"Syifa?!" lirih Xavier. Entah kebetulan atau apa, nama gadis yang sempat ia tabrak ternyata ada di dalam nama salah satu tamu yang datang ke Ballroom tempat acara itu di laksanakan. "Siapa sebenarnya kamu itu, Syifa? Entah kenapa aku merasakan jika kedatanganmu akan membawa kehancuran," lirih Xavier yang masih bisa di dengar oleh Abrian. Kedua lelaki tampan itu tampak terdiam. Sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. "Kau tahu, Bri. Semenjak kedatangan gadis ini, istriku menjadi berubah. Sikapnya dan juga perangainya, ia yang tidak pernah sama sekali mendiamkan putriku. Namun, kemarin aku melihat dengan mata kepalaku sendiri jika Nandini bersikap acuh pada Sheinafia. Sean dan Samudera pun hanya menatap heran pada ibunya, begitu juga dengan Alarich. Entah kenapa aku merasa jika kedatangan Syifa akan menghancurkan hidup putri kecilku," gumam Xavier. Terlihat sekali jika ia khawatir. Namun, Abrian pun mengerti jika Xavier pun tidak
"Ayok, Sayang. Tidak perlu takut, Daddy akan menjelaskan semuanya pada ayahmu. Jikalau ia marah padamu, Daddy dan Rain akan membelamu," ujar Alexander Zaderta. Rain mengenggam lembut tangan mungil Sheinafia. Jelas sekali terlihat ketakutan di dalam binar indahnya. Alexander sendiri tidak keberatan jika setelah ini putranya harus menikah dengan Sheinafia. Meskipun semua ini karena sebuah kecelakaan. "Bukan itu yang aku takutkan, tapi ... Ibu pasti akan sangat kecewa padaku. Dan ia pasti akan marah sekali," lirih Sheinafia. Alexander mengerti yang menjadi ketakutan gadis cantik itu. Tentunya Xavier pun tidak akan dengan mudah menerima kenyataan yang sudah terjadi pada putri kesayangannya. "Ada Daddy, biar Daddy yang akan berbicara dengan kedua orang tuamu," ucap Alexander lembut. "Ya, apa yang Daddy katakan benar. Kamu jangan khawatir sayang, karena ada aku yang akan selalu berada di garda terdepan," timpal Rain. Akhirnya de
"Maksud kamu apa, Rain?!" Rain tidak menjawab, tetapi ia mengalihkan pandangannya pada Xavier yang tampak memijat keningnya. Rain yakin jika saat ini, pria matang itu pasti tengah pusing. Rain menatap Syifa yang duduk dekat Nandini. Entah apa yang di lakukannya hingga Nandini begitu menyukai gadis itu. Xavier membuka suaranya, ia menatap gadis yang berada di samping sang istri. Firasat Xavier memang sudah sangat jelek, ketika pertama kali bertemu dengannya. "Hei kau," seru Xavier. "Lebih baik kau pergi dari sini! Kau bukan bagian dari keluargaku jadi sebaiknya kau pergi!" hardik Xavier. Nandini membola mendengar ucapan suaminya. Ia menggeleng, tentu dirinya tidak rela jika Syifa pergi. "Tidak, Sayang!? Bagaimana mungkin kamu menyuruh Syifa pergi. Dia baru saja datang, Sayang?!" Xavier menggeleng, istrinya itu benar-benar sudah buta. "Kita pindah ke ruang kerja!" Lalu Xavier berlalu dari hadapan Nandini, di ikuti oleh Ab
"Kau yakin!?" tanya Xavier ragu. Alexander mengangguk, lantas ia mengeluarkan rekaman ketika Rain menginterogasi pelayan yang memberikan minuman itu pada Shei. Wajah Xavier sudah memerah, rahangnya mengeras. Tangannya mengepal, sorot matanya terlihat sekali amarah yang begitu besar. Tidak dapat Xavier sangka, jika gadis yang ia tabrak ternyata memiliki niat jahat pada keluarga kecilnya. Bahkan ia dengan begitu beraninya menjebak putri kesayangannya. Putri yang begitu ia jaga sedari kecil. "Kita kumpulkan bukti-bukti terlebih dahulu. Setelah itu kita jebloskan dia ke penjara," ujar Alexander datar. Xavier menggeleng, penjara? Tidak ia tidak setuju jika perempuan itu harus di penjara. Xavier lebih memilih untuk memberinya hukuman dengan tangannya sendiri. "Aku tidak setuju! Biar tanganku sendiri yang memberinya hukuman, karena ia tidak hanya membuat putriku menangis namun juga membuatku bertengkar dengan istriku! Entah apa yang di pikirka
"Ibu, apa sebegitu marahnya ibu terhadap Shei?" lirih Sheinafia ketika ia sudah berada di dalam kamarnya. Xavier memboyong anak-anaknya ke Mansionnya yang lain, sementara Nandini tetap berada di Mansion sebelumnya. Xavier kecewa terhadap istrinya, ia tidak menyangka jika Nandini akan bersikap egois seperti itu. Sebagai seorang ibu, seharusnya Nandini merengkuh sang putri. Bukan malah menyalahkannya. Kekecewaan Xavier begitu dalam, sehingga untuk saat ini ia lebih memilih untuk memenangkan dirinya. "Sayang, maafkan aku karena harus meninggalkanmu sendirian. Tunggu aku sampai bisa membuktikan jika gadis itu tidak seperti yang kamu pikirkan selama ini," lirih Xavier seraya menatap poto pernikahannya. Sementara Nandini, ia tengah berada di dalam kamarnya yang begitu mewah dan luas. Kosong, dan hampa yang ia rasakan. Suaminya memilih untuk pergi bersama dengan putra putrinya, kini ia tinggal sendiri. Nandini meraih poto pernikahannya, ia usap gamba
"Kamu masuk lewat pintu balkon?! Terus ke sini naik apa?!" tanya Sheinafia heran. Gadis cantik itu mau turun dari atas pangkuan Rain, namun lelaki tampan itu menahan tubuh Shei. Ia memeluk erat pinggang Sheinafia. "Aku mau turun," lirih Sheinafia. "Biarkan seperti ini dulu," gumam Rain. "Shei, bila esok kita menikah, maukah kamu?!" Sheinafia menatap wajah tampan Rain. Shei dapat melihat ketulusan dan cinta yang besar dari binar mata Rain. Rain menatap wajah cantik Sheinafia dengan begitu dalam. Seolah ia tidak bisa menikmatinya di esok hari. "Apa kamu yakin? Masalahnya kita masih sangat muda, aku ... takut," ucap Sheinafia pelan. Rain terdiam, tentu ia tahu bagaimana kekhawatiran Sheinafia. Mereka masih sangat muda, tentu tidak mudah membina rumah tangga di usia yang begitu muda. Secara ego mereka masih sangat tinggi. "Apa yang kamu takutkan, hmm?" tanya Rain seraya menyelipkan rambut yang menutupi wajah
"Sedang apa kau di sini, Rain!?" tanya Xavier datar. Rain maju mendekat ke arah Sheinafia yang berdiri di apit oleh kedua adiknya. Ia menatap penuh cinta pada Sheinafia. Seseorang yang sudah tertambat di hatinya semenjak mereka kecil. Lalu Rain mengalihkan pandangannya, menatap lelaki matang dengan rambut gondrong yang sengaja ia ikat. Ah calon ayah mertuanya, mirip sekali dengan mafia-mafia di luaran sana. "Maaf, Om. Jika saya memasuki kamar putri ...." Bugh Belum menyelesaikan ucapannya, sebuah pukulan mampir di rahang tegas Rain. Membuat lelaki itu reflek, mundur ke belakang akibat pukulan yang di berikan oleh Xavier. Sheinafia menjerit, kala melihat ayahnya memukul lelaki yang beberapa menit lalu mengajaknya menikah. "Ayah!" jerit Sheinafia. Lantas ia memeluk lengan kekar sang ayah. Sheinafia menggeleng dengan air mata yang sudah membasahi kedua pipinya. "Ayah, jangan pukuli Rain lagi. Kami tidak melakukan apapun, Rai
"Aku mau, malam ini detik ini juga mereka menikah!" tegas Xavier. Alexander langsung menegakkan tubuhnya, menatap serius pada Xavier. "Bukankah, mereka akan menikah tiga hari kemudian?!" Xavier menghembuskan nafasnya kasar, menatap lelaki yang sudah lama bersahabat dengannya. "Kau tahu bukan, Al. Jika aku tidak sedang bercanda," ucap Xavier datar. Alexander terkekeh. Sahabatnya itu memang susah di ajak bercanda jika tengah serius. Xavier menatap tajam pada Alexander. Namun, pria matang itu sama sekali tidak merasa takut. "Ok, malam ini! Di mana aku bisa mendapatkan penghulu sedangkan waktu sudah menunjukkan tengah malam. Bagaimana jika pagi saja, Vier. Supaya Sheinafia juga bisa berdandan sedikit. Lihatlah putriku, matanya sembab, wajahnya pucat." "Ck, dia bukan putrimu! Dia putriku!" tegas Xavier yang tidak ingin membagi putri kecilnya dengan orang lain, meskipun itu calon mertua Sheinafia.