Nandini memeluk erat tubuh Sheinafia. Ia senang sekaligus lega, sebab sang putri sudah kembali ingatannya. Benar, rumah tempat pertama yang menjadi kembalinya ingatan sang putri. "Ibu senang sekali, Sayang. Akhirnya kamu sudah mengingat kami semua," ucap Nandini. Sheinafia mengangguk, Xavier menghampiri sang putri. Dan mengecup lembut puncak kepalanya. Sheinafia menatap sang ayah. Lelaki pertama yang ia cintai. "Ayah, bagaimana ujian Shei?" tanyanya cemas. Xavier tersenyum. Putrinya pasti mengingat tentang sekolahnya, padahal keadaannya belum pulih sepenuhnya. "Kamu tenang saja, Sayang. Alarich sudah membawakan kertas ujianmu, Nak dan ...." "Aku sudah mengerjakannya. Jadi kamu tenang saja." Mendengar perkataan Alarich membuat Sheinafia memberengut. Apa-apaan, mengisi jawaban ujian miliknya. Alarich yang di tatap seperti itu oleh Sheinafia langsung menyembunyikan tubuh besarnya di belakang tubuh mungil sang ibu, Namilea. Memeluk erat t
"Ya Tuhan, semoga saja dia tidak apa-apa!" Xavier membawa gadis yang di tabraknya menuju rumah sakit. Di tengah perjalanan ia menghubungi Abrian, jika dirinya akan datang terlambat ke perusahaan. Ada hal yang terjadi, sehingga membuatnya datang terlambat. Xavier juga menghubungi sang istri, tidak ingin membuatnya khawatir bila dirinya tidak memberitahukan kabar. Nandini yang kebetulan tengah berada bersama Sheinafia, tampak kaget kala ponselnya berbunyi. [Ya, Sayang? Ada apa?] [Sayang, kamu sedang apa?] Nandini mengerutkan keningnya, tidak biasanya sang suami menghubunginya sepagi ini. Biasanya ia akan menghubungi dirinya ketika akan menuju makan siang. Meskipun kenyataannya bila sekedar mengabari melalui pesan mereka sering lakukan. [Aku tengah menemani Shei, Mas. Kenapa? Tumben kamu meneleponku, kamu baik-baik saja'kan Mas?] Xavier terdengar menghela nafasnya kasar. Entah harus seperti apa ia menjelaskannya pada sang istri.
Nandini menatap gadis yang baru saja histeris. Entah apa yang terjadi di dalam hidup gadis itu. Namun, Nandini dapat melihat jika ia begitu tergoncang. Berbeda dengan Xavier, ia hanya menatap datar pada Syifa. Pria dingin itu bukannya tidak berempati, hanya saja ia memang seperti itu jika bertemu dengan orang baru. "Mas, dia tertabrak di mana?" tanya Nandini. Xavier yang mendengar suara Nandini langsung menoleh pada istri tercintanya. Menatap dalam wajah yang selalu menjadi penyemangatnya. "Aku tidak tahu, Sayang. Tepatnya di sebelah mana. Hanya saja jika tidak salah, beberapa meter dari Mansion kita. Dia tiba-tiba berlari, dan aku tidak bisa menghindari dari kecelakaan. Hanya saja yang membuat aku janggal, mengapa dia berada di jalanan menuju Mansion kita sedangkan kamu tahu Sayang. Jarak dari jalan utama menuju jalan Mansion kita itu jauh, dan juga tidak sembarangan orang bisa memasuki jalanku." Nandini terdiam mendengar penjelasan Xavier, mema
"Mengapa hatiku rasanya sakit sekali, aku tidak tahu mengapa! Hanya saja tiba-tiba hatiku rasanya seperti tertusuk jarum." Saat ini, Sheinafia tengah duduk di beranda belakang rumahnya. Ia menatap hamparan bunga yang tertanam di sana. Meskipun mungkin matanya menatap bunga, tetapi pikiran Sheinafia entah berada di mana. Tatapan matanya pun terlihat begitu kosong. "Entah kenapa aku segelisah ini," monolog Sheinafia. Ia kembali menatap bunga-bunga yang memang sengaja di tanam oleh Nandini kala ia mengisi waktu luangnya. Nandini kerap kali mengisi waktunya dengan berkebun atau menyulam. "Shei," panggil Namilea. Sheinafia menoleh dan menatap Namilea, perempuan cantik yang seumur dengan ibunya. Wanita yang memiliki sikap yang begitu lembut dan ia jarang marah, begitu juga Nandini dan Melati. "Iya, Ma. Kenapa?" jawab Sheinafia dengan berteriak juga. "Aduh, Mama cari-cari kamu. Ternyata kamu di sini, Nak," tukas Namilea. Sheinafia ter
"Sayang, tolong kamu pikirkan kembali. Mengajaknya ke rumah, ke rumah kita!" Xavier masih menatap Nandini dengan tatapan datarnya. Entah kenapa anak buahnya pun tidak menemukan bukti apapun mengenai gadis itu. Itulah alasan mengapa Xavier tidak mau jika gadis itu di ajak tinggal bersama dengannya. Nandini hanya diam saja menatap Xavier. "Dia bisa tinggal di salah satu apartemen kita, tapi tidak di Mansion. Tolong mengertilah, kamu tahu aku bagaimana." Nandini tetap bungkam. Entah kenapa kali ini ia tidak sependapat dengan suaminya. "Tapi, Mas ...." "Please, untuk kali ini saja. Turuti aku, kamu tahu sayang. Aku bahkan tidak dapat menemukan bukti apapun mengenai gadis itu, siapa orang tuanya. Atau saudaranya." Nandini menghela nafasnya. Tak lama kemudian ia menganggukkan kepalanya. "Baiklah, Mas. Aku setuju jika ia tidak tinggal di Mansion bersama kita. Tapi izinkan ia untuk selalu datang ke Mansion. KAPANPUN!" Xavi
Sore ini, Syifa di perbolehkan pulang. Karena ia tidak mengalami luka parah. Hanya beberapa luka gores di kedua lengan gadis itu. Wajah Xavier sama sekali tidak bersahabat semenjak tadi. Syifa pun hanya diam, menjaga image dirinya. Dan untuk memuluskan rencananya. "Nyonya, tidak perlu repot-repot. Saya bisa kembali ke tempat saya dulu, Panti Asuhan." Nandini tersenyum, dan mengelus lembut punggung tangan Syifa. Nandini begitu menyambut kedatangan Syifa. Berbeda dengan Xavier. "Tidak apa-apa. Tapi maaf jika aku tidak bisa mengajakmu tinggal di Mansion bersamaku. Kamu akan tinggal di apartemen dan nanti ada pelayan yang akan menemanimu. Kamu juga sesekali bisa mengunjungi kami di Mansion." Syifa menyunggingkan senyumnya. Sementara Xavier tampak mendengarkan saja obrolan mereka berdua. Ponsel Xavier tiba-tiba berbunyi, nama sang putri tampak menghiasi layar ponselnya. [Ya, Sayang. Ada apa?] Ucapan Xavier terdengar begitu hangat. Berbeda
"Pergilah beristirahat, supaya kamu lekas sembuh," ucap Nandini dingin. Sheinafia mematung kala mendengar perkataan yang terlontar dari bibir sang ibu. Baru kali ini, Nandini bersikap seperti itu padanya. Sheinafia heran, bagaimana bisa sikap sang ibu berubah. Sementara sebelum ia pergi ke rumah sakit, sikapnya masih seperti biasa. "Pergilah! Ibu ingin sendiri," tukas Nandini. Sheinafia pun memilih untuk meninggalkan sang ibu. Meski hatinya remuk redam, sesak dan juga sakit mendapat penolakan seperti ini. Alarich berdiri di depan pintu kamar Nandini, ia menatap wajah sedih dan sayu Sheinafia. "Kenapa?" tanyanya lembut. Sheinafia mendongak menatap wajah Alarich dan memaksakan senyumnya, "Aku tidak apa-apa, Al. Kamu sedang apa? Mau bertemu ibu?" tanya Sheinafia mencoba menyembunyikan kesedihannya. Namun, Al sudah hafal bagaimana sifat dan sikap Sheinafia. Dan ia tahu, jika Sheinafia tengah menyembunyikan
Syifa menyeringai kala Xavier tidak bisa menemukan taksi yang ia tumpangi. Lantas gadis itu meminta sopir taksi untuk melajukan mobilnya menuju rumah yang ia tempati. Setelah sampai, gadis itu pun segera turun dari taksi. Dan berjalan menuju rumah yang sudah mulai di tumbuhi ilalang. "Hai rumahku! Apa kabar? Maafkan aku karena harus meninggalkanmu, ada misi yang tengah aku lakukan saat ini! Dan maafkan wahai wajah, karena aku harus terus memakai topeng ini! Karena jika aku buka topengku, sudah pasti Rain akan mengenaliku," lirihnya begitu sampai di dalam rumah. Gadis itu mengedarkan pandangannya. Menyapu ruangan demi ruangan yang berada di rumahnya. Dulu ya dulu sekali, rumahnya ini hangat. Namun, karena ambisi sang ayah. Syifa harus kehilangan segalanya. Gadis itu tampak duduk di dekat jendela besar yang langsung menghadap ke taman belakang, pikirannya menerawang ke kejadian beberapa bulan lalu dimana ketika itu sang ayah memaksanya untuk menguj
Bab 96 - S2 - Malam Pertama (21+) “Bagaimana saksi, Sah?!” Tanya seorang penghulu kepada para saksi yang berada di sana. “Sah!” “Sah!” “Sah!” Kalimat Sah menggema, membuat setetes air mata jatuh dari pelupuk mata Senja. Alarich melihat hal itu, ia langsung menggenggam tangan mungil sang istri. Membuat Senja sadar jika ia tidak sendiri. Gadis yang sudah bergelar istri itu menoleh, menatap sang suami yang tersenyum manis kepadanya. Lelaki yang tidak pernah tersenyum itu, kini memberika senyumannya hanya untuk sang istri. “Alhamdulilah, kalian sudah sah menjadi sepasang suami istri. Silahkan untuk sang istri mencium tangan sang suami, dan suami mencium kening serta ubun-ubun istri anda,” ujar sang penghulu. Alarich maju, mendekati istrinya. Dengan tubuh bergetar menahan gugup Alarich mencium kening serta ubun-ubun sang istri. Begitu juga dengan Senja, dengan tangan yang gemetar, ia raih jemari sang suami. Men
Bab 95 - S2 - Menikah Deg Senja langsung menoleh ke arah Alarich, ia bahkan menghentikan langkah kakinya. Menatap wajah yang senantiasa datar dan dingin itu, mencari kebohongan dari binar matanya yang tajam. Namun, Senja sama sekali tidak menemukan kebohongan tersebut, ia justru melihat ketulusan, kejujuran, dan keseriusan dari mata Alarich. Lantas Alarich membuka pintu ballroom, begitu pintu terbuka keluarga besar Romanov menyambutnya. Senja mematung di tempatnya berdiri,memandang bagaimana baiknya keluarga yang bahkan tak ada hubungan darah dengannya. Alarich meraih tangan Senja, dan membawanya masuk. Mata Senja sudah berkaca-kaca, melirik tangan yang di genggam oleh Alarich. “Tuan,” lirih Senja. “Mari masuk, mereka sudah menunggumu. Menunggu calon menantu baru di keluarga Romanov. Gadis yang selama beberapa tahun aku tunggu, tidak mungkin aku lepaskan untuk yang kedua kalinya. Oleh karena itu, aku akan langsung mengikatmu dengan pernikaha
Malam itu, Senja sudah siap dengan gaun yang sudah di siapkan oleh Alarich sebelumnya. Gaun berwarna lembut sangat cocok dengan karakter Senja. Jangan lupakan kerudung yang berwarna sama dengan gaunnya menambah kecantikan seorang Senandung Senja. Gadis berhijab itu di dandani oleh Sheinafia, wanita beranak satu itu begitu antusias kala mendengar Alarich hendak melamar Senja. Namun, mereka sengaja tidak mengatakan hal itu kepada Senja, sebab takut jika gadis tersebut menolaknya. “Ya Tuhan, kamu cantik sekali, Senja,” pekik Sheinafia yang membuat ketiga perempuan paruh baya yang kebetulan berada di kamar Senja sontak menoleh ke arah dua wanita muda itu. Nandini, Namilea, dan Melati tersenyum kala melihat Senja. Wajahnya yang cantik alami semakin bersinar kala Sheinafia membubuhkan make up flawless di wajah cantiknya. Namilea menghampiri keduanya, ia tersenyum lembut lantas mengusap puncak kepala Senja yang terbalut hijab. “Kamu cantik sekali, Nak
Bab 93 - S2 - Pendekatan Alarich Tidak terasa, sudah hampir dua minggu Senja tinggal di Mansion Romanov. Selama itu pula, Senja belum pernah kembali bertemu dengan Alarich. Entah kemana perginya lelaki dingin itu, pria pertama yang merangkulnya ketika ia terjatuh. “Senja, Nak,” panggil Namilea. Merasa ada yang memanggilnya, Senja pun menoleh. Ternyata ibu dari Alarichlah yang memanggil namanya. Senja tersenyum menyambut kedatangan Namilea yang kini duduk di sebelahnya. “Sedang apa, Nak? Ibu lihat dari tadi kamu duduk sendirian di sini? Kamu bosan?” Tanya Namilea hati-hati. Senja menggelengkan kepalanya,”Tidak ibu. Senja tidak bosan,” jawab Senja yang memang sekarang memanggil Namilea dengan panggilan ibu sesuai permintaan Namilea. Namilea pun tersenyum. Lantas mengangkat sebuah paper bag yang isinya entah apa. “Ini, tadi Alarich sebelum berangkat kerja dia menitipkan ini untuk kamu. Katanya, pakai nanti malam asisten Alarich a
Bab 92 - S2 - Kembalinya Senja “Semuanya, perkenalkan … Senandung Senja.” Deg Mereka terdiam, tentu tidak menyangka jika gadis yang memilih untuk pergi dari kediaman Romanov, kini telah kembali. Alarich, menemukannya dan entah dimana lelaki tampan nan dingin itu menemukan keberadaan Senja. Berbagai spekulasi muncul di kepala para paruh baya itu. Namun, mereka senang sebab sepertinya Alarich mulai membuka hatinya. Namilea menghampiri keduanya, ia menatap tidak percaya gadis cantik yang berdiri di hadapannya itu. “Nak, benarkah kamu Senja? Gadis yang dulu masuk ke dalam mobil Alarich?” Tanya Namilea lembut. Senja terdiam, namun ia melirik Alarich yang berdiri tak jauh darinya. Alarich pun mengangguk. Senja tersenyum tipis, “ Ya, Nyonya. Maafkan saya karena dulu memilih untuk pergi dari sini. Maaf, bukannya saya tidak tahu berterima kasih, hanya saja … saya tidak mau terlalu jauh merepotkan kalian. Kalian terlalu
Bab 91-S2-Kebingungan Senja “Bagaimana, Senandung Senja?” tanya Alarich. Raut wajah lelaki itu terlihat begitu serius, Senja jadi bingung. Entah langkah apa yang harus ia ambil, semua terasa begitu mendadak. “Maafkan saya, Tuan. Tapi … mengapa anda begitu yakin jika saya adalah Senja yang anda cari? Bagaimana jika ternyata anda salah orang?” Tanya Senja pelan nan lembut. “Insting,” jawab Alarich singkat padat dan jelas. “Insting? Bagaimana bisa?” Lirih Senja yang masih bisa di dengar oleh Alarich. Alarich menatap Senja datar, “Kau Senandung Senja, perempuan yang tiba-tiba memasuki mobilku dan meminta pertolongan dari ibu dan saudara angkatmu itu.” Deg Senja mematung di tempatnya, tentu ia tidak lupa dengan kejadian itu. Di mana ia memasuki mobil Alarich dan meminta pertolongan kepada lelaki tampan itu. Dari kejadian itu pula, Senja merasakan bagaimana arti keluarga sesungguhnya. Hanya saja, karena merasa in
Deg “Kenapa kamu berpikir seperti itu, Sayang?” tanya Sheinafia pada sang suami yang tengah memakan mangga muda di waktu yang tak lazim yaitu jam delapan malam. Rain mengunyah habis mangganya sebelum ia menjawab pertanyaan sang istri. Sheinafia bahkan sampai meneguk ludahnya kasar kala melihat bagaimana Rain memakan mangga itu tanpa rasa kecut sedikitpun. Rain tersenyum lembut, dan membelai pipi sang istri dengan penuh kasih sayang. Tatapan Rain kepada Sheinafia sama sekali tidak pernah berubah. Penuh cinta dan juga kasih sayang, Rain yang dingin dan datar di luar nyatanya tidak berlaku untuk keluarga kecilnya. “Sayang, kamu masih ingat ketika mengandung Hazelnut, bukankah aku yang mengalami couvade syndrome. Sampai aku tidak bisa terbangun dan harus istirahat di atas tempat tidur selama satu bulan lamanya?!” Sheinafia diam, lalu tak lama kemudian ia mengangguk. Tentu masih segar di dalam ingatannya ketika ia mengandung Ha
Alarich baru saja tiba di mansionnya, Sheinafia tampak tengah memangku Hazelnut. Sepertinya gadis kecil itu tengah demam. “Ada apa?” tanya Alarich pada Sheinafia. “Al, kamu sudah pulang? Dimana Rain? Aku kira kalian pulang sama-sama,” ujar Sheinafia yang terlihat lelah. Alarich mengambil alih tubuh Hazelnut, dan memang benar gadis kecil itu tengah demam. Alarich mengusap lembut punggungnya, membuat tangisan Hazelnut mereda. Setahu Alarich, keponakannya anak yang anteng. Walaupun ia tengah sakit, jarang sekali Hazelnut rewel seperti saat ini. “Kenapa, Sayang?” tanya Alarich lembut. “Daddy, dimana ayah? Kenapa ayah belum juga pulang?” tanyanya lirih. Alarich menatap Sheinafia, perempuan muda itu hanya mengedikkan bahunya. Tanda ia tak tahu kemana perginya sang suami, biasanya jam empat sore lelaki itu sudah pulang. “Sudah kamu coba menghubunginya, Shei? Tidak biasanya ia pulang telat seperti sekarang,” ucap Alarich datar.
Deg Jantung Alarich terasa berdenyut dengan cepatnya kala ia mendengar suara yang begitu di rindukan. Suara yang selama bertahun-tahun lamanya ia nantikan kehadirannya. Kini, Alarich mendengar kembali suara itu. Langkah kakinya yang tegas membawa ia mendekati sang keponakan. Anak dari kakak sepupu yang begitu ia sayangi seperti anaknya sendiri. “Daddy,” cicit Hazelnut. Air mata masih membasahi kedua pipi chubby Hazelnut. Alarich semakin mendekat, kini wajah itu wajah yang selalu di rindukannya itu ada dihadapan Alarich. Alarich berjongkok, menyamakan tingginya dengan tinggi Hazelnut, tangan besarnya mengusap lembut air mata yang masih setia membasahi mata indahnya. Lutut gadis kecil nan cantik itu tampak mengeluarkan darah. “Are you ok?” tanya Alarich khawatir. Deg Kini gadis berhijab pastel itu yang merasakan degup jantungnya berpacu, bagaimana tidak. Suara yang ia dengar sekarang adalah pemilik nama yang setiap malam sering ia