Sore ini, Syifa di perbolehkan pulang. Karena ia tidak mengalami luka parah. Hanya beberapa luka gores di kedua lengan gadis itu. Wajah Xavier sama sekali tidak bersahabat semenjak tadi. Syifa pun hanya diam, menjaga image dirinya. Dan untuk memuluskan rencananya. "Nyonya, tidak perlu repot-repot. Saya bisa kembali ke tempat saya dulu, Panti Asuhan." Nandini tersenyum, dan mengelus lembut punggung tangan Syifa. Nandini begitu menyambut kedatangan Syifa. Berbeda dengan Xavier. "Tidak apa-apa. Tapi maaf jika aku tidak bisa mengajakmu tinggal di Mansion bersamaku. Kamu akan tinggal di apartemen dan nanti ada pelayan yang akan menemanimu. Kamu juga sesekali bisa mengunjungi kami di Mansion." Syifa menyunggingkan senyumnya. Sementara Xavier tampak mendengarkan saja obrolan mereka berdua. Ponsel Xavier tiba-tiba berbunyi, nama sang putri tampak menghiasi layar ponselnya. [Ya, Sayang. Ada apa?] Ucapan Xavier terdengar begitu hangat. Berbeda
"Pergilah beristirahat, supaya kamu lekas sembuh," ucap Nandini dingin. Sheinafia mematung kala mendengar perkataan yang terlontar dari bibir sang ibu. Baru kali ini, Nandini bersikap seperti itu padanya. Sheinafia heran, bagaimana bisa sikap sang ibu berubah. Sementara sebelum ia pergi ke rumah sakit, sikapnya masih seperti biasa. "Pergilah! Ibu ingin sendiri," tukas Nandini. Sheinafia pun memilih untuk meninggalkan sang ibu. Meski hatinya remuk redam, sesak dan juga sakit mendapat penolakan seperti ini. Alarich berdiri di depan pintu kamar Nandini, ia menatap wajah sedih dan sayu Sheinafia. "Kenapa?" tanyanya lembut. Sheinafia mendongak menatap wajah Alarich dan memaksakan senyumnya, "Aku tidak apa-apa, Al. Kamu sedang apa? Mau bertemu ibu?" tanya Sheinafia mencoba menyembunyikan kesedihannya. Namun, Al sudah hafal bagaimana sifat dan sikap Sheinafia. Dan ia tahu, jika Sheinafia tengah menyembunyikan
Syifa menyeringai kala Xavier tidak bisa menemukan taksi yang ia tumpangi. Lantas gadis itu meminta sopir taksi untuk melajukan mobilnya menuju rumah yang ia tempati. Setelah sampai, gadis itu pun segera turun dari taksi. Dan berjalan menuju rumah yang sudah mulai di tumbuhi ilalang. "Hai rumahku! Apa kabar? Maafkan aku karena harus meninggalkanmu, ada misi yang tengah aku lakukan saat ini! Dan maafkan wahai wajah, karena aku harus terus memakai topeng ini! Karena jika aku buka topengku, sudah pasti Rain akan mengenaliku," lirihnya begitu sampai di dalam rumah. Gadis itu mengedarkan pandangannya. Menyapu ruangan demi ruangan yang berada di rumahnya. Dulu ya dulu sekali, rumahnya ini hangat. Namun, karena ambisi sang ayah. Syifa harus kehilangan segalanya. Gadis itu tampak duduk di dekat jendela besar yang langsung menghadap ke taman belakang, pikirannya menerawang ke kejadian beberapa bulan lalu dimana ketika itu sang ayah memaksanya untuk menguj
[Ya, Sayang. Tante tunggu di Mansion. Nanti sopir akan jemput kamu ke Apartemen.] Sepenggal percakapan Nandini dan entah seseorang, terdengar oleh Sheinafia. Dalam hati ia bertanya-tanya, siapa yang sudah menghubungi ibunya. Bahkan ibunya begitu senang dan welcome menyambut orang itu. Ingin sekali Shei bertanya, namun sikap Nandini akhir-akhir ini membuatnya enggan untuk hanya sekedar menyapa. Ia takut jika ibunya akan terganggu oleh sikapnya. "Hei, sedang apa?" tanya Alarich. Sheinafia mendongak menatap pria yang selalu berada di garda terdepannya itu selain si kembar dan tentu saja sang ayah, Xavier. Alarich pria yang di kenal begitu dingin namun kenyataannya ia akan begitu hangat ketika bersikap pada perempuan-perempuan yang berada di rumahnya. "Al, apa akan ada seseorang datang kemari? Aku mendengar ibu berbicara dengan seseorang di telpon dan aku baru kali ini melihat ibu begitu antusias, ia bahkan menyiapkan beberapa masakan da
Syifa baru saja menginjakkan kakinya di Mansion luas milik Romanov. Di sana Nandini sudah menyambutnya dengan sangat antusias, berbeda dengan ketiga anaknya. Si kembar dan juga Jasmine. Mereka sama sekali tidak memberikan ekspresi yang berarti. Sementara itu, Syifa mengumpat dalam hati. Kesal dan juga marah atas perlakuan mereka bertiga. "Lihat saja, sebentar lagi aku akan menghilangkan kearoganan kalian! Kalian akan merasakan apa yang aku rasakan, di tinggalkan oleh orang yang aku sayang. Ya meskipun kenyataannya aku di sisihkan oleh ayahku sendiri," gerutunya di dalam hati. Nandini mengajak Syifa ke beranda belakang. Di sana ia sudah menyiapkan beberapa makanan untuk menyambut kedatangan Syifa. Special untuk Syifa. "Ayo, Nak. Kita duduk di taman belakang. Maafkan atas sikap dingin putra-putraku, mereka tidak berbeda jauh seperti ayah-ayahnya. Jadi tante harap kamu tidak akan kaget, jika sikap mereka seperti itu." Syifa tersenyum lembut, s
"Ya Tuhan, kamu cantik sekali Shei," ujar Alarich ketika melihat sepupunya. "Sayang kamu sepupuku, andai saja aku orang lain. Sudah aku pacari kamu." Plak "Aww," ringis Alarich. Lantas ia menoleh ke belakang dan menatap sang ayah, Xavier. Yang tengah melihatnya tajam. Alarich menggaruk kepalanya yang tak gatal, kala di tatap seperti itu. "Hehehe, bercanda ayah. Aku tidak serius." Sheinafia hanya terkekeh kala melihat Alarich yang langsung menciut kala di tatap seperti itu oleh sang ayah. Sheinafia menghampiri cinta pertamanya itu. Dan memeluk tubuh yang masih sangat terlihat kekar dan segar itu. Sampai saat ini, Nandini belum menyapa Sheinafia. Membuat gadis cantik itu berpikir heran. "Hati-hati di sana, Sayang. Dan jangan lewat dari jam sebelas malam. Al," panggil Xavier pada sang putra. Alarich mengangguk. Dan memberikan jempolnya pada sang ayah. Amanat yang di berikan oleh Xavier tentu saja akan di laksanakan sebaik mung
"Stop, Shei! Ah shit!" Sepanjang perjalanan Rain mengumpat kasar. Ia tidak tahu harus membawa kemana Sheinafia. Sementara tangan halus gadis itu terus menjelajahi dada bidang Rain. Membuat darah lelaki itu seketika berdesir hebat. Rain mencoba menjaga kewarasannya. Ia tidak mau jika sampai terjadi sesuatu pada mereka berdua. "Aku bawa kemana? Tidak mungkin aku membawanya ke hotel," gumam Rain. Namun dia tidak mempunyai pilihan selain membawa Sheinafia ke hotel. Penampilan Sheinafia sudah kacau, dress yang ia pakai sudah melorot, bahkan dalaman dari gadis itu hampir terlihat. "Sial! Siapa yang berani menjebak gadis ini. Apa dia tidak takut berhadapan dengan om Xavier. Aku yakin jika ia menemukan siapa pelakunya, aku yakin dia tidak akan melepaskannya." Saat ini Rain, tengah membawa Sheinafia ke dalam kamar pesanannya. Perempuan itu terus meracau kepanasan. Buah dadanya sudah hampir terlihat, akibat dari tangannya yang tidak bisa diam. R
"Aku harap setelah kau sadar nanti, kau tidak akan pernah menyesali semua ini," lirih Rain. Sheinafia menatap sayu pada Rain. Gairahnya sudah berada di ujung. Entah berapa banyak dosis yang di berikan pada minumannya. Rain sendiri sudah tidak bisa menahan hasratnya. Dia pria normal, dan pria mana akan menolak di suguhkan dengan pemandangan yang begitu memantik jiwa kelelakiannya. "Aku tahu, Rain. Semua ini pun di luar kendaliku,ahh," desah Sheinafia kala miliknya bergesekan dengan milik Rain. Rain pun menundukkan kepalanya. Mengecup bibir ranum milik Sheinafia, bibir yang sejak kemarin ingin sekali ia cicipi. Dan nyatanya, semesta mendukungnya malam ini mereka menghabiskan malam panas. ****** Sementara itu, Alarich masih menunggu kedatangan sang ayah, Xavier. Lelaki itu memutuskan untuk mengajak Bara dan juga Abrian. Bara lelaki itu sudah lama ikut dengannya. Dan Xavier mengakui kemampuan lelaki itu. Meskipun dulu ketika Nand