"Lantas mengapa Ayah menghubungimu?" tanya Riska dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Ris, maaf. Aku akan menjelaskannya tapi kamu tenang dulu ya. Lagi pula sebaiknya kita langsung berangkat. Aku akan jelaskan diperjalanan nanti," jawab Dimas mencoba menenangkan Riska yang gugup mendengar ibunya sakit. Dimas menghubungi sopirnya agar bersiap di depan restoran, setelah menutup panggilan teleponnya dia menatap Handy dan Gilang bergantian dan bertanya, "Aku akan bawa Riska ke Bandung, soal pekerjaan nanti aku akan menghubungi Pak Rama atau Pak Pras. Ada yang ingin ikut menemani?" Handy menatap Gilang, dia tak mungkin ikut besok dan lusa laporan perkembangan proyek yang dipegangnya tak mungkin menunda karena ini menyangkut banyak kepentingan. Gilang menggeleng dan menjawab, "Maaf Dim, pekerjaanku besok menunggu laporan yang kubuat. Setelah selesai aku akan menyusul ke Bandung dengan Handy." Gilang tahu Handy juga khawatir, namun tanggung jawab mereka berdua pada
Khansa yang menunggu di kursi tunggu, terkejut melihat Om Pras dipapah oleh Pak Rama dan seorang pengawal papa. Khansa berjalan mendekati mereka. Melihat kondisi tersebut Dinda langsung mendekat dan mengikuti langkah Khansa walau tetap menjaga jarak, dia khawatir dengan keamanan Khansa. "Pak Rama, mengapa Om Pras?" tanya Khansa saat mereka sudah berhadapan. Pak Rama hanya tersenyum ban menjawab, "Sepertinya ngidamnya parah Bu, harus langsung mencari obatnya." Khansa tak mengerti apa yang dimaksud Pak Rama. "Kita berangkat sekarang?" tanyanya kemudian. Khansa hanya mengangguk dan mengikuti Pak Rama menuju mobil yang sudah menunggu. "Ke sekolah dulu pak!" perintah Pak Rama sekaligus meminta mobil yang mengawal untuk mengikuti mereka. Om Pras direbahkan di dalam mobil dengan berbantalkan paha Khansa yang duduk agak rapat dengan pintu, khawatir Om Pras tidak nyaman. Kaki Om Pras pun dibiarkan menjuntai ke bawah. Khansa yang menatap lekat wajah Om Pras merasa bersalah. Sepertinya Om Pras
Riska menoleh ke arah suara yang baru didengarnya. Dimas! Apakah Dimas mendengar apa yang ibu dan aku ucapkan tadi? tanyanya dalam hati. Bukankah tadi pamit akan kembali ke Jakarta? tanyanya lagi. Ayah sudah lebih dahulu melangkah menuju Dimas. "Nak Dimas tidak jadi pulang?" tanya ayah saat Dimas sudah melangkah masuk. "Ada teman papa yang datang ke sini, Dia dokter yang sering menangani pasien yang sama dan ingin membantu proses operasi. Papa bilang sebentar lagi sampai," jelas Dimas memberitahu alasannya tidak jadi kembali ke Jakarta. "Pak Dimas, dokter dari Jakarta sudah sampai. Apakah bapak ingin menemuinya dahulu?" tanya seorang perawat yang baru maasuk. "Sekalian saja dipersiapkan operasinya agar tidak menunggu lama, saya yang akan menemuinya," jawab Dimas sambil meminta segera dilaksanakan. Perawat mengangguk dan mengecek perlengkapan yang sudah terpasang di tubuh ibu. "Jika begitu, kami bawa pasien ke ruang operasi. Nanti Pak Dimas bisa menemuinya sebelum masuk ruangan," je
"Rama!" panggil Om Pras yang datang bersamaan dengan kepala pengawalan Pak Asyraf. "Bagaimana Pa? Brian mulai membuka diri dan menyerang. Perlukah kita membuatnya jatuh sekarang?" tanya Om Pras dingin. "Tidak perlu gegabah Pras. Pak awasi semua yang dilakukan Brian1 Kalian harus terus berkoordinasi, dia sudah mengantongi banyak informasi mengenai kembalinya kami. Minta beberapa orang mengawasi Yasmine dan putrinya, papa tidak mau Brian menjadikan kalian menjadi senjata yang menghancurkan," ucap Pak Asyraf sambil menatap Yasmine. Setelah Rama dan pengawal papa meninggalkan ruangan, obrolan dilanjutkan dengan rencana pengalihan pimpinan Gunawan Grup pada Pak Asyraf. "Bagaimana Pak Asyraf? Khansa atau bapak yang akan memimpin nanti, kami harus menyiapkan semua surat-suratnya?" tanya Om Raihan pada papa. "Sebenarnya keinginan terbesar, Khansa yang memimpin, tapi sepertinya dia lebih cocok menjadi ibu rumah tangga dan mengurus cucu-cucuku," jelas papa sambil tertawa
"Bukan seperti itu ma, papa hanya menanyakan apakah yang papa lakukan sudah sesuai dengan peraturan perusahaan," jelasnya membela diri. Dimas tersenyum melihat seorang Presdir yang takluk di depan istrinya. Khansa ikut duduk di samping Dimas yang membuat Om Pras meradang, "Dimas izinnya sudah aku terima dan aku berikan izin hingga ibunya Riska sembuh, sekarag pergilah!" ucap Om Pras memerintah. Dimas tersenyum mendengar jawaban yang berbeda dengan sebelumnya. "Khansa, sepertinya ada yang cemburu, dan aku tak mau lagi melihat hukuman yang diberikannya padamu. Lebih baik aku pergi dan membawa kabar baik untuk Riska," ucapnya bangun dari kursi. "Dimas, sampaikan salam untuk Riska, aku akan ke Bandung setelah Mas Pras memberikan izin," ucap Khansa pada Dimas. "Sampaikan pada Riska jika aku masih membutuhkannya setelah ibunya sembuh. Proyeknya bersamamu juga harus selesai sesuai target, Dimas!" ucapnya sedikit mengencangkan suara, karena Dimas sudah menuju pintu kel
Brian yang kecewa dengan hasil tes DNA meninggalkan Yasmine seorang diri di ruang tunggu rumah sakit. Awalnya dia sangat berharap jika Daniar adalah putrinya. Ingin dibuktikan pada papanya jika dia bisa memiliki keluarga walau dengan cara yang salah. Namun kenyataan yang dihadapinya membuatnya membenarkan apa yang dikatakan papanya mengenai Daniar. "Apa kamu yakin Daniar putrimu? Keluarga Narendra sudah menghancurkan papa, apakah Pras tidak akan membalasnya padamu Brian? Papa yakin dia akan menghancurkanmu," ucap papanya saat dikatakan akan melakukan tes DNA untuk mengetahui siapa ayah kandung Daniar. Ternyata papa benar, aku saja yang terlalu banyak berharap, jika aku juga bisa memiliki keluarga kecil. Yasmine, kamu telah membohongiku dengan memintaku menikahimu dulu. Untungnya aku sudah meninggalkanmu. Pikiran Brian yang kalut membawanya ke sebuah bar tempatnya dulu menghilangkan kejenuhannya. *** "Diana, bagaimana kondisi di sana?" tanya papa saat makan malam masih berlangsung.
Brian yang kaget mendapati pipinya sakit menatap marah pada papanya. Xavier juga kaget karena mendengar suara istrinya di tangga. Brian mendengus kesal dan berjalan menaiki tangga. Saat akan melewati mamanya, dihentikan langkahnya sejenak. Brian tak ingin melihat mamanya sedih, maka diucapkannya kalimat yang menenangkan untuk mamanya. "Aku baik-baik saja ma, ini tidak sesakit hatiku dikhianati Yasmine. Mama tak perlu khawatir," ucap Brian kemudian melanjutkan langkahnya menuju kamarnya. Pratiwi menunggu Xavier naik. Sepertinya ada hal yang harus mereka selesaikan sebelum semua kejadian yang ada akan membuat putranya meradang dan berbuat yang tidak baik."Brian pantas diberikan pelajaran. Untuk apa membuang waktu dengan mabuk-mabukan hanya untuk wanita seperti Yasmine?" tanyanya sambil memberikan penjelasan. Pratiwi hanya menarik nafas dalam. Apa yang dikatakan Xavier benar, tapi harus ada alasan yang masuk akal. Bukan hanya untuk mengedepankan egois masing-masing saja."Sudah waktun
Om Pras yang mendengar teriakan Khansa bergegas mempercepat langkahnya. Sesaat tiba di bordes tangga dilihatnya Khansa yang sudah tergeletak dengan kening mengeluarkan darah pada bordes dibawahnya, "Khansa!" teriakannya menggema di ruang tangga darurat. Dipercepat lagi langkahnya seakan berlari menuruni tangga. Sesampainya di sana di angkat kepalanya dan diletakkan di pangkuannya. Rama yang mendengar teriakan Pak Pras langsung menghubungi sopir untuk bersiap di depan lobi utama. Saat tadi didengarnya Om Pras berteriak, dia seakan kembali ke masa lalu saat Amanda kecelakaan. Secara naluri diambilnya kesimpulan jika ada yang tidak beres. Setelah menghubungi sopir dituruninya tangga dengan berlari cepat, saat sampai Om Pras menoleh dan menatap kalut. Rama mengangguk, "Mobil sudah siap kita lewat lift!" Rama mengambil langkah di depan. Dibelakangnya Om Pras membopong Khansa yang sudah tak sadarkan diri, sesekali matanya melirik pada Khansa. Diharapkannya jika Khansa hany