Jalinan waktu terus bergulir. Pagi menjelang siang itu, Ruslita terkejut karena kedatangan teman-teman Zivara. Perempuan tua berparas manis sangat senang, karena ada yang menemaninya di rumah selama lebih dari 1 jam. Sarah dan ketiga rekannya sengaja mengajak Ruslita berbincang tak tentu arah. Supaya perempuan tua tersebut tidak mencurigai kedatangan mereka yang tiba-tiba. "Bu, boleh nggak, aku minta alamat Zivara?" tanya Sarah. "Buat apa, Neng?" tanya Ruslita. "Pengen ketemu, Bu. Kangen pisan." "Tapi, ayahnya melarang Ibu buat ngasih tahu alamatnya ke siapa pun." "Kami, kan, sahabat Zi dari dulu, Bu," sela Isfani. "Ya, Bu. Lagi pula, kami nggak akan ngasih info ini ke orang lain," imbuh Dina. "Terutama cowok itu Penipu. Benci aku!" geram Wenda. Dia sengaja berakting membenci Arudra, supaya Ruslita percaya padanya."Saha?" tanya Ruslita. "Lakinya itu, Bu. Bisa-bisanya dia jadiin sahabatku sebagai yang kedua. Kurang ajar," desis Wenda. "Urang oge hayang nampol," sahut Isfani
Hari berganti. Jumat siang menjelang sore, rombongan pimpinan Zein berangkat menuju Tasikmalaya. Mereka menggunakan beberapa mobil MPV yang sarat penumpang. Arudra yang berada di mobil ketiga, sama sekali tidak curiga diajak berwisata ke sana, sesuai rencana kelompok Bandung. Arudra juga tidak curiga karena petinggi PBK ikut serta. Dia mengira jika itu adalah bentuk kekompakan para pengawal. Selain Arudra, kedua adiknya juga turut serta. Mereka menumpang di mobil yang dikemudikan Riaz. Bhadra dan Casugraha telah mengetahui rencana Wirya, dan mereka sangat bersemangat untuk membantu menyukseskan acara itu. "Hotel sudah oke," tutur Yanuar, seusai membaca pesan dari ketua security PB yang bertugas di Tasikmalaya. "Sama yang buat kelompok Sarah?" tanya Wirya. "Iya. Komplet semua" Yanuar mengalihkan pandangan pada sahabatnya yang berada di sebelah kanan. "Kamu kayaknya tegang banget, W," lanjutnya. "Aku deg-degan, ngeri Zivara nggak mau ikut sama Sarah," terang Wirya. "Kalau dia ng
Kehadiran Wirya dan Delany dari pintu utama ruang pertemuan, benar-benar mengejutkan Zivara. Dia bertambah kaget ketika Hendri dan Irshava muncul bersama Zein serta Divia.Zivara terperangah kala mendengar lagu kesukaannya dilantunkan penyanyi dari band di dekat pelaminan. Rasa kaget Zivara bertambah saat anak-anak para bos mendatanginya sambil membawa buket bunga. Perempuan bergaun panjang krem merunduk untuk menerima buket bunga dari semua bocah. Dia menciumi pipi mereka satu per satu, sebelum menegakkan badan dan memindai sekitar. Zivara terkesiap, saat semua tamu membuka masker. Dia nyaris tidak percaya dengan penglihatannya, karena ternyata hadirin adalah orang-orang yang dikenalnya sebagai bos PG dan petinggi PBK beserta keluarga masing-masing. Sarah menghampiri sahabatnya untuk mengambil buket bunga, dan meneruskannya pada Isfani. Kemudian Sarah menggandeng Zivara dan mengarahkannya ke dekat pelaminan. "Mbak, sebenarnya ada apa ini?" tanya Zivara. "Aku nggak bisa jawab, Z
Evan jalan mondar-mandir sepanjang halaman depan indekost Zivara. Pria berkemeja abu-abu, benar-benar bingung karena sejak siang tadi Zivara tidak bisa dihubungi. Selain Evan, kedua sepupunya dan Fitri juga sudah mencoba menelepon Zivara, tetapi tidak ada satu pun panggilan yang tersambung. Jarum jam bergerak naik. Evan akhirnya terpaksa pulang ke indekost-an Dirga. Sebab malam telah larut, dia tidak mungkin pergi ke rumah pamannya di pinggir kota. Fitri memandangi pria yang diyakininya mencintai Zivara, hingga Evan memasuki mobilnya. Perempuan berambut pendek merasa kasihan pada Evan, yang kentara sekali mengkhawatirkan Zivara. Setelah memasuki kamarnya, Fitri kembali mencoba menelepon sahabatnya. Kala terdengar bunyi sambungan masuk, Fitri spontan mengusap dada."Assalamualaikum," sapa Zivara dari seberang telepon. "Waalaikumsalam," balas Fitri. "Zi, kamu di mana?" tanyanya. "Di Santika." Fitri mengerutkan dahi. "Bukannya temanmu nginapnya di Aston Inn?" "Dia pindah ke sini,
Seusai santap malam, rombongan pimpinan Jauhari bergerak memasuki kendaraan. Arudra, Zivara, Bilal dan Riaz menunggu hingga semua kendaraan menjauh, kemudian mereka menaiki mobil SUV biru yang disewa selama beberapa hari ke depan. Wirya sengaja menempatkan Riaz untuk mendampingi Arudra, karena dia khawatir jika rekannya tersebut akan terlibat konflik dengan Evan dan keluarganya. Mobil yang dikemudikan Bilal melaju menembus jalan raya yang tidak terlalu padat. Mereka sempat berhenti di sebuah toko, untuk membeli pakaian ganti buat ketiga lelaki tersebut. Sesampainya di tempat tujuan, suasana sangat sepi. Zivara melangkah menuju kamarnya, lalu membuka kunci dan mendorong pintu lebar-lebar. Arudra ikut masuk, sedangkan Bilal dan Riaz menunggu di teras. Beberapa orang mengintip dari balik jendela, kemudian salah seorang dari mereka memberanikan diri keluar untuk menyambangi Zivara yang sedang berbenah. "Zi, kamu ditanyain Ibu kost," tukas Sari, kemudian dia mengamati Arudra yang seda
Waktu baru menunjukkan pukul 7 pagi, ketika Wirya dan keenam orang lainnya mendatangi kediaman Thamrin. Pria berkemeja hijau lumut turun dari mobil. Wirya membantu istrinya keluar, kemudian mereka mengayunkan tungkai menuju pagar yang masih terkunci. Thamrin yang sedang memanaskan mesin mobil, mengerutkan dahi, karena tidak mengenali orang-orang yang sedang berdiri di dekat pagar. Dia mendekat, lalu membulatkan mata saat menyaksikan Wirya yang ternyata menjadi tamu. Pria tua berkaus hitam, bergegas membukakan gembok. Dia mendorong pagar hingga terbuka lebar, kemudian dia menyalami Wirya dan rekan-rekannya. Setelah berbasa-basi sesaat, Thamrin mengajak semua orang memasuki rumah. Zein yang menjadi sopir, memarkirkan kendaraan di belakang mobil Thamrin, lalu dia turun dan menyusul yang lainnya. Ruslita tergopoh-gopoh menyiapkan sajian buat para tamu. Kemudian dia memanggil Fazwan yang keluar dari kamarnya dengan rambut acak-acakan dan wajah mengantuk. "Ada Komandan Wirya," tutur Ru
Sepasang manusia jalan bersisian menyusuri koridor panjang bandara Cengkareng. Mereka tidak berhenti di tempat pengambilan bagasi, karena hanya membawa koper kecil. Keduanya meneruskan langkah hingga tiba di pintu kedatangan. Seorang pria tua menyambut mereka dengan senyuman, kemudian ketiganya melangkah menuju tempat parkir di seberang bangunan utama. Tidak berselang lama, mereka telah berada di mobil Mercedes-Benz hitam. Sang sopir mengarahkan kendaraan menuju kediaman sang bos di kawasan Jakarta Pusat. "Kamu istirahat dulu sebentar. Nanti sore sopir akan mengantarkanmu ke hotel," ujar Fendi sambil memandangi layar ponselnya. "Aku mau langsung pulang ke Bogor, Mas. Mobilku, dititip saja di kantor cabang," sahut Lanika. "Kalau mobilmu di sini, kamu beraktivitas pakai apa?" "Aku nggak akan ke mana-mana. Besok juga sudah mengajukan resign. Paling cuma beres-beres." "Lalu, ke sininya gimana?""Pakai taksi. Barangku nggak banyak. Cuma baju-baju dan perlengkapan lainnya." Fendi me
Sepanjang perjalanan menuju Bandung, Zivara sibuk berbalas pesan dengan Sarah dan yang lainnya. Sementara Arudra berbincang dengan rekan-rekannya di grup baru, yang dinamakan sesuai dengan nama perusahaan bentukan mereka.Sudut bibir Arudra berkedut membaca adu kata rekan-rekannya. Tawa pria berhidung bangir meledak, tanpa memedulikan kekagetan Zivara, Bilal dan Riaz. Perempuan berbaju putih melirik ke kanan, kemudian dia menggeleng menyaksikan tingkah Arudra yang kian mengencangkan tawanya. ***Sundanese Grup Zafran : Urang lieur. Loba teuing grupnya. Emris : Ho oh. Mana logonya mirip-mirip. Mark : Ganti atuh. Pakai logo yang rada gagah.Farisyasa : Foto urang waelah. Sudah jelas gagahnya. Hendri : Ambil, Kang @Farisyasa! Andri : Kang Faris pang gagahna sedunia. Wirya : Se-planet Venus. Yoga : Mars. Zein : Jupiter. Yanuar : Bukannya Saturnus lebih dulu, ya? Harry : Urutannya kacau oge, teu nanaon. Alvaro : Yanuar memang gitu. Sok paling runut. Ghael : Padahal dia pelupa
Awal malam itu, Lanika tiba di bandara Cengkareng, bersama Sebastian, Rylee dan Cornelia. Mereka dijemput Uday yang kemudian mengantarkan keempatnya ke hotel tempat tim PG dan PC menginap. Setibanya di tempat tujuan, Bilal dan Yolla telah menunggu di lobi. Seusai berbincang sesaat, mereka bergegas menuju ruang pertemuan di lantai tiga, untuk menghadiri jamuan makan malam yang diadakan oleh Tio. Ruangan luas itu seketika heboh. Semua orang menyambut kedua anggota PC yang baru tiba, dengan rangkulan. Hal nyaris serupa juga dilakukan tim para istri pada Cornelia dan Lanika. Kendatipun tidak terlalu mengenal Lanika, tetapi Mayuree dan rekan-rekannya tetap bersikap ramah pada perempuan tersebut. Seusai melepas rindu pada keluarganya, Lanika mendatangi Zivara dan langsung memeluk sahabatnya tersebut dengan erat. Kemudian dia mengurai dekapan dan beralih menciumi Keef yang sedang dipangku maminya. "Masyaallah, asa tambah kasep, pangeran Ate," puji Lanika sembari menggosok-gosokkan hidun
Ruang rapat di gedung kantor PG, siang menjelang sore itu terlihat ramai. Lebih dari 100 pria bersetelan jas biru mengilat, berkumpul untuk mendengarkan pidato Tio. Setelahnya, komisaris PG memanggil orang-orang yang hendak berangkat ke Kanada. Mereka berdiri di kiri Tio, sambil memandang ke depan. Arudra, Drew, Ghael, dan Myron bergantian mengucapkan kalimat perpisahan. Benigno yang akan mengantarkan rekan-rekannya ke Kanada, juga turut memberikan pidato singkat. Sementara Alvaro yang menjadi pemimpin rombongan tersebut, hanya diam sambil memandangi semua orang di ruangan. "Teman-teman, mari kita bersalaman dengan para pejuang ini. Berikan dukungan terbaik buat mereka, yang akan bekerja keras menyelesaikan berbagai proyek kita di Kanada," ungkap Tio sembari turun dari podium. "Mid, tolong atur barisan," pinta Tio yang segera dikerjakan direktur operasional PG. Tio menyalami Arudra dan mendekapnya sesaat. Kemudian Tio memundurkan tubuh dan berbincang singkat dengan rekannya terse
Jalinan waktu terus bergulir. Minggu terakhir berada di Bandung, digunakan Arudra dan Zivara untuk lebih dekat dengan keluarga. Setiap hari mereka bergantian mengunjungi kediaman Rahmadi atau Thamrin, agar bisa bercengkerama dengan keluarga inti dan sanak saudara. Kamis sore, Arudra dan Zivara mendatangi kediaman ketua RT tempat mereka tinggal dan tetangga terdekat, untuk berpamitan. Pasangan tersebut tidak lupa untuk berpamitan pada para pedagang di sekitar kompleks, yang menjadi langganan mereka selama menetap di sana.Jumat pagi, Nirwan melajukan mobil sang bos menuju kediaman Rahmadi. Fazwan dan Disti menyusul menggunakan mobil SUV putih milik Zivara. Tidak berselang lama, Bilal datang bersama Yolla dan keluarganya. Demikian pula dengan Thamrin dan Ruslita. Mereka hendak ikut mengantarkan Arudra dan kelompoknya ke Jakarta. Seusai membaca doa bersama, semua orang menaiki kendaraan. Kemudian Bhadra yang berada di mobil terdepan, menekan klakson sebagai tanda perjalanan akan seg
Senin pagi menjelang siang, Arudra dan Zivara beserta yang lainnya bertolak menuju Lombok. Fazwan dan Disti juga ikut dalam rombongan tersebut untuk menikmati bulan madu, sebagai hadiah dari para petinggi Janardana Grup dan Mahendra Grup. Pada awalnya para pria ingin kembali mengunjungi Pulau Komodo. Namun, karena banyak anak-anak yang ikut, akhirnya tempat tujuan diubah supaya cocok dengan anak kecil.Pesawat yang mereka tumpangi akhirnya tiba di Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid (Bizam) menjelang pukul 4 sore. Perjalanan itu ditempuh dalam waktu yang cukup lama, karena pesawat harus transit di bandara Bali. Dari bandara menuju hotel milik BPAGK, rombongan tersebut menaiki bus berukuran besar yang disediakan pihak hotel. Agung, ketua pengawal Bali dan Nusa Tenggara, kembali menjadi pemandu wisata dadakan.Seperti biasa, para pengawal muda mengadakan kuis berhadiah kudapan dan minuman ringan. Sebab jumlah bos yang ikut cukup banyak, akhirnya semuanya ikut dan terbagi menj
Sabtu pagi di minggu kedua bulan Agustus, pernikahan Fazwan dan Disti dilangsungkan di gedung pertemuan kawasan Buah Batu. Rombongan keluarga calon pengantin pria tiba belasan menit sebelum acara dimulai. Yudha yang menjadi pemimpin, mengatur barisan bersama teman-teman pasukan pengawal area Bandung. Setelah diberi kode oleh tim panitia pihak perempuan, rombongan berseragam serba krem jalan perlahan menuju pintu utama gedung. Mereka berhenti di bawah tenda untuk menyaksikan sambutan dari kedua orang tua Disti. Susunan acara khas Sunda dilaksanakan dengan khidmat, sebelum akhirnya rombongan dipersilakan masuk. Keluarga inti, para petinggi PBK dan keluarga Janardana, serta Mahendra dan Pangestu, menempati kursi dua deretan terdepan sisi kanan. Di belakang mereka dipenuhi keluarga besar Fazwan, dan semua pengawal lapis satu hingga 12 yang hadir bersama keluarga masing-masing. Tidak berselang lama acara dimulai. Fazwan mendengarkan khotbah nikah dengan serius sambil merekamnya dalam
Minggu berganti menjadi bulan. Menjelang keberangkatan ke Kanada, Zivara justru disibukkan dengan persiapan pernikahan Fazwan. Sebab calon pengantin pria sedang sibuk mengikuti Arudra tugas ke luar kota, mau tidak mau Zivara yang menggantikan posisi akangnya untuk membantu Disti. Sore itu sepulang dari kantor, Zivara memacu mobil SUV putih menuju pusat perbelanjaan. Kala berhenti di perempatan lalu lintas, Zivara menyempatkan diri untuk menelepon Nini, yang tengah dijemput Isfani untuk menyusul Zivara, bersama Keef. Setibanya di tempat tujuan, Zivara memarkirkan mobilnya dengan rapi. Dia merapikan penampilan terlebih dahulu, kemudian menyemprotkan sedikit parfum ke baju. Sekian menit berikutnya, Zivara telah berada di dekat pintu utama. Dia menunggu kedatangan taksi yang ditumpangi Nini dan Isfani tiba, kemudian mereka bergegas menuju lantai tiga, di mana Disti dan kakaknya telah menunggu. Keempat perempuan bersalaman sambil beradu pipi. Sementara Nini hanya menyalami calon istri
"Siapa kamu!" bentak Eyang Min, saat seorang pria tua muncul di dekat teras depan rumahnya. "Tidak perlu tahu aku siapa. Yang penting, setelah ini usahamu menyesatkan orang akan berhenti," jawab Mulyadi dengan sangat tenang. Eyang Min maju beberapa langkah sambil mengacungkan tongkatnya yang berbentuk unik. "Oh, ternyata kamu. Orang yang sudah melindungi Lanika." "Betul." "Tapi, percuma saja. Sebentar lagi dia akan mati." "Nyawa manusia adalah milik Allah. Sehebat apa pun ilmumu, jika Allah berkehendak, maka Lanika akan aman." Eyang Min tertawa melengking. Mulyadi tetap diam sambil mengamati beberapa orang yang muncul di belakang perempuan berbaju merah. Zein dan ketiga sahabatnya telah selesai bertempur. Mereka berdiri beberapa meter di belakang Mulyadi sambil memerhatikan sekeliling. Masih ada titik-titik merah yang beterbangan, dan harus terus diawasi. Eyang Min melemparkan tongkatnya yang berubah menjadi ular hitam berukuran besar. Mulyadi spontan mundur sembari memukuli u
Embusan angin kencang menerpa apa pun yang berada di bumi. Dedaunan di dahan bergoyang ke sana kemari mengikuti arah sang bayu. Sekali-sekali akan terdengar suara binatang malam. Selebihnya hanya keheningan yang tercipta di sekitar rumah besar, yang berada di tengah-tengah kebun di pinggir Kota Bogor. Jalan depan rumah itu terlihat lengang. Meskipun waktu baru menunjukkan pukul 10, tetapi tidak ada seorang pun yang melintas di sana. Letak bangunan yang berada di perbukitan, ditambah lagi area belakangnya lebih banyak kebun dibandingkan rumah, menjadikan tempat itu seolah-olah terisolir dari dunia luar. Sekelompok orang terlihat jalan cepat di kebun sisi kiri. Sebab sekitarnya gelap, mereka terpaksa menyalakan senter kecil yang tersambung dengan ikat kepala. Sekali-sekali mereka akan berhenti dan berjongkok untuk memindai sekitar. Kemudian mereka melanjutkan langkah hingga tiba di dekat rerimbunan semak di dekat rumah target. Pria terdepan memberi kode dengan tangan. Lima orang be
Arudra termangu, sesaat setelah Nirwan menceritakan tentang kejadian kemarin malam di mobil Lanika. Bhadra, Casugraha, Fazwan dan Bilal yang juga berada di ruang kerja sang presdir, saling melirik, sebelum sama-sama mengulum senyuman. Sementara Zein menggeleng pelan seraya tersenyum lebar. Sedangkan Hendti justru bertepuk tangan, kemudian dia menepuk-nepuk pundak Nirwan yang terlihat cengengesan. "Hebat, euy! Bisa ninju kunti," tukas Hendri. "Ini berkat ajaran Akang," balas Nirwan. "Dan Bang Zein, serta teman-teman tim pengejar hantu," lanjutnya sambil memandangi pria berkulit kecokelatan yang balas menatapnya saksama. "Kami cuma melatih sedikit. Hatimu memang kuat, itu yang membuatmu sanggup melawan kuntilanak kiriman Nenek tua itu," jelas Zein. "Kamu ikut latihan olah napas, Wan?" tanya Bilal. "Ya, Bang," jawab Nirwan. "Sudah lama?" "Baru dua bulanan. Itu pun karena diajakin Kang Izra. Dia bilang, auraku kuat. Lebih bagus lagi diarahkan ke ilmu kebatinan." "Aku ingat Izra