Nandini seketika pingsan kala mendengar apa yang di ucapkan oleh suster tersebut. Putrinya anfal, ia tengah berjuang di dalam sana. Xaver langsung memeluk tubuh lemah sang istri. "Vier, kenapa adikku?" tanya Arshaka panik. Xavier kalut. Ia sama sekali tidak bisa menjawab pertanyaan sang kakak. Arshaka pun mengerti, lantas ia menggantikan sang adik menggendong Nandini dan membawanya ke ruang perawatan. "Tolong adikku, Dok!" Seorang dokter perempuan langsung menghampiri Arshaka yang sudah membaringkan Nandini di atas brangkar. Wajah Arshaka begitu panik, ia baru saja tiba di rumah sakit. "Bagaimana?" tanya Arshaka khawatir. "Nyonya hanya shock, Tuan. Selebihnya baik-baik saja." Arshaka mengangguk, lalu sang dokter pun berpamitan. Tak lama kemudian, Xavier masuk ke dalam ruangan. Arshaka menatap iba sang adik, lagi dan lagi kehidupannya di beri cobaan yang begitu berat. "Jaga istrimu. Biar putriku aku yang urus," ujar Arshaka
Pria yang menjadi tersangka penyuntikan Sheinafia, kini tengah menggelepar. Meregang nyawa, mulutnya sudah memuntahkan darah begitu banyak. Alexander menatap datar pada pria itu, darah yang mengalir di dalam diri Rain. Membuktikan jika pria itu memang keturunan sejati Zaderta. "Lihatlah, Sayang. Putra kita, ia begitu kejam. Persis ketika aku muda, andai kau masih berada di dunia ini. Tentu kau akan merasa bangga, atas putramu. Aku harap dia menjadi pria sejati, tidak sepeZrti ayah kandungnya." Setelah beberapa menit meregang nyawa. Akhirnya pria itu pun mati dalam keadaan mengenaskan. Di mana mulutnya mengeluarkan darah. Dan juga kulitnya yang melepuh seperti terbakar. Rain sendiri tengah menuju anak dari pria itu. Ia ingin bertanya perihal, mengapa ia memilih Sheinafia jika nyatanya ayahnya menyuruhnya random. Tok tok tok Pria muda nan tampan itu tampak mengetuk pintu sebuah rumah. Lama Rain menunggu hingga pintunya terbuka. Setelah menu
Seorang gadis cantik, masih betah berada di dalam tidur panjangnya. Tanpa ia tahu, jika saat ini banyak orang yang tengah menunggu ia siuman. Tidak, bukan mau gadis itu ia berada di alam mimpi. Hanya saja, ada sesuatu yang menahannya. Ia sukar sekali membuka matanya, ia ingin berteriak dan berkata jika dirinya tidak mau berada di posisi seperti ini. "Ya Tuhan, sampai kapan aku akan tertidur seperti ini? Aku rindu ibu dan ayahku, serta adik-adikku," lirihnya sambil menatap tubuhnya yang terpasang banyak alat penopang hidup. Saat ini, ia hanya bisa menatap tubuhnya tanpa bisa memasukinya. Setiap hari, dirinya hanya bisa menatap orang yang datang menjenguknya. "Hei, apa kabar? Maafkan aku karena sudah beberapa hari tidak menjengukmu. Aku sibuk." Sheinafia menatap heran pada pria yang selama ini begitu membencinya. Benci tanpa alasan, yang bahkan Sheinafia pun tidak tahu. "Sampai kapan kamu mau tidur seperti ini? Tidak kasihan kamu terhadap ibumu, yang s
Rain tampak menatap tajam pada tikus yang menjadi bahan eksperimennya untuk mengetes obat penawar racun tersebut. Awalnya sang tikus, menggelepar kala racun itu di suntikkan ke tubuhnya. Selang beberapa detik, Rain tampak kembali menyuntikkan satu cairan. Rain memperhatikan dengan seksama, segala perubahan yang terjadi pada sang tikus. Awalnya sang tikus terlihat kejang-kejang, tetapi beberapa detik kemudian, tikus itu membaik meski dengan pernafasan yang masih sedikit lemah. "Kita lihat besok bagaimana, jika tikus ini masih hidup. Berarti obat penawarnya berhasil," gumam Rain. Rain pun meninggalkan tikus tersebut. Ia menemui sang ayah yang tengah berbicara dengan beberapa anak buahnya. "Dad," panggil Rain datar. Alexander langsung mengalihkan atensinya. Rain menghampiri sang ayah dan para anak buahnya pamit. "Obat itu sepertinya bekerja, kita lihat esok pagi. Bagaimana reaksi sang tikus," ujar Rain datar. Alexander mengangguk. Ia ban
Entah kenapa, aku tiba-tiba terbangun di sebuah tempat yang sama sekali tidak aku kenal. Aku mengedarkan pandanganku, dan ketika melihat ke sekeliling, fokusku menatap tubuh yang terbujur kaku di atas brangkar. "Aku di rumah sakit? Aku kenapa?" tanyaku berbisik. Aku terus menatap tubuh itu, yang di penuhi oleh alat-alat penyambunh hidup. Aku berusaha mengingat-ingat apa yang sebenarnya terjadi, namun nihil. Aku sama sekali tidak mengingat apapun. Ketika asyik menatap tubuhku, aku mendengar pintu terbuka. Di sana aku melihat lelaki yang menjadi cinta pertamaku. Menatapku dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Ayah," gumamku. Ingin sekali aku memeluk tubuh ayahku dan berkata jika aku baik-baik saja. Dan ayah tidak perlu khawatir. Karena aku adalah anak yang kuat. "Sayang," panggil ayahku pelan. Ayahku masih terdiam. Beliau hanya diam menatapku, aku duduk di samping ayahku. Ingin rasanya aku berteriak dan berkata jika aku berada di sam
"Terima kasih, Rain. Jika tidak ada kamu, tante tidak akan tahu bagaimana nasib Sheinafia ke depannya," ujar Nandini. Rain hanya tersenyum saja. Namun ketika Nandini memeluknya, perasaannya terasa hangat. Pelukan seorang ibu, yang sudah sangat lama sekali ia inginkan. Salah satu dokter menemui Xavier dan yang lainnya. Wajahnya terlihat gusar, dan Xavier menyadari hal itu. "Maaf, sebelumnya saya ingin menyampaikan kemungkinan terburuk dari efek penawar racun itu," ujar sang dokter. Wajah Xavier langsung memucat. Begitu juga dengan Nandini. Sang dokter terlihat menghela nafasnya. "Maafkan saya, saya sudah melihat penawar itu dan memang sepertinya bisa membuat nona sembuh. Hanya saja ... Seperti yang saya sampaikan sejak awal jika kemungkinan efeknya akan membuat nona buta atau bahkan nona mengalami kelumpuhan. Tapi, alhamdulillah kemungkinan perkiraan itu hanya beberapa persen saja. Namun, efek yang paling menonjol adalah nona akan mengalami ... Amnesi
Saat ini, Sheinafia sudah di pindahkan ke ruang perawatan. Gadis itu sudah keluar dari ruang ICU. Xavier dan Nandini menghembuskan nafas lega. Kondisi Sheinafia di nyatakan baik-baik saja, meski ia baru terbangun dari koma. Kini di ruangan itu, ada Xavier dan yang lainnya. Mereka penasaran dengan keadaan Sheinafia. Gadis itu terlihat menatap sekumpulan manusia tersebut dengan kening yang berkerut. "Kalian siapa?" Deg Hening. Tidak ada yang menjawab pertanyaan Sheinafia barusan. Semua shock meski efek dari penawar itu sudah di beri tahu sebelumnya. Nandini maju, ia menatap lembut wajah cantik sang putri. Meskipun masih terlihat pucat, namun tidak menghilangkan kecantikan Sheinafia. "Nak?" panggil Nandini lembut. Sheinafia tidak menjawab, ia hanya menatap wajah lembut Nandini. Dan kembali melihat ke yang lain. "Nak," Nandini kembali memanggil. "Perkenalkan namaku, Nandini dan pria yang memakai kemeja putih itu suamiku, namanya Xavier.
Tidak terasa sudah satu bulan lamanya Sheinafia di rawat di rumah sakit. Perlahan keadaannya sudah membaik, ia sudah bisa kembali menggerakkan anggota tubuhnya. Hanya saja ingatannya masih hilang. Nandini sudah berusaha untuk mengembalikan lagi ingatan sang putri, namun nihil. "Nak, hari ini kita pulang ke rumah. Alhamdulillah setelah satu bulan lamanya kamu di rawat, akhirnya bisa pulang juga," ujar Nandini lembut. Sheinafia menatap wanita paruh baya yang masih terlihat cantik di usianya bertambah tua. Namun tidak melunturkan kecantikan Nandini, tubuhnya masih kencang dan juga segar. "Iya, Ibu. Alhamdulillah Sheinafia bisa pulang. Maafkan Sheinafia karena belum bisa mengingat ayah dan ibu. Ingin sekali Sheinafia segera mengingatnya, tetapi sulit," lirih gadis yang memakai jaket rajut berwarna putih itu . Nandini tersenyum, lalu menghampiri putrinya. "Tidak jangan di paksakan, Nak. Biarkan semua mengalir apa adanya." Sheinafia pun mengangguk dan tersen