Entah kenapa, aku tiba-tiba terbangun di sebuah tempat yang sama sekali tidak aku kenal. Aku mengedarkan pandanganku, dan ketika melihat ke sekeliling, fokusku menatap tubuh yang terbujur kaku di atas brangkar. "Aku di rumah sakit? Aku kenapa?" tanyaku berbisik. Aku terus menatap tubuh itu, yang di penuhi oleh alat-alat penyambunh hidup. Aku berusaha mengingat-ingat apa yang sebenarnya terjadi, namun nihil. Aku sama sekali tidak mengingat apapun. Ketika asyik menatap tubuhku, aku mendengar pintu terbuka. Di sana aku melihat lelaki yang menjadi cinta pertamaku. Menatapku dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Ayah," gumamku. Ingin sekali aku memeluk tubuh ayahku dan berkata jika aku baik-baik saja. Dan ayah tidak perlu khawatir. Karena aku adalah anak yang kuat. "Sayang," panggil ayahku pelan. Ayahku masih terdiam. Beliau hanya diam menatapku, aku duduk di samping ayahku. Ingin rasanya aku berteriak dan berkata jika aku berada di sam
"Terima kasih, Rain. Jika tidak ada kamu, tante tidak akan tahu bagaimana nasib Sheinafia ke depannya," ujar Nandini. Rain hanya tersenyum saja. Namun ketika Nandini memeluknya, perasaannya terasa hangat. Pelukan seorang ibu, yang sudah sangat lama sekali ia inginkan. Salah satu dokter menemui Xavier dan yang lainnya. Wajahnya terlihat gusar, dan Xavier menyadari hal itu. "Maaf, sebelumnya saya ingin menyampaikan kemungkinan terburuk dari efek penawar racun itu," ujar sang dokter. Wajah Xavier langsung memucat. Begitu juga dengan Nandini. Sang dokter terlihat menghela nafasnya. "Maafkan saya, saya sudah melihat penawar itu dan memang sepertinya bisa membuat nona sembuh. Hanya saja ... Seperti yang saya sampaikan sejak awal jika kemungkinan efeknya akan membuat nona buta atau bahkan nona mengalami kelumpuhan. Tapi, alhamdulillah kemungkinan perkiraan itu hanya beberapa persen saja. Namun, efek yang paling menonjol adalah nona akan mengalami ... Amnesi
Saat ini, Sheinafia sudah di pindahkan ke ruang perawatan. Gadis itu sudah keluar dari ruang ICU. Xavier dan Nandini menghembuskan nafas lega. Kondisi Sheinafia di nyatakan baik-baik saja, meski ia baru terbangun dari koma. Kini di ruangan itu, ada Xavier dan yang lainnya. Mereka penasaran dengan keadaan Sheinafia. Gadis itu terlihat menatap sekumpulan manusia tersebut dengan kening yang berkerut. "Kalian siapa?" Deg Hening. Tidak ada yang menjawab pertanyaan Sheinafia barusan. Semua shock meski efek dari penawar itu sudah di beri tahu sebelumnya. Nandini maju, ia menatap lembut wajah cantik sang putri. Meskipun masih terlihat pucat, namun tidak menghilangkan kecantikan Sheinafia. "Nak?" panggil Nandini lembut. Sheinafia tidak menjawab, ia hanya menatap wajah lembut Nandini. Dan kembali melihat ke yang lain. "Nak," Nandini kembali memanggil. "Perkenalkan namaku, Nandini dan pria yang memakai kemeja putih itu suamiku, namanya Xavier.
Tidak terasa sudah satu bulan lamanya Sheinafia di rawat di rumah sakit. Perlahan keadaannya sudah membaik, ia sudah bisa kembali menggerakkan anggota tubuhnya. Hanya saja ingatannya masih hilang. Nandini sudah berusaha untuk mengembalikan lagi ingatan sang putri, namun nihil. "Nak, hari ini kita pulang ke rumah. Alhamdulillah setelah satu bulan lamanya kamu di rawat, akhirnya bisa pulang juga," ujar Nandini lembut. Sheinafia menatap wanita paruh baya yang masih terlihat cantik di usianya bertambah tua. Namun tidak melunturkan kecantikan Nandini, tubuhnya masih kencang dan juga segar. "Iya, Ibu. Alhamdulillah Sheinafia bisa pulang. Maafkan Sheinafia karena belum bisa mengingat ayah dan ibu. Ingin sekali Sheinafia segera mengingatnya, tetapi sulit," lirih gadis yang memakai jaket rajut berwarna putih itu . Nandini tersenyum, lalu menghampiri putrinya. "Tidak jangan di paksakan, Nak. Biarkan semua mengalir apa adanya." Sheinafia pun mengangguk dan tersen
Beberapa menit kemudian, akhirnya mereka sampai di Mansion yang begitu luas nan indah. Hamparan bunga menghiasi sepanjang jalan masuk menuju Mansion Romanov. Rumah yang sudah beberapa belas tahun ia tinggali. Sheinafia mengarahkan pandangannya ke taman kecil, di mana terdapat kursi kecil di tengah-tengah taman. Sangat indah dan menenangkan. "Ayo turun, Sayang. Kita sudah sampai." Sheinafia menatap sang Ibu dan tersenyum lembut. Mata hazel yang di turunkan Nandini padanya begitu terlihat terang. Menambah kecantikan Sheinafia berkali lipat. "Ibu, apa ini rumahku?" tanya Sheinafia pelan. Nandini mengangguk. "Ya, Sayang. Ini rumahmu, tempatmu tumbuh dewasa. Saksi bagaimana nakalnya seorang gadis kecil bernama Sheinafia Azalea Romanov ketika menjahili adik-adiknya." Sheinafia terkekeh. Begitu ia menginjakkan kakinya di tangga pertama, samar kenangan ketika ia berlarian bersama adik-adiknya menari-nari dalam kepalanya. Membuat Sheinafia sedikit meringis.
Dokter tampak memeriksa Sheinafia yang tengah tidak sadarkan diri itu. Nandini sudah sangat khawatir dan panik, lagi dan lagi putrinya pingsan. "Mas, putri kita akan baik-baik saja bukan?" tanya Nandini khawatir. Xavier tidak mengatakan apapun. Ia pun bingung harus berkata apa, sebab dirinya sama khawatirnya seperti istrinya. Beberapa saat kemudian, dokter pun sudah selesai memeriksa Sheinafia. Xavier langsung menghampirinya. "Bagaimana? Putriku baik-baik saja bukan?" tanya Xavier khawatir. Dokter pun mengulas senyumnya. "Nona baik-baik saja, Tuan Romanov. Hanya saja ia sedikit shock karena mungkin Mansion ini mengingatkan pada beberapa kenangan yang sudah ia lewati selama ini. Dan saya rasa, ingatan nona perlahan sudah pulih. Tapi saya harap anda tidak membiarkan nona terlalu keras berpikir, sebab itu akan berpengaruh pada kesehatannya." Xavier mengangguk. Ia mengerti, putrinya pasti mulai mengingat setiap kenangan yang sudah mereka lew
Nandini memeluk erat tubuh Sheinafia. Ia senang sekaligus lega, sebab sang putri sudah kembali ingatannya. Benar, rumah tempat pertama yang menjadi kembalinya ingatan sang putri. "Ibu senang sekali, Sayang. Akhirnya kamu sudah mengingat kami semua," ucap Nandini. Sheinafia mengangguk, Xavier menghampiri sang putri. Dan mengecup lembut puncak kepalanya. Sheinafia menatap sang ayah. Lelaki pertama yang ia cintai. "Ayah, bagaimana ujian Shei?" tanyanya cemas. Xavier tersenyum. Putrinya pasti mengingat tentang sekolahnya, padahal keadaannya belum pulih sepenuhnya. "Kamu tenang saja, Sayang. Alarich sudah membawakan kertas ujianmu, Nak dan ...." "Aku sudah mengerjakannya. Jadi kamu tenang saja." Mendengar perkataan Alarich membuat Sheinafia memberengut. Apa-apaan, mengisi jawaban ujian miliknya. Alarich yang di tatap seperti itu oleh Sheinafia langsung menyembunyikan tubuh besarnya di belakang tubuh mungil sang ibu, Namilea. Memeluk erat t
"Ya Tuhan, semoga saja dia tidak apa-apa!" Xavier membawa gadis yang di tabraknya menuju rumah sakit. Di tengah perjalanan ia menghubungi Abrian, jika dirinya akan datang terlambat ke perusahaan. Ada hal yang terjadi, sehingga membuatnya datang terlambat. Xavier juga menghubungi sang istri, tidak ingin membuatnya khawatir bila dirinya tidak memberitahukan kabar. Nandini yang kebetulan tengah berada bersama Sheinafia, tampak kaget kala ponselnya berbunyi. [Ya, Sayang? Ada apa?] [Sayang, kamu sedang apa?] Nandini mengerutkan keningnya, tidak biasanya sang suami menghubunginya sepagi ini. Biasanya ia akan menghubungi dirinya ketika akan menuju makan siang. Meskipun kenyataannya bila sekedar mengabari melalui pesan mereka sering lakukan. [Aku tengah menemani Shei, Mas. Kenapa? Tumben kamu meneleponku, kamu baik-baik saja'kan Mas?] Xavier terdengar menghela nafasnya kasar. Entah harus seperti apa ia menjelaskannya pada sang istri.