Sean dan Samudera kini berada di kelas Sheinafia dan Alarich. Kedua pasang anak kembar itu menatap tajam ke sekeliling kelas. Satu persatu mereka teliti, namun di dalam kelas baik Sean dan Samudera mereka tidak menemukan apapun. Samudera bergerak ke arah luar. Lalu matanya memicing kala ia menatap ke arah rumput. Samudera bergerak ke arah sana dan berjongkok. "Jarum," gumam Samudera. Lalu ia mengambil sapu tangan, dan memasukkan jarum itu ke dalam sebuah kantong plastik. Samudera memanggil Sean, dan mengajaknya pergi dari sana. "Aku menemukan satu jarum, Sean. Aku yakin jika jarum ini yang di gunakan oleh orang itu. Aku tidak tahu motifnya melakukan hal itu, semoga kakak kita segera sadar. Supaya kita bisa bertanya lebih jauh mengenai orang tersebut," ujar Samudera datar. Sean hanya diam, namun di sela langkahnya mata tajamnya memindai lorong sekolah itu. Sepi, sebab semua orang sudah pulang. "Apa kau tidak merasa, jika sekolah ini seperti men
Alexander tampak masuk ke dalam ruang ICU. Ia menatap seorang gadis yang tengah tertidur dalam damai. Alexander tersenyum, lalu memegang tangan gadis itu dengan lembut. "Hai, Cantik. Selamat sore, Nak. Nyenyak sekali tidurmu, hmm. Tidak ingin bangun? Banyak orang yang menunggumu terbangun, lihatlah ayah dan ibu serta adik-adikmu menunggumu bangun. Ayahmu begitu hancur melihatmu seperti ini, Om baru pertama kali melihat ayahmu menangis dan hancur. Maka dari itu, Om mohon ayo bangun." Alexander terus mengajak Sheinafia berbicara, hingga tiga puluh menit lamanya ia berada di dalam. Kini giliran Rain yang masuk, laki-laki itu tidak langsung menghampiri Shei. Ia masih berdiri mematung di dekat pintu. Perlahan langkah kakinya membawa pria itu mendekat ke arah brankar Sheinafia. Ia dapat melihat banyaknya peralatan yang di gunakan untuk menyambung hidup. Rain meringis kala melihat wajah pucat Sheinafia. "Mengapa kau hobby sekali celaka?" tanya Rain datar dan kak
Abrian tampak mematung mendengar penjelasan Alexander. Ia sungguh tidak menyangka jika efek dari racun itu begitu dahsyat. Lantas bagaimana nasib putrinya jika sampai hal itu terjadi?. "Aku tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi. Jika sampai apa yang kau ucapkan itu menjadi kenyataan? Tidak hanya putriku yang akan hancur, namun Xavier dia yang paling akan terpuruk atas kejadian ini. Ya Tuhan," gumam Abrian. Rain terdiam, tetapi pria itu terlihat mengepalkan tangannya dengan erat. Rain pun tidak dapat membayangkan semua itu. Sheinafia celaka akibat kecerobohannya. Andai saja ia lebih ketat mengawasi dan tidak terlalu mempercayai orang lain. Tentu ini semua tidak akan terjadi. "Bri, aku dan putraku akan berusaha membuat penawar dari racun tersebut. Namun sebelum itu, aku mohon untuk tidak memberi tahu ...." Perkataan Alexander terpotong oleh suara bariton yang baru saja masuk ke dalam ruangan. "Apa maksud semua ini?" tanya Xavier dingin. Xa
Nandini seketika pingsan kala mendengar apa yang di ucapkan oleh suster tersebut. Putrinya anfal, ia tengah berjuang di dalam sana. Xaver langsung memeluk tubuh lemah sang istri. "Vier, kenapa adikku?" tanya Arshaka panik. Xavier kalut. Ia sama sekali tidak bisa menjawab pertanyaan sang kakak. Arshaka pun mengerti, lantas ia menggantikan sang adik menggendong Nandini dan membawanya ke ruang perawatan. "Tolong adikku, Dok!" Seorang dokter perempuan langsung menghampiri Arshaka yang sudah membaringkan Nandini di atas brangkar. Wajah Arshaka begitu panik, ia baru saja tiba di rumah sakit. "Bagaimana?" tanya Arshaka khawatir. "Nyonya hanya shock, Tuan. Selebihnya baik-baik saja." Arshaka mengangguk, lalu sang dokter pun berpamitan. Tak lama kemudian, Xavier masuk ke dalam ruangan. Arshaka menatap iba sang adik, lagi dan lagi kehidupannya di beri cobaan yang begitu berat. "Jaga istrimu. Biar putriku aku yang urus," ujar Arshaka
Pria yang menjadi tersangka penyuntikan Sheinafia, kini tengah menggelepar. Meregang nyawa, mulutnya sudah memuntahkan darah begitu banyak. Alexander menatap datar pada pria itu, darah yang mengalir di dalam diri Rain. Membuktikan jika pria itu memang keturunan sejati Zaderta. "Lihatlah, Sayang. Putra kita, ia begitu kejam. Persis ketika aku muda, andai kau masih berada di dunia ini. Tentu kau akan merasa bangga, atas putramu. Aku harap dia menjadi pria sejati, tidak sepeZrti ayah kandungnya." Setelah beberapa menit meregang nyawa. Akhirnya pria itu pun mati dalam keadaan mengenaskan. Di mana mulutnya mengeluarkan darah. Dan juga kulitnya yang melepuh seperti terbakar. Rain sendiri tengah menuju anak dari pria itu. Ia ingin bertanya perihal, mengapa ia memilih Sheinafia jika nyatanya ayahnya menyuruhnya random. Tok tok tok Pria muda nan tampan itu tampak mengetuk pintu sebuah rumah. Lama Rain menunggu hingga pintunya terbuka. Setelah menu
Seorang gadis cantik, masih betah berada di dalam tidur panjangnya. Tanpa ia tahu, jika saat ini banyak orang yang tengah menunggu ia siuman. Tidak, bukan mau gadis itu ia berada di alam mimpi. Hanya saja, ada sesuatu yang menahannya. Ia sukar sekali membuka matanya, ia ingin berteriak dan berkata jika dirinya tidak mau berada di posisi seperti ini. "Ya Tuhan, sampai kapan aku akan tertidur seperti ini? Aku rindu ibu dan ayahku, serta adik-adikku," lirihnya sambil menatap tubuhnya yang terpasang banyak alat penopang hidup. Saat ini, ia hanya bisa menatap tubuhnya tanpa bisa memasukinya. Setiap hari, dirinya hanya bisa menatap orang yang datang menjenguknya. "Hei, apa kabar? Maafkan aku karena sudah beberapa hari tidak menjengukmu. Aku sibuk." Sheinafia menatap heran pada pria yang selama ini begitu membencinya. Benci tanpa alasan, yang bahkan Sheinafia pun tidak tahu. "Sampai kapan kamu mau tidur seperti ini? Tidak kasihan kamu terhadap ibumu, yang s
Rain tampak menatap tajam pada tikus yang menjadi bahan eksperimennya untuk mengetes obat penawar racun tersebut. Awalnya sang tikus, menggelepar kala racun itu di suntikkan ke tubuhnya. Selang beberapa detik, Rain tampak kembali menyuntikkan satu cairan. Rain memperhatikan dengan seksama, segala perubahan yang terjadi pada sang tikus. Awalnya sang tikus terlihat kejang-kejang, tetapi beberapa detik kemudian, tikus itu membaik meski dengan pernafasan yang masih sedikit lemah. "Kita lihat besok bagaimana, jika tikus ini masih hidup. Berarti obat penawarnya berhasil," gumam Rain. Rain pun meninggalkan tikus tersebut. Ia menemui sang ayah yang tengah berbicara dengan beberapa anak buahnya. "Dad," panggil Rain datar. Alexander langsung mengalihkan atensinya. Rain menghampiri sang ayah dan para anak buahnya pamit. "Obat itu sepertinya bekerja, kita lihat esok pagi. Bagaimana reaksi sang tikus," ujar Rain datar. Alexander mengangguk. Ia ban
Entah kenapa, aku tiba-tiba terbangun di sebuah tempat yang sama sekali tidak aku kenal. Aku mengedarkan pandanganku, dan ketika melihat ke sekeliling, fokusku menatap tubuh yang terbujur kaku di atas brangkar. "Aku di rumah sakit? Aku kenapa?" tanyaku berbisik. Aku terus menatap tubuh itu, yang di penuhi oleh alat-alat penyambunh hidup. Aku berusaha mengingat-ingat apa yang sebenarnya terjadi, namun nihil. Aku sama sekali tidak mengingat apapun. Ketika asyik menatap tubuhku, aku mendengar pintu terbuka. Di sana aku melihat lelaki yang menjadi cinta pertamaku. Menatapku dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Ayah," gumamku. Ingin sekali aku memeluk tubuh ayahku dan berkata jika aku baik-baik saja. Dan ayah tidak perlu khawatir. Karena aku adalah anak yang kuat. "Sayang," panggil ayahku pelan. Ayahku masih terdiam. Beliau hanya diam menatapku, aku duduk di samping ayahku. Ingin rasanya aku berteriak dan berkata jika aku berada di sam