Saat ini, Nandini dan Xavier tengah berada di taman rumah sakit. Sedangkan si kembar dan juga Alarich menemani Sheinafia di ruang perawatan. Nandini sengaja mengajak suaminya ke sana. Nandini ingin berbicara empat mata bersama suaminya. Ia tidak ingin anak-anaknya melihat emosi kekasih halalnya itu. Nandini tahu, bagaimana jeleknya sifat Xavier. "Sayang," panggil Nandini lembut setelah sekian lama mereka berdua diam. Lalu Nandini mengambil tangan lebar suaminya. Dan menggenggamnya lembut, Nandini menatap Xavier dengan penuh kelembutan. "Sayang, boleh aku bicara," pinta Nandini. "Mau bicara apa, Sayang," jawab Xavier tenang seperti biasanya. Nandini tersenyum lembut. Senyuman yang selalu bisa membuat Xavier merasakan sebuah ketenangan. Ketika Xavier merasa gusar, gelisah dengan mendatangi istri kecilnya entah bagaimana kegelisahan itu seolah menguap begitu saja. Nandini seolah bagaikan obat untuknya yang memiliki tempramen jelek. "
Sheinafia memaksa sang ayah untuk mempertemukan ia dengan teman-teman yang sudah membully dirinya kemarin. Dengan terpaksa ia mempertemukan putrinya dengan orang-orang itu. "Ayah, kenapa cemberut terus sih," ujar Sheinafia tersenyum lebar. Setelah di rawat sehari semalam, Sheinafia di izinkan pulang. Kini Nandini tengah membereskan barang-barang sang putri. Nandini terkekeh, Xavier terkadang akan bersikap seperti anak kecil jika sudah kesal. Apalagi jika itu menyangkut putrinya. Lantas bagaimana jika nanti sang putri menikah, entah drama apa yang akan di mainkan olehnya. "Ayahmu tengah kesal, Sayang. Kamu memintanya untuk bertemu dengan orang-orang yang sudah menyakitimu. Dan ayahmu sudah bisa menebak, apa yang akan terjadi nanti," ujar Nandini seraya tertawa kecil. Xavier hanya menatap dingin dan datar kedua wanita paling berharga di dalam hidupnya itu. Sedangkan kedua wanita berbeda usia itu malah semakin bersemangat untuk menggoda si kepala kel
Perkenalkan namaku Rain Alexander Zaderta. Usiaku tujuh belas tahun. Aku bersekolah di SMA Harapan Bangsa kelas dua belas yang artinya sebentar lagi aku akan keluar. Saat itu, aku mendengar desas desus mengenai kedatangan murid baru. Awalnya aku cuek-cuek saja, tidak pernah penasaran. Namun, entah mengapa kali ini, aku begitu ingin tahu siapa yang menjadi murid baru di sekolahku. "Rain, sudah dengar belum? Katanya ada murid baru di sekolah kita! Satu perempuan dan satu laki-laki," ucap Jolie salah satu teman perempuan yang selalu menempel padaku. Entah kenapa perempuan itu selalu saja mengikutiku, hingga terkadang aku risih di buatnya. Jolie seolah-olah menulikan dan menutup matanya, jika aku mencuekinya atau terkadang aku membentaknya. "Rain, ngomong donk. Jangan diam saja. Apa kamu tidak penasaran?" tanya Jolie untuk kedua kalinya. Namun, sekali lagi aku hanya membiarkan perempuan itu. Malas sekali meladeni mulutnya yang terkadang cerewet. Hin
Setelah membebaskan orang-orang yang membulynya, Sheinafia kembali menuju rumahnya. Xavier diam sepanjang perjalanan. Shei tahu jika ayahnya tengah kesal pada dirinya. "Ayah," panggil Shei lembut. "Masih marah bukan sama Shei? Kalau Ayah cemberut seperti ini, Ayah sudah seperti pedagang tutut," kelakar Sheinafia membuat Abrian yang kebetulan satu mobil dengan mereka berdua sontak menyemburkan tawanya. Abrian tertawa tidak dapat membayangkan jika orang setampan dan sesangar Xavier di samakan dengan seorang pedagang tutut. Oh apa kata dunia, jika CEO Romanov Corp menjadi penjual tutut. Salah satu makanan kesukaan putri mereka. Ya Jasmine sangat menyukai makanan berbahan dasar tutut. Sehingga membuat Melati terkadang membuatkannya untuk sang putri. "Ayah tidak habis pikir. Dengan jalan pikiranmu dan juga ibumu. Kalian terlalu baik, dan juga terlalu pemaaf," tukas Xavier datar. Sheinafia tersenyum lembut. Lalu meraih tangan sang ayah dan ia genggam dengan h
Sean dan Samudera terus memperhatikan langkah kaki sang kakak. Hingga Sheinafia hilang, tidak terlihat lagi. "Kita menunggu kakak di mana?" tanya Sean. Samudera melihat sekelilingnya, lalu netranya jatuh pada sebuah kursi taman. Samudera menunjukkan kursi tersebut dan mengajak kembarannya untuk duduk di sana. "Kita tunggu di sini saja, dan terus perhatikan orang tadi. Aku takut dia memiliki niat jahat pada kakak kita, dan sebaiknya jangan dulu laporan pada ayah. Setelah kita benar-benar memastikannya," ujar Samudera datar. Sean mengangguk setuju, ia takut jika ayahnya akan heboh. Sean tahu sebesar apa sayangnya sang ayah pada kakak perempuan mereka, bukan berarti ayah mereka tidak menyayangi Sean dan Samudera. Hanya saja, perhatian untuk Sheinafia memang lebih besar. Dan Sean serta Samudera sama sekali tidak iri. Sebab bagi mereka, baik Sheinafia maupun Jasmine adalah dua orang wanita yang harus mereka lindungi. "Aku tidak mau sampai ter
Alarich sontak berteriak ketika sudah sampai di pelataran rumah sakit. Ia berteriak meminta pertolongan pada para petugas medis yang ada di sana. Para dokter dan perawat langsung berlarian. Melihat putra dari Arshaka Dewangga Romanov berlari, sambil menggendong seorang perempuan. Mereka langsung meminta Alarich untuk merebahkan Sheinafia di atas brangkar. "Tolong, tolong lakukan apapun untuk kakakku," pinta Sean. Para dokter mengangguk dan langsung membawa Sheinafia ke ruangan gawat darurat. Sementara, Samudera masih berusaha mengejar pelaku. Namun sayang, orang itu menghilang membuat Samudera memaki. Tanpa pikir panjang, ia langsung menaiki motornya. Dan berlalu dari sekolah sang kakak menuju rumah sakit keluarga Romanov. Di tengah perjalanan ia menghubungi sang ayah. [Hallo, Son. Ada apa?] Sapa Xavier begitu ia mengangkat sambungan telepon dari salah satu putra kembarnya. [Yah, segera ke rumah sakit kita. Kak Shei seseorang melukainya. Aku liha
"Putriku." Xavier menjatuhkan tubuhnya di atas lantai dingin rumah sakit. Pria itu berlutut tepat di depan pintu ruangan ICU. Ponselnya sedari tadi menjerit, namun tidak ia angkat sebab Xavier tahu jika orang yang meneleponnya adalah sang istri. Pria itu meremat rambutnya dengan kasar. Meraup wajahnya, air mata perlahan jatuh membasahi pipinya. Abrian menatap iba pada adik iparnya. "Vier bangun jangan seperti ini. Aku yakin Shei akan baik-baik saja." Alarich hanya diam menatap ayahnya yang hancur. Andai saja saat itu posisi Alarich tidak sedang membelakangi Shei, mungkin ia bisa mencegah semua ini terjadi. Ting Ponsel milik Alarich berbunyi. Ia melihat jika sang ibu yang mengirimkan pesan padanya. [Nak, apa kalian masih berada di sekolah? Ini sudah hampir sore tetapi kalian belum juga pulang ke rumah. Pulanglah ibu sudah membuat makanan kesukaan kalian bersama mama dan mommy kalian.] Alarich tidak langsung menjawab pesan sang ibu. Ia bingu
Nandini masih menangis di pelukan Namilea dan Melati. Mereka mencoba menenangkannya. Nandini terlihat rapuh dan hancur. "Mel, putriku akan baik-baik saja bukan?" tanyanya pada Melati. Melati dan Namilea saling berpandangan. Mereka tidak bisa mengatakan apapun, sebab keduanya pun tidak tahu bagaimana keadaan Sheinafia saat ini. Baik Abrian maupun Alarich serta si kembar, mereka belum memberi kabar apapun. Melati bingung, begitu juga dengan Namilea. "Kak, lebih baik sekarang kita ke rumah sakit hmm. Supaya kita tahu bagaimana keadaannya. Menunggu kabar dari yang lainnya pun tidak ada," tukas Melati. Namilea mengangguk. Akan lebih baik seperti itu, daripada berspekulasi atau menduga-duga. "Melati benar, kita siap-siap hmm. Kamu harus kuat, karena aku yakin jika suamimu pasti begitu hancur. Kalian harus saling mengingatkan, ada kami juga yang akan selalu mendukungmu," ujar Namilea lembut. "Aku bantu siap-siap ya, Kak. Kita akan segera m