dewan direksi yang dibacanya dari daftar pada berkas di hadapannya. Setelah sampai di hadapan Pak Burhan diulurkan tangannya untuk saling berjabat tangan. Pak Burhan meny
"Papa ..., aku pergi dahulu. Aku akan menemui orang yang bisa membantu memperlancar rencanaku," ucap Brian pamit pada Hary. "Brian ..., hati-hatilah. Jangan terlalu memaksa jika memang itu akan membuatmu celaka," pesan papa sebelum Brian meninggalkan Hary sendiri di rumah. Brian menatap sesaat pada papanya. Akhir-akhir ini papa sudah tak pernah mengungkit masa lalunya. Papa lebih banyak mengurung diri di kamar. Sepertinya papa kangen dengan Mama Pratiwi dan adiknya Diana. Batin Brian saat melangkah meninggalkan pintu dan menutupnya kembali. Brian masuk ke dalam mobilnya yang terparkir di samping rumah sederhana yang ditinggalinya sebulan belakangan. Kali ini tujuannya adalah kantor Prasetya. Dia akan mendampingi pemegang saham baru yang akan menemui pemilik Narendra Corp. namun sebelumnya dia akan menemui Burhan, orang yang membantunya dan pesawat yang membawanya baru saja mendarat. Setibanya di Bandara Brian masih harus menunggu karena bagasi yang terlambat serta proses peng
"Gilang hati-hati!" pesan Om Pras sedikit berteriak pada Gilang yang sudah menuju ruang tamu. Gilang hanya memberikan jempolnya tanda mengerti pada Om Pras dan Khansa dari ruang tamu.Sepeninggal Gilang Om Pras elanjutkan sarapan d temani Khansa. Dalam hati Khansa ingin sekali menanyakan masalah-masalah yang terjadi akhir-akhir ini, pabrik papanya hingga kecelakaan yang dialami Nadin, namun melihat Om Pras yang makan dengan lahap diurungkan niatnya. Suara dering telepon menghentikan kegiatan makan Om Pras. Diliriknya layar yang menyala di meja."Rama," gumam Om Pras yang masih terdengar samar oleh Khansa.Khansa melirik sekilas pada Om Pras, wajahnya kini sedikit gusar. Ada kekhawatiran jika kabar yang akan disampaikan Rama bukan kabar yang diinginkannya. Diambilnya telepon dan menggeser layar untuk menjawab panggilan Rama."Ada apa Ram?" tanya Om Pras setelah mendengar suara Rama di seberang."Semalam mobil Brian dipastikan kemba